Recommended

Lewada

Lewada 12 September 2015: Antara Cerita dan Sejarah

Di utara Lewada, di mulut anak sungai Bituri, tinggallah buaya yang terkenal itu. Sang Buaya Lewada. Seorang pendeta yang beberapa bulan lalu mendayung kano untuk memeriksa jaring yang dipasangnya di tengah sungai untuk menangkap ikan. Itu adalah kano kecil yang hanya muat satu orang. Tiba-tiba, dari belakang, buaya itu melibas punggung si pendeta dengan ekornya yang tajam. Si pendeta jatuh terguling dari kano, tercebur ke sungai. Buaya itu menggigit pendeta pada mata kakinya, menyeretnya lebih dalam ke dalam air. Buaya itu kemudian membawa pendeta itu kembali ke permukaan air, mungkin supaya lebih leluasa memangsa manusia ini. Pada saat itulah pendeta menarik kakinya dari mulut buaya. Kakinya patah, tetapi dia hanya bisa berusaha berenang secepat-cepatnya. Beruntung, ada akar bakau. Dia memanjat sampai ke puncak pohon, bergelayutan di sana, berteriak minta tolong. Buaya itu kemudian pergi. Kejadian lain adalah seorang anak muda yang juga mendayung kano untuk memeriksa jaring. Pemuda itu ingin mencuci kakinya, menurunkan kedua kakinya ke sungai. Sialnya, kedua kaki itu mendarat ke dalam mulut buaya yang sudah menganga di bawah air. Dia langsung tenggelam. Si buaya itu berusaha merobek tubuhnya dengan cakarnya, pemuda itu terluka dari bahu sampai paha. Pada saat itu ada kano lain melintas, pemuda itu selamat. [...]

October 2, 2015 // 7 Comments

Lewada 11 September 2014: Menyerahkan Nasib pada Sang Pembunuh

Selain sifat pasif dan pasrah yang berlebihan dari masyarakat Doumori, ada satu hal lain yang membuat saya frustrasi: saya mungkin akan terperangkap di Doumori. Transportasi di Sungai Fly ternyata jauh lebih sulit daripada dugaan saya. Warga Doumori hanya bepergian ke Daru dan sangat jarang pergi ke desa lain di sepanjang aliran sungai ini. Warga desa lain pun tidak ke sini. Lagi pula, dengan sedimen pasir dan gelombang tsunami harian, Doumori semakin terkunci dalam dunianya sendiri. Sementara Mama Ruth, bicara seperti tidak ada masalah dalam hidup yang sanggup meresahkannya. “Son, kamu bisa tinggal di rumah kami berapa lama pun, karena kamu anakku.” Keesokan harinya, Mama Ruth meminta orang-orang desa membantu mengantarkan saya ke Lewada. Desa ini adalah yang terdekat, terletak di sisi selatan sungai. Sebenarnya hanya butuh menyeberang sungai, tetapi perjalanan menuju Lewada memakan waktu satu hingga dua jam dengan kano karena saking lebarnya Sungai Fly. Kita bisa pergi dengan perahu layar, mengikuti arus air laut saat pasang sehingga irit bensin. Sebagai wujud terima kasih, saya membayar 25 kina (sekitar 12 dolar) kepada para lelaki yang mau bersusah-payah mengantar saya. Kebetulan pula, penduduk Doumori mengalami krisis air minum—tank penadah hujan mereka sudah kering. Karena itu, para perempuan dan anak-anak ikut dalam [...]

October 1, 2015 // 13 Comments