Recommended

paspor

Titik Nol 206: Afganistan, Saya Datang

Khyber Pass yang termashyur (AGUSTINUS WIBOWO) KOMPAS.com — Masuk ke mulut singa. Begitulah yang saya rasakan ketika akhirnya saya melihat papan besar, bertuliskan  “FOREIGNERS ARE NOT ALLOWED BEYOND THIS POINT”. Inilah pintu gerbang Khyber Agency, salah satu dari tribal area yang tersohor itu, di mana orang asing tidak diperbolehkan masuk tanpa surat izin dari Political Agent di Peshawar. Gerbang ini adalah tempat dimulainya daerah tanpa hukum. Yang berlaku selepas ini adalah hukum adat Pashtun. Mata balas mata. Darah balas darah. Dari sekian banyak agency, unit wilayah tribal area di Pakistan, semuanya adalah sumber masalah bagi negara ini. Kata tribal sering diorientasikan dengan keterbelakangan, primitif, dan kekacauan. Dalam kasusnya di Pakistan, memang tidak ada berita bagus tentang tribal area. Taliban, opium, senjata ilegal, hashish, penculikan, perang, bom, tanpa hukum, pemberontakan. Semuanya kumpulan kosa kata berkonotasi negatif. Khyber agency, yang pintu gerbangnya ada di depan mata saya sekarang, adalah urat nadi utama yang menghubungkan Peshawar ke Kabul melintasi Celah Khyber. Nama Khyber sudah membangkitkan nostalgia masa lalu, celah di gunung-gunung yang dilewati para penakluk dunia, mulai dari Iskander Yang Agung, raja-raja Persia, Turki, Mongol, hingga pasukan kolonial Inggris. Sekarang, tempat ini juga sudah mulai dirambah Taliban, didukung Lashkar-i-Islami, pasukan suku setempat, yang [...]

June 6, 2015 // 14 Comments

Titik Nol 202: Negeri Berselimut Debu

Dua pemuda ‘modern’ Afghan dari negeri berselimut debu (AGUSTINUS WIBOWO) “Apa yang kau cari di Afghanistan?” tanya pria muda ini, di sebuah sudut gelap ruang tunggu visa di kantor konsulat Afghanistan di Peshawar. Ruangan itu kotor. Selapis debu tebal menyelimuti lantai. Pemuda itu kemudian mencolekkan tangan kanannya di atas lantai. “Kamu mau melihat Afghanistan? Lihat saja tanganku. Kamu lihat debu ini? Kamu sudah melihat Afghanistan. Cukup. Di sana cuma ada debu!” Debu-debu beterbangan bersama hembusan napasnya. Saya terbatuk-batuk. Kantor konsulat Afghanistan dipenuhi orang Afghan. Mereka berpakaian mirip orang Pakistan, tetapi punya kebiasaan aneh suka menggigit syal yang melingkari leher. Tidak ada orang asing lainnya. Visa Afghan tidak sulit. Datang pagi hari, sore bisa diambil. Harganya cuma 1 dolar per hari. Mau enam bulan, satu tahun, berapa pun boleh, asal punya duitnya. Tetapi kemudahan visa ini tidak serta merta mendatangkan ribuan rombongan turis ke Afghanistan. Situasi keamanan sejak serangan Amerika di negara itu semakin lama semakin memburuk. Baru-baru ini ada kerusuhan besar di Kabul. Bom bunuh diri juga mulai marak. Semakin jarang petualang yang berani menjelajah negeri itu dalam kondisi seperti ini. Wahid, pemuda itu, berumur 25 tahun. Kulitnya putih bersih dan wajahnya tampan. Bahasa Inggrisnya sangat fasih, seperti belajar di [...]

June 2, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 131: Berjalan Lagi

Mata Hassan masih sembab melepas kepergian kedua anaknya (AGUSTINUS WIBOWO) Saya melihat tetes air menggenangi mata Hassan Shah melepas kepergian anak-anaknya. Saya teringat air mata yang sama mengalir di kedua belah pipi ibunda saya. Sudah sepuluh hari Karimabad terkunci dari dunia luar. Jalan Karakoram Highway, satu-satunya jalan yang menghubungkan Islamabad ke negeri Tiongkok melintasi barisan gunung tinggi Himalaya, tak bisa ditembus. Penyebabnya, badai salju menyebabkan beberapa titik sepanjang jalan ini ditimbun longsor. Batu-batu gunung raksasa bisa begitu saja berpindah tempat dari puncak sana ke badan jalan. Di belahan bumi ini, di tengah musim seperti ini, longsor batu sama lazimnya dengan chapati di pagi hari. Lebih dari sebulan sudah saya terperangkap di Hunza. Semula saya datang dengan tubuh lemah, nafsu makan minim, dan mata kuning mengerikan. Tetapi udara pegunungan surgawi yang berdaya magis dalam sekejap menyembuhkan penyakit saya. Setelah beristirahat sekian lama, rasanya segenap semangat hidup saya sudah kembali lagi, walaupun saya belum yakin kekuatan tubuh ini sudah pulih seperti sedia kala. Lepas dari hepatitis, sekarang saya ditekan rasa berdosa. Dulu semangat saya begitu meluap-luap, ingin segera membaktikan diri ke daerah gempa di Kashmir. Tetapi kini, saya tak lebih dari seorang turis lemah yang menghabiskan hari-hari di pondokan, menonton film India [...]

February 23, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 112: Gerbang Kemerdekaan

Bus bersejarah itu pun tiba di wilayah India (AGUSTINUS WIBOWO) “Pakistan memang diciptakan untuk membuat jarak antara kita dan mereka, memecah belah persaudaraan kita. Tak perlu kita teruskan lagi [permusuhan ini].” Demikian sebuah koran India menurunkan artikel di rubrik opini. Kedua negara tetangga ini sudah berseteru sejak kelahirannya. Pakistan tercipta dari British India tahun 1947 ketika umat Muslim India minta diberi negara sendiri. Pakistan berarti ‘Negeri yang Murni’, cita-cita luhurnya adalah negara umat Muslim yang berdiri di atas kesucian dan kemurnian Islam. Tetapi, pertikaian dan perselisishan selalu mewarnai sejarah kedua negara, menyebarkan benci yang merayap sampai ke sanubari rakyat jelata. Ingat kasus bom di New Delhi yang serta merta membuat orang India langsung menunjuk hidung Pakistan sebagai kambing hitam? Ingat betapa susahnya orang India mendapat visa Pakistan dan juga sebaliknya? Orang India menggunakan kata Pakistan sebagai umpatan yang paling kasar – “Chalo Pakistan!”, artinya “Enyahlah ke Pakistan”. Mengapa Pakistan selalu digambarkan sebagai tempat bak neraka yang penuh kesengsaraan? Mengapa imej Pakistan di India hanya hitam dan kelabu? India dan Pakistan punya garis perbatasan sekitar 3000 kilometer, tetapi hanya satu perbatasan resmi yang dibuka. Perbatasan Wagah teramat sepi, kecuali di sore hari ketika upacara penurunan bendera berlangsung. Tak banyak orang yang [...]

January 27, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 70: Perjuangan Demi Visa Pakistan

Kedutaan Pakistan yang ramai oleh para pemohon visa. (AGUSTINUS WIBOWO) Berita gempa bumi di Kashmir yang menewaskan hingga 40 ribu jiwa membuat hati saya tak tenang. Betapa ingin saya segera menuju ke Pakistan, mengabdikan diri di daerah gempa, melakukan perjalanan yang punya sedikit arti bagi kemanusiaan. Itu pulalah yang membuat saya bergegas melintas dari Kathmandu hingga ke New Delhi, sampai pada akhirnya saya berada di depan Kedutaan Pakistan di daerah Channakyapuri. Kedutaan ini, levelnya High Commission, bak pasar yang dikerubuti banyak pembeli tetapi tak ada penjual. Pelataran di luar kedutaan dipenuhi orang India yang memohon visa. Banyak di antara mereka yang tidur di tikar, menghabiskan malam di pinggir jalan, hanya untuk bisa menyampaikan formulir kepada manusia-manusia dingin di balik tembok. Petugas visa bersembunyi di balik loket-loket kecil. Loket inilah yang menjadi jendela mungil mereka berhubungan dengan para pemohon visa yang berbaris mengular. Cuma dua loket yang ada orangnya. Satu untuk perempuan, satu untuk laki-laki. Pakistan memang negara yang sangat terkenal membeda-bedakan jenis kelamin. Satu lagi loket khusus, untuk orang asing dan pebisnis. Tak sampai dua menit, saya sudah sampai di depan loket, tak perlu mengantre bersama puluhan pelamar visa lainnya. Tak banyak bicara, petugas memberikan saya formulir untuk diisi, plus [...]

August 29, 2014 // 2 Comments

Titik Nol (66): Lumbini

Pagoda Mongolia di Lumbini. (AGUSTINUS WIBOWO) Setelah mendapatkan visa India, saya langsung menggeret Nefransjah – seorang kawan backpacker Indonesia, untuk bersama-sama berangkat menuju negeri Hindustan. Perbatasan India dan Nepal yang paling sering dilintasi adalah Sunauli, terletak tiga kilometer di selatan kota Bhairawa yang panas dan kering. Debu langsung memenuhi kerongkongan, begitu kami meloncat dari bus. Lurus ke selatan adalah India. Belok ke kanan adalah Lumbini – tempat kelahiran Budha. Saya menganjurkan untuk singgah dulu ke Lumbini, bermalam di kota suci itu, dan melanjutkan ke India esok hari. Langit sudah mulai gelap, kendaraan pun tak banyak. Masuk ke negeri yang sama sekali asing di tengah kegelapan malam tentunya bukan hal yang menyenangkan. Jalan berdebu ke arah Lumbini sunyi senyap, tak ada kendaraan ke arah desa kecil itu. Hanya turis dan peziarah Budha yang ke sana. Sebagian besar kendaraan umum dan truk barang hanya menuju ke India, negara tetangga raksasa yang menawarkan gelimang kemakmuran. Bulan purnama bersinar, menerangi malam yang berdebu. Saya, Nef, dan seorang backpacker Israel terguncang-guncang di bak truk melintasi jalan batu menuju Lumbini. Lumbini sungguh berbeda dengan kota Nepal kebanyakan. Biksu Budha dari berbagai negara ada di sini. Selamat datang di India. Orang Nepal dan India bebas keluar masuk [...]

August 25, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 46: Laporan Kehilangan

Ruang kerja kantor polisi Hanuman Dhoka. (AGUSTINUS WIBOWO) “Sudahlah,” Lam Li menghibur saya yang masih bersedih gara-gara dompet yang tercopet, “Yang lalu biarlah berlalu. Percayalah, sekali kejadian buruk, serentetan keberuntungan akan menantimu. Bukan begitu?” Lam Li menoleh ke arah dua pandita Rusia. Yang satu sibuk dengan butir-butir rudraksha dan satunya lagi baru saja memasak bubur warna-warni untuk sesaji. “Tidak, bukan begitu,” kata pria bule berjubah itu, “Dalam ajaran Budha, kalau kamu mengalami kejadian buruk, itu tandanya karma burukmu berkurang. Kejadian buruk masih bisa terjadi lagi, imbalan karma dari apa yang sudah kamu perbuat. Percayalah, semuanya itu ada yang mengatur, karma adalah timbangan yang paling adil.” Setelah semalam suntuk saya tak bisa tidur gara-gara kecopetan, hari ini pun saya masih belum tenang. Dengan berbekal fotokopi paspor dan foto diri yang memalukan – mata mengantuk dan sembab, rambut acak-acakan, karena baru dipotret dua jam lalu ketika saya masih syok dengan kejadian kemarin, saya menggeret Lam Li dan Qingqing ke kantor polisi di sebelah lapangan Hanuman Dhoka. Kantor polisi ini tak pernah sepi. Selain polisi yang bersliweran ke sana ke mari, banyak pula pengunjung. Selain saya, ada pula turis yang melapor dompet hilang, paspor hilang, kamera hilang, dan sebagainya. Musim festival begini memang [...]

July 4, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 32: Thamel

Thamel meriah menyambut Hari Turisme Dunia. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya datang ke Nepal dirundung kegalauan. Kamera saya, tumpuan harapan saya satu-satunya untuk mengabadikan perjalanan ini, rusak. Masih bisa memotret, tetapi tidak lagi bekerja sempurna. Tak biasanya, kali ini saya tak menumpang bus murah dari perbatasan Kodari menuju ibu kota, tetapi nekad membayar taksi yang harganya lebih mahal tiga kali lipat. Hati saya gundah gara-gara kamera rusak. Tujuan saya hanya ingin cepat-cepat sampai di Kathmandu. Pemandangan sejak dari Tibet berubah drastis. Klakson bus bertalu-talu, bagaikan nada yang mengisi aliran lalu lintas di jalanan sempit berkelok-kelok, di tepi bukit hijau dan hamparan sawah. Pemandangan di sini sungguh mirip di Jawa, sawah, bukit, rumput, pohon, semuanya hijau. Jalan yang sempit dan bolong-bolong, gubuk di pinggir jalan, dan semrawutnya lalu lintas, benar-benar mirip. Tetapi yang membedakan, di sini banyak pos pemeriksaan polisi. Keamanan Nepal terus memburuk sejak gerilyawan Maois semakin menunjukkan pengaruhnya. Setiap mobil yang melintas harus berhenti, para penumpangnya menunjukkan dokumen, dan berjalan kaki melintasi pos. Orang asing boleh tetap tinggal di mobil, karena yang diincar polisi adalah gerilyawan Maois yang menyelundup. Begitu sampai di Kathmandu, saya langsung menuju Thamel, pusat berkumpulnya backpacker, setara dengan Jalan Jaksa di Jakarta atau Khaosan di Bangkok. Setelah [...]

June 16, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 31: Perbatasan

Kota perbatasan Zhangmu, kemegahan di bukit terpencil. (AGUSTINUS WIBOWO) Di atas peta dunia, perbatasan hanyalah garis hitam yang memisahkan dua negara yang dibubuhi warna berbeda. Di alam nyata, perbatasan adalah garis tak kasat mata yang menentukan takdir manusia. Kami sampai di dekat Zhangmu cukup pagi. Untuk menghindari kecurigaan polisi, beberapa meter sebelum masuk kota, Ding meminta saya turun, berjalan kaki, melewati pos polisi, dan nanti berjumpa lagi di dalam kota. Sebabnya, truk sama sekali tak boleh membawa penumpang. Sopir yang tertangkap didenda mahal. Kota perbatasan Zhangmu adalah murni kota China. Semua bangunan di sini baru, kotak-kotak, berlantai tinggi. Toko berbaris, tiang listrik dan kabel semrawut di pinggir jalan. Banyak truk di sini. Ada yang punya orang Tibet, orang Sichuan, juga truk Nepal yang warna-warni berhias huruf-huruf Dewanagari. Jalannya hanya satu, semakin ke perbatasan Nepal semakin turun, berkelak-kelok mengikuti pinggang gunung. Penunjuk arah di sini tak perlu menyebut arah mata angin, cukup dengan ‘naik’ dan ‘turun’ saja. Sempit, hanya cukup untuk dua kendaraan saja di tikungan yang semuanya berbahaya. Sebagian besar kendaraan di sini adalah truk barang. Seperti kota perbatasan pada umumnya, Zhangmu hidup dari perdagangan internasional dengan negeri tetangga. Kebanyakan orang yang terlihat di sini adalah etnis Han. Dialek Sichuan [...]

June 12, 2014 // 6 Comments

Titik Nol 30: Nyaman di Nyalam

Dari pegunungan salju Himalaya…. (AGUSTINUS WIBOWO) Jalan raya Friendship Highway yang menghubungkan negeri China dengan Nepal beraspal mulus, walaupun masih ada perbaikan jalan di sana-sini. Ukuran keberhasilan negeri ini adalah pembangunan di mana-mana, merambah semua sudut negeri, meningkatkan kesejahteraan dan memperadabkan penduduknya. Bahkan gunung dan padang di kaki Himalaya pun kini sudah terjamah listrik dan jalan raya. Di padang rumput yang menghampar itu, air sungai bergemericik. Bocah-bocah bertelanjang, berlarian di tepi sungai, menceburkan diri dalam airnya yang segar. Tak ada malu, tak ada sungkan. Mereka hidup dalam surga mereka yang tak terjamah. Sementara kami, di dalam truk Dongfeng yang penuh sesak, dihantui kecemasan menuju Nyalam. Baru saja saya memberitahu Ding bahwa sejatinya saya orang asing. Di Nyalam, ada pos pemeriksaan besar. Orang asing yang tanpa permit akan kena hukuman. Sopir truk yang nekad memberi tumpangan pada orang asing juga akan didenda. “Jangan kuatir,” kata Ding menghibur, “kamu adalah mahasiswa Tsinghua. Langit pasti akan menolongmu.” Langit senja kemerahan, membilas puncak salju Himalaya yang berbaris di hadapan. Salju putih berubah menjadi kuning kemerahan, cantik sekali. Ding sering menghentikan mobilnya hanya untuk memberi kesempatan untuk memotret. “Mobil ini adalah punyamu, tak perlu berterima kasih. Justru saya merasa sangat terhormat mengangkut seorang anak Tsinghua.” [...]

June 11, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 8: Polisi

Kota Ngari di ujung barat Tibet dihuni oleh mayoritas penduduk etnis Han dari pedalaman China. (AGUSTINUS WIBOWO) Sungguh tak enak rasanya menjadi pencuri. Saya yang masuk tanpa izin sama sekali ke daerah terlarang ini, sekarang malah duduk satu mobil bersama polisi China. Terminal bus kota Ngari, seperti sebelumnya, sepi. Tempat ini jauh dari mana-mana. Jangankan ke Beijing yang dipisahkan ribuan kilometer di balik puncak gunung salju dan padang gurun luas, dari sini ke Lhasa pun butuh perjalanan berhari-hari melintasi medan yang berat. Pintu keluar Ngari yang paling dekat adalah propinsi Xinjiang di utara, itu pun dua hari perjalanan melewati Parit Kematian. Tetapi terlepas dari keterpencilannya, Ngari justru paling dekat dengan ‘Pusat Dunia’. Sekitar tiga ratus kilometer di selatan Ngari, Gunung Kailash yang dimuliakan umat berbagai agama berdiri dengan gagah. Ke sanalah tujuan saya berikutnya. Harga angkutan di Tibet terbilang mahal. Untuk jarak Ngari sampai Kailash, harga karcisnya 230 Yuan. Kalau orang asing lebih mahal lagi, 300 Yuan. Untunglah saya masih bisa menyamar sebagai orang Tiongkok. Tetapi Seum dan Kim dengan bahasa kemampuan bahasa Mandarin yang pas-pasan, terpaksa membayar lebih. Kami bertiga duduk berimpitan di baris paling belakang. Sejatinya jip ini cuma muat tujuh penumpang, tetapi semua dijejalkan sampai sepuluh. Bagasi [...]

May 12, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 7: Penantian di Pinggir Jalan

Tas ransel tergeletak di jalan. Pemiliknya menanti dalam keputusasaan. (AGUSTINUS WIBOWO) Lengang. Kami berempat menanti dalam ketidakpastian. Tak ada manusia, tak ada kendaraan yang melintas. Kerajaan yang hilang itu tersembunyi di balik gunung-gunung tinggi sana. Pria Jerman berjaket merah ini bernama Hans, seorang trekker sejati. Umurnya sudah mendekati lima puluhan, tetapi keberanian dan ketangguhannya melebihi orang muda sekalipun. Seorang diri ia sudah mengelilingi Tibet selama tiga bulan, mendaki gunung-gunung dan merambah tempat-tempat tersembunyi. Zanda, kerajaan Guge, termasuk tempat terakhir yang belum disentuhnya di tanah Tibet. Hans bisa sedikit bahasa Mandarin. Bertualang di Tibet sebagai seorang laowai – bule – sangat tidak mudah. “Hitchhike – menumpang truk – sangat susah. Sopir truk kebanyakan tak berani mengangkut laowai, karena kalau tertangkap polisi mereka akan didenda mahal.” Untuk soal permit Tibet, Hans lebih memilih mematuhi hukum. Tetapi itu pun tak mudah. Aturan di Tibet berubah setiap saat. Tidak ada yang tahu aturan apa yang sedang berlaku. Permit yang sudah dibeli mahal-mahal pun bisa jadi tak berlaku di tempat lain. Sekarang pada permit yang dipegang Hans pun tak tercantum nama Ngari, yang artinya ia pun pelancong ilegal. Hans punya segudang nasihat terhadap para pelancong ilegal seperti kami. “Berhati-hatilah, di Barga nanti ada pos pemeriksaan [...]

May 9, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 6: Kerajaan yang Hilang

Pagi hari di Ngari, ketika gunung-gunung salju bersinar kemerahan dibilas mentari. (AGUSTINUS WIBOWO) Mashang, segera, dalam konsep sopir truk Uyghur ini ekuivalen dengan menunggu delapan jam. Truk merek Dongfeng – asli buatan China – baru berangkat meninggalkan Rutog menjelang malam setelah penantian dari siang tadi. Saya duduk berdesakan di bangku sempit sebelah sopir. Saya tak sendiri. Ada Ilya, seorang pesepeda dari Italia. Tibet memang surga bagi para pesepeda. Banyak yang datang jauh-jauh dari Eropa, menempuh perjalanan dengan sepeda melintasi Rusia dan Asia Tengah, masuk Tibet hingga ke Nepal dan India, atau berbelok ke Vietnam dan Asia Tenggara. Di mana-mana saya melihat pesepeda. Bukan hanya orang asing, pemuda-pemudi China pun sudah menempuh perjalanan keliling negara mereka yang luar biasa luasnya, hanya dengan sepeda. Lima tahun lalu, kegiatan menjelajah masih belum terlalu populer di kalangan generasi muda China. Anak muda yang saya temui di universitas semua sibuk belajar untuk meraih beasiswa ke luar negeri. Cita-cita mereka – melihat dunia luar. Waktu itu dengan paspor China sungguh sulit bisa ke luar negeri. Negara-negara lain tak mau memberi visa. Semuanya penuh perjuangan. Sekarang, ketika perekonomian sudah mulai maju, bocah-bocah dari kelas menengah sudah mengenal gaya hidup backpacking. Belajar giat, tetap. Tetapi waktu liburan juga [...]

May 8, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 2: Mimpi Buruk

Bus ranjang susun Tibetan Antelope, satu-satunya perusahaan bus umum yang menuju ke Tibet dari Kargilik. (AGUSTINUS WIBOWO) Bagaimanakah rasanya menyelundup? Keindahan bintang pun tak bisa meneduhkan hati. Dalam tidur malam digoncang-goncang bus yang melintas jalan berbatu pun, yang selalu muncul adalah wajah garang polisi. “Pemeriksaan tadi sangat ketat,” kata Deng Hui, penumpang China yang duduk di depanku. Deng Hui sudah berumur 37 tahun, tetapi hasrat berpetualangnya masih menggebu. Sudah berkali-kali ia masuk Tibet, dan sekarang ia sedang dalam misi menuju Nepal. Bus datang sekitar satu jam setengah setelah saya diturunkan dari taksi. “Tadi polisi benar-benar memeriksa semua orang, mencari apakah ada orang Uyghur di antara penumpang. Katanya ada buronan Uyghur yang mencoba melarikan diri dari Xinjiang menuju Tibet.” Pos pemeriksaan kedua adalah pos tentara. Semua penumpang turun, menunjukkan dokumen. Orang asing hanya menunjukkan sampul paspor, langsung dibolehkan lewat. Perjalanan bus ini seperti penginapan berjalan. Di tengah malam, kami berbaring di kasur kami masing-masing. Lebarnya cuma setengah meter, panjangnya 1.25 meter. Sepanjang malam lutut harus ditekuk. Bau tak sedap, campuran antara bau badan, kaki, sepatu, telur, asinan, memenuhi bus ini. Penumpang tak boleh berjalan di dalam bus beralas sepatu. Setiap naik bus, sepatu harus langsung dimasukkan tas kresek dan digantung di [...]

May 2, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 86: Hari Massoud

Orang mengingatkanku untuk selalu berhati-hati dengan perbatasan Iran dengan Afghanistan, karena pemeriksaan bisa sangat panjang. Ya, Iran selalu khawatir dengan tetangganya yang lucu ini, yang selalu dicurigai sebagai pemasok opium dan pengungsi. Tapi tidak demikian dengan sebaliknya bukan? Aku rasa, karena aku menyeberang dari Iran ke Afghanistan, seharusnya semua berjalan lancar. Benar saja. Semua lancar. Malah terlalu lancar. Aku tidak pernah melihat imigrasi perbatasan yang selonggar imigrasi Afghanistan ini. Aku sudah menyodorkan pasporku tepat di halaman visa, sehingga si petugas Afghan tinggal mengecap. Petugas itu langsung mengecap, tanpa menghabiskan sedetik pun untuk melihat visa itu, melihat halaman depannya, atau bahkan untuk melihat wajahku. Tanpa registrasi, tanpa wawancara, tanpa rewel. Proses imigrasi hanya memakan waktu 3 detik. Ini adalah proses yang paling cepat dan efisien yang kualami. Dan berita gembira lainnya, tidak ada pula pemeriksaan barang di bea cukai. Datang dari Iran, kita semua dianggap sebagai makhluk tak berdosa. Meninggalkan gerbang perbatasan Islam Qala, aku seperti masuk ke mesin waktu lagi, meloncati dimensi waktu dan mundur ke masa lalu, dari modernitas kembali ke realita negeri berselimut debu. Debu, dalam artian harfiah, lekat dengan kehidupan penduduk Herat. Di bagian timur kota ini, hingga ke perbatasan Iran, terbentang gurun pasir luas. Selama 120 [...]

February 24, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 85: Saudara Sebangsa

Termometer digital di dalam truk menunjukkan suhu 48 derajat Celcius. Itu suhu di luar sana. Di dalam truk ini sopir dan aku duduk nyaman berkat sejuknya AC. Aku menumpang truk menuju Zahedan, ibu kota provinsi Baluchistan di tenggara Iran. Ini adalah nama yang seram bagi banyak orang Iran. Mereka menganggap, Baluchistan terlalu berbahaya, karena banyak orang Baluchi, Sunni, penculik, penyelundup, dan Afghan. “Jangan mudah percaya dengan orang Baluchi,” kata Aziz, sopir truk asal Tabriz di Iran barat laut saat mengemudikan kendaraan besarnya, ”Mereka itu adalah pembohong dan pengkhianat. Mereka juga pencuri, perampok, bajingan.” Di luar truk terhampar padang pasir Dasht-e-Lut yang kering kerontang, hanya ditumbuhi belukar. ”Lihatlah, betapa kering dan miskinnya tempat ini. Di sini tak ada apa-apa. Rakyat lapar. Tak ada yang bisa dimakan, sehingga mereka terpaksa mencuri.” Ancaman keamanan lain di Baluchistan adalah separatisme. Seiring bergulirnya roda zaman, negara-negara baru akan terus bermunculan, suku-suku mencuat kepribadian dan kebanggaannya, sementara negeri-negeri kuno berjuang mempertahankan eksistensi mereka. Selain itu, karena begitu dekat dari Afghanistan, Baluchistan banyak dipenuhi oleh para pengungsi Afghan. Dari Zahedan, empat jam perjalanan bus ke utara, adalah kota perbatasan Zabol yang berhadapan langsung dengan gerbang Afghanistan. Apa yang kau harapkan dari kota perbatasan Afghanistan? Imigran gelap? Perkampungan [...]

February 21, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 84: Menjadi Afghan

“Aneh. Kalau di Afghanistan, kami tidak lebih dari sekadar Hazara. Tetapi di sini, kami jadi Afghan,” kata Sadeq. Dia adalah seorang pekerja Hazara yang kini tinggal di kota tua Yazd di Iran tengah. Keluarga Sadeq sudah lama tinggal di Yazd, bertahun-tahun. Ia termasuk pekerja resmi, punya kartu penduduk Iran, dan anaknya boleh pergi sekolah. Kampung halamannya ada di Ghazni, di selatan Kabul. Di Ghazni, mayoritas penduduknya adalah Pashtun, tetapi banyak juga terdapat kampung yang menjadi kantong etnis Hazara. Seperti halnya kebanyakan orang Hazara dan suku-suku minoritas di Afghanistan, Sadeq semula tidak merasa dirinya sebagai bagian dari ”Afghan”, yang lebih identik dengan bangsa mayoritas Pashtun. ”Dulu, nama Afghanistan adalah Ariana,” jelas Sadeq, ”Ariana adalah negeri bagi kita semua. Sedangkan, Afghanistan berarti tanah bangsa Afghan, hanya milik orang Pashtun.” Ariana adalah nama kuno yang sudah ada lebih dari tiga ribu tahun silam, termaktub dalam kitab suci umat Zoroaster. Ariana, atau Aryana, tanah bangsa Arya, oleh kaum nasionalis Afghanistan sering digunakan untuk merujuk pada Afghanistan modern dengan masa lalunya sebagai tempat hidup bangsa Arya, bangsa yang selalu bangga akan superioritas dan kesempurnaannya. Kulit mereka putih bersih, menambah keindahan raut wajah mereka dengan garis-garis yang tegas dan kuat. Hidung menjulang tinggi, mengimbangi sepasang mata [...]

February 20, 2014 // 7 Comments

Selimut Debu 83: Pakaian

Gerbang perbatasan ini memisahkan kehidupan sampai seratus tahun. Tidak peduli dari negara mana pun, bepergian menuju atau dari Afghanistan sama seperti melewati mesin waktu. Kendaraan mobil Iran ini melaju menuju Mashhad di atas jalan beraspal mulus. Tak ada lagi penderitaan gurun berdebu dan menelan pasir sepanjang hari. Tak ada lagi keledai dan barisan domba yang bersaing ruas jalan dengan mobil dan motor. Tak ada lagi perempuan anonim di balik burqa. Tak ada jubah, serban, gubuk reyot, ranjau darat, bom, perang, dan kelaparan. Iran adalah negara modern. Toko-toko berjajar rapi. Makanan yang populer di sini adalah burger dan sandwich, dijual dengan minuman bersoda produksi dalam negeri. Blokade ekonomi menyebabkan negeri ini mandiri, hampir semua barang adalah produksi dalam negeri. Mobil kuno Paykan melaju di jalan, menyemburkan asap hitam. Terminal bus Mashhad adalah bangunan besar yang bersih, dengan berbagai perusahaan angkutan yang kantornya sudah setara dengan biro travel maskapai udara di Indonesia. Karcis bus dicetak rapi dengan komputer, dengan kertas dan penampilan mirip tiket pesawat, padahal harganya teramat murah—60.000 Rial (saat ini setara dengan Rp 60.000) untuk perjalanan seribu kilometer sampai ke Teheran. Bus berjajar rapi menunggu jam keberangkatan. Tak ada tanah yang lengket karena oli bocor atau sampah bertebaran. Semua begitu [...]

February 19, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 82: Beringas

Eksodus. Orang-orang Afghan ini seperti kesetanan, begitu buru-buru hendak meninggalkan negerinya sendiri, menuju Iran di balik gerbang sana. Aku tercekat melihat barisan panjang ini. Barisan pria-pria berjubah shalwar qamiz menenteng barang bawaan berkarung-karung. Mereka marah, berteriak penuh emosi, seakan semakin keras berteriak dan semakin garang kepalan tangannya akan semakin cepat mereka sampai ke pos pemeriksaan paspor. Aku melangkah gontai masuk ke barisan. Melihat bahwa panjang barisan ini sudah lima puluh meter dan nyaris tak bergerak maju, entah sampai kapan kami akan menginjakkan kaki di Iran. Matahari panas menyengat. Keringat mengucur deras. Orang-orang mengomel karena tidak efisiennya pos imigrasi Afghan. Sebenarnya kalau bukan karena lusinan polisi Afghan berseragam hijau abu-abu yang berkeliling dengan pentungan, pasti sudah sejak tadi para pelintas batas ini akan menyerbu loket imigrasi dengan beringas. Tiba-tiba ada tangan besar mencengkeramku keluar dari barisan. ”Khareji! Orang asing!” Polisi menggeretku ke arah polisi yang menjaga pintu kantor imigrasi. Sebagai orang asing, ternyata ada fasilitas yang boleh kunikmati dan harus kusyukuri: aku bisa langsung memotong antrean panjang warga Afghan. Untuk menyeberang ke Iran, warga Afghan harus melewati banyak pemeriksaan. Barang mereka digeledah dengan teliti. Opium termasuk komoditi yang sering diselundupkan lewat perbatasan ini. Tak heran, dengan lebih dari seribu orang pelintas [...]

February 18, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 73: Hadiah Ulang Tahun

Setelah perjuangan panjang dari Qala Panjah menuju Ishkashim (yang di luar dugaan, memakan waktu sampai tiga hari karena parahnya transportasi!), aku berjuang untuk melanjutkan perjalanan ke arah barat, moga-moga bisa mencapai Kedutaan Indonesia di Teheran untuk merayakan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. (Nasionalisme? Mungkin ini gara-gara perbincangan dengan Arnault sebelumnya). Lagi pula, hari ini 8 Agustus adalah hari ulang tahunku yang ke-25. Semoga saja hari ulang tahun ini melimpahiku dengan keberuntungan. Amin. Jadi hari ini, kami berdua berangkat menuju Baharak, di mana aku bisa mendapat kendaraan menuju Faizabad, dan Arnault berbelok ke utara ke arah Danau Shewa. Orang Afghan ini punya konsep waktu yang aneh. Ketika kami masih sarapan jam 6 pagi, sopir memburu-buru kami katanya mobil segera berangkat. Tetapi setelah kami duduk manis di mobil, satu jam kemudian mesin baru dinyalakan dan dua jam kemudian kami baru meninggalkan Ishkashim. Matahari sudah sangat tinggi sedangkan perjalanan ke Baharak memakan waktu minimal tujuh jam. Sekarang semua berbalik arah. Dulu waktu berangkat dari Baharak ke Ishkashim, Baharak terasa seperti kota pasar yang membosankan tapi jalanannya teramat indah. Sekarang, sepulang dari Wakhan, jalanan bergunung-gunung ke Baharak terasa sangat datar, tetapi Baharak dengan barisan toko-tokonya terasa seperti metropolitan New York. Warung-warung, kios, pedagang asongan, penyemir [...]

February 5, 2014 // 1 Comment

1 2 3