Recommended

Korea

Garis Batas 42: Timbuktu

Apartemen, Karaganda (AGUSTINUS WIBOWO) Semua kota boleh punya sejarah. Tetapi, tak semua sejarah kota-kota Kazakhstan indah untuk dikenang. Karaganda adalah salah satunya.Dalam perjalanan kembali ke Almaty, saya menyempatkan singgah ke Karaganda, kota terbesar keempat Kazakhstan yang terletak hanya 200 kilometer di selatan Astana. Karaganda sempat dinominasikan sebagai calon ibu kota baru pengganti Almaty, tetapi akhirnya tempat terhormat itu direbut oleh Astana. Sama seperti Astana, dulunya kota ini sangat terpencil. Kalau kita sering menggunakan Timbuktu untuk melambangkan tempat middle of nowhere di ujung dunia, orang-orang Rusia punya Karaganda. Kota ini adalah Timbuktu-nya Uni Soviet, di tengah padang gurun luas tempat tinggalnya bangsa pengembara yang terbelakang, tempat pembuangan orang-orang yang hidup untuk dilupakan. Karaganda bermula dari batu bara yang ditemukan di dekat kota ini. Sebagai penghasil tambang, Karaganda menarik datangnya para pekerja paksa yang tinggal di kamp-kamp di sekitar kota.  Para budak inilah yang kemudian membangun kota di ujung dunia ini, dan di sini pulalah ratusan budak yang memberontak dibantai habis. Karaganda berdiri di atas genangan darah para budak. Sekarang pertambangan di Karaganda sudah tidak seaktif dulu lagi, tetapi nama Karaganda masih belum bersih. Timbuktu-nya Kazakhstan ini ternyata punya angka pengidap HIV tertinggi di seluruh negeri. Langit Karaganda kelabu. Asap mengepul dari [...]

August 12, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 39: Boratstan

Almaty di waktu senja (AGUSTINUS WIBOWO) Borat Sagdiev dari Kazakhstan, siapa yang tak kenal? Ikon Kazakhstan yang melekat di benak semua orang yang sebelumnya belum pernah mendengar nama negara ini adalah Borat, figur pria dari negara terbelakang yang penuh kekonyolan dan kebodohan. Film berjudul super panjang, Borat: Cultural Learnings of America for Make Benefit Glorious Nation of Kazakhstan, sempat menjadi box office dunia dan bahkan meraih berbagai penghargaan internasional, membuka mata banyak orang bahwa ada sebuah negara bernama Kazakhstan. Kampung Borat adalah sebuah negeri di mana orang Yahudi ditimpuki, perempuan diperlakukan lebih rendah daripada kuda, prostitusi adalah kebanggaan, air seni kuda dijadikan minuman, dan sempat diperkosa gay. Tetapi apakah Kazakhstan sedemikian bodoh dan terbelakang seperti yang digambarkan Borat?  Kalau Anda berjalan-jalan di Almaty, Anda pasti akan melupakan Borat. Gadis-gadis muda Rusia berambut pirang dengan pakaian berbulu kualitas impor melintas dengan anggun. Gedung-gedung baru bermunculan di sana-sini. Bus modern dan trem listrik mungil berhias warna-warni lalu lalang di sepanjang jalan yang sibuk. Almaty, mantan ibu kota Kazakhstan, sedang menapaki jalan menuju kota kosmopolitan kelas dunia. Di sini tinggal berbagai bangsa. Orang Kazakh kira-kira hanya separuh populasi. Sisanya adalah orang Rusia. Jumlah mereka hampir sama banyaknya dengan orang Kazakh. Juga ada orang [...]

August 7, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 38: Terpinggirkan

Nenek Rusia yang tak pernah lepas dari Alkitabnya (AGUSTINUS WIBOWO) Kue kemakmuran Kazakhstan tak dinikmati semua orang. Ada orang-orang yang terpinggirkan dan semakin tergerus oleh hiruk pikuk dan kejayaan metropolis Almaty. Pasha membantu saya mencari penginapan murah. Dengan bus kota, kami berdua berkeliling. Dari jalan Töle Bi, Gogol, dan Abay yang melintang horizontal, sampai Sheyfulin, Abylay Khan, dan Furmanov yang melintang vertikal, tidak ada yang murah. Semuanya di kisaran 30 dolar ke atas. Entah bagaimana ceritanya, kami berdua terdampar di Pasar Sayuran Zelyonii Bazaar. Pasha tertarik dengan kerumunan orang di depan sebuah gedung tua. Ada ibu-ibu yang berkalungkan kertas karton bertuliskan pemberitahuan. Ada kakek tua yang mengepaskan kacamatanya untuk membaca papan pengumuman yang penuh ditempeli kertas-kertas tidak karuan. Ada orang berdiskusi, tawar-menawar. Ini bukan pasar saham, walaupun kesibukannya tidak kalah. Ini adalah pasar rumah. Pasha tiba-tiba datang menggeret seorang nenek tua berpostur pendek. Belum diperkenalkan, si nenek sudah nyerocos, “Terima kasih Tuhan…, terima kasih! Kemarin seharian saya berdoa kepada Tuhan, ‘Tuhan, kirimlah seseorang yang bena-benar membutuhkan kamar ini.’ Dan hari ini Tuhan benar-benar mengirim kamu.”             “Berapa?” saya bertanya pada Pasha. “1000 Tenge saja,” katanya, “tapi jangan khawatir. Nenek ini orang jujur, karena dia Kristen taat dan [...]

August 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 37: Kota Apel

Pemuda-pemudi Kazakhstan menghabiskan waktu di karaoke. (AGUSTINUS WIBOWO) Ketika kota Almaty didirikan sebagai benteng pertahanan oleh orang-orang Rusia pada tahun 1854, orang Kazakh masih hidup sebagai bangsa nomaden yang mengembara di padang luas. Tetapi para gembala ini tidak terima begitu saja tanahnya dijajah oleh bangsa asing. Bersama-sama dengan orang Uzbek, Kirghiz, Tatar, Turkmen, dan suku-suku Turki lainnya, bangsa Kazakh gigih membela ladang gembalanya. Darah membasahi seluruh bumi Asia Tengah. Suku-suku gembala dibantai, diasingkan sampai ke Siberia. Perlawanan ditekuk habis. Ketika Bolshevik berkuasa, Tentara Merah semakin sadis menggempur para pengembara padang ini. Oleh pemerintahan komunis Soviet, orang Kazakh dan suku-suku nomaden lainnya dipandang terbelakang, tak berbudaya, dan oleh karena itu perlu dididik kembali. Gaya hidup nomaden dan penggembalaan di padang-padang harus dihilangkan. Orang Kazakh tidak boleh lagi hidup bersama kuda dan domba, yang selama ini menjadi bagian dari denyut nadi mereka. Orang Kazakh pun harus belajar bahasa Rusia. Ketika Stalin berkuasa dengan tangan besi, suku-suku pengembara ini “disulap” menjadi bangsa sedenter, dan jutaan orang yang membangkang langsung dibantai. Itulah pendidikan kembali. Tak sampai seratus tahun berselang, setelah melewati sejarah penuh darah dan penderitaan, Kazakhstan kini berubah menjadi negeri bergelimang kemakmuran yang sebelumnya tak berani mereka bayangkan. Pertokoan mahal mulai bermunculan [...]

August 5, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 24: Cita Rasa Osh

Restoran Laghman Uyghur (AGUSTINUS WIBOWO) Osh, kota terbesar kedua di Kyrgyzstan, adalah sebuah kejutan luar biasa setelah mengalami beratnya hidup di GBAO-nya Tajikistan. Kota ini, walaupun dikelilingi gunung-gunung, suhunya sangat hangat. Osh adalah kota dalam definisi yang sebenarnya, dengan hiruk pikuk manusia dan segala kesibukannya. Bukan kota-kota di GBAO macam Khorog dan Murghab yang hanya menyimpan kisah sedih pegunungan terpencil. Arus mobil dan bus kota berseliweran tanpa henti. Jalanan pasar penuh sesak oleh orang-orang yang berbelanja. Gedung-gedung tinggi berbentuk balok berbaris sepanjang jalan. Penduduk Osh adalah percampuran berbagai suku bangsa. Ada orang Kyrgyz yang berwajah Mongoloid. Ada orang Uzbek yang berwajah keturki-turkian. Ada gadis-gadis Korea yang berpakaian modis. Banyak juga orang Rusia dan Tatar yang berkulit putih pucat. Dering ringtone telepon seluler seakan tak pernah putus di tengah riuh rendahnya pasar kota Osh. Tetapi kejutan yang paling menggembirakan setelah meninggalkan GBAO adalah, saya tidak akan pernah kelaparan di Osh. Dalam bahasa Tajik, Osh memang berarti makanan. Apakah memang ada hubungan antara kata ini dengan melimpahnya makanan lezat di Osh? Duduk di atas dipan, sambil menghirup panasnya secangkir teh hitam dan menyaksikan mengalirnya sang waktu adalah kebiasaan kakek-kakek Uzbek dan Kyrgyz melewatkan hari mereka di Osh. Sambusa, pastel kecil berbentuk segitiga [...]

July 17, 2013 // 0 Comments