Recommended

kultur

Papua Nugini (2) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Satu Bahasa

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China. “PNG itu bukan singkatan Papua New Guinea,” seorang kawan ekspatriat memberitahu saya, “itu singkatan Promise Not Guaranteed.” Di sini, tiket pesawat bukan jaminan bisa terbang. Sudah banyak calon penumpang pesawat yang memiliki tiket, sesampainya di bandara diberitahu bahwa pesawat sudah penuh dan tidak ada tempat bagi mereka. Karena itu, kawan itu menganjurkan saya pergi seawal mungkin ke bandara. Saya bersyukur dengan anjuran itu. Bukannya terlambat, pesawat justru terbang satu jam lebih awal dari jadwal. Kata pramugari, itu karena semua dari dua puluhan penumpang sudah tiba di bandara. Sembilan puluh menit kemudian, pesawat kami mendarat di Daru, sebuah pulau noktah kecil di bagian paling selatan provinsi perbatasan Western Province. Dulu kota-pulau ini pernah menjadi pusat pemerintahan provinsi, sebelum kemudian dipindah ke Kiunga di utara sana. Bandara Daru mirip lapangan bola yang dikelilingi pagar kawat. Di balik pagar itu, orang-orang berderet menonton pesawat. Dari balik kawat pagar kawat, saya juga menonton para penumpang yang berbaris di atas tarmak menuju pesawat yang akan lepas landas kembali ke Port Moresby. Dua penumpang yang terakhir naik tiba-tiba turun lagi. Saya dengar dari petugas bandara, mereka tidak diizinkan terbang karena pesawat telah kelebihan muatan kargo. Entah [...]

February 8, 2016 // 3 Comments

Garis Batas 55: Dua Bait

Tukang sepatu dari Bukhara (AGUSTINUS WIBOWO)             “Lihat, ini Bukhara kita,” kata Suhrat penuh bangga, ketika kami melintasi Masjid Kalon subuh-subuh. Gelap masih membungkus bumi. Masjid kuno berhadapan-hadapan dengan madrasah besar yang tidak kalah uzur sejarahnya. Sunyi, namun tak bisu. Ini bukan kali pertama saya datang ke sini, tetapi tetap saja saya terpekur di bawah keagungan gedung-gedung tua yang menyinarkan keluhuran peradaban Islam dan Persia. Bulan begitu bundar, membilas menara masjid yang tinggi menjulang. Siapa yang tidak tunduk di bawah keagungan Buxoro-i-Sharif, kota Bukhara yang suci. Sudah beberapa hari ini saya menginap di rumah Suhrat, seorang pemuda Tajik dua puluhan tahun dari Bukhara. Rumahnya tepat di tengah kota tua Bukhara, dikelilingi bangunan-bangunan kuno yang semuanya berwarna coklat. Bukhara laksana mesin waktu raksasa, melemparkan semua orang ke sebuah masa kejayaan peradaban Asia Tengah. Shokir, ayah Suhrat, adalah penjual sepatu. Bukan sembarang sepatu, tetapi sepatu tradisional dari kulit, berujung lancip dan berhias sulam-sulaman indah. “Bukhara adalah kota kuno, kota budaya, kota peradaban,” kata Shokir dalam bahasa Tajik, “ini adalah kotanya para seniman, di mana seni menjadi nafas dan detak jantung kehidupan.” Shokir berusia empat puluhan. Garis wajahnya sangat keras, khas orang Tajik. Hidungnya mancung, matanya besar, dan alis matanya tebal [...]

August 29, 2013 // 0 Comments