Recommended

pencurian

Titik Nol 44: Maling di Tengah Perayaan

Di tengah keramaian seperti ini apa pun bisa terjadi. (AGUSTINUS WIBOWO) Di tengah kemeriahan perayaan Indra Jatra ini saya menangis. Ketika orang lain bersuka cita menyaksikan tarian dan permainan di bawah sinar rembulan di lapangan Hanuman Dhoka, hati saya kacau balau. Patung seram kepala Seto Bhairab, atau Bhairab Putih, yang biasanya tersembunyi di balik kisi-kisi kayu di pinggir kuil Taleju di tengah lapangan Durbar, di hari yang istimewa ini tiba-tiba muncul. Dalam setahun, hanya pada perayaan Indra Jatra dan Dasain saja patung misterius Seto Bhairab dipertunjukkan untuk umum. Konon, ketika Raja Rana Bahadur Shah membangun patung ini untuk membersihkan daerah istana yang pernah menjadi tempat pembakaran mayat, patung Bhairab ini terlalu seram sehingga penduduk ketakutan. Akhirnya, patung ini disembunyikan di balik kisi-kisi kayu sepanjang tahun. Ada pula yang mengatakan, patung Bhairab disembunyikan karena patung ini bersimbah perhiasan dari batu berharga. Patung kepala ini berwarna emas dengan mulut menyeringai seram dan memamerkan gigi taringnya yang tajam. Matanya ada tiga. Mahkotanya terbuat dari tengkorak manusia. Seperti Kala Bhairab – si Bhairab Hitam yang juga seram – Seto Bhairab adalah salah satu pusat pemujaan penting umat Hindu di Kathmandu. Umat datang membawa prasad (sesaji) berupa bunga dan dupa ke hadapan patung kepala seram [...]

July 2, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 28: Air Mata

Anak-anak keluarga Donchuk. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tak pernah menyesal seperti ini. Gara-gara kenaifan saya, air mata mengalir deras di pipi Donchuk. Saya menginap di rumah Donchuk di desa Shegar, di tepi Jalan Raya Persahabatan yang menghubungkan Tibet dengan Nepal. Rumah ini dipinggir jalan raya, terletak di lantai dua, bahannya dari kayu. Di dalam rumah, ada panggung di sekeliling tungku. Semua dari kayu, warnanya gelap. Ibu Donchuk sudah tua, tetapi tangannya masih kuat menumbuk teh mentega. Adik Donchuk sekolah di Tianjin, bisa berbahasa Mandarin dengan lancar. Pendidikan di Tibet memang terbelakang bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi di belahan timur China, tetapi ada dispensasi khusus kepada putra-putri suku minoritas sehingga mereka berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi di kota yang lebih modern. Kami berbincang banyak hal. Adik Donchuk ini suka sekali daratan China, lagu-lagu Mandarin, dan orang-orangnya. Anak Donchuk masih kecil-kecil. Satu laki-laki, satu perempuan. Orang Tibet tidak diwajibkan mengikuti ‘aturan satu anak’ seperti mayoritas etnik Han. Kedua anak Donchuk lincah, berlari ke sana ke mari, bergaya di depan kamera sambil melompat-lompat. Ada seorang perempuan pula di rumah itu. Masih muda, dari tadi kerjaannya hanya memintal benang atau membantu ibu Donchuk menyiapkan makan malam. Nampaknya ia masih berhubungan saudara dengan keluarga ini, walaupun katanya statusnya [...]

June 9, 2014 // 7 Comments

Selimut Debu 38: Latif Si Pencuri Ulung

Belajar dari kebijaksanaan keledai (AGUSTINUS WIBOWO) Di tengah padang sunyi, kami meneruskan penantian. Satu mobil lain melintas, dilanjutkan yang lain, dilanjutkan yang lain lagi. Tampaknya sedang ada acara pernikahan di Bamiyan. Tetapi semua penuh diisi penumpang perempuan. Tentu saja mereka tak mungkin mengangkut dokter Kabul yang laki-laki ini. Adat melarang perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim untuk duduk bersebelahan. Baru dengan mobil kelima, setelah setengah jam menunggu sang dokter kawan kami akhirnya bisa berangkat balik ke Bamiyan. Dari sini ke Bamiyan butuh waktu satu jam. Pergi pulang paling cepat dua jam. Belum lagi masih harus mencari sopir dan kendaraan, bisa-bisa habis waktu sepanjang hari. Semangatku semakin redup. Aku mengeluarkan buku yang teronggok di dalam tasku. Judulnya Afghan Caravan. Karavan Afghanistan. Negeri ini adalah perlintasan karavan para musafir, melintasi gunung dan padang. Perjalanan adalah jiwa sejarah negeri ini, semua termaktub dalam buku kompilasi berisi kumpulan kisah-kisah legendaris dari Afghanistan, mulai dari dongeng, humor, sampai resep masakan. Satu cerita yang tepat sekali kubaca di tengah kegelisahan ini adalah kumpulan petualangan lucu Latif si Pencuri Ulung. Sungguh bodoh orang yang menangisi kesialan dan tak mau belajar dari pengalaman. Demikian ajaran Latif si Pencuri Ulung yang begitu menohokku saat ini. Seperti halnya kisah-kisah Mullah [...]

December 18, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 37: Kesialan Mendatangkan Kesialan

Meninggalkan Bamiyan dalam kemelut (AGUSTINUS WIBOWO) “Jadi kamu pikir kami ini orang jahat?” Raut muka lelaki Hazara yang menginap di sini tiba-tiba berubah jadi serius. Mata sipitnya memicing. “Ayatullah orang jahat? Aku jahat? Dia jahat? Atau dia jahat?” Ia mengarahkan jari telunjuknya pada semua orang yang duduk di ruangan ini, berurutan dari Ayatullah sampai ke Qurban. Ayatullah dan teman-temannya memulai pagi ini dengan mengolok-olokku, lagi-lagi membuat lelucon bodoh mengenai jijig. Aku sama sekali tidak bernafsu dengan humor porno saat ini. Ayatullah menuang teh hijau ke dalam cawan-cawan, menghirup asap teh yang harum dalam-dalam. Tak-tak-tak-tak. Tangannya terus memutar tasbih. Mereka melanjutkan ritual menertawakan orang Tajik yang bermental pencuri. Aku menyanggah. “Orang Tajik itu tidak jahat. Mereka malah menawariku ongkos pulang.” Aku tidak berniat membandingkan dengan orang-orang Hazara di hadapanku yang tidak berusaha membantu apa-apa tapi sibuk menertawakanku ini. Tapi kalimatku tadi sudah membuat seorang dari mereka terluka, marah. Lelaki yang duduk di samping Ayatullah itu tidak terima, ia menyergapku dengan sederet kalimat pedas bernada rasis. Ayatullah tertawa terkekeh. “Kamu tidak perlu khawatir. Bukankah masih ada seratus dolar di dompetmu?” Aku tidak punya uang sebanyak itu. Hanya ada selembar lima dolar dan beberapa uang receh Afghani. Ongkos paling murah ke Kabul 300 [...]

December 17, 2013 // 0 Comments

Selimut Debu 36: Kegelapan Sempurna

Andaikan aku punya uang sebanyak ini. (AGUSTINUS WIBOWO) Di tengah kekalutan dan kegelapan sempurna seperti ini, langkahku terhenti oleh tentara yang mencurigaiku sebagai teroris. Keamanan di Bamiyan termasuk sangat bagus, tapi malam-malam begini jalan sunyi senyap. Siapa pula orang yang berkeliaran di jalanan pada saat seperti ini? Malam adalah waktu untuk meringkuk di rumah. Seperti sejak zaman invasi Soviet, jam malam masih berlaku di Bamiyan. Setelah matahari terbenam, jangan berada di mana-mana selain di dalam rumah. Tentara itu, yang kulihat hanya bayang-bayang gelap mengeluarkan suara, mulai menanyaiku ini dan itu. Aku cuma ingin segera pergi dari hadapannya. Aku berada dalam kondisi mental di mana ratusan kata-kata mengalir begitu saja dari mulutku. Semua dalam bahasa Inggris. Tanpa logika. Bahkan aku pun tak tahu bicara apa. ”I have no money… you know, someone stole my money. I don’t know how to survive… I don’t know what to do… I have to return to Kabul, but how can I go there? I… I… You know what you are doing? You just add my problem. I am afraid, I am angry, how can I survive in Afghanistan? Help me… help me… Sir, let me go. I go… I now…” Tentara itu mungkin terkejut mendengar [...]

December 16, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 35: Mendadak Miskin

Mendadak miskin di tempat segersang ini (AGUSTINUS WIBOWO) Aku terpaksa harus meninggalkan Bamiyan tanpa uang sepeser pun. Semula aku sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Di benakku sudah terbayang petualangan dahsyat Afghanistan yang menanti. Danau-danau biru magis laksana kristal di Band-e-Amir. Jalanan berdebu menuju pedalaman Bamiyan. Atau menumpang truk melintasi daerah-daerah peninggalan sejarah dan peradaban kuno. Aku begitu bersemangat. Sampai di titik ini. Ketika sebuah insiden menjungkirbalikkan semua perasaan, menghablurkan semua harapan. Kemarin, tepat sebelum tidur, aku menghitung semua uangku. Aku menaruh uangku bersama paspor di dalam sebuah amplop, kuletakkan dalam saku beritsleting di rompiku. Uang dan paspor itu selalu terbungkus amplop, dan aku punya kebiasaan selalu menghitung uang yang tersisa selang dua hari sekali. Aku menginap di kantor LSM milik Akbar Danish. Sekitar pukul 7 malam, di ruangan ini ada aku bersama Ayatullah, seorang lelaki tua yang menjadi guru agama dan punya program siaran keagamaan di Radio Bamiyan. Seperti halnya diriku, Ayatullah juga tamu yang menginap di kantor ini. Masih ada dua lelaki Hazara lain, dan seorang pembantu lelaki. Aku sedang mendengarkan lagu dangdut dari MP3 ketika berusaha mengeluarkan uang dari amplop untuk dihitung. Yang meloncat pertama adalah paspor. Kemudian aku menunggu keluarnya uang afghani pecahan besar. Kejutan! Tidak ada [...]

December 13, 2013 // 1 Comment

Islamabad – Theft

April 11, 2006 Sebuah keluarga terpandang dan religius Saya tinggal di sebuah keluarga di Islamabad. Keluarga ini cukup terpandang dan mempunyai bisnis keluarga yang cukup besar. Secara religius pun sangat dihormati, karena mempunyai nama keluarga Syed, yang berarti keturunan langsung dari Nabi Muhammad. Keluarga Syed Ijaz tinggal di sebuah real estate besar di kawasan orang kaya Islamabad. Islamabad memang dipenuhi oleh orang-orang kaya dengan rumah-rumah raksasa macam istana, macam kompleks Galaxy atau Dharmo di Surabaya. Walaupun modern dan kaya, keluarga Ijaz amatlah sangat religius. Dalam keluarganya, ruang tamu dipisahkan sehelai kelambu, sehingga tamu laki-laki tak bisa melihat penghuni rumah yang perempuan. Hingga beberapa hari tinggal di rumah ini, aku pun tak pernah tahu ada siapa saja perempuan di sana. Yang jelas banyak sekali, namun selain anak-anak dan bari amma, tak satu pun yang pernah aku lihat secara langsung. Aku merasa aman tinggal di rumah ini. Aku disediakan sebuah sofa untuk membaringkan badan. Dan tas ku, yang berisi uang dan paspor, aku biarkan saja tergeletak. Toh dalam tradisi Muslim, jika kita bertamu, kita seharusnya mempercayakan diri kita kepada sang pemilik rumah. Pernah aku ingat seorang tuan rumah Uzbekistan yang marah-marah melihat seorang teman yang diundangnya mengunci pintu kamarnya. Bagi tuan rumah [...]

April 11, 2006 // 0 Comments