Recommended

Manang

Titik Nol 59: Vegetarian Seumur Hidup

Para porter bermain kartu mengisi senja yang dingin. (AGUSTINUS WIBOWO) Kabut mulai turun menyelimuti barisan pegunungan Annapurna III dan Gangapurna. Tak ada lagi yang tampak kecuali putih yang sempurna. Kami bertiga memutuskan untuk terus berangkat menuju puncak. “Tak perlu kita memforsir tenaga,” kata Jörg, “kita sudah mengirit satu hari di Manang, hari ini kita cukup berjalan satu desa saja sampai ke Letdar.” Pada ketinggian ini, desa semakin jarang dan berjauhan. Gunsang sudah hampir mencapai empat ribu meter, sudah jauh lebih tinggi daripada Gunung Semeru. Pepohonan sudah lenyap, berganti tanaman rumput. Orang Newar sudah tak nampak, yang ada cuma orang Tibet, Tamang, dan Gurung – semuanya orang gunung yang tangguh, bahan baku pasukan Ghurka yang tersohor di seluruh dunia. Kami terus mendaki. Masih kurang sekitar 1500 meter ketinggian lagi untuk mencapai puncak Thorung La. Sebenarnya saya tidak terlalu khawatir akan gejala penyakit ketinggian, karena saya sudah terbiasa dengan beratnya alam di Tibet. Tetapi, sejak meninggalkan Gunsang, saya merasa sedikit pusing dan meriang, ditambah batuk berdahak dan hidung mampet. Menurut peta yang dibawa Jörg, tujuan berikutnya, Dusun Letdar, hanya satu jam perjalanan dari Gunsang. Satu jam, tentu bukan siksaan yang terlalu berat, begitu pikir kami. Tetapi memang terlalu naif kalau menyamakan rayapan [...]

August 14, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 58: Manang

Barisan bendera doa dan gunung salju. (AGUSTINUS WIBOWO) Manang adalah kejutan di tengah pendakian Sirkuit Annapurna. Sebuah perkampungan umat Budha Tibet yang religius, campur aduk dengan rombongan trekker, porter, pemandu wisata, barisan keledai, ladang jewawut, hotel, restoran, toko perlengkapan pendakian, warung internet, rumah sakit, dan seterusnya. Tak perlu heran, Manang adalah dusun terbesar sepanjang sisi timur lintasan Sirkuit Annapurna. Pada ketinggian 3540 meter ini, Manang adalah tempat yang paling dianjurkan bagi para pendaki untuk menyesuaikan diri dengan ketinggian. Beristirahat dua malam di sini sangat dianjurkan sebelum melangkahkan kaki menuju Puncak Thorung La. Nefransjah adalah salah satu trekker Indonesia yang sedang mengadaptasikan dirinya dengan tempat tinggi. Tak pernah ia berada di tempat setinggi ini. Keluhannya, kepala pusing dan cepat lelah. Tak salah pula kalau ia mengikuti kelas pelatihan gratis khusus para pendaki yang diselenggarakan setiap sore di klinik Manang. Acute Mountain Sickness (AMS) umumnya terjadi pada orang yang berpindah ketinggian terlalu cepat. Jadi bukan ketinggiannya yang bermasalah, tetapi kedrastisannya. Biasanya akan mulai terasa kalau kita sudah berada di atas ketinggian 2500 meter. Tanda-tandanya adalah sakit kepala, pusing, mual, batuk, hilang nafsu makan, muntah, atau halusinasi. Tanda-tanda ini tidak perlu harus muncul semuanya. Salah satu saja cukup sebagai gejala AMS. Kalau tidak [...]

August 13, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 57: Kawan Lama

Batu bertahtakan mantra-mantra Budhisme. (AGUSTINUS WIBOWO) Di balik lekukan gunung-gunung tinggi ini selalu ada kejutan. Gunung salju raksasa menyembul di antara awan di langit biru. Pada ketinggian lebih dari 3000 meter, alam berganti drastis. Kuil dan pagoda Budhisme Tibet, di hadapan hamparan batu mani dengan mantra suci, semakin menebarkan nuansa mistis. Semakin ke atas, habitat orang Hindu semakin berkurang. Penduduk di sini kebanyakan orang etnis Tibet, menganut agama Budha aliran Tantrisme. Kenangan tentang perjalanan di Tibet terulang lagi di sini. Bedanya, saya tak perlu kejar-kejaran dengan polisi. Sebenarnya yang tinggal di daerah ini bukan orang Tibet, karena istilah etnik Tibet lebih dikhususkan pada mereka yang melarikan diri dari negeri China. Penduduk distrik Manang adalah etnis Manangi, atau disebut Manangapa, atau Nyeshang. Secara fisik, kultur, dan agama, memang sangat mirip dengan orang Tibet. Orang Manangi terkenal mahir berdagang. Walaupun habitat mereka jauh di gunung tinggi, tetapi jaringan perdagangan orang Manangi merambah hingga Kathmandu, bahkan sampai ke Malaysia dan Singapura. Selain Manangi, di tanah tinggi ini juga ada orang Tamang, Rai dan Limbu. Perawakan mereka seperti orang Asia Timur, pendek, bermata sipit, hidung pesek. Tetapi jangan ditanya soal ketangguhan. Seperti halnya orang Gurung, suku-suku ini adalah pemasok tentara Gurkha. Penduduk desa tradisional [...]

August 12, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 55: Tentara Kerajaan

Tentara Kerajaan Nepal (AGUSTINUS WIBOWO) Macam-macam cara orang menikmati perjalanan. Ada yang bersantai, menikmati setiap pemandangan yang terhampar di sekeliling. Ada yang terburu-buru, mengejar target yang dipasang sendiri. Ada yang sambil bermeditasi, merenungi setiap detail yang ditampilkan oleh alam. Perjalanan hidup pun tergantung bagaimana kita ingin menikmatinya. Namanya Rob, tingginya lebih dari 180 sentimeter, kekar dan gagah. Asalnya dari Amerika Serikat. Matanya biru, wajahnya tampan. Lulusan Phd dari salah satu universitas terbaik di muka bumi – Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dia datang ke Danakkya ketika langit sudah mulai gelap, ikut bergabung dengan kami menginap di Hotel Snowland di dusun ini. Pemondokan di sepanjang Annapurna memang punya nama garang-garang, menawarkan misteri dari puncak salju Himalaya. “Hey man, saya berencana mengelilingi Annapurna dalam waktu satu minggu saja. Ini adalah hari kedua saya,” kata pendatang baru itu. Jörg langsung berseru, “Satu minggu? Kamu gila? Kamu bisa mati kalau tubuh kamu tidak teraklimatisasi dengan perubahan ketinggian yang tiba-tiba!” Kami sudah menghabiskan empat hari dengan melenggang santai baru sampai di sini. Jörg berkisah, ketika ia menginap di Pokhara, ada turis Jepang yang baru saja datang dari mengelilingi Sirkuit Annapurna. Rupanya orang Jepang ini bertaruh dengan kawannya, siapa yang bisa menyelesaikan putaran ini dalam waktu [...]

August 8, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 54: Ladang Ganja

Ladang ganja (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan keliling Annapurna masih panjang. Memasuki hari keempat, kami baru saja meninggalkan dusun Tal. Kalau dilihat di peta, tak sampai juga dua puluh persen lintasan menuju puncak Thorung. Di pegunungan Annapurna, jarak horizontal tak banyak berarti. Peta dunia di tempat ini seharusnya digambar tiga dimensi, karena ketinggian dan kecuraman pinggang gurun lebih berarti dalam pendakian. Pukul setengah delapan, matahari masih belum terlalu panas. Selepas Tal, pada ketinggian 1700 meter, desa-desa berikutnya semakin tinggi dan sejuk. Gadis pemilik pemondokan begitu ramah, menghadiahi kami masing-masing sebilah tongkat kayu. Kami menyeruput lemon panas yang disediakannya. Sirkuit Annapurna ini begitu nyaman. Pemondokan ramah tersebar sepanjang jalan. Bayangkan, seratus tahun lalu ketika para pendahulu penakluk gunung-gunung Himalaya menjelajah sampai ke sini, yang ada hanya hutan lebat. Bahkan untuk mencari Gunung Annapurna pun mereka tersesat berkali-kali. Tak lama setelah meninggalkan Tal, ada seorang gadis yang duduk kelelahan di pinggir jalan. Di pundaknya ada ransel besar berwarna biru. Di atas ransel masih ada pula matras yang digulung. Di tangannya ada sepasang tongkat treking. “Good morning,” kami menyapa. Gadis itu orang Asia, bermata sipit berwajah datar. “Good morning… Namaste,” ia menjawab, terengah-engah. Saya dan Jörg melanjutkan perjalanan. “Taruhan, gadis itu dari negara mana?” saya [...]

August 7, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 53: Dusun Tal

Bermain, bermain, bermain… (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tertunduk di hadapan gerilyawan Maois. Semua kisah sedih sudah saya ceritakan. Moga-moga ia tergerak hatinya. “Kya karen, bhai? Apa lagi yang bisa saya lakukan, Saudara?” Saya menunjukkan dompet saya yang kosong melompong. Hanya ada uang sepuluh Rupee di dalamnya. Sisanya sudah saya sembunyikan di dalam kaus kaki. Gerilyawan Maois itu hanya garuk-garuk kepala, mungkin pertama kali melihat turis yang begitu miskin. Saya menunjukkan betapa dekatnya saya dengan perjuangan Maois, mencoba menarik simpatinya. Dimulai dari bualan tentang kehidupan komunis di Beijing dan betapa saya memuja Mao, sampai menunjukkan saya memakai baju warna merah dengan bintang emas – bendera Vietnam – yang saya beli dari Hanoi. Dia tak terlalu tertarik. Tiba-tiba datang serombongan pendaki bule. Masing-masing membopong ransel mahal, membawa sepasang tongkat khusus trekking, yang pasti juga mahal, dan menggunakan jasa dua orang porter Nepal malang yang terbungkuk-bungkuk harus menggendong tumpukan ransel besar. Ditambah lagi seorang pemandu lokal. “Pajak Maois ya?” tanya si pendaki dengan ramah, senyum lebar menghias wajahnya. Ia langsung mengeluarkan beberapa lembar ribuan Rupee, menyerahkan kepada sang gerilyawan. Sekarang giliran pengumpul pajak Maois itu yang sibuk menandatangani kuitansi. Semua orang harus membayar pajak 100 Rupee per hari. Untuk porter dan pemandu lokal gratis. [...]

August 6, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 51: Lereng Curam

Namaste……….!!! (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan keliling Sirkuit Annapurna sebenarnya termasuk kategori tingkat kesulitan rendah. Walaupun demikian, bagi saya yang tidak biasa berjalan di medan pegunungan, perjalanan ini melelahkan juga. Ada pepatah China mengatakan, “Naik gunung mudah, turun gunung susah”. Mungkin lebih tepat kalau pepatah itu dimodifikasi: Naik gunung susah, turunnya lebih susah lagi. Perjalanan ini dimulai dari Besisahar, pada ketinggian 700 meter, melalui jalan mendaki, terus menurun, terus mendaki lagi, menurun lagi, dan seterusnya hingga ke Puncak Thorung La pada ketinggian 5400 meter, kemudian menurun drastis lagi terus sampai ke bawah. Demikianlah perjalanan hidup manusia. Ada naik, ada turun. Tujuan kita seakan tergambar jelas di awang-awang sana. Tetapi yang paling penting bukan tujuannya, melainkan lintasannya, naik turunnya, senang bahagia dan pahit getirnya hidup. Setiap trekker punya peta Annapurna, lengkap dengan hari pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya, nama dusun-dusun yang akan dilewati, serta ketinggiannya dari permukaan laut. Angka-angka yang menjadi patokan perjalanan ini adalah motivasi untuk terus maju, mencapai tujuan. Yang paling berbahaya dalam perjalanan ini adalah ketika kita terlalu menggebu untuk mencapai tujuan yang tinggi itu. Dari ketinggian 700 meter hingga 5400 meter, tubuh manusia harus bisa beradaptasi pada perubahan drastis. Di puncak sana, suhu udara rendah dan oksigen minim. Salju [...]

August 4, 2014 // 1 Comment