Recommended

propaganda

Titik Nol 52: Maois

Gerilyawan Maois menghampiri di pintu gerbang menuju Tal.(AGUSTINUS WIBOWO) Pendakian panjang dan curam akhirnya berakhir juga. Di atas sana, gerbang masuk desa Tal sudah nampak. “Welcome to Manang District”. Selamat datang, selamat datang. Seorang gerilyawan Maois menyambut kami. Hari sudah mulai tinggi ketika kami berangkat dari Chamje. Keith sudah berangkat duluan, karena mengejar waktu. Sementara Jörg masih berbaring malas di kamarnya yang sejuk. Saya memilih untuk berangkat agak siangan. Jörg, seperti saya, juga tak ingin terburu-buru menikmati perjalanan panjang keliling Annapurna ini. Pukul 8:30, matahari sudah panas menyengat, kami berdua baru mulai jalan. Tampaknya Jörg dan saya cocok sekali berjalan bersama, sama-sama pelannya. Saya jadi bisa lebih santai berjalan, tak perlu lagi malu karena berleha-leha. Tangga batu menurun drastis dari desa Chamje. Curam dan panjang. Dari dulu saya paling takut turun gunung terjal. Pengalaman saya terkilir berkali-kali, membuat pandangan saya hanya terpusat ke arah kaki. Keindahan alam sekitar terlewatkan begitu saja. Saya sadar satu hal, saya dilahirkan bukan untuk trekking. Orang memang tidak pernah memilih untuk dilahirkan di mana. Tengoklah orang-orang desa di sini, setiap hari mereka harus berjalan naik turun gunung yang terjal dan curam, melintasi sungai yang mengamuk di atas jembatan gantung yang bergoyang-goyang. Alam yang keras ini [...]

August 5, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 15: Balik Haluan

Peliharalah persatuan bangsa, lawanlah perpecahan bangsa. (AGUSTINUS WIBOWO) Peruntungan saya mungkin memang tidak terlalu baik. Sampai pukul lima sore, di bawah bayang-bayang wajah tergores Gunung Kailash matahari masih panas menyengat, saya memutusukan untuk balik haluan. Kembali ke Darchen, lalu Ngari, kemudian dari sana baru cari bus ke Lhasa. Sudah seharian saya menunggu ke Barga, tak ada satu pun kendaraan yang lewat dari arah mana pun. Man Fai, si turis Hong Kong, sudah menampakkan wajah pasrah. Dahinya mengilap, kumis tipisnya tak karuan. Senyumnya sangat aneh. Tanda-tanda backpacker putus asa. Saya pun tak jauh beda sebenarnya. Sekali lagi, debu mengepul di kejauhan. Ini kendaraan ketiga yang datang dari arah Burang di selatan menuju ke Darchen atau Ngari di utara. Sebenarnya bukan tujuan kami, tetapi nampaknya cuma ini pilihan kami satu-satunya. “Saya sudah tidak mau menginap lagi di sini,” kata Man Fai, “saya harus cepat-cepat ke Lhasa. Waktu saya sudah tinggal sedikit. Tidak tahu lagi kalau menunggu di sini kapan akan ada kendaraan menuju ke Lhasa. Hao nan shuo…. Susah dikata…” Sama sepertinya, saya pun tak punya waktu banyak dengan visa China saya yang tinggal hanya dua minggu lagi. Walaupun bus ini bukan yang kami tunggu, tetapi melihat sebuah kendaraan sebesar ini terhenti [...]

May 21, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 14: Altar Mao Zedong

Mao Zedong dipuja bersama dewa-dewi Budha di altar sebuah rumah di pedalaman Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO) Potret pemimpin Partai Komunis China itu kini bersanding di altar, di samping gambar Boddhisatva Avalokiteshvara, Sang Dewi Kwan Im. Sesajian, lilin, bunga, dan lampu mentega menghiasi sudut rumah yang paling terhormat ini. Apakah Mao sudah menjadi dewa bagi orang Tibet? Dari Darchen ke arah selatan kendaraan sangat jarang. Tak banyak yang melintas dari sini ke arah Lhasa kecuali turis. Sehari mungkin hanya ada satu kendaraan, malah kadang tiga hari pun tak ada sama sekali. “Untung-untunganlah, lihat nasib,” kata Xiao Wang, pemilik warung Sichuan di Darchen. Saya pun mencoba peruntungan saya hari ini, berangkat dengan kaki yang masih pincang ke arah jalan umum tiga kilometer di selatan Darchen, mencegat truk yang lewat, naik bak terbuka, diaduk-aduk bersama kambing di atas jalan yang bergerunjal.. Seorang biksu, yang sama-sama menumpang truk itu bersama kawanan kambing, hanya memandang tanpa ekspresi. Suara motor truk berderu kencang, menenggelamkan semua bunyi di bak terbuka. Saya harus berteriak-teriak untuk bicara dengan biksu itu, yang kemudian dibalas dengan pandangan penuh tanda tanya karena tak mengerti bahasa Mandarin. Truk bergoyang hebat, menggoncang semua yang ada di atas bak terbuka seperti gempa bumi skala dahsyat. Kawanan [...]

May 20, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 3: Parit Kematian

Rumah makan Sichuan di tengah gunung gersang. (AGUSTINUS WIBOWO Bus tergoncang hebat melintasi barisan gunung gersang kelabu. Jalan berkelok-kelok di atas bebatuan. Sungguh alam yang keras tanpa ampun di luar sana. Hanya mereka yang tangguh sajalah yang boleh bertahan di alam seperti ini. Tak disangka, bus ini sungguh luar biasa. Sejak pagi kami suah melintasi tiga gunung pada ketinggian rata-rata 4500 meter. Mulai dari Kudi, Chiragsaldi, dan sekarang Mazar. Karena terhenti selama empat jam tadi pagi, kami baru sampai di puncak Mazar pukul tiga sore. Perut saya sudah keroncongan dan mata berkunang-kunang. Di tempat setinggi ini, oksigen sangat tipis, membuat kita mudah terserang sebuah gejala yang disebut altitude sickness atau penyakit ketinggian. Kepala berat, aliran darah melambat, mual dan muntah. Lebih parah lagi sampai pembuluh darah pecah. Orang yang tak terbiasa tempat tinggi atau yang staminanya buruk mudah sekali terserang gejala ini. Waktu turun di sebuah dusun selepas Mazar, baru 250 kilometer dari Kargilik, kaki saya sudah lemas dan pandangan mulai kabur. Di kanan gunung batu. Di kiri pun gunung batu. Gersang. Angin berhembus kencang, menderu seram, membawa bulir-bulir debu berputar-putar. Kami sekarang berada di ketinggian 3780 meter. Ternyata ada pula manusia yang bisa hidup di tempat seperti ini. Beberapa [...]

May 5, 2014 // 3 Comments

Garis Batas 92: Mari Sucikan Jiwa

Kebanggaan nasional (AGUSTINUS WIBOWO) “Dalam nama ALLAH, yang paling termuliakan … kitab ini, yang ditulis dengan bantuan ilham yang dikirimkan langsung ke hatiku, oleh Tuhan yang menciptakan alam semesta yang agung dan mampu melakukan apa pun yang Ia inginkan, adalah kitab Ruhnama bangsa Turkmen.“ Demikian Sang Turkmenbashi memulai tulisan sepanjang 400 halaman untuk membuka jalan bagi roh-roh bangsa Turkmen. Dalam keheningan malam, saya mulai membalik lembar demi lembar Ruhnama, mengharapkan sebuah kesegaran spiritual Turkmen membasuh jiwa saya yang kering kerontang ini. Kitab ini dibuka dengan sebuah foto Sang Presiden Turkmenbashi, Bapak Bangsa Turkmen, sang penulis agung kitab suci Ruhnama, menebarkan aura kegagahan dan kekuasaan. Dilanjutkan gambar bendera hijau Turkmenistan, perpaduan antara bintang dan permadani indah. Selanjutnya lambang negara, yang melibatkan kuda Altheke, spesies kuda yang hanya ada di Turkmenistan, salah satu kebanggaan bangsa yang tak terperi. Halaman selanjutnya, lambang kepresidenan Turkmenistan, berupa elang berkepala lima. Berikutnya adalah ratusan halaman penuh berisi teks suci Ruhnama, diselingi foto-foto corat-coret Sang Turkmenbashi yang menggubah karya agungnya. Ruhnama, sekali lagi, bukan buku agama. Dia bukan pula buku sejarah. Tetapi campur aduk yang membingungkan antara autobiografi Turkmenbashi, ajaran-ajaran moral, ulasan kultural, percakapan monolog, sampai penulisan sejarah dunia dan Turkmen yang mengundang [...]

October 21, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 91: Ruhnama

Monumen Ruhnama di Berzengi (AGUSTINUS WIBOWO) “Wahai Turkmen! Segala cintaku hanya bagimu. Segala penderitaan hanya untukku” demikian tulis Sang Turkmenbashi dalam buku panduan jiwa, Ruhnama, yang menjadi bacaan wajib semua orang Turkmen. Siapa pengarang buku terlaris di Turkmenistan? Tak perlu terkejut kalau untuk posisi ini pun, Sang Presiden Turkmenbashi menjadi jawaranya. Lihat saja toko-toko buku milik negara yang bertebaran di seluruh Ashgabat. Hampir semua buku yang dijual adalah buah karya Sang Presiden. Warna hijau dan merah kitab suci berjudul Ruhnama memenuhi rak-rak. Ruhnama, dari kata ruh dan nama, artinya ‘kitab jiwa’. Tujuannya untuk mempersiapkan roh dan jiwa bangsa Turkmen menyambut datangnya era baru, Abad Emas yang telah berabad-abad dinantikan kedatangannya. Bukan hanya ditulis dalam bahasa Turkmen, tetapi juga ada versi terjemahan Bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, China, Jepang, Arab, Hungaria, Ceko, Korea, Hindi, Thai, sampai Zulu. Lebih dari 25 bahasa dunia. Turkmenbashi ingin cita-cita dan buah pikirannya pun dibaca seluruh umat manusia di dunia, sebagai sumnbangsih negerinya pada peradaban dan perdamaian di muka bumi. Saya yang terkagum-kagum dengan kedahsyatan toko buku Ruhnama ini, langsung mengeluarkan kamera dan siap menjepret. Mbak penjaga toko serta merta dengan judes berteriak, “Dilarang potret-potret!” Yang jelas, walaupun belum diterjemahkan dan diekspor ke Indonesia, Ruhnama sudah [...]

October 18, 2013 // 8 Comments

Garis Batas 88: Jejak Soeharto

Pasar permadani di Tolkuchka Bazaar(AGUSTINUS WIBOWO) Siapa sangka di negeri yang penuh dengan patung-patung sang Pemimpin Agung yang selalu ingin dipuja setiap detik, saya menemukan jejak mantan presiden kita, Bapak Pembangunan Soeharto, tersembunyi di sebuah sudut pasar. Ashgabat adalah kota yang banjir semboyan. Saya sudah hapal di luar kepala apa itu ‘Ruhnama Jalan Hidup’ dan bahwa ‘Turkmenistan Selalu Merdeka dan Netral’. Saya sudah hapal lekuk-lekuk tubuh dan raut wajah Turkmenbashi. Dan saya tak perlu diingatkan lagi bahwa sekarang kita hidup dalam ‘Abad Emas’. Saya memunguti serpihan-serpihan masa lalu saya dari wajah kota Ashgabat. Saya teringat akan Penataran Pancasila dan jargon-jargon masa lalu seperti era tinggal landas, adil dan makmur, gerakan non-blok, dan semboyan-semboyan penuh kebanggaan sebagai bangsa yang merayakan Indonesia Emas di bawah ‘petunjuk‘ sang nahkoda, Bapak Pembangunan. Mungkin Turkmenistan memang negeri antah berantah yang penuh keajaiban. Tetapi kehidupan di sini bukan hal yang asing sama sekali bagi orang Indonesia. Di pinggiran kota Ashgabat, sekitar delapan kilometer dari pusat kota, ada sebuah pasar kuno yang termashyur di seluruh penjuru Asia Tengah. Pasar ini bernama Tolkuchka Bazaar, yang dalam bahasa Rusia berarti ‘Pasar Tarik’. Mengapa namanya demikian, saya pun tak tahu pasti. Tetapi yang jelas, setiap hari Minggu Tolkuchka Bazaar menjadi [...]

October 15, 2013 // 14 Comments

Garis Batas 87: Baju Indah

Pelajar Turkmen dengan pakaiannya yang indah (AGUSTINUS WIBOWO) Saya masih terkesima dengan pemuda dan pemudi Turkmen yang semuanya berbaju rapi, indah, dan penuh pesona. Apakah ini bagian wajib dari sebuah Abad Emas? Jeyhun adalah seorang mahasiswa teknik mesin di sebuah universitas di Ashgabat. Namanya berarti Sungai Amu Darya, sungai besar yang disebut-sebut sebagai tempat lahirnya peadaban Asia Tengah. Kampung halaman Jeyhun sebenarnya berada di Uzbekistan, di kota kecil Karakul di selatan Bukhara. Tetapi sekarang keluarganya tinggal di kota Turkmenabat, persis di seberang pintu gerbang Uzbekistan. Mahasiswa yang satu ini berpakaian sangat parlente. Kemejanya putih bersih. Dasinya pun berpadu serasi. Yang bikin mana tahan adalah jas hitamnya yang lembut dan gagah. Celana panjangnya pun hitam mengkilap. Tak lupa sepatu hitamnya yang terus-menerus bercahaya. Tak tampak seperti orang Turkmen? Masih ada tahia, topi bundar, tipis, mungil berhiaskan noktah-noktah berwarna kuning dan merah teronggok miring menutupi ubun-ubun di puncak kepalanya. Bukankah berpakaian seperti ini menghabiskan biaya? Harga jas yang berkualitas bagus seperti ini harganya mulai dari 40 dolar sampai 100 dolar. Sangat mahal untuk ukuran mahasiswa. “Tidak masalah,” kata Jeyhun, seorang mahasiswa dari Turkmenabat yang belajar di Ashgabat, “semua orang jadi kelihatan bagus. Para pelajar di sini sangat cantik dan tampan. Tak ada [...]

October 14, 2013 // 4 Comments

Garis Batas 86: Puja dan Puji

Puja bagi Ruhnama (AGUSTINUS WIBOWO) Taman Abad Emas Saparmurat Turkmenbashi yang Agung, nama tempat di mana segala puja dan puji terhadap Sang Pemimpin Besar dipanjatkan setiap minggu, disiarkan secara langsung ke seluruh penjuru negeri oleh televisi negara. Inilah altar pemujaan, yang sepeninggal Sang Pemimpin masih terus melantunkan nyanyian pujian ke angkasa raya. Hari Sabtu dan Minggu sore, taman ini selalu ramai dikerumuni orang. Letaknya di hadapan patung emas Turkmenbashi yang gagah berdiri menyibakkan jubah. Dengan berbekal kamera saya mencoba menyelinap ke tengah kerumunan itu. Tahu-tahu saya diciduk polisi. “Hei, kamu! Mau ke mana?” Saya jawab mau ikut konser. Si polisi tambah curiga, menhardik, “Kamu dari kelas mana? Grup mana?” tanya polisi yang satunya. Kelas? Grup? Waduh, saya kan orang asing yang menyelundup, kok ditanya grup dan kelas. Kedua polisi itu mulai mengancam akan menjebloskan saya ke penjara. Nada-nadanya para pegawai kecil ini ingin mempertunjukkan kekuasaannya. Saya hanya ikut permainan mereka, tersenyum-tersenyum kecil, dan terus memohon-mohon. Ketika mereka lengah saya berhasil menyelinap ke kerumunan orang ramai ini. Sekarang baru saya sadar mengapa polisi-polisi itu mencegat saya. Semua orang yang datang ke tengah kerumunan ini berpakaian hampir sama. Para prianya mengenakan kemeja, dasi, jas hitam kualitas tinggi, dan topi tradisional berbentuk bundar [...]

October 11, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 85: Bukan Emas Tulen

Melewatkan kebosanan di taman. (AGUSTINUS WIBOWO) Abad emas menyelimuti seluruh penjuru negeri Turkmenistan. Patung-patung emas berdiri menyambut datangnya era baru, lengkap dengan slogan, semboyan, motto, dan berbagai ragam jargon. Altyn Asyr, Abad Emas, apa pun namanya, kini menjadi salah satu frase yang paling banyak disebut-sebut di negeri ini. Bicara soal Abad Emas, Marat sama sekali tidak antusias. Marat yang penduduk asli Ashgabat malah bosan dengan hidupnya yang biasa-biasa saja dan terus datar tanpa perubahan. Umurnya baru dua puluhan, tetapi wajahnya sudah nampak tua sekali. Mungkin karena kebosanan luar biasa setiap hari kerut-kerut baru muncul di wajahnya.  “Turkmenistan ini sama sekali bukan tempat untuk bekerja,” keluhnya, “tidak ada uang di sini.” Pekerjaannya sebagai tukang cuci mobil. Sekali mencuci mobil, pendapatannya berkisar antara 30.000 hingga 40.000 Manat. Tidak terlalu kecil sebenarnya, cukup untuk membeli selembar tiket pesawat terbang domestik atau setengah piring nasi plov di pasar. Tetapi masalahnya tak banyak mobil yang bisa dicuci di ibukota kecil ini. Apalagi sudah berapa hari ini hujan turun terus. Tuhan telah memberikan layanan cuci mobil gratis kepada para pemilik mobil, tetapi Marat berteriak kehilangan sumber pemasukan. “Masih jauh lebih baik Uzbekistan. Orang-orang di sana lebih cerdas dan pintar, tahu bagaimana caranya mencari uang,” keluhnya lagi. [...]

October 10, 2013 // 1 Comment

Murgab – 100 Questions and Answers about Tajik Presidential Election

Browsing through the list of candidates A friend of mine, Rosalina Tobing, works in social political section of the Embassy of Republic of Indonesia in Tashkent, Uzbekistan. She often gets assignments to make reports about political moments in Central Asia. These days, the thing which people in Tajikistan like to talk about was the presidential election which is going to happen on November 6, 2006. Besides of this, people in GBAO also like to know more about the spiritual leader Aga Khan who visit the area together with the president. Rosalina asked me to get a book for our embassy’s reference, entitled ‘100 Questions and Answers about Tajikistan Presidential Election”. The book is as mythical as the 1001 Nights. I couldn’t find anywhere in Tajikistan (maybe because I always bumped into wrong places all time) but in election booths in the villages in GBAO. First I saw the book in the community hall , which was magically turned to be an election booth, in Vrang. I tried to ask permission to photocopy it, but the chief of election committee said there was no photocopy machine at all in the village. When I started to take photos of the book with [...]

October 30, 2006 // 0 Comments