Recommended

pesepeda

Titik Nol 118: Firdaus di Atas Awan

Bendera PPP (Pakistan People’s Party) pimpinan Benazir Bhutto berkibar di Karimabad yang dibalut salju tebal (AGUSTINUS WIBOWO) Al pergi meninggalkan Hunza dengan segala kepuasan batinnya, dalam perjalanan pencarian jati dirinya dengan menemukan komunitas orang-orang seiman. Ia tak lagi mengeluhkan hawa dingin, jalan bolong-bolong, dan ketiadaan tiket pesawat. Jiwa yang terpenuhkan membuat segalanya menjadi indah. Sedangkan saya, masih sendiri di pemondokan kakek tua Haider. Salju turun deras beberapa hari lalu. Jalanan desa yang naik turun makin berbahaya dengan lapisan es selicin cermin. Tak ada pilihan. Saya hanya bisa menghabiskan hari dengan selimut dan jaket tebal, membaca buku, dan menyeruput teh hijau hangat dari teko Kakek Haider. “Aap kaise hai? Bagaimana keadaanmu?” Kakek itu menyapa saya. Kerut-merut tajam menghias sudut matanya. Tubuhya berbalut selimut tebal, topi pakkol coklat menutup kepalanya, menyembunyikan rambut yang memutih. “Aap ki dua hai. Mein thik hun.. Berkat doa Anda, saya baik-baik saja,” saya memasang senyum Kakek Haider menatap bola mata saya dalam-dalam. Sudah tiga hari saya beristirahat di desa beku ini gara-gara penyakit hepatitis-A, kenang-kenangan petualangan di India. Saat seluruh tubuh menguning dan dalam keadaan sakit parah, saya berhasil menyeberang ke Pakistan. Hepatitis bukan barang yang asyik untuk dicoba, apalagi dalam perjalanan keliling dunia. Saya sempat takluk [...]

February 4, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 32: Thamel

Thamel meriah menyambut Hari Turisme Dunia. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya datang ke Nepal dirundung kegalauan. Kamera saya, tumpuan harapan saya satu-satunya untuk mengabadikan perjalanan ini, rusak. Masih bisa memotret, tetapi tidak lagi bekerja sempurna. Tak biasanya, kali ini saya tak menumpang bus murah dari perbatasan Kodari menuju ibu kota, tetapi nekad membayar taksi yang harganya lebih mahal tiga kali lipat. Hati saya gundah gara-gara kamera rusak. Tujuan saya hanya ingin cepat-cepat sampai di Kathmandu. Pemandangan sejak dari Tibet berubah drastis. Klakson bus bertalu-talu, bagaikan nada yang mengisi aliran lalu lintas di jalanan sempit berkelok-kelok, di tepi bukit hijau dan hamparan sawah. Pemandangan di sini sungguh mirip di Jawa, sawah, bukit, rumput, pohon, semuanya hijau. Jalan yang sempit dan bolong-bolong, gubuk di pinggir jalan, dan semrawutnya lalu lintas, benar-benar mirip. Tetapi yang membedakan, di sini banyak pos pemeriksaan polisi. Keamanan Nepal terus memburuk sejak gerilyawan Maois semakin menunjukkan pengaruhnya. Setiap mobil yang melintas harus berhenti, para penumpangnya menunjukkan dokumen, dan berjalan kaki melintasi pos. Orang asing boleh tetap tinggal di mobil, karena yang diincar polisi adalah gerilyawan Maois yang menyelundup. Begitu sampai di Kathmandu, saya langsung menuju Thamel, pusat berkumpulnya backpacker, setara dengan Jalan Jaksa di Jakarta atau Khaosan di Bangkok. Setelah [...]

June 16, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 17: Patah Semangat

Semakin dekat ke Lhasa, jalan mulai beraspal.(AGUSTINUS WIBOWO) Sembilan puluh jam berlalu sejak saya berangkat dari kota Ngari. Hujan rintik-rintik turun di Lhasa. Ransel saya, yang disimpan di bagasi, terbungkus lumpur lengket setebal satu sentimeter. Kaki saya lemas, ditekuk sepanjang jalan. Yang paling parah, motivasi saya turut hancur. Sembilan puluh jam yang terbuang di atas bus sempit dan pengap sudah menggerogoti semangat berpetualang saya.. Perjalanan di Tibet tak mudah. Saya sungguh takut menghadapi lintasan yang selanjutnya membentang di hadapan saya – Lhasa, Shigatse, Gyantse, sampai ke Nepal. Masihkah saya punya cukup keberanian untuk menyelundup tanpa permit, main kucing-kucingan dengan tentara dan polisi, menumpang truk sepanjang jalan sampai ke batas akhir perjuangan? Tubuh saya yang remuk redam sudah tak ingin lagi bermain gila-gilaan. Mendung tebal yang menyelimuti kota Lhasa seakan mewakili isi hati. Banakshol Hotel adalah salah satu penginapan paling legendaris di Lhasa. Petualang asing dan dalam negeri menginap di losmen bergaya arsitektur Tibet. Nuansa backpacker ghetto ala Khao San Road (Bangkok) atau Phan Ngum Lao (Saigon) yang jarang dijumpai di tempat lain di negeri China, hidup di sini. Saya menginap di sebuah dormitory bersama Man Fai si turis Hong Kong dan seorang turis lain asal Inggris yang hendak berangkat ke [...]

May 23, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 6: Kerajaan yang Hilang

Pagi hari di Ngari, ketika gunung-gunung salju bersinar kemerahan dibilas mentari. (AGUSTINUS WIBOWO) Mashang, segera, dalam konsep sopir truk Uyghur ini ekuivalen dengan menunggu delapan jam. Truk merek Dongfeng – asli buatan China – baru berangkat meninggalkan Rutog menjelang malam setelah penantian dari siang tadi. Saya duduk berdesakan di bangku sempit sebelah sopir. Saya tak sendiri. Ada Ilya, seorang pesepeda dari Italia. Tibet memang surga bagi para pesepeda. Banyak yang datang jauh-jauh dari Eropa, menempuh perjalanan dengan sepeda melintasi Rusia dan Asia Tengah, masuk Tibet hingga ke Nepal dan India, atau berbelok ke Vietnam dan Asia Tenggara. Di mana-mana saya melihat pesepeda. Bukan hanya orang asing, pemuda-pemudi China pun sudah menempuh perjalanan keliling negara mereka yang luar biasa luasnya, hanya dengan sepeda. Lima tahun lalu, kegiatan menjelajah masih belum terlalu populer di kalangan generasi muda China. Anak muda yang saya temui di universitas semua sibuk belajar untuk meraih beasiswa ke luar negeri. Cita-cita mereka – melihat dunia luar. Waktu itu dengan paspor China sungguh sulit bisa ke luar negeri. Negara-negara lain tak mau memberi visa. Semuanya penuh perjuangan. Sekarang, ketika perekonomian sudah mulai maju, bocah-bocah dari kelas menengah sudah mengenal gaya hidup backpacking. Belajar giat, tetap. Tetapi waktu liburan juga [...]

May 8, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 5: Meja Biliar

Kota modern di tengah gunung (AGUSTINUS WIBOWO) Kalau ada daftar tempat-tempat di ujung dunia yang paling aneh, Rutog pastilah salah satu nominasi. Kota baru yang muncul di tengah kumpulan gunung, sepetak jalan aspal lurus yang mulai dari kepulan debu dan berakhir pada kepulan debu, polisi yang berkeliaran, serta penduduk yang sehari-hari hanya bermain biliar dari pagi hingga malam. Para pesepeda Perancis baru saja berangkat menuju kota Rutog – pemukiman orang Tibet pertama dari arah Pegunungan Kunlun – sepuluh kilometer di selatan Danau Pangong yang masih dibungkus kesunyian ketika matahari pagi sudah memancarkan sinarnya ke sudut-sudut gunung. Jarak sepuluh kilo mestinya tak telalu jauh, bisa jalan kaki. Tetapi karena ini di atap dunia, pada ketinggian 4000 meter lebih, di mana oksigen tipis dan kepala selalu terasa berat, menggendong ransel pun saya hampir tak kuat lagi. Saya duduk di pinggir jalan, di atas ransel, menunggu mobil atau truk yang bisa ditumpangi. Wajah saya sekarang sama dekilnya dengan tas ransel – berbalut debu. Rambut kusut dan kasar. Kulit penuh daki. Pakaian pun jadi hitam. Danau Pangong adalah ironi, di mana danau luas berair jernih dan dingin membentang, di pinggirnya ada perkampungan gubug kumuh dan toilet tanpa air yang dikerubungi lalat hijau sebesar ujung [...]

May 7, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 2: Mimpi Buruk

Bus ranjang susun Tibetan Antelope, satu-satunya perusahaan bus umum yang menuju ke Tibet dari Kargilik. (AGUSTINUS WIBOWO) Bagaimanakah rasanya menyelundup? Keindahan bintang pun tak bisa meneduhkan hati. Dalam tidur malam digoncang-goncang bus yang melintas jalan berbatu pun, yang selalu muncul adalah wajah garang polisi. “Pemeriksaan tadi sangat ketat,” kata Deng Hui, penumpang China yang duduk di depanku. Deng Hui sudah berumur 37 tahun, tetapi hasrat berpetualangnya masih menggebu. Sudah berkali-kali ia masuk Tibet, dan sekarang ia sedang dalam misi menuju Nepal. Bus datang sekitar satu jam setengah setelah saya diturunkan dari taksi. “Tadi polisi benar-benar memeriksa semua orang, mencari apakah ada orang Uyghur di antara penumpang. Katanya ada buronan Uyghur yang mencoba melarikan diri dari Xinjiang menuju Tibet.” Pos pemeriksaan kedua adalah pos tentara. Semua penumpang turun, menunjukkan dokumen. Orang asing hanya menunjukkan sampul paspor, langsung dibolehkan lewat. Perjalanan bus ini seperti penginapan berjalan. Di tengah malam, kami berbaring di kasur kami masing-masing. Lebarnya cuma setengah meter, panjangnya 1.25 meter. Sepanjang malam lutut harus ditekuk. Bau tak sedap, campuran antara bau badan, kaki, sepatu, telur, asinan, memenuhi bus ini. Penumpang tak boleh berjalan di dalam bus beralas sepatu. Setiap naik bus, sepatu harus langsung dimasukkan tas kresek dan digantung di [...]

May 2, 2014 // 3 Comments