Recommended

Rawalpindi

Titik Nol 174: Mehfil-E-Naat

Terhanyut dalam histeria spiritual (AGUSTINUS WIBOWO) “Ya Rasulullah….. Ya Habibullah…” suara sendu melantun lambat, suara yang keluar dari hati yang paling dalam, bergetar dan bergema. Ribuan penonton duduk bersila, tenggelam dalam ketakziman, terhipnotis dalam histeria spiritual, terbasuh hatinya dalam puja dan puji bagi Sang Nabi. Naat adalah barisan lantunan memuja kebesaran Nabi Muhammad S.A.W. Di Pakistan, Naat sangat populer bukan hanya sebagai dakwah tetapi juga bagian ibadah. Saya sering mendengarkan alunan Naat diputar di radio lokal, tape recorder, dan pementasan di masjid-masjid. Walaupun punya segala macam unsur musik, mulai dari syair bersajak, irama, komposisi, iringan suara mulut berdentum-dentum layaknya akapela, panggung pementasan, penonton yang histeris, jangan sekali-sekali menyebut naat sebagai musik atau lagu di Pakistan. Barisan kata-kata dalam naat semuanya berisi tentang Nabi, suri tauladannya, puja-puji dan doa baginya. Bagi mereka yang sangat religius, kata ‘musik’ atau ‘lagu’ berkonotasi negatif dan tidak pantas untuk menyebut kesucian lantunan naat. Bahkan orang menyebutnya sebagai naat-e-sharif, naat yang suci. Kawan saya, keluarga Syed dari Islamabad, adalah salah satu keluarga terpandang di kota ini. Bukan hanya karena Syed adalah keturunan langsung Nabi Muhammad, atau karena mereka aktif dalam kegiatan kemanusiaan menolong korban gempa di Kashmir, keluarga Syed Gilani yang satu ini juga dihormati masyakarat [...]

April 23, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 141: Dari Reruntuhan

Bocah-bocah pengungsi (AGUSTINUS WIBOWO) Mulai hari ini saya punya gelar baru – sukarelawan. Saya sudah berada dalam mobil milik Danish Muslim Aid, sebuah organisasi kemanusiaan, menuju ke Kashmir yang diluluhlantakkan  oleh gempa bumi 8 Oktober 2005. Sudah lama sekali saya ingin ke Kashmir. Saya teringat betapa bulatnya tekad saya untuk menjadi sukarelawan gempa ketika memohon visa Pakistan di New Delhi, lima bulan silam. Tetapi setelah mendapatkan visa, saya malah menyempatkan berkeliling Rajasthan, dan akhirnya mendapat penyakit hepatitis. Mungkin Tuhan mengingatkan saya akan komitmen yang saya buat dahulu. Ada perasaan tertekan dan bersalah, ketika harus menghabiskan hari-hari dengan beristirahat di pegunungan Hunza untuk memulihkan diri dari sakit kuning. Perasaan bersalah akan pengingkaran janji. “Mana Agustinus yang dulu bercita-cita jadi sukarelawan? Mana semangat sosialnya yang menggebu-gebu? Sekarang mengapa malah jadi turis di Hunza?” demikian bunyi e-mail Lam Li yang langsung menampar saya tanpa basa-basi. Hari ini, saya sudah resmi jadi sukarelawan, walaupun terlambat. Seorang kawan di Islamabad menjadi kepala organisasi Danish Muslim Aid (DM-Aid) yang menghimpun dana bantuan dari Denmark. Saya diminta membantu mendokumentasikan kegiatan mereka di lapangan. Saya berada di dalam mobil organisasi bersama Rashid, seorang sukarelawan juga. Rashid masih berumur 25 tahun, tetapi kumis tebalnya membuatnya tampak jauh lebih tua [...]

March 9, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 140: Kota Modern

Kota Islamabad yang modern (AGUSTINUS WIBOWO) “Yang istimewa dari Islamabad adalah,” kata Syed Khalid Raza, pemuda Islamabad, “ibu kota ini terletak sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan.” Berada di Islamabad, kita seakan sudah bukan lagi berada di Pakistan. Lupakan hiruk pikuknya Rawalpindi, benteng dan masjid kuno Lahore, gang sempit yang meliuk-liuk di tengah bazaar Anarkali, atau kereta keledai yang hilir mudik di jalanan kota Pakistan. Di sini bukannya tempat jalan bolong-bolong dan genangan air hitam berbau busuk, bukan pula tempat asap hitam kendaraan bermotor mengotori udara. Selamat datang di sebuah kota masa depan Pakistan, di mana gedung tinggi menjulang sepanjang jalan raya yang mulus, lurus dan lebar, di mana mobil mewah berseliweran, dan rakyat Pakistan meletakkan kebanggaannya. Sebelum tahun 1960, Islamabad bukan apa-apa. Ibu kota Pakistan sejak negeri ini terpisah dari India pada tahun 1947 adalah Karachi. Kota Karachi, jauh di ujung  propinsi Sindh di selatan, di tepi Laut Arab, dianggap kurang strategis letaknya. Presiden Ayub Khan kemudian memindahkan ibu kota ke Rawalpindi pada tahun 1958 lalu pindah lagi ke Islamabad dua tahun kemudian. Ibu kota ini sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan, demikian gurauan penghuni Islamabad. Walaupun jaraknya hanya beberapa kilometer dari Rawalpindi – kota terdekat dan dinyatakan sebagai sister city [...]

March 6, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 139: Do Nambar

Asyiknya naik bus di Pakistan. Duduk di atap bukan pengalaman untuk dicoba kaum hawa. (AGUSTINUS WIBOWO) Bagi perempuan, bepergian seorang diri di Pakistan tidak selalu mudah. Bukan hanya kendaraan yang penuh sesak, tetapi juga ada tangan-tangan jahil yang mengintai. Di Pakistan, di mana segala sesuatu selalu dipisahkan untuk perempuan dan laki-laki, naik kendaraan umum bisa jadi kesusahan sendiri. Aturan mainnya, perempuan tidak boleh duduk di sebelah laki-laki kalau bukan muhrimnya. Untuk bus dan kereta, masalahnya tidak terlalu besar, karena tempat duduk banyak tersedia. Tetapi untuk angkutan kota lain lagi ceritanya. Angkutan umum yang paling banyak mengarungi rute Rawalpindi – Islamabad adalah colt. Maksimal 14 orang bisa disumpalkan ke dalam mobil kecil ini. Jarang sekali saya melihat penumpang perempuan. Bukan hanya karena perempuan tidak banyak bepergian, tetapi sopir pun sering enggan menyediakan tempat buat wanita. Apa sebab? Biasanya, tempat yang tersedia untuk penumpang perempuan adalah dua bangku di depan di sebelah sopir. Itu kalau jam-jam peak hour juga sudah diduduki laki-laki. Kalau bagian tengah atau belakang, kecuali sopir bisa menemukan empat atau delapan penumpang perempuan sekaligus, maka mengangkut penumpang perempuan berarti harus kehilangan banyak slot untuk penumpang laki-laki, yang lebih banyak. Keadaan sedikit lebih gampang kalau si perempuan bepergian dengan saudara [...]

March 5, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 138: Pir Wadhai

Terminal bus Pir Wadhai (AGUSTINUS WIBOWO) Di sini mereka menggantung mimpi, bersama deru mesin bus yang tanpa henti, asap knalpot hitam, selokan bau, debu beterbangan, dan tangisan bocah. Pir Wadhai adalah pembuluh nadi Pakistan, menyambungkan kota-kota di seluruh negeri dengan ibu kota Islamabad yang modern. Terletak di antara kota kembar Islamabad – Rawalpindi, stasiun bus Pir Wadhai adalah tempat interaksi antara saudagar, musafir, pedagang, sopir, kernet, tentara, dan pengungsi. Bermacam mimpi menuntun beragam manusia sampai ke tempat ini. Dan di tempat berdebu dan kumuh inilah tempat mereka menggantung mimpi. Bau busuk tercium dari jauh sebelum saya mencapai Pir Wadhai chowk, pertigaan penuh lobang jalan yang ironisnya malah menjadi tempat perhentian segala macam jenis bus antar kota yang berhenti di Rawalpindi. Menyengat, menusuk hidung, segala jenis sampah basah dan kering menyumbat selokan terbuka dengan air hitam yang tergenang. Debu dan asap hitam membungkus lingkungan manusia yang bertahan hidup. Ada orang makan di pinggir jalan, dikerubungi lalat beterbangan. Tempat ini adalah surga bagi serangga kotor itu, tetapi neraka bagi manusia yang tinggal di sana. Perkampungan kumuh semburat tak beraturan di dekat terminal ramai. Warnanya semua sama – coklat kemerahan, warna bata yang tidak dicat, warna tanah lumpur yang membungkus bumi. Sedikit variasi [...]

March 4, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 133: Ya Hussain

Menangisi penderitaan Hussain (AGUSTINUS WIBOWO) Bulan Muharram membawa kemuraman di seluruh penjuru Pakistan. Seketika, banyak orang berbaju hitam-hitam. Hingar bingar musik dan lagu India tak lagi terdengar. Para penabuh genderang jalanan, orang-orang bersurban dan bertrompet pemeriah pesta pernikahan, lenyap dari berbagai sudut kota. Tak ada orang yang menikah dalam bulan ini. Muharram adalah bulan perkabungan. Saya berada dalam bus antar kota yang menghubungkan Rawalpindi dengan Lahore. Kaset tua membunyikan lagu-lagu penuh kesedihan. Sebenarnya ini bukan lagu, tetapi alunan syair tentang perkabungan. Musiknya juga bukan dari alat musik, tetapi dari dada yang ditepuk secara serempak, berirama. Ada kekuatan magis di dalamnya, semua yang mendengarnya pasti larut dalam kesedihan. Di Indonesia, Muharram dirayakan sebagai Tahun Baru Islam. Di Pakistan, Muharram adalah waktu di mana orang meratapi kematian Imam Hussain, cucu Nabi Muhammad S.A.W yang gugur dalam perang Karbala. Perang ini adalah lambang keberanian untuk mengorbankan nyawa untuk membela kebenaran dan melawan kebatilan. Puncak perkabungan Muharram adalah hari Ashura, jatuh pada tanggal 10 Muharram. Kata Ashura berasal dari bahasa Arab, artinya ‘kesepuluh’. Pada hari inilah Hussain gugur dalam pertempuran melawan pasukan Yazid, tahun 61 Hijriyah. Ashura adalah hari teramat penting bagi umat Syiah, sekitar 20 persen jumlahnya di kalangan Muslim Pakistan. Tetapi Ashura [...]

February 25, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 132: Losmen Murah di Rawalpindi

Para buruh harian menanti pekerjaan di Rajja Bazaar (AGUSTINUS WIBOWO) Dengan visa Pakistan dari India, sungguh susah mencari losmen murah di Rawalpindi. Dan akhirnya saya malah terjebak di tempat seperti ini. Semua visa Pakistan yang diterbitkan High Commission of Pakistan di New Delhi distempel “Visa Not Valid for Cantt Area”. Cantt adalah singkatan Cantontment, kota garnisun, peninggalan kolonial Inggris di kota-kota British India yang sekarang masih menjadi pusat aktivitas pertahanan Pakistan. Biasanya memang tidak banyak pengaruhnya untuk turis karena saya bukan turis mata-mata yang ingin mengintai persenjataan, perbentengan, teknologi nuklir, pasukan tempur, dan lain-lain untuk dilaporkan kepada India. Tetapi, di Rawalpindi, cap stempel di atas visa sangat mengganggu, karena kebanyakan losmen murah terletak di daerah pasar ramai Saddar Bazaar yang kebetulan bertetangga dengan daerah kota garnisun. Tak bisa menginap di Saddar, saya langsung menuju ke Rajja Bazaar, pasar ramai lainnya di kota ini. Perjalanan panjang 20 jam dari Gilgit memang sangat menyiksa. Yang saya inginkan sekarang adalah sebidang kasur empuk untuk beristirahat barang sejenak. Tetapi mencari penginapan tidak mudah. Hotel Tujuh Bersaudara yang nampak kumuh dan gelap katanya sudah fully booked padahal dari luar tampaknya semua kamarnya kosong. Saya disuruh ke hotel di sebelahnya, Hotel Javed, yang kelihatan lebih bersih [...]

February 24, 2015 // 1 Comment

Titik Nol (127): Dusun Mati

Desa mati yang ditinggal penduduknya di musim dingin (AGUSTINUS WIBOWO) Dusun Karimabad terperangkap dalam sepi. Salju terus mengguyur, menyelimuti lereng gunung dengan warna putih yang merambah semua sudut. Teras-teras ladang bagaikan lautan salju yang berombak. Saya juga terperangkap di sini. Sekarang hanya ada seutas jalan yang menghubungkan Karimabad dengan dunia luar – Karakoram Highway. Ke utara, ke arah China, perbatasan ditutup total sejak awal Januari. Ke selatan, ke arah kota-kota Pakistan, jalan pun tertutup oleh longsoran batu gunung. Seluruh wilayah Northern Areas sekarang terperangkap dalam dunianya sendiri. Saya sudah ingin cepat-cepat meninggalkan surga di lereng Karakoram ini menuju Kashmir, tempat saya seharusnya bekerja sebagai sukarelawan. Tetapi harga karcis bus ke Rawalpindi sungguh mahal, 821 Rupee. Karenanya, saya langsung mengiyakan tawaran Akhtar, pemuda dari Sost, yang katanya mau berangkat bersama menuju Islamabad dengan kendaraan pribadinya. Tetapi janji orang sini tak boleh dipercaya seratus persen. Akhtar berkata, seminggu lagi kita berangkat. Saya sudah menunggu seminggu penuh, tak ada kabar juga. Komunikasi satu-satunya yang mungkin hanya via telepon. Di musim dingin begini, hanya ada satu warung telepon yang buka di Karimabad. Saya harus naik bukit hanya untuk sekadar menanyakan kapan ia berangkat. Jawabannya, bisa ditebak, “Mister,‘dua’ hari lagi”. Dua hari berikutnya, di bawah [...]

February 17, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 124: Mehman

Puncak-puncak lancip pegunungan di Pasu (AGUSTINUS WIBOWO) “Aap hamare mehman hai. Anda adalah tamu kami,” kata seorang sopir truk dari Karimabad, yang – selain menolak menerima ongkos –  menawari saya sekotak biskuit dan sekaleng minuman. Saya hampir tak bisa berkata-kata menerima ketulusan persahabatan ini. Jika Anda menjelajah Pakistan, ada satu hal yang selalu hadir: keramahtamahan.  Dalam bahasa Urdu disebut mehmannavazi. Tak peduli betapa miskinnya orang-orang di negeri ini, bagaimana pun tingkat pendidikan dan latar belakang sosialnya, semuanya seakan berlomba menawarkan yang terbaik untuk para tamu. Mehman, sebuah konsep yang melekat dalam sanubari penduduk setempat. Begitu kuatnya, sampai saya jadi malu sendiri. Tuan rumah tak makan tak mengapa, asalkan tamu dijamu dengan limpahan makanan mewah. Tak ada uang tak mengapa, asalkan sang tamu tetap merasa nyaman. Menggigil kedinginan bukan masalah, asalkan sang tamu tetap hangat dan lelap. Dari Chapursan kembali ke Karimabad, saya harus melewati Kota Sost di perbatasan Pakistan-Cina. Harga karcis angkot Sost-Karimabad cuma 100 Rupee, sekitar 15 ribu. Tidak mahal. Tapi saya memutuskan berjalan kaki agar lebih menikmati keindahan lembah-lembah dan barisan gunung Karakoram. Kalau sudah capek, sesekali saya menumpang mobil yang melintas. Hari ini matahari bersinar cerah. Lembah tanpa sinar mentari di Chapursan menjadi kenangan. Barisan pegunungan Gojal [...]

February 12, 2015 // 2 Comments

#1Pic1Day: Pakistan Streets #5 (Rawalpindi, 2006)

  Pakistan Streets #5 (Rawalpindi, 2006) Physical interaction between Pakistani men is quite intense compared to it is in most countries. But physical interaction between opposite sexes is not visible on the streets and other public space. Jalanan Pakistan #5 (Rawalpindi, 2006) Interaksi fisik antar lelaki di Pakistan sangat intens dibandingkan di kebanyakan negara. Tetapi interaksi antara lelaki dan perempuan tidak terlihat sama sekali di jalanan dan tempat umum lainnya.     [...]

December 27, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Pakistan Streets #3 (Rawalpindi, 2006)

  Pakistan Streets #3 (Rawalpindi, 2006) Workers in busy bazaar of Rawalpindi have some tea and chit-chat before the working hours. Jalanan Pakistan #3 (Rawalpindi, 2006) Para kuli di bazaar ramai Rawalpindi sedang bersarapan dengan minum teh dan mengobrol sebelum memulai pekerjaan.   [...]

December 25, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Pencari Kerja | Job Seekers (Rawalpindi, Pakistan, 2006)

Job Seekers (Rawalpindi, Pakistan, 2006) Since early morning, daily job seekers wait for opportunity of the day on the busy main streets of Rawalpindi, Pakistan. Pencari Kerja (Rawalpindi, Pakistan, 2006) Sejak pagi buta, para pencari kerja harian telah duduk di jalanan utama yang sibuk kota Rawalpindi, Pakistan, menantikan kesempatan dan peruntungan mereka di hari itu. [...]

November 11, 2013 // 8 Comments

Selimut Debu 5: Pakistan yang Sesungguhnya

Sambutan hangat orang-orang Pashtun (AGUSTINUS WIBOWO) Meninggalkan gunung-gunung di utara, aku memasuki dunia Pakistan yang sesungguhnya. Padat, ramai, kotor, kumuh, kuno, dan hanya laki-laki. Rawalpindi adalah kota kembar dari ibukota Pakistan, Islamabad. Jarak antara keduanya hanya 15 kilometer, tapi seperti dipisahkan dalam lintasan waktu yang sama sekali berbeda. Islamabad adalah kota baru yang modern, sepi dan lengang, membosankan. Orang bilang, ibukota Pakistan itu letaknya 15 kilometer jauhnya dari Pakistan. Saking tidak alaminya, ibukota mereka sudah seperti bukan negara mereka sendiri. Sedangkan Rawalpindi memang kuno dan padat, kumuh dan ramai, tetapi sungguh hidup. Inilah Pakistan dalam bayanganku, yang kuimpikan selama ini. Para lelaki berjubah panjang berkibar-kibar lalu lalang di sepanjang jalan. Aroma sate kebab yang menyeruak hidung, juga lezatnya teh susu hangat yang dituang ke gelas-gelas. Suara minyak di wajan datar menjerit, menggoreng roti tipis yang renyah lagi panas. Sayang, karena uangku terbatas, aku tidak pernah berkesempatan mencicip rasanya. Setiap hari makananku adalah nasi berminyak polos yang kubeli di pasar, tanpa sayur tanpa daging, dengan air minum gratisan yang gelasnya harus berbagi dengan semua pengunjung pasar. Meninggalkan Northern Areas, kehidupan lengang di Hunza sudah jadi memori. Kita masuk ke Pakistan yang sebenarnya. Di jalanan hanya ada lelaki, dan cuma lelaki. Aku [...]

November 1, 2013 // 19 Comments

Rawalpindi – Dannish Cartoon

A demonstration day, a hartal day, means all shop and businesses and schools have to be closed February 22, 2006 Still stucked in Rawalpindi, waiting the departure with an NGO (Dannish Muslim Aid) to go to Muzaffarabad. The NGO itself bearing the name of Danmark, the most unfavorable country name in Muslim countries nowadays. The situation in Pakistan, in many parts of the country, is in unrest condition. After the huge disorder in Lahore, the bigger destruction happened in Peshawar – understandably with more traditional society. In the twin cities of Islamabad and Rawalpindi, many of educational institutions are closed until the 23rd. Last Monday, 19th, was the biggest day in Islamabad and Rawalpindi. Most shops were closed, hartal. The main roads connecting the twin cities were blocked by police. There was call for demonstration, and the police worked hard to prevent the demonstrators to reach the capital, where the government institutions and embassies are located. Still, the demonstrators successfully reached the capital through the small alleys and paths used by villagers. And disorder, with firing and stone throwing, happened in Aabpara, Islamabad. The scale was not as big as in Lahore though. These days, the situation is still not [...]

February 22, 2006 // 1 Comment

Rawalpindi – Another Night in Rawalpindi

In fact, Rawalpindi is usually a friendly city February 16, 2006 After the 6 hour gruelling bus journey from Lahore, I arrived in Pindi. Today met an expat, from Switzerland, have been in Pakistan for years and speaks brilliant Urdu. We were discussing about what we feels in Pakistan, as foreigners. And somehow we shared many similar opinions. Pakistan for me, in my first visit, was a perfect country with honest people everywhere (despite the sexual harassments) but after I speak Urdu and involved more in the conversation with the locals, I found more and more contradiction and hypocrycy. When we were walking together on Muree Road to go home, he asked me whether I had an experience of someone driving car and stop to offer me free ride. I said except those Pathan truck drivers in Northern Areas, I didnt have this kind of experience. I am a boy anyway, I never expected a rich old man will stop his car to offer me free ride and another thing. But just one minute after we talked about this, suddenly a very luxurious car following us, maybe seeing me with a bag. The car moved slowly, and slowly, and the [...]

February 16, 2006 // 3 Comments

Rawalpindi – Peak Hours

Commuting in Pakistan can somehow be crazy. Almost no women are visible, by the way February 4, 2006 The intercity buses connecting the twin cities Islamabad and Rawalpindi (the two totally different twins) are such important like blood and heartbeat in a human body. In the peak hours, many of Rawalpindi dwellers going to Islamabad for education and works, that getting a bus could be very difficult (women especially, due to the rules of seats). Waiting for lift is difficult, that everyone has to fight to be lifted, and in the little sized Toyota, standing up without seat means that you have to forget that you have backbones for a while. Squeezed. I felt relieved I got a seat, which was incredebly a luck. The standing quota for passengers is usually two people, but our Toyota took more people. Actually the passengers were also happy as they got lifted, even though the Toyota was overloading. But the policemen didnt. Our Toyota was stopped by the police, the driver got annoyed, screamed, then cried. The overloading passengers were asked to find another transport (even though they have paid), the traffic jammed for a while because our Toyota blocked the main road. [...]

February 4, 2006 // 0 Comments

Rawalpindi – Slums

Phir Wadhai February 1, 2006 A whole day in Phir Wadhai. Phir Wadhai might be never been in any places you wanna visit. Phir Wadhai is the most important transport hub in Rawalpindi, where you can get bus from here to anywhere in Pakistan. But as other bus terminals in Java (Indonesia), Phir Wadhai is another stinky and polluted place. First I saw the place at a glance from the bus which took me from Gilgit to Pindi. I suddenly ‘fell in love’ with it. The huge stinky pond of unflowing water flourishing the road, while people selling fruits, grilled meat, rice, and anything ‘eatable’ around the stinky black water. The environment made me curious how people here survive, and at last I decided to spend a full day in Phir Wadhai to discover the life here. Rawalpindi is a harsh metropolitan, with dreams to offer about high income to the villagers all around Pakistan. Here you can meet people from Northern Areas, Balucshistan, Sindh, Punjab, from big cities like Karachi and Lahore until small villages in the middle of Thar desert. The life here is not that easy, of course. Many of these people are uneducated, so they end [...]

February 1, 2006 // 3 Comments

Rawalpindi – Welcome to Rawalpindi

Guys having fun in Rawalpindi January 27, 2006 Hotel Al Hayat Hotel, Liaquat Chowk, Pindi, 130 Rs/nite The gruelling 20 hours bus journey from Gilgit, which I regretted to take, at last finished. The regret came from to my anxiety of getting the ticket since the road block, that I thought the ticket can be difficult to get, so I booked earlier. The bus I booked started at 3 pm yesterday, and I booked the ticket at 12. When I lingered along gilgit road, I was invited by Pathani truck drivers to go with them in their truck to Pindi. But I had the bus ticket already, and they couldnt wait for me to cancel the ticket. What happened next was I attracted so much crowds on the streets, as I tried to explain to the drivers that I would like to go with them but I need to cancel the ticket I got first (650 Rs, not that cheap to throw away). Then the owner of their truck coming, and saying I had to pay 400 Rs if I hitch the truck, which I think more like a polite refusal and suggested me to take bus still. So I [...]

January 27, 2006 // 2 Comments

Karimabad – Travelling Again

Journey is about meeting and farewell. Now comes the time to say goodbye to Hunza. January 24, 2006 His name is Hassan Shah, a father of 4 sons and 1 daughter. Today, two of his sons are going to leave him to Manshera, which is around 18 hours away bus journey from Karimabad. Hussain Shah, one of the sons, is bringing his elder brother, Salman Shah, for medical check up. His brother has got a sudden mental attack 2 years ago, and regular check up is needed, as now Salman’s hairs are getting lesser and lesser. This might be a very, very common farewell of a short separate between father and sons. But when this happen to Karimabad, in a family which rarely separated each other, this can be very dramatic. Hussain has never been further than Rawalpindi, not to mention how he dreamed to go abroad. But as Northern Areas citizen, passport for them is not easy to get. Only China is the country that people from this area can go, easily, with border pass. Passport for Northern Areas could be 100 times more difficult than those for other Pakistanis. That’s why leaving house is a big deal here, [...]

January 24, 2006 // 2 Comments

Rawalpindi – Cantontment?

I never expected that it’s very difficult to find a place to stay in this city Imperial Hotel, Muree Road, Rawalpindi 400Rs/double bed room After the 5 hour bus journey from Lahore to Islamabad, and long taxi drive to Saddar Bazaar in Rawalpindi, I was really resent by the hotel owner who refused me to stay in his hotel. Saddar Bazaar is the place for the budget hotels in Rawalpindi, where 2 years ago I used to stay. Today, they refused to accept me as their guest, as there is a stamp ‘Visa not Valid for Cannt Area’ on my visa page. I didnt realize what the meaning of the small stamp on my visa before today. The feeling of being refused in a hotel was very bad. I can imagine the same feeling of people being refused to enter a certain country despite of possessing the valid visa. And I felt disappointed, badly treated, being looked as second class man, etc. Cantontment is military area, which sometimes also include residential and bazaar area, as in this example Saddar Bazaar in Rawalpindi. I didnt know about this before. I am worrying whether this visa will affect my journey thru the [...]

December 17, 2005 // 0 Comments