Recommended

Pamir

#1Pic1Day: Perjalanan Mematikan | Perilous Journey (Little Pamir, Afghanistan, 2008)

   Perilous Journey (Little Pamir, Afghanistan, 2008) Pamir was supposed to be winter settlement of the Kyrgyz herdsmen, before the international borderline dividing Afghanistan with British India and Soviet Union was fixed. Once the border was enforced, the Kyrgyz were locked in Pamir for all seasons through the year. The road to Little Pamir, used to pass through some easier paths in today’s Tajikistan, now is 5-day journey on horseback through the perilous steep paths next to high cliffs. Perjalanan Mematikan (Pamir Kecil, Afghanistan, 2008) Pamir seharusnya adalah lokasi permukiman musim dingin dari masyarakat gembala Kirgiz, sebelum ditetapkannya perbatasan internasional yang memisahkan Afghanistan dari British India dan Uni Soviet. Setelah perbatasan diberlakukan, para nomaden Kirgiz terkunci di Pamir untuk keempat musim sepanjang tahun. Jalan menuju Pamir Kecil, dulunya adalah lintasan yang jauh lebih mudah di wilayah yang sekarang Tajikistan, tetapi kini berupa perjalanan mematikan lima hari berkuda melintasi jalan setapak yang curam di pinggir [...]

October 8, 2013 // 6 Comments

#1Pic1Day: Danau Agung | The Great Lake (Little Pamir, Afghanistan, 2008)

The Great Lake (Little Pamir, Afghanistan, 2008) Lake Chaqmaqtin, the second biggest lake in Afghan Pamir after Zor Kol or Lake Victoria, is the water source of Murghab River. The lake is 9 kilometer and 2 kilometer in size. The lake water provides life to several nomadic Kirghiz settlements nearby. The north bank of the water body is the winter settlements while the south bank is for summer period. Behind the snow-capped mountains at the north side is Tajikistan’s Gorno Badakhshan Autonomous Oblast region. Danau Agung (Pamir Kecil, Afghanistan, 2008) Danau Chaqmaqtin, danau terbesar kedua di Pamir Afghan setelah Danau Victoria (Zor Kol), adalah sumber air utama bagi Sungai Murghab yang mengaliri Pamir di sisi Afghanistan maupun Tajikistan. Danau ini panjangnya 9 kilometer dan lebarnya 2 kilometer. Air danau menghidupi sejumlah permukiman nomaden Kirgiz di sekitarnya. Sisi utara danau adalah daerah permukiman di musim dingin, sedangkan sisi selatan danau adalah untuk musim panas. Di belakang pegunungan bertudung salju di sebelah utara danau itu adalah wilayah Tajikistan. [...]

October 7, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 78: Pulang

Batas negara tak lagi berarti dari angkasa raya. (AGUSTINUS WIBOWO) Baru saja saya bernafas lega karena visa Iran sudah di genggaman, dan visa Turkmenistan sedang diproses, tiba-tiba sebuah SMS singkat dari Indonesia membuyarkan rencana perjalanan saya. “Papa mau kamu pulang Tahun Baru Imlek ini. Kami ada yang mau dibicarakan,” demikian bunyinya. Singkat, tetapi cukup mendebarkan jantung. Ayah yang selama ini tidak pernah meminta apa-apa dari saya, kali ini memohon saya dengan sangat untuk – pulang. Ya, pulang ke kampung halaman, mencari pekerjaan dan menetap di Indonesia, mengakhiri perjalanan di belantara Asia Tengah. Ayah baru-baru ini kena serangan jantung, dan saya tidak tega untuk tidak memenuhi permintaannya. “Kamu pulang saja, memang mau bagaimana lagi? Sebelum kamu menyesal seumur hidup, Gus,” demikian mbak Rosalina Tobing, kawan dekat saya di KBRI Tashkent, menganjurkan saya untuk segera membeli tiket ke Kuala Lumpur. Kebetulan sedang ada promosi dari Uzbekistan Airways, harga tiket ke Malaysia hanya 299 dolar. Singkat cerita, saya sudah di Bandara Internasional Tashkent. Petugas imigrasi Uzbekistan memang sudah tersohor korupnya, semakin ganas dengan rumitnya birokrasi negara ini. Berbekal ‘surat sakti’ dari KBRI pun masih belum menenangkan hati saya. Saya terus memanjatkan doa, melewati pos demi pos. Pos terakhir yang paling saya takuti, pos [...]

October 1, 2013 // 11 Comments

Garis Batas 64: Di Sini Sutra di Sana Sutra

Selamat datang di negeri sutra (AGUSTINUS WIBOWO) Saya menghela nafas lega ketika berhasil melepaskan diri dari Halim, yang masih ingin terus menempel ke mana pun saya pergi. Tetapi, petualangan kemarin ke kantor polisi cukup sudah, dan saya tidak mau setiap malam harus tidur merangkul erat-erat tas kamera. Akhirnya Halim hanya minta 5.000 Sum untuk ongkos pulang, dan pergi dengan tertunduk lesu. Masih dengan jantung yang berdebar-debar, saya memutuskan melanjutkan perjalanan untuk menemukan apa yang saya cari-cari selama ini. Kota Ferghana adalah kota besar di seluruh Lembah Ferghana, dengan barisan gedung yang semuanya berbentuk kotak, di pinggir jalan yang diteduhi pohon-pohon rindang. Tetapi Lembah Ferghana, bukan hanya kota Ferghana. Orang yang datang ke sini pasti bertanya-tanya, “Mana lembahnya?” Sejauh mata memandang, ke segala penjuru, tak tampak sama sekali gunung apa pun. Lembah ini luas sekali, sampai 22 ribu kilometer persegi, sampai orang pun lupa berada di lembah.  Kota-kota berdiri di dasar lembah, mulai dari Margilan kota Sutra, Andijan tempat lahirnya Raja Babur, hingga Kokand kesultanan agung Asia Tengah, semakin menyemarakkan lintasan sejarah Uzbekistan. Lembah Ferghana ini adalah salah satu perhentian utama di zaman Jalan Sutra, oasis bagi karavan-karavan unta berduyun-duyun melintasi gunung-gunung surgawi, barisan Pegunungan Tien Shan dan Pamir, membawa segala [...]

September 11, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 35: Pelarian

Sumpit tak pernah absen di meja makan keluarga Dungan (AGUSTINUS WIBOWO) Bagaimana bangsa Dungan bisa sampai di sebuah desa mungil di pelosok negeri Kirghiz ini? Di negeri ini, identitas mereka sebagai bangsa minoritas sering dipertanyakan. Mereka meninggalkan negeri leluhur di Tiongkok sana dalam sebuah pelarian, meninggalkan bentrokan identitas yang kini disusul pergesekan identitas yang lain. Apakah identitas itu? Anda bisa menjadi seorang bapak, seorang pegawai kantor, seorang warga Jakarta, warga Indonesia, seorang Muslim, seorang pendukung globalisasi, atau seorang pendukung emansipasi wanita, sekaligus pada saat bersamaan. Seorang manusia bisa punya sejumlah identitas sekaligus, ada yang saling mendukung, ada yang saling bergesek.  Demikian pula halnya dengan bangsa. Ada jati diri yang menyatukan beribu manusia yang menyatakan diri sebagai anggota dari golongan yang sama. Di Asia Tengah, pertanyaan tentang identitas suku bangsa semakin kompleks ketika Uni Soviet memutuskan untuk memecah dataran luas ini menjadi beberapa negeri Stan, yang masing-masing dihuni oleh suku-suku yang bersama-sama lahir dalam pencarian identitasnya masing-masing. Apa itu Kirghiz? Siapa itu Uzbek dan Tajik? Pertanyaan-pertanyaan ini baru muncul tak sampai seabad lalu ketika garis-garis batas negara mulai dicoret-coret di atas peta kawasan ini. Pencarian identitas semakin rumit, karena Asia Tengah tidak dihuni oleh lima suku bangsa yang sudah jelas definisi [...]

August 1, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 21: Danau Kematian

Karakul, danau besar di puncak atap dunia, adalah sebuah danau raksasa. Tak ada kehidupan di dalamnya.  Dalam bahasa Kirghiz, Karakul berarti danau hitam. Danaunya sendiri tidak hitam, malah biru kelam memantulkan warna langit yang cerah. Yang hitam adalah kehidupannya. Dalam danau yang sangat asin ini, tak ada satu pun makhluk yang bisa hidup. Danau ini tercipta oleh sebuah meteor yang jatuh menghantam bumi, jutaan tahun silam. Biksu Buddha Xuanzang, ribuan tahun yang lalu, pernah lewat sini. Marco Polo pun pernah melintas. Kini, danau ini masih menyimpan misteri dalam keheningannya. Di dekat danau ada sebuah dusun kecil. Penduduknya berasal dari etnis Kirghiz , hanya ada satu orang Tajik. Saya sebenarnya dikenalkan oleh orang-orang di Murghab untuk menginap di rumah orang Tajik yang polisi ini. Tetapi, ketika saya sampai di Karakul, si polisi sudah tidak tinggal di sini lagi. Saya pun menginap di sebuah rumah keluarga Kirghiz yang memang sudah dipersiapkan oleh organisasi Perancis, Acted, di Murghab, sebagai losmen untuk melayani orang asing. Keluarga ini tidak bisa bahasa Tajik, tetapi si suami bisa sedikit-sedikit. Setidaknya mereka bisa menyanyikan lagu kebangsaan Tajikistan dengan bangga, “Zindabosh e vatan Tajikistan e azadi man…,” walaupun tidak tahu artinya sama sekali. Tildahan, istrinya, seorang wanita muda yang [...]

June 9, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 19: Di Atas Reruntuhan Mimpi

Gulnoro dan kesusahan hidupnya. (AGUSTINUS WIBOWO) Murghab memang didirikan di atas sebuah mimpi: sebuah kota perbatasan Uni Soviet yang tangguh di puncak pegunungan Pamir. Orang-orang dari lembah Wakhan, Shegnon, bahkan Kyrgyzstan, datang ke sini untuk membangun harapan dan impian itu. Tetapi negeri impian tidak selalu indah. Kota ini terisolasi dari dunia luar setelah perang saudara meletus di negara baru Tajikistan. Penduduk bukan hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga tak punya makanan. Mereka tak seberuntung orang-orang desa yang masih bertahan hidup dari ladang-ladang dan kebun. Di Murghab, orang hanya punya sepetak rumah. Tak ada uang, berarti juga tak ada makanan. Saya menginap di rumah Gulnoro, wanita berumur 54 tahun, adik khalifa Yodgor dari desa Langar. Gulnoro sudah lama sekali tidak melihat kakaknya. Terakhir kali dua tahun lalu. Jarak dari Murghab ke Langar tak lebih 270 kilometer, tetapi paling murah orang harus membayar 50 Somoni, sekitar 15 dollar. Sedangkan gaji Gulnoro sebagai guru sekolah dasar hanya 80 Somoni per bulan, itu pun masih berat untuk menghidupi keluarganya. Pulang kampung ke Langar adalah prioritas kesekian dari tumpukan tuntutan hidup. Suami Gulnoro tidak bekerja. Beig, 56 tahun, sudah hampir setahun ini menganggur. Dulu dia bekerja di Rusia. Karena kemiskinan negerinya, banyak sekali pria-pria Tajik yang [...]

June 9, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 18: Kisah Seorang Geologis dari Murghab

Komplek rumah bobrok dan kosong di pinggiran Murghab. [AGUSTINUS WIBOWO] Barisan rumah muram dengan bayang-bayangnya yang seram menyambut kami ketika tiba di komplek perumahan yang ditinggali Dudkhoda di pinggiran kota Murghab. Seperti rumah hantu, lusinan rumah reyot yang atapnya ambruk dengan dinding yang mengelupas berbaris dan bersaf di komplek ini. Sepertinya hanya keluarga Dudkhoda yang tinggal di tempat ini. Rumah-rumah lain tak berpenghuni. Tetapi, barisan rumah yang hampir rubuh ini mengajarkan sesuatu yang paling berharga dalam perjalanan saya ke Murghab. Tentang cinta dan pengharapan. Rumah Dudkhoda hanyalah sepetak ruangan berukuran 3 kali 4 meter yang dihuninya bersama istri dan dua orang anaknya, ditambah seekor kucing kecil. “Musim dingin di Murghab sini dingin sekali, jadi rumah kecil itu yang bagus,” Dudkhoda beralasan menutupi kekurangannya. Puterinya yang baru berumur 9 tahun langsung sibuk mengiris kentang yang dibawa ayahnya ketika saya dan rombongan supir-supir truk Kyrgyzstan datang. Istrinya menyiapkan penggorengan penuh dengan minyak. Para supir dan kernet dari Kyrgyzstan duduk mengelilingi meja kecil. Tak ada listrik. Mata orang-orang Kirghiz berkelap-kelip memantulkan sinar lampu petromaks yang menggantung di langit-langit. Saya menangkap rasa lapar yang amat sangat  di mata itu. Dudkhoda menyiapkan sepoci teh hijau. Tak ada gula. Ia tak punya uang. Harga gula mahal, [...]

June 9, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 15: Tajikistan Sudah Kuat

Pembukaan jembatan Afghanistan – Tajikistan. Tilo dan seorang komandan Tajik bernegosiasi dengan para pejabat Afghan di tengah jembatan. (AGUSTINUS WIBOWO) Impian orang-orang desa, baik di Tajikistan sini maupun di Afghanistan sana, tentang sebuah pertemuan kembali, masih berupa impian. Bazaar bersama yang disambut dengan penuh suka cita itu ternyata hanya buka sekali saja. Jembatan kembali disegel, dijaga ketat oleh penjaga perbatasan yang tak kenal kompromi. Tiga bulan lalu, saya mengintip-ngintip Tajikistan dari seberang sana. Bersama dengan para petinggi Afghan yang penuh dengan mimpi dan harapan. Saya melihat secuil Tajikistan: beberapa tentara Tajik yang dengan fasih berbicara bahasa Persia, menandatangani surat-surat dan mengucapkan selamat kepada Shah dari Panjah. Saya datang kembali ke jembatan ini. Kali ini dari sisi Tajikistan, mengintip-intip Afghanistan yang berupa barisan gunung gundul di seberang sana. Tempat ini sepi. Mati. Tentara perbatasan Tajikistan menjaga rapat-rapat pintu gerbang menuju jembatan. Mereka juga perlahan-lahan dibunuh kesepian dan kebosanan. Tentunya tentara-tentara muda ini datang ke sini bukan karena pilihan mereka. Sebagian besar mereka datang dari tempat-tempat yang jauh. Ada yang dari kota modern Dushanbe, ada yang dari kota Khojand jauh di utara sana. Mereka datang ke sini karena terpaksa. Anak-anak muda ini sedang menjalani wajib militer. Di Tajikistan semua pemuda wajib mengikuti [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 12: Eid Mubarak

Di dalam Rumah Pamiri (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan dua jam dengan angkutan umum membawa saya ke desa Tughoz, tak jauh dari Ishkashim. Perjalanan ini menyusuri tepian Sungai Amu, perbatasan dengan Afghanistan. Seiris Afghanistan yang berada di seberang sana adalah Lembah Wakhan yang damai dan tenang. Pedesaan yang tidak pernah tersentuh hingar bingarnya perang dan pertumpahan darah di seluruh negeri. Gunung-gunung berbungkus salju seakan tidak berhenti sambung-menyambung. Desa-desa hijau di kaki gunung berhadap-hadapan dengan desa-desanya Tajikistan seperti bayangan cermin. Tetapi refleksi kehidupan yang di seberang sana, hidup dalam zamannya sendiri. Jalan beraspal dari Ishkashim memang sangat nyaman dilewati dengan mobil. Saya teringat, tiga bulan yang lalu ketika saya berada di seberang sungai sana, di Afghanistan, perjalanan dengan jarak seperti ini harus ditempuh sehari penuh. Berkali-kali mobil yang saya tumpangi tersangkut aliran sungai, karena jalan berdebu tak beraspal seringkali diterjang banjir lelehan salju di puncak gunung. Naik mobil di sana hanya satu setrip saja lebih cepat daripada naik keledai. Di Tajikistan sini, orang tidak perlu bersusah payah naik keledai untuk menempuh perjalanan seperti ini. Mobil tersedia. Yang tidak ada cuma uang dan bensin. Tuloyev Aliboy Jumakhanovich, 33 tahun, misalnya. Dia dulunya adalah supir, tetapi sekarang jadi penumpang yang duduk di samping saya. Dia [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 11: Sarandip=Indonesia?

Alisher dan keponakannya. (AGUSTINUS WIBOWO) “Sekarang kamu bukan tamu lagi. Kamu sudah bagian dari keluarga ini. Mari masuk!” kata Muhammad Bodurbekov, alias Alisher, ramah. Sudah beberapa hari ini saya menginap di rumah Alisher, tinggal di rumah Pamirinya yang indah. Tetapi pagi ini Alisher tidak lagi mengantar sarapan pagi saya ke chid atau Rumah Pamiri, melainkan mengajak saya ke bergabung dengan ibu dan adik perempuannya. Sarapan pagi orang Wakhan adalah shir choy, teh susu yang dicampur dengan mentega dan minyak. Rasanya asin. Dicampur dengan roti yang disobek kecil-kecil, diaduk-aduk dengan sendok, dan dihirup panas-panas. “Ini adalah sarapan yang luar biasa energinya, bahkan para pejuang zaman dulu cukup makan semangkuk shir choy sebelum berperang,” ucap Alisher. Bagian Rumah Pamiri di rumah Alisher memang tradisional dan cantik. Tetapi ruang keluarga, tempat di mana Alisher sekarang mengajak saya menikmati sarapan, lebih kecil dan hangat. Di ruangan kecil ini tinggal bersama bapak, ibu, adik perempuan, dan beberapa orang keponakan si Alisher. Adik perempuan Alisher, bersuamikan orang dusun Shegnon, pulang kampung ke Ishkashim untuk melahirkan. Menurut tradisi orang Shegnon, bayi pertama harus dilahirkan di rumah keluarga ibu. Alisher sekarang menggendong-gendong keponakannya yang masih orok. Bayi itu dibungkus kain berhias manik-manik, dan terbaring di atas guwara, ayunan [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 10: Selamat Datang di Rumah Pamiri

Seorang bocah Tajik di Istaravshan di dalam musholla. (AGUSTINUS WIBOWO) Muhammad Bodurbekov, penumpang satu mobil dari Khorog, membawa saya ke rumahnya di Ishkashim. Rumah Muhammad adalah rumah tradisional Pamiri, dalam bahasa setempat disebut Chid. Karakteristik utamanya adalah adanya lima pilar penyangga ruangan, masing-masing melambangkan Muhammad, Ali, Bibi Fatima, Hassan dan Hussain. Angka lima melambangkan jumlah rukun Islam. Bentuk rumah seperti ini sama dengan rumah-rumah orang Ismaili di Pakistan Utara dan Afghanistan. Rumah adat Pamir sebenarnya sudah ada jauh sebelum datangnya Islam. Simbol-simbol Islam menggantikan simbol-simbol agama kuno Zoroastrian (Zardusht), di mana kelima pilar melambangkan dewa-dewa Surush, Mehr, Anahita, Zamyod, dan Ozar. Karakter lain rumah tradisional Pamir adalah adanya lubang jendela di atap, tempat menyeruaknya sinar matahari menyinari seluruh penjuru ruangan. Jendela ini bersudut empat, melambangkan empat elemen dasar: api, udara, bumi, dan air. Dibandingkan rumah-rumah orang Tajik Ismaili di Pakistan dan Afghanistan, memang rumah di Tajikistan ini jauh lebih modern. Lubang di tengah ruangan sudah tidak lagi digunakan untuk memasak, tetapi lebih sebagai dekorasi saja. Dindingnya dicat rapi, dihiasi dengan karpet-karpet indah, poster, dan foto keluarga. Lantainya dari kayu, dipelitur mengkilap. Di setiap ruangan selalu dipasang foto Aga Khan, pemimpin spiritual Ismaili yang didewakan sebagai penyelamat hidup di GBAO. Ada [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 9: Mengintip Afghanistan

Afghanistan, di seberang sungai, terlihat dari Tajikistan. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya menumpang sebuah jeep kecil dari Khorog menuju Ishkashim, melalui jalan beraspal di tepian sungai Amu Darya. Jaraknya cuma 106 kilometer, tetapi karcisnya 20 Somoni (6 dollar). Itu pun harus menunggu berjam-jam di terminal karena tidak ada penumpang. Di negara ini, orang hampir-hampir tidak punya uang sama sekali, tetapi harga-harga sangat mahal. Sepanjang jalan, di seberang sungai di sebelah kanan sana, adalah propinsi Badakhshan Afghanistan. Sungainya sendiri, di bulan Oktober yang sudah mulai dingin ini, menjelma jadi sungai kecil yang hanya sekitar 20 meter saja lebarnya. Tetapi bagaimana pun kecilnya, ini adalah pemisah dua dunia. Ketika kami menyusuri jalan beraspal mulus dalam sebuah jeep Rusia tua, di seberang sungai sana yang nampak hanya jalan setapak di punggung-punggung gunung. Saya melihat beberapa pria berjubah dan bersurban duduk dengan nyaman di atas keledai. Sesosok tubuh wanita dibungkus rapat-rapat dengan burqa putih, menunggang keledai dengan pasrah mengikuti sang suami. Sedangkan di sini penumpang jeep duduk bersebelah-sebelahan, tak peduli pria wanita, bersenda gurau sepanjang jalan dan bernyanyi-nyanyi. Di sini, di sepanjang jalan saya melihat tiang listrik berbaris, sambung-menyambung. Di seberang sana, tak ada apa-apa lagi selain debu dan rumput yang mulai menguning. Afghanistan nampak gamblang [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 8: Khorog, Pejuangan dari Balik Gunung

Khorog, ibu kota provinsi GBAO (AGUSTINUS WIBOWO) Khorog, ibu kota propinsi GBAO, adalah sebuah kota kecil yang tenang dan sunyi di bawah teduhnya gunung-gunung raksasa. Walaupun berhadapan langsung dengan Afghanistan dan polisi, tentara, agen KGB berkeliaran di mana-mana, suasana di Khorog masih tetap lengang dan santai. Sejuknya udara pegunungan memang membuat malas. Tidak ada pengemis, gelandangan, pedagang asongan, pencopet, pengamen, dan simbol-simbol kemiskinan lainnya. Rumah-rumah mungil tertata tanpa maksud menantang gunung-gunung raksasa yang mengililingi, terjalin seperti sulaman, tidak berpagar rapat, dengan pekarangan sambung-menyambung. Orang bebas masuk-masuk ke halaman tetangga. Tidak ada ketakutan yang memagari hubungan manusia dengan lingkungannya. Mungkin yang paling mengganggu hanya anjing-anjing besar yang sering berkelahi atau mengejar-ngejar sapi malang. Tetapi gambaran Khorog yang tenang dan damai adalah sebuah ironi dari kisah kegagalan sebuah negara muda. Ketika perang saudara meletus, seluruh propinsi GBAO memproklamirkan kemerdekaan, yang segera dibalas oleh Dushanbe dengan isolasi total. Jalan menuju GBAO ditutup. Blokade diberlakukan. GBAO adalah daerah pegunungan, di mana puncak-puncak raksasa seakan saling berlomba menggapai angkasa dan orang harus mendongakkan kepala untuk melihat birunya langit. Tidak banyak lahan yang tersisa untuk pertanian. Musim dingin sangat menggigit. Sumber air bersih memang melimpah, tetapi tidak untuk bahan bakar [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Lion Air Magazine (2009): Surga di Bumi Afghan

May 2009 LionMag SURGA DI BUMI AFGHAN Teks dan foto-foto: Agustinus Wibowo Adakah surga di Afghanistan? Lupakan gurun tandus dan desingan badai pasir. Lupakan perang, mayat bergelimpangan, ledakan bom. Di sini yang ada hanya kesunyian dan kedamaian di padang rumput hijau membentang, dikelilingi gunung bertudung salju yang bagaikan dinding berjajar di segala arah. Danau biru hening memantulkan kelamnya langit. Anak gembala mengiring kawanan ratusan domba dan yak, perlahan melintasi gunung cadas.   Pegunungan Pamir boleh jadi adalah tempat paling terpencil di negara ini. Letaknya di ujung terjauh di timur laut, dikelilingi oleh Cina, Tajikistan, dan Pakistan. Orang lebih mengenalnya dengan nama Atap Dunia di mana awan begitu rendah, nyaris tergapai. Di sini waktu pun seperti berhenti mengalir. Bangsa pengembara tinggal di kemah bundar, berpindah-pindah padang seiring bergantinya musim, mencari mata air dan rumput untuk menghidupi mereka sepanjang tahun. Ini adalah cara hidup yang sama seperti nenek moyang mereka ratusan tahun silam. Surga –kalau boleh kedamaian di tengah kecamuk perang Afghanistan ini disebut– sungguh tak mudah dijangkau. Ketika di zaman modern ini pesawat terbang sudah mewujudkan fantasi manusia untuk menjelajah bumi dengan kecepatan seribuan kilometer per jam, di pegunungan ini perjalanan masih berarti merayap perlahan di atas punggung kuda atau keledai [...]

May 11, 2009 // 16 Comments

Exposure Magazine (2009): Menggapai Negeri Atap Dunia

EXPOSURE MAGAZINE (DECEMBER 2008) MENGGAPAI NEGERI ATAP DUNIA “Tempat ini demikian tingginya, hingga burung pun tak mampu terbang ke sana,” demikian Marco Polo melukiskan barisan pegunungan ini. Kabut menyelimuti taburan kemah putih bundar suku nomaden. Lenguhan keras yak bertanduk raksasa menggemakan keangkuhan gunung padas. Sungai deras mengalir, padang hijau membentang, danau biru kelam menyemburatkan misteri, rintik salju mengguyur perlahan. Anak-anak bermain bola ditelan awan. Sunyi. Damai. Mistis. Inilah musim panas di Pamir, atap dunia di ujung paling terpencil negeri Afghan, pada ketinggian 4.300 meter. Di sini salju bisa turun kapan saja. Sepanjang musim, sepanjang tahun. Manakala ibukota Kabul terbakar oleh mentari bulan Juli, saya di Pamir harus meringkuk di tepi perapian, menghirup segarnya susu yak bersama potongan daging kambing rebus sebesar lengan. Yang tinggal di alam yang tak bersahabat ini adalah bangsa Kirghiz, bangsa minoritas di Afghanistan, yang masih mempraktikkan cara hidup nomaden yang hampir punah di penjuru mana pun di muka bumi ini. Kaum prianya adalah penunggang kuda yang jempolan. Kaum perempuannya berpakaian merah menyala, lengkap dengan lusinan kalung, gelang, dan pernak-pernik yang berat. Yang masih gadis bertudung merah. Yang sudah menikah berkerudung putih, seperti salju yang menangkupi puncakpuncak gunung raksasa yang menjulang di sekeliling. Mereka hidup dalam roda [...]

December 13, 2008 // 1 Comment

Karakul – the Giant Death Lake

The giant death lake of Kara Kul. Karakul in Kyrgyz language means ‘black lake’. The lake itself is not black. In fact, this huge water body was deep blue when the sky is friendly, and turns to be grey when the sun chooses to hide behind the clouds. But the life is as dark as its name. There is no life at all in this huge lake. The lake has high concentration of salt. But despite of the salt, the lake also freezes in winter. The village next to the lake, bears the same name, is a Kyrgyz settlement with only one Tajik man inhabitant – a policeman. I was supposed to stay with the Tajik policeman, as it’s the only chance for me to communicate with my Persian knowledge. But when I arrived there, the Tajik man had left to Khorog. I stayed with a Kyrgyz family, an Acted-arranged guest house. They don’t speak Tajik, but the husband know little bit and can sing the national anthem proudly, “Zindabosh e vatan Tajikistan e azadi man (Long Live o Fatherland, My Free Tajikistan!)” He didn’t understand the meaning of the proud anthem though. Tildahan, the wife, is a young woman, [...]

November 2, 2006 // 0 Comments

Murghab – The Dudkhoda’s Family

Boys of Murghab, in front of Tajik banner with the tricolor flag and coat-of-arms, of which important element is a snow mountain “Pamir will be better…. Pamir will be better….” – Dudkhoda My first impression of this 39 year old Tajik man was really not so good. this man tried to hug me and kiss me when I was sleeping next to him under the same blanket on the floor in the Kyrgyz restaurant in alichur packed by the Kyrgyz drivers. He also made me to pay his bills in the restaurant. But later I found that he had story worth to tell. He arranged for me a seat in the Kyrgyz truck, along with him, who returned to his home in Murghab. He was actually a passenger of the truck, not being able to pay the ride with money but offered the drivers a dinner in his hosue in Murghab. I came along with him, sitting along the way to Murghab (100 km) for free. Just near Murghab, there were two military checkpoint. The Kyrgyz drivers failed to do registration and they became easy target of the military man in the small dormitory. “Hey, brother, you should follow the [...]

October 29, 2006 // 0 Comments

Alichur – Kyrgyz Community

The steppe of Alichur Actually I planned to stay for some more days in Langar, but I have heard that the transport onward to Murghab would be very difficult to get. This was caused by the high oil price, so people couldnt afford anymore to travel, and instead of going to smaller and hopeless Murghab they opted to bigger Khorog. Suddenly, even when I was not prepared yet, there was a passenger jeep going to Murghab on 27th. The khalifa told me if I didnt take this car, the next transport might be a month after. I had no choice but to leave Langar. The road continued to east along the river bordering Afghanistan. Afghanistan on that side of the river had no more motorable road as it already entered the Big Pamir area. Sometimes caravans of Bactrian camels were visible along the dirt road on that side of the river, while we were travelling in a russian jeep. World differed more than a century in the two sides of the river, which was very shallow and narrow in winter. It should be very easy to cross the border illegally here. The camel caravan must be the Afghan (Pashtun) traders [...]

October 28, 2006 // 0 Comments

Dushanbe – The Kyrgyz Visa … Finally

The Kyrgyz visa, finally It has been about ten days I am stuck in Dushanbe (and with side-trip to Istaravshan), due to the Kyrgyz visa application. I will post the comment of Istaravshan and Dushanbe later when I get proper Internet connection. Now, if you dont mind, let me share the struggle to get the Kyrgyz visa. As an Indonesian passport holder, I need an invitation to get the Kyrgyz visa, and the invitation should be approved by the ministry of foreign affairs in Bishkek, the capital of Kyrgyzstan. I applied through the Indonesian embassy in Tashkent. The Indonesian embassy contacted the Kyrgyz Ministry of Foreign Affairs and they said that my visa was approved, I just needed to go to the Kyrgyz embassy in Dushanbe to pick up the visa. Monday, October 9th I went to the Kyrgyz embassy. It was well hidden in an alley near Insititute of Teby. The embassy only accepts visa application one day in a week, that is on Tuesdays. Not wanting to repeat my tragical Tajikistan visa (which cost me 250 dollars for the red tape), I called my embassy in Tashkent to ask for confirmation about the approved invitation. They called by [...]

October 17, 2006 // 5 Comments

1 2 3