Recommended

Pathan

Titik Nol 205: Pasar Senjata

Pistol yang disamarkan dalam bentuk pena dijual bebas di Darra (AGUSTINUS WIBOWO) Hembusan ganas Afghanistan sudah terendus di Peshawar. Tak lebih dari 40 kilometer sebelah selatan Peshawar, di tengah jalan utama menuju Kohat, terletak desa Darra Adam Khel. Dari luar memang nampak seperti desa Pakistan biasa. Kumuh, semrawut, dan berdebu. Yang tak biasa adalah, desingan tembakan yang tiada henti. Ini adalah tempat di mana segala macam senjata dan bedil dibuat di balik tembok rumah-rumah, dan anak-anak bermain butir-butir peluru menggantikan kelereng. Tak banyak tempat yang benar-benar wild west seperti Darra Adam Khel. Orang-orang bebas membeli dan mencoba segala macam senapan di sini. Mulai dari Kalashnikov, M-16, hingga bolpoint dan tongkat yang bisa menembak. Kakek tua bersurban dan berjenggot putih, keluar dari sebuah toko dengan senyum. Kemudian dia menembakkan M-16 nya ke udara. Tiga tembakan. Nampaknya dia cukup puas dengan bedil barunya. Langit Darra dipenuhi suara-suara tembakan yang menyalak-nyalak tanpa henti. Saya dikejutkan lebih dari sepuluh kali ketika menyeruput segelas teh panas di kedai. Hati saya penuh tanda tanya, ke mana jatuhnya peluru yang ditembakkan tegak lurus ke atas? Sesuai prinsip gravitasi, peluru itu pasti akan jatuh lagi ke bumi. Adakah dia jatuh kembali kepada si penembaknya? Atau nyasar menembus atap [...]

June 5, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 201: Di Atas Charpoi

Pria penduduk dusun Safed Sang (AGUSTINUS WIBOWO) Malam bertabur bintang. Kami duduk di atas charpoi di pekarangan rumah kerabat Ziarat Gul dari Safed Sang. Dalam remang-remang lampu petromaks, saya memandangi wajah kawan-kawan baru saya. Rumah ini bukan rumah Ziarat, melainkan rumah seorang kawannya. Rumah ini tertutup rapat dari luar, seperti halnya kultur Muslim Pakistan yang ketat yang tak mengizinkan perempuan anggota keluarga sampai terlihat orang lain. Tetapi di balik tembok padat yang melingkar, ada halaman luas terhampar. Musim panas Peshawar memang tanpa ampun, tetapi malam yang sejuk sungguh nikmat menikmati angin sepoi-sepoi di halaman rumah. Kami duduk di atas charpoi – kasur tradisional Asia Selatan berukuran memanjang, dengan empat kaki dari kayu, dan jalinan tali tambang sebagai tempat tidur. Satu charpoi cukup untuk satu orang tidur, tetapi bisa juga diduduki tiga orang. Duduk di atas charpoi di bawah tudung langit malam yang cerah adalah kenikmatan tak terhingga setelah hari panas yang melelahkan berakhir. Di hadapan saya banyak sekali kawan baru. Satu per satu diperkenalkan, tetapi saya tak ingat semua nama mereka. Seorang pria berusia 38 tahun adalah kakak yang paling tua. Adiknya yang gemuk berumur 25 tahun adalah teman Ziarat. Ada dua adik lagi, umurnya 12 dan 10 tahun, yang [...]

June 1, 2015 // 3 Comments

Titik Nol 200: Sebuah Desa di Pinggiran Peshawar

Bocah-bocah Safed Sang di atas keledai (AGUSTINUS WIBOWO) Di desa kecil Safed Sang, di pinggiran kota Peshawar, saya melewatkan malam dengan para pemuda Pathan. Salah seorang pemuda itu bernama Ziarat Gul, artinya ‘bunga ziarah’. Umurnya baru 19 tahun. Wajahnya lebar. Bola matanya besar. Hidungnya mancung. Garis wajahnya kuat. Tubuhnya tinggi dan kekar. Kulitnya putih bersih, jauh lebih putih untuk ukuran orang Punjabi atau Sindhi. Ziarat adalah etnis Pashtun, atau dalam bahasa Urdu disebut Pathan. Orang Pashtun juga sering disebut Afghan, suku bangsa dari Afghanistan. Perjumpaan saya dengan Ziarat sebenarnya tak disengaja. Dua bulan sebelumnya, saya sedang berkonsentrasi di depan komputer di sebuah warnet. Ziarat, yang duduk di sebelah saya, memandangi lekat-lekat. Terus-menerus mengajak bicara sampai saya tak bisa konsentrasi. Setengah jam berikutnya, datanglah Lam Li si petualang Malaysia. Mata Ziarat langsung beralih ke arah tubuh wanita itu. Di Pakistan, kaum pria bisa sampai melotot memandang tanpa lepas jika melihat kemolekan wanita, yang terbalut jubah dan jilbab sekali pun. Betapa kecewanya Ziarat ketika tahu sekarang hanya tinggal saya yang ada di Pakistan. Lam Li sudah menyeberang ke Afghanistan, sehingga tak ada lagi kesempatan baginya berkenalan. Tetapi ia tetap membulatkan tekad untuk mengajak saya mengunjungi desanya yang bernama Safed Sang. Peshawar, terletak [...]

May 29, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 141: Dari Reruntuhan

Bocah-bocah pengungsi (AGUSTINUS WIBOWO) Mulai hari ini saya punya gelar baru – sukarelawan. Saya sudah berada dalam mobil milik Danish Muslim Aid, sebuah organisasi kemanusiaan, menuju ke Kashmir yang diluluhlantakkan  oleh gempa bumi 8 Oktober 2005. Sudah lama sekali saya ingin ke Kashmir. Saya teringat betapa bulatnya tekad saya untuk menjadi sukarelawan gempa ketika memohon visa Pakistan di New Delhi, lima bulan silam. Tetapi setelah mendapatkan visa, saya malah menyempatkan berkeliling Rajasthan, dan akhirnya mendapat penyakit hepatitis. Mungkin Tuhan mengingatkan saya akan komitmen yang saya buat dahulu. Ada perasaan tertekan dan bersalah, ketika harus menghabiskan hari-hari dengan beristirahat di pegunungan Hunza untuk memulihkan diri dari sakit kuning. Perasaan bersalah akan pengingkaran janji. “Mana Agustinus yang dulu bercita-cita jadi sukarelawan? Mana semangat sosialnya yang menggebu-gebu? Sekarang mengapa malah jadi turis di Hunza?” demikian bunyi e-mail Lam Li yang langsung menampar saya tanpa basa-basi. Hari ini, saya sudah resmi jadi sukarelawan, walaupun terlambat. Seorang kawan di Islamabad menjadi kepala organisasi Danish Muslim Aid (DM-Aid) yang menghimpun dana bantuan dari Denmark. Saya diminta membantu mendokumentasikan kegiatan mereka di lapangan. Saya berada di dalam mobil organisasi bersama Rashid, seorang sukarelawan juga. Rashid masih berumur 25 tahun, tetapi kumis tebalnya membuatnya tampak jauh lebih tua [...]

March 9, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 137: Timbangan Kecil

Anarkali Food Street, terang benderang di malam hari (AGUSTINUS WIBOWO) Taktaktaktaktak…taktaktaktak… suara denting logam beradu, menambah riuh rendahnya jalanan di waktu malam. Bau harum semerbak. Seorang pedagang pinggir jalan dengan bangga menawarkan jualan andalannya. Orang-orang Lahore memenuhi jalanan yang diterangi lampu warna-warni ini, sudah tak sabar lagi mengisi perut mereka. Anarkali Food Street adalah daya tarik kuliner kota Lahore malam hari. Bagi penduduk kota besar Pakistan, keluar untuk makan malam adalah salah satu kegiatan hiburan yang digemari. Bukan hanya karena makanan lezat yang dijual dengan harga murah, tetapi karena juga suasana makan di jalan terbuka khusus para pejalan juga punya nuansanya sendiri. Segala macam jajanan Punjabi, segala macam nasi biryani dan roti, sampai kebab ala Turki dan bakmi China, tak lupa juga teh susu dudhpati dan manisnya faluda bisa dicicip di sini. Tak-a-tak atau kat-a-kat, diberi nama demikian karena bunyi santer taktaktaktaktak atau katkatkatkatkatkat yang dihasilkan ketika pemasak menggilas daging ayam dan kambing di atas wajan datar berdiameter besar. Kedua tangan koki sangat piawai memainkan dua lempeng logam berbentuk segitiga, cepat, berirama, menjadi melodi yang mengiringi harumnya beragam makanan tradisional dan hiruk pikuknya pengunjung dari segala penjuru kota. Jalanan ini terang benderang. Lampu hias warna-warni mengiluminasi semua sudut jalanan. Hasrat makan [...]

March 3, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 125: Urdu

Urdu ditulis dengan huruf Arab bergaya Nastaliq yang cenderung vertikal ke bawah. Perhatikan pulah bentuk hamzah yang berbeda di akhir kata ‘Allah’ (AGUSTINUS WIBOWO) “Itu bahasa Urdu, bukan bahasa Hindi!” kata seorang bocah Pakistan protes. Dia meminta saya menyanyikan lagu bahasa Hindi. Saya menyanyikan sebaris lagu soundtrack film Salman Khan terbaru, Mujhse Shadi Karogi. Si bocah mengira saya berbohong. Ia tak tahu kalau bahasa Urdu dan Hindi hampir sama. Memang tak banyak orang sadar bahwa bahasa Urdu dan Hindi adalah dua bahasa yang serupa, kalau tidak bisa dikatakan sebagai satu bahasa yang sama dengan nama berbeda. Orang biasa melihat hurufnya saja yang berbeda.. Hindi ditulis dengan huruf Sansekerta Devnagari, sedangkan Urdu ditulis dengan huruf Arab-Persia dengan gaya Nastaliq yang cenderung vertikal ke bawah. Tetapi huruf dan bahasa adalah hal yang berbeda. Kenyataannya, kita tidak mudah membedakan seseorang bicara bahasa Urdu atau bahasa Hindi. Kedekatannya melebihi kemiripan bahasa Indonesia dengan Malaysia yang perbedaan aksen dan pelafalannya sangat kentara. Yang membedakan tuturan Urdu dan Hindi adalah pilihan kosa katanya. Untuk kata-kata tertentu, bahasa Hindi lebih memilih kata dari Sansekerta, sedangkan Urdu kaya akan kosa kata Arab dan Persia. Bukan hanya kita yang awam, bahkan orang Pakistan dan India pun banyak yang tak [...]

February 13, 2015 // 12 Comments

Titik Nol 124: Mehman

Puncak-puncak lancip pegunungan di Pasu (AGUSTINUS WIBOWO) “Aap hamare mehman hai. Anda adalah tamu kami,” kata seorang sopir truk dari Karimabad, yang – selain menolak menerima ongkos –  menawari saya sekotak biskuit dan sekaleng minuman. Saya hampir tak bisa berkata-kata menerima ketulusan persahabatan ini. Jika Anda menjelajah Pakistan, ada satu hal yang selalu hadir: keramahtamahan.  Dalam bahasa Urdu disebut mehmannavazi. Tak peduli betapa miskinnya orang-orang di negeri ini, bagaimana pun tingkat pendidikan dan latar belakang sosialnya, semuanya seakan berlomba menawarkan yang terbaik untuk para tamu. Mehman, sebuah konsep yang melekat dalam sanubari penduduk setempat. Begitu kuatnya, sampai saya jadi malu sendiri. Tuan rumah tak makan tak mengapa, asalkan tamu dijamu dengan limpahan makanan mewah. Tak ada uang tak mengapa, asalkan sang tamu tetap merasa nyaman. Menggigil kedinginan bukan masalah, asalkan sang tamu tetap hangat dan lelap. Dari Chapursan kembali ke Karimabad, saya harus melewati Kota Sost di perbatasan Pakistan-Cina. Harga karcis angkot Sost-Karimabad cuma 100 Rupee, sekitar 15 ribu. Tidak mahal. Tapi saya memutuskan berjalan kaki agar lebih menikmati keindahan lembah-lembah dan barisan gunung Karakoram. Kalau sudah capek, sesekali saya menumpang mobil yang melintas. Hari ini matahari bersinar cerah. Lembah tanpa sinar mentari di Chapursan menjadi kenangan. Barisan pegunungan Gojal [...]

February 12, 2015 // 2 Comments