Recommended

Muslim

Titik Nol 98: Pernikahan Ganda

Sepasang pengantin (AGUSTINUS WIBOWO) ‘Cantik’, adalah kata yang terlalu sederhana untuk melukiskan kedua gadis ini. Emas bertabur di sekujur tubuh mereka, dari dahi hingga ke ujung kaki. Keduanya tertunduk di sudut ruangan, dengan kepala terbungkus kerudung merah. Keduanya, bersama-sama, akan menapaki bahtera kehidupan bersama pria yang tak mereka kenal. Arak-arakan barat pengiring Muhammad Salim, sang pengantin pria, datang ke rumah Aman, disambut gegap gempita bunyi terompet dan tetabuhan. Akad nikah akan dilangsungkan di rumah ini, rumah dulhan – mempelai wanita. Pernikahan Muslim India sebenarnya mengikuti aturan upacara adat yang mirip dengan pernikahan Hindu, hanya berbeda aturan-aturan keagamaannya. Misalnya mehndi – pembubuhan warna-warni di tangan dan kaki, jehez – mas kawin dari pihak perempuan, barat – arak-arakan untuk menjemput pengantin perempuan, perhitungan hari baik dan tanggal baik berdasar astrologi, semuanya ada dalam kultur umat Hindu. Tetapi pernikahan Muslim lebih menonjolkan unsur kesederhanaan. Kesan gegap gempita penuh warna-warni tak terlalu nampak di sini. Selain itu, pemisahan laki-laki dan perempuan sangat ketat. Tamu perempuan yang datang langsung digiring ke dalam rumah, untuk berkumpul dengan pengantin perempuan. Tamu laki-laki di lapangan terbuka, di bawah terpal, bersama pengantin pria. Pengantin tak bersanding, para tamu pun dipisahkan berdasar jenis kelamin. Sang dulha, pengantin pria, berkalung bunga-bunga. [...]

January 7, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 97: Pernikahan Muslim India

Permainan menyuapi calon pengantin pria (AGUSTINUS WIBOWO) Masih ingat Aman, seorang pria Muslim pemilik hotel yang akhirnya mengundang saya dan Lam Li ke rumahnya untuk merayakan Idul Fitri? Hubungan kami bukan hanya hubungan biasa antara pemilik hotel dan tamunya. Aman sudah menganggap saya bagian dari keluarganya dan wanti-wanti saya harus hadir dalam pesta pernikahan adik perempuannya. Khusus untuk acara ini, saya memutar haluan dari Bikaner kembali ke Jaipur. Lam Li tak bisa datang. Ia punya prinsip yang dipegang teguh selama perjalanannya keliling dunia – tak sekalipun mengulang jalan yang pernah dilalui. Saya sendiri lebih mengutamakan pencarian pengalaman sepanjang jalan, tak peduli kalau harus mulai lagi dari titik awal. Aman memang sudah menyiapkan segalanya untuk saya. Begitu saya datang ke Jaipur, saya sudah disiapkan kamar di losmennya yang gelap. Sekarang kualitas losmen yang tak seberapa ini di mata saya begitu luar biasa, karena kemurahan hati pemiliknya. Bahkan Aman sempat wanti-wanti kepada manajernya yang baru untuk memperlakukan saya sebaik-baiknya, karena gelar saya adalah the family’s most important guest, seperti yang tertulis di buku daftar tamu. “Kenapa kamu tidak datang kemarin?” tanya Aman, “kamu sudah kelewatan satu acara penting dalam prosesi panjang pernikahan. Kemarin malam adalah acara mehndi, pembubuhan cat henna ke tangan [...]

January 6, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 89: Arranged Marriage

Sebuah acara pernikahan di India. Jumlah tamu bisa mencapai ribuan. (AGUSTINUS WIBOWO) Alangkah meriahnya pernikahan India, batin saya, ketika Ram menunjukkan foto-foto pernikahan kakaknya yang sampai mengundang 4.000 tamu dengan mas kawin sampai 10 lakh Rupee. Pernikahan akbar pangeran tampan dan putrid cantik seperti dalam fantasi negeri dongeng, atau imajinasi film Bollywood. Saya sungguh mengagumi semangat bertualang Lam Li, si gadis Malaysia ini. Bukan hanya sebagai seorang perempuan seorang diri ia menempuh perjalanan darat dari negaranya, melintasi Indochina hingga ke Tibet, Nepal, sampai ke sini, hasratnya untuk selalu belajar, menjelajah, dan menemukan hal-hal yang baru sungguh luar biasa. Lam Li mengajak saya menyusuri gang-gang kecil kota Jodhpur. Bukan hanya di daerah kota biru yang ramai dikunjungi turis, kami juga merambah jalan-jalan sempit di daerah kota, melintasi perkampungan, tempat pembuangan sampah, sampai mengunjungi rumah-rumah penduduk. Inilah sisi lain kota Jodhpur yang jarang dilihat turis asing, yang umumnya sudah cukup terpesona dengan benteng raksasa, istana mewah, dan birunya rumah-rumah. Tak banyak orang yang punya semangat bertualang seperti Lam Li, mencoba segala jenis makanan, memasuki semua gang dan jalan, bercakap dengan segala macam manusia. Hingga tibalah kami berkenalan Ram, seorang pria Hindu yang mengajak kami masuk ke rumahnya. Kami sempat membuat keributan di [...]

September 26, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 84: Ajmer Sharif

Selamat datang di dunia Jain. (AGUSTINUS WIBOWO) Sebelas kilometer dari Pushkar yang menjadi kota sucinya umat Hindu, Ajmer Sharif adalah salah satu kota paling suci bagi umat Muslim India. Di sini, guru Sufi Chishsti bersemayam dan raja-raja Afghan menghancurkan patung-patung berhala Jain. India, walaupun namanya Hindustan dan mayoritas penduduknya beragama Hindu, bukanlah negara Hindu. Di sini, beragam agama dan kepercayaan kuno terlahirkan, jauh sebelum datangnya Kristen dan Islam. Jain, agama asli India sudah ada sejak beratus tahun sebelum Masehi, masih hidup hingga hari ini, dengan sisa-sisa kebesaran masa lalunya. Kuil Merah Nasiyan di kota Ajmer membuat saya ternganga. “Seumur hidupmu, engkau tak akan pernah melihat tempat seindah ini,” kata bapak tua penjual karcis. Ia benar. Saya tak pernah begitu terpesona melihat sebuah kuil seperti saat ini. Ruang utama Nasiyan disebut Swarna Mandir, Kuil Emas, karena segala sesuatu yang berkilau di sini adalah … emas. Sebuah negeri dongeng, penafsiran dunia dalam mitologi Jain, kota kuno Ayodhya dan Prayoga, terukir dari seribu kilogram emas murni setinggi bangunan dua lantai. Negeri antah berantah ini dijuluki Swarna Nagari – Negeri Emas. Ada istana berkubah besar dengan raja dan hulubalangnya. Ada pandita Jain sekte Digambar yang tak berpakaian sama sekali. Ada para penari wanita dengan [...]

September 18, 2014 // 1 Comment

Titik Nol (81): Pasar Unta

Pasar unta di Pushkar. (AGUSTINUS WIBOWO) Purnama berpancar penuh di Bulan Kartika. Kartik Purnima, purnama yang membawa keberuntungan, bersinar di antara atap mandir yang menjulang. Asap dupa bertebar, kolam suci memancarkan sinar. Dan kota Pushkar dipenuhi segala jenis hewan ternak Kartik Purnima diagungkan oleh umat Hindu, Sikh, dan Muslim India. Jatuhnya di sekitar bulan November. Ketika bulan bersinar sepenuh-penuhnya, kolam suci menjanjikan penyucian diri yang paling sempurna. Umat Hindu dari seluruh penjuru negeri berdatangan ke kolam Pushkar. Mulai dari sadhu yang berbungkus kain kumal, berselimut aroma dupa dan wangi bunga, hingga ke peziarah jelata yang datang berombongan dalam bus pariwisata. Pada saat yang bersamaan, padang pasir Pushkar menjadi arena pasar unta terbesar di dunia. Suku-suku pengembara padang gurun mengadu nasib di sini, mentransformasi kekayaan potensial mereka menjadi gepokan uang. Seekor unta mencapai 20 ribu Rupee, harta karun paling utama bangsa pengembara. Bukan hanya unta, ada pula kambing, domba, kuda, dan segala macam ternak lainnya. “Saya datang dari Nagaur,” kata pria bersurban berkumis tebal dan bermata garang, “Empat hari jauhnya jalan kaki dari sini. Sang pedagang unta membawa tiga ekor unta besar dan dua kuda gagah, mendirikan kemah kecil di tengah padang untuk tinggalnya dan bocahnya. Mereka sekeluarga sudah datang di [...]

September 15, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 79: Turisme di Kota Kuno

Kota suci Pushkar di sekeliling danau suci. (AGUSTINUS WIBOWO) Kota kecil Pushkar, tempat datangnya ribuan umat Hindu membasuh diri di kolam suci, hiruk pikuk menyambut datangnya Kartika Purnima. Bukan hanya kaum peziarah, kini unta, karavan, nomad, memenuhi seluruh sudut kota. Tak lupa tentunya turis. Bagaimana turisme mengubah kehidupan di tempat suci ini? Saya dan Lam Li bersama-sama meninggalkan Jaipur menuju kota suci Pushkar. Bus penuh sesak. Orang India selalu tidak sabaran untuk turun dari bus. Saling desak, saling senggol, saya hampir terlindas oleh kakek tua yang mendorong saya dengan kasar. Penduduk negeri ini sepertinya punya konsep waktu yang aneh. Di kala senggang mereka tiduran seperti waktu tak pernah habis. Tetapi kalau sudah urusan turun dari kendaraan, mulai dari bus, rickshaw, kereta api, sampai pesawat terbang sekali pun, mereka harus jadi yang paling dulu menyentuh tanah, seolah waktu mereka tak tersisa lagi barang sedetik pun. Kami berganti bus di kota suci Ajmer, kota suci umat Muslim. Pushkar, kota sucinya umat Hindu, hanya 14 kilometer jauhnya dari Ajmer. Suasana kota kuno segera menyergap begitu kami memasuki gang sempit Pushkar yang berkelok-kelok bagai rumah sesat. Rumah kotak-kotak berwarna putih bertebaran. Alunan mantra terus mengalir dari pengeras suara yang ringsek. Sapi berkeliaran, dan perempuan [...]

September 11, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 77: Idul Fitri di Kota Merah Jambu

Suguhan Idul Fitri.(AGUSTINUS WIBOWO) Saya masih belum menemukan kembali semangat traveling yang hilang. Bersama Lam Li, kami berdua menyusuri jalan-jalan kota merah jambu Jaipur. Di Rajasthan, kota-kota kuno berasosiasi dengan warna – kota merah jambu Jaipur, kota biru Jodhpur, dan kota emas Jaisalmer. Kota Jaipur disebut kota merah jambu, karena di balik benteng kota kuno, banyak bangunan berwarna merah jambu. Sebenarnya sejarah merah jambu ini tak terlalu lama. Pada tahun 1876, ketika Pangeran Edward VII berkunjung, kota ini bersolek habis-habisan, menjadi kota cantik berwarna romantis – merah jambu. Bangunan yang menjadi landmark kota Jaipur adalah Hawa Mahal, seperti istana yang tinggi dan megah, dilengkapi dengan 953 lubang jendela. Hawa artinya angin. Dari lubang jendela ini, angin berhembus, memberi kesejukan bagi yang ada di balik bangunan ini. Walaupun nampak seperti istana raksasa dari luar, sebenarnya Hawa Mahal hanyalah sebidang dinding saja, bagian dari istana raja Jaipur, dibangun oleh Maharaja Pratap Singh tahun 1799. Saya jadi ingat setting film kolosal, yang bisa menghadirkan bentuk bangunan megah luar biasa di depan kamera, tetapi sesungguhnya di balik kemegahan hanyalah dinding kosong buruk rupa. Kami berjalan-jalan di kota kuno Jaipur. Saya mengagumi jalannya yang lurus dan teratur, berpetak-petak. Lam Li, dengan observasinya yang lebih tajam, [...]

September 9, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 75: Diwali

Aneka ragam manisan menyambut Diwali. (AGUSTINUS WIBOWO) Di tengah kegelapan malam, bunyi ledakan petasan bersahut-sahutan. Semua gembira menyambut datangnya Diwali. Malam nanti adalah malam Diwali, hari raya terpenting bagi umat Hindu, Sikh, dan Jain di India. Saya berjalan ke arah kota kuno Jaipur ketika matahari baru mulai bersinar. Kota tua dikelilingi tembok berwarna merah jingga. Bentuknya kotak persegi, dengan gerbang kota masing-masing di utara, selatan, timur, dan barat. Di gerbang barat, pagi-pagi begini sudah ramai orang berjualan bunga berwarna kuning dan merah yang diuntai menjadi kalung panjang. Di hari Diwali ini, ribuan umat membanjiri mandir – kuil Hindu yang tersebar di mana-mana. Untaian bunga-bungaan ini dikalungkan ke patung dewa dewi dalam mandir. Selain bunga dan sesajen, Jaipur juga penuh manisan dari berbagai bentuk, warna, dan ukuran. Ada laddu yang berupa manisan bulat seperti bola, terbuat dari tepung yang berbalut cairan gula. Ada mithai dari susu. Ada pula barfi yang berbentuk kotak dan beralas kertas perak. Semua manisan ini rasanya cuma satu – manis. Segigit saja rasanya sudah seperti menelan bersendok-sendok gula yang dicampur susu. Acara paling penting dalam Diwali adalah sembahyang puja di malam hari. Setiap tahun, waktu untuk melaksanakan puja Diwali berbeda. Orang harus mendengarkan informasi terbaru dari radio [...]

September 5, 2014 // 0 Comments

#1Pic1Day: Sacred Ritual in Sacred Site

Sacred Ritual in Sacred Site A religious leader is preparing to attend a sacred ritual to welcome the arrival of spring, which comes together with the Persian New Year of Naoruz, in the sacred mausoleum of Caliph Ali in Mazar-e-Sharif. Upacara Suci di Makam Suci Seorang imam bersiap mengikuti upacara suci untuk menyambut datangnya Tahun Baru Naoruz di makam suci Hazrat Ali di Mazar-e-Sharif. [...]

March 21, 2014 // 0 Comments

#1Pic1Day: Awas Nabrak/Awas Ketabrak? | Curious Traffic Sign (Mongolia, 2009)

Curious Sign (Mongolia, 2009) What is intended by this curious traffic sign in Erdenet, Mongolia? That driving is forbidden, or playing football? Awas Nabrak/Awas Ketabrak? (Mongolia, 2009) Sebuah rambu lalu lintas yang membingungkan di Erdenet, Mongolia. Entah mana yang dilarang, mobil lewat atau main bola di jalan.   [...]

February 14, 2014 // 2 Comments

#1Pic1Day: Antre Air | Line for Water (Mongolia, 2009)

Line for Water (Mongolia, 2009) The dwellers of the village of Tsengel in westernmost corner of Mongolia are queuing for water from a communal pipe in the middle of the village. This is a daily routine in most rural areas of Mongolia, due to unavailability of water system. Tsengel is last village in western Mongolia, neighboring with China and not far away from Kazakhstan, inhabited by predominantly Muslim Kazakh minority ethnic group. A big number of Kazakhs from Western Mongolia have migrated to Kazakhstan. Antre Air (Mongolia, 2009) Para penduduk dusun Tsengel di ujung paling barat Mongolia sedang mengantre air dari pipa komunal di tengah dusun. Ini adalah aktivitas harian di daerah pinggiran Mongolia, yang masih belum memiliki sistem pipa air. Tsengel adalah dusun paling ujung di Mongolia, berbatasan dengan China dan paling dekat dari Kazakhstan, dihuni oleh minoritas Kazakh yang beragama Islam. Sejumlah besar penduduk Kazakh di Mongolia Barat telah bermigrasi ke Kazakhstan. [...]

February 13, 2014 // 2 Comments

#1Pic1Day: A Kazakh Muslim Wedding (Mongolia, 2009)

Muslim Wedding (Mongolia, 2009) A Muslim Kazakh bride in westernmost corner of Mongolia is preparing for nikah, legalization of marriage held by Muslim religious leader. The Kazakhs are predominantly Muslim minority groups inhabiting western Mongolia, especially in the province of Bayan Olgii. Most of the wedding ceremonies here are held in Western (Russian) way, as it comes simpler and cheaper. In Kazakh wedding in Mongolia, vodka is always present. The father of this bride even held a cup of vodka in his hand, praying by reading Bismillah (in the name of Allah) to all guests. The mother of the bride then stood up, saying gratitude to all guests while wailing and weeping, and finished the vodka all at once. Pernikahan Muslim (Mongolia, 2009) Seorang pengantin Muslim Kazakh di ujung paling barat Mongolia sedang bersiap melangsungkan akad nikah. Pernikahan di sini lebih sering dilangsungkan dalam cara barat atau Rusia daripada cara tradisional (yang lebih rumit dan mahal). Dalam pernikahan Kazakh di Mongolia, vodka tidak boleh absen. Ayah pengantin perempuan ini bahkan sempat mengangkat secawan vodka, mengucap Bismillah irrahman irrahim, dan berterima kasih kepada semua tamu yang hadir. Disambung dengan ibunya yang berdiri, berterima kasih sampai menangis-nangis, dan menenggak habis satu cawan [...]

February 12, 2014 // 8 Comments

#1Pic1Day: Makan-Makan | Time to Eat (Mongolia, 2009)

Time to Eat (Mongolia, 2009) Kazakh people of Bayan Olgii, Western Mongolia are having lunch with a pile of sheep meat. The Kazakhs are predominantly Muslim minority groups inhabiting the westernmost part of Mongolia, especially in the province of Bayan Olgii. While eating, each of them bring a knife to cut the big pieces of meat, and they all eat from the very same big plate. Makan-Makan (Mongolia, 2009) Para minoritas Muslim Kazakh di provinsi Bayan Olgii, Mongolia Barat sedang menikmati makan siang berupa sebongkah daging domba besar. Masing-masing mereka membawa pisau, dan makan langsung dari piring besar yang sama. [...]

February 11, 2014 // 0 Comments

#1Pic1Day: Sang Pemburu Elang | The Eagle Hunter (Mongolia, 2009)

The Eagle Hunter (Mongolia, 2009) The Kazakhs are a minority groups inhabiting the westernmost part of Mongolia, especially in the province of Bayan Olgii. They are predominantly Muslims and still preserve the tradition of eagle hunting. The possession of eagle have been pride for the nomadic people since centuries ago, including Arabian sheikhs who are eager to pay any sum for the highest quality of eagles and falcons smuggled from Mongolia. As for the Mongolian Kazakh, eagles are used as weapon to hunt for foxes, and they got their eagles by kidnapping them from the wilderness. The fur hat wore by Kazakh hunters are made from fur of foxes’ legs they have hunted down. Once a year, Eagle Festival is held in the provincial capital of Olgii to preserve this almost-extinct ancient tradition. Sang Pemburu Elang (Mongolia, 2009) Bangsa Kazakh, minoritas Muslim yang mendiami wilayah bagian barat Mongolia (Provinsi Bayan Olgii) masih mempertahankan tradisi berburu dengan elang. Tradisi memelihara elang sudah berusia ratusan tahun dan merupakan kebanggaan bangsa-bangsa nomaden, termasuk para syeikh Arab yang sanggup membayar mahal untuk elang-elang dan rajawali berkualitas terbaik yang diselundupkan dari Mongolia. Bagi bangsa Kazakh Mongol, elang yang ditangkap dari alam liar adalah senjata mereka [...]

February 10, 2014 // 2 Comments

#1Pic1Day: Tibetan Muslim (China, 2010)

Tibetan Muslim (China, 2010) Tibetan Muslim women pass through Niujie Street in Beijing. Niujie (the “Ox Road”) is the biggest and oldest Muslim quarter in Beijing. China has dozens of Muslim ethnic groups, but the number of Muslims among Tibetans is actually very low. They inhabit some little villages in northern part of Tibet. Their costumes combine Tibetan dress with Islamic veil. These women came to Beijing as they are preparing to fly to Saudi Arabia for the annual holy pilgrimage. Muslim Tibet (China, 2010) Para perempuan Muslim Tibet sedang melintas di jalan Niujie, Beijing. Niujie (“Jalan Sapi”) merupakan daerah komunitas Muslim terbesar dan tertua di kota Beijing. China memiliki puluhan etnis minoritas yang menganut agama Islam, namun jumlah umat Muslim di kalangan etnis Tibet sangatlah minim. Mereka mendiami beberapa dusun kecil dan terpencil di bagian utara Tibet. Dalam hal berpakaian, mereka pun memadukan baju tradisi Tibet dengan kerudung. Para perempuan ini datang ke Beijing karena mereka bersiap terbang ke Mekkah untuk naik haji.     [...]

January 28, 2014 // 5 Comments

#1Pic1Day: Pemburu Elang | The Eagle Hunters (Olgii, Mongolia, 2009)

The Eagle Hunters (Olgii, Mongolia, 2009) The tradition of eagle hunting (burkutchu) is not about hunting eagles, but using eagle as their weapon when hunting in wilderness. Eagle hunting is regarded as unique tradition of the Kazakh (and also Kyrgyz) in Central Asia, but actually is better preserved in western Mongolia, where environment is comparatively less changed and the people is relatively more isolated to the outside world. Pemburu Elang (Olgii, Mongolia, 2009) Tradisi berburu elang (burkutchu) bukanlah untuk memburu elang, melainkan menggunakan elang sebagai senjata untuk berburu di alam liar. Berburu elang dianggap sebagai tradisi khas bangsa Kazakh (dan juga Kirgiz) di Asia Tengah, tetapi sebenarnya tradisi ini justru lebih terpelihara di Mongolia Barat, di mana alamnya masih relatif tidak terjamah, dan orang-orangnya relatif terisolasi dari dunia luar.           [...]

October 31, 2013 // 0 Comments

#1Pic1Day: Parade Bangsa | Parade of Nation (Olgii, Mongolia, 2009)

Parade of Nation (Olgii, Mongolia, 2009) The western province of Bayan Olgii in Mongolia is dominated by the Muslim Kazakh minority. They still preserve distinctive culture and are proud of their strong identity among the Mongolian community. Parade Bangsa (Olgii, Mongolia, 2009) Provinsi Bayan Olgii di Mongolia Barat didominasi bangsa minoritas Muslim Kazakh. Mereka masih mempertahankan kebudayaan khas dan identitas yang kuat di tengah masyarakat Mongol.         [...]

October 30, 2013 // 3 Comments

Garis Batas 95: Tangan Tuhan

Belajar menembak (AGUSTINUS WIBOWO) Saya ingat, tak sampai dua bulan yang lalu, saya datang ke KBRI Tashkent dengan bercucuran air mata. Empat ratus dolar saya tiba-tiba raib dari dompet, yang saya sendiri pun tak tahu bagaimana ceritanya. Ceroboh, ceroboh, ceroboh, saya memaki-maki sendiri. Satu per satu diplomat dan staf KBRI duduk di hadapan saya, memberikan penguatan. “Gus, mungkin Tuhan memang punya kehendak,” kata Pak Pur, seorang diplomat, “mungkin dengan kejadian ini Tuhan mengingatkan kamu supaya lebih rajin bekerja, lebih rajin memotret, lebih rajin menulis. Semua itu ada hikmahnya.” Pak Pur kemudian bercerita tentang puluhan ribu dolar yang dicuri orang waktu naik kereta di Rusia. Lebih sakit rasanya. Tetapi akhirnya beliau juga bisa mengikhlaskan. Bicara tentang Tuhan, mengapa Tuhan tak mengizinkan saya melanjutkan perjalanan lagi, saya ingin sekali melihat negeri-negeri Kaukasus yang dilupakan orang, eksotisnya padang pasir Timur Tengah, serta Afrika yang liar. Apa daya, Tuhan tak mengizinkan, uang saya tak banyak lagi tersisa. Empat ratus dolar, begitu besar artinya bagi saya. Mungkin Pak Pur benar, Tuhan berkehendak lain. Setelah meratap berhari-hari, saya akhirnya berusaha bangkit dari keterpurukan. Saya mencari lowongan kerja di sana-sini, mengontak kawan ini dan itu, hingga pada akhirnya, hari ini, saya tersenyum kecil melihat sebuah visa Afghanistan [...]

October 24, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 94: Kembali ke Dunia Normal

Pagi di Turkmenabat (AGUSTINUS WIBOWO) Eksodus. Lima hari di negeri yang penuh keanehan dan keajaiban sudah lebih dari cukup untuk mendorong setiap bintik sel dalam tubuh saya menggelegak, tak sabar lagi untuk kembali ke dunia normal. Ruhnama memang punya gaya gravitasi yang tiada duanya. Para penumpang kereta bak magnet tertarik ke arah saya, orang asing dari negeri seberang yang begitu khusyuk membaca Ruhnama. Ada yang antusias melantunkan lagu kebangsaan Turkmenistan, “Ciptaan agung Sang Turkmenbashi, tanah air, negeri berdaulat, Turkmenistan cahaya dan nyanyian jiwa, berjayalah selama-lamanya…” Saya jadi akrab dengan Kalkali, seorang tentara muda berumur 20 tahun. Dia adalah minoritas etnik Azeri, wajahnya tampan, alisnya tebal, hidungnya mancung, mata lebarnya hitam pekat, dan perawakannya sangat gagah perkasa. Orang-orang Azeri, pemilik negara Azerbaijan di seberang Laut Kaspia sana, adalah salah satu kaum minoritas terbesar di Turkmenistan. Kalkali bukan orang Turkmen biasa, dunianya bukan cuma Ruhnama. Dia sudah pergi ke Kyrgyzstan, Uzbekistan, India, Sri Lanka, sebagai atlet sepak bola nasional. “Saya juga sudah melihat dunia,” katanya bangga. Sekarang Kalkali jadi tentara. Semua pria Turkmen harus menjalani wajib militer selama dua tahun. Tentang kehidupannya sebagai tentara, Kalkali cuma bilang lumayan dan tidak terlalu buruk. Gajinya 5 dolar per bulan. Masih jauh lebih bagus daripada [...]

October 23, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 93: Histeria

Penuh sesak (AGUSTINUS WIBOWO) Sepeninggal Sang Pemimpin Agung, kehidupan di negeri Turkmenia perlahan-lahan kembali seperti sedia kala. Pengganti Turkmenbashi, Gurbanguly Berdimuhammedow, menjanjikan perubahan besar-besaran. Orang Turkmen sudah terbiasa dengan kehidupan macam ini bertahun-tahun. Tak ada yang mengharap perubahan drastis. Ruhnama masih tetap menjadi bacaan wajib, dan foto Turkmenbashi masih menjadi emblem semua saluran televisi. Turkmenistan, masih menjadi negerinya Turkmenbashi. Tetapi bayang-bayang Sang Turkmenbashi, tiga bulan setelah kematiannya, masih terlalu kuat. Foto-foto Gurbanguly perlahan-lahan mengisi sudut-sudut kota, dengan wajah, sorot mata, ekspresi, dan emosi yang mirip pendahulunya. Gurbanguly mungkin juga akan menjadi Turkmenbashi jilid II. Siapa tahu? Lima belas tahun telah membuat sebuah dunia Turkmenia, yang khas Turkmen dan hanya ada di Turkmenistan. Sebuah dunia utopia penuh fantasi yang tak akan pupus begitu saja sepeninggal Sang Pemimpin. Hari ini, dengan berat hati saya harus meninggalkan Kota Cinta Ashgabat, meninggalkan semua kenangan indah tentang kota antah berantah yang diciptakan oleh Sang Pemimpin. Kontras-kontras kehidupan yang sama sekali berlawanan tiba-tiba saja terpampang di hadapan saya. Sisi kehidupan berbeda yang diciptakan oleh Pemimpin yang sama. Hiruk pikuk lautan manusia yang memenuhi stasiun kereta Ashgabat sore ini. Mulai dari bisik-bisik, tangisan, hingga pekik lantang, semua terdengar bercampur baur mengisi [...]

October 22, 2013 // 5 Comments

1 2 3 4