Recommended

Ngari

Titik Nol 17: Patah Semangat

Semakin dekat ke Lhasa, jalan mulai beraspal.(AGUSTINUS WIBOWO) Sembilan puluh jam berlalu sejak saya berangkat dari kota Ngari. Hujan rintik-rintik turun di Lhasa. Ransel saya, yang disimpan di bagasi, terbungkus lumpur lengket setebal satu sentimeter. Kaki saya lemas, ditekuk sepanjang jalan. Yang paling parah, motivasi saya turut hancur. Sembilan puluh jam yang terbuang di atas bus sempit dan pengap sudah menggerogoti semangat berpetualang saya.. Perjalanan di Tibet tak mudah. Saya sungguh takut menghadapi lintasan yang selanjutnya membentang di hadapan saya – Lhasa, Shigatse, Gyantse, sampai ke Nepal. Masihkah saya punya cukup keberanian untuk menyelundup tanpa permit, main kucing-kucingan dengan tentara dan polisi, menumpang truk sepanjang jalan sampai ke batas akhir perjuangan? Tubuh saya yang remuk redam sudah tak ingin lagi bermain gila-gilaan. Mendung tebal yang menyelimuti kota Lhasa seakan mewakili isi hati. Banakshol Hotel adalah salah satu penginapan paling legendaris di Lhasa. Petualang asing dan dalam negeri menginap di losmen bergaya arsitektur Tibet. Nuansa backpacker ghetto ala Khao San Road (Bangkok) atau Phan Ngum Lao (Saigon) yang jarang dijumpai di tempat lain di negeri China, hidup di sini. Saya menginap di sebuah dormitory bersama Man Fai si turis Hong Kong dan seorang turis lain asal Inggris yang hendak berangkat ke [...]

May 23, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 15: Balik Haluan

Peliharalah persatuan bangsa, lawanlah perpecahan bangsa. (AGUSTINUS WIBOWO) Peruntungan saya mungkin memang tidak terlalu baik. Sampai pukul lima sore, di bawah bayang-bayang wajah tergores Gunung Kailash matahari masih panas menyengat, saya memutusukan untuk balik haluan. Kembali ke Darchen, lalu Ngari, kemudian dari sana baru cari bus ke Lhasa. Sudah seharian saya menunggu ke Barga, tak ada satu pun kendaraan yang lewat dari arah mana pun. Man Fai, si turis Hong Kong, sudah menampakkan wajah pasrah. Dahinya mengilap, kumis tipisnya tak karuan. Senyumnya sangat aneh. Tanda-tanda backpacker putus asa. Saya pun tak jauh beda sebenarnya. Sekali lagi, debu mengepul di kejauhan. Ini kendaraan ketiga yang datang dari arah Burang di selatan menuju ke Darchen atau Ngari di utara. Sebenarnya bukan tujuan kami, tetapi nampaknya cuma ini pilihan kami satu-satunya. “Saya sudah tidak mau menginap lagi di sini,” kata Man Fai, “saya harus cepat-cepat ke Lhasa. Waktu saya sudah tinggal sedikit. Tidak tahu lagi kalau menunggu di sini kapan akan ada kendaraan menuju ke Lhasa. Hao nan shuo…. Susah dikata…” Sama sepertinya, saya pun tak punya waktu banyak dengan visa China saya yang tinggal hanya dua minggu lagi. Walaupun bus ini bukan yang kami tunggu, tetapi melihat sebuah kendaraan sebesar ini terhenti [...]

May 21, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 8: Polisi

Kota Ngari di ujung barat Tibet dihuni oleh mayoritas penduduk etnis Han dari pedalaman China. (AGUSTINUS WIBOWO) Sungguh tak enak rasanya menjadi pencuri. Saya yang masuk tanpa izin sama sekali ke daerah terlarang ini, sekarang malah duduk satu mobil bersama polisi China. Terminal bus kota Ngari, seperti sebelumnya, sepi. Tempat ini jauh dari mana-mana. Jangankan ke Beijing yang dipisahkan ribuan kilometer di balik puncak gunung salju dan padang gurun luas, dari sini ke Lhasa pun butuh perjalanan berhari-hari melintasi medan yang berat. Pintu keluar Ngari yang paling dekat adalah propinsi Xinjiang di utara, itu pun dua hari perjalanan melewati Parit Kematian. Tetapi terlepas dari keterpencilannya, Ngari justru paling dekat dengan ‘Pusat Dunia’. Sekitar tiga ratus kilometer di selatan Ngari, Gunung Kailash yang dimuliakan umat berbagai agama berdiri dengan gagah. Ke sanalah tujuan saya berikutnya. Harga angkutan di Tibet terbilang mahal. Untuk jarak Ngari sampai Kailash, harga karcisnya 230 Yuan. Kalau orang asing lebih mahal lagi, 300 Yuan. Untunglah saya masih bisa menyamar sebagai orang Tiongkok. Tetapi Seum dan Kim dengan bahasa kemampuan bahasa Mandarin yang pas-pasan, terpaksa membayar lebih. Kami bertiga duduk berimpitan di baris paling belakang. Sejatinya jip ini cuma muat tujuh penumpang, tetapi semua dijejalkan sampai sepuluh. Bagasi [...]

May 12, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 7: Penantian di Pinggir Jalan

Tas ransel tergeletak di jalan. Pemiliknya menanti dalam keputusasaan. (AGUSTINUS WIBOWO) Lengang. Kami berempat menanti dalam ketidakpastian. Tak ada manusia, tak ada kendaraan yang melintas. Kerajaan yang hilang itu tersembunyi di balik gunung-gunung tinggi sana. Pria Jerman berjaket merah ini bernama Hans, seorang trekker sejati. Umurnya sudah mendekati lima puluhan, tetapi keberanian dan ketangguhannya melebihi orang muda sekalipun. Seorang diri ia sudah mengelilingi Tibet selama tiga bulan, mendaki gunung-gunung dan merambah tempat-tempat tersembunyi. Zanda, kerajaan Guge, termasuk tempat terakhir yang belum disentuhnya di tanah Tibet. Hans bisa sedikit bahasa Mandarin. Bertualang di Tibet sebagai seorang laowai – bule – sangat tidak mudah. “Hitchhike – menumpang truk – sangat susah. Sopir truk kebanyakan tak berani mengangkut laowai, karena kalau tertangkap polisi mereka akan didenda mahal.” Untuk soal permit Tibet, Hans lebih memilih mematuhi hukum. Tetapi itu pun tak mudah. Aturan di Tibet berubah setiap saat. Tidak ada yang tahu aturan apa yang sedang berlaku. Permit yang sudah dibeli mahal-mahal pun bisa jadi tak berlaku di tempat lain. Sekarang pada permit yang dipegang Hans pun tak tercantum nama Ngari, yang artinya ia pun pelancong ilegal. Hans punya segudang nasihat terhadap para pelancong ilegal seperti kami. “Berhati-hatilah, di Barga nanti ada pos pemeriksaan [...]

May 9, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 6: Kerajaan yang Hilang

Pagi hari di Ngari, ketika gunung-gunung salju bersinar kemerahan dibilas mentari. (AGUSTINUS WIBOWO) Mashang, segera, dalam konsep sopir truk Uyghur ini ekuivalen dengan menunggu delapan jam. Truk merek Dongfeng – asli buatan China – baru berangkat meninggalkan Rutog menjelang malam setelah penantian dari siang tadi. Saya duduk berdesakan di bangku sempit sebelah sopir. Saya tak sendiri. Ada Ilya, seorang pesepeda dari Italia. Tibet memang surga bagi para pesepeda. Banyak yang datang jauh-jauh dari Eropa, menempuh perjalanan dengan sepeda melintasi Rusia dan Asia Tengah, masuk Tibet hingga ke Nepal dan India, atau berbelok ke Vietnam dan Asia Tenggara. Di mana-mana saya melihat pesepeda. Bukan hanya orang asing, pemuda-pemudi China pun sudah menempuh perjalanan keliling negara mereka yang luar biasa luasnya, hanya dengan sepeda. Lima tahun lalu, kegiatan menjelajah masih belum terlalu populer di kalangan generasi muda China. Anak muda yang saya temui di universitas semua sibuk belajar untuk meraih beasiswa ke luar negeri. Cita-cita mereka – melihat dunia luar. Waktu itu dengan paspor China sungguh sulit bisa ke luar negeri. Negara-negara lain tak mau memberi visa. Semuanya penuh perjuangan. Sekarang, ketika perekonomian sudah mulai maju, bocah-bocah dari kelas menengah sudah mengenal gaya hidup backpacking. Belajar giat, tetap. Tetapi waktu liburan juga [...]

May 8, 2014 // 1 Comment