Recommended

readers digest

Reader’s Digest Indonesia (2010): Menyingkap Selimut Debu Afghanistan

N U K I L A N READER’S DIGEST INDONESIA DESEMBER 2010 Menyingkap Selimut Debu Afghanistan Perjalanan menelusuri raga negeri yang biasa dihadirkan lewat gambaran reruntuhan bangunan, korban ranjau, atau anak jalanan mengemis di jalan umum, akan membuka mata Anda kepada prosesi kehidupan di tanah magis itu. Oleh Agustinus Wibowo “Selimut Debu” oleh Agustinus Wibowo; diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama, 2010 Khaak adalah Afghanistan. Dalam bahasa Dari dan Pashto – dua bahasa resmi Afghanistan, khaak berarti debu. Tak ada yang bisa lari dari khaak. Kerudung pria Afghan tidak menghalangi khaak. Khaak terbang menembus kisi-kisi burqa yang membungkus kaum perempuan. Bulir-bulir debu mengalir bersama angin, menyelinap melalui setiap rongga udara, langsung menembus ke sanubari. Debu memang menyelimuti seluruh penjuru Afghanistan, dari utara hingga selatan, dari timur hingga barat, menjadi makanan sepanjang hari, mengalir bersama embusan napas. Namun khaak juga bisa berarti tanah kelahiran, tumpah darah, segenap hidup dan mati. Saya melewati portal garis batas Pakistan. Sekitar 20 meter di depan saya, tampak gapura Afghanistan. Saya berdiri terseok-seok, bersama khaak dan setumpuk mimpi. Jubah qamiz dan celana kombor shalwar bekas yang saya pakai sudah lusuh. Khaak sudah memenuhi ronga mulut, kerongkongan dan paru-paru. Ada bimbang dalam hati, ketika melangkah perlahan di antara [...]

November 26, 2010 // 8 Comments

Reader’s Digest Indonesia (2010): Terpukau Oleh Peradaban dan Alam

October 2010 Reader’s Digest Indonesia Memori Destinasi bukan lagi menjadi sesuatu yang penting, tetapi bagaimana proses yang terjadi selama perjalanan itu sendiri. Oleh Agustinus Wibowo Ini adalah perjalanan yang dimulai dari sebuah mimpi. Mimpi untuk menyingkap rahasia negeri Afghan. Mimpi yang membawa saya berjalan ribuan kilometer untuk menemukan rohnya, menikmati kecantikannya, merasakan air mata yang membasahi pipinya….” Begitulah tulisan dalam buku harian kumal yang menemani perjalanan panjang saya dari Beijing hingga ke Afghanistan. Hanya dengan berbekal 300 dolar, menumpang kereta kelas kambing, bus, truk, melintasi gunung-gunung Pakistan utara, bertahan hidup dengan jajanan pasar, menembus keganasan panasnya kota Peshawar dan terguncang-guncang dalam mobil berdebu saat menembus perbatasan. Sampai akhirnya saya berdiri penuh takzim di hadapan reruntuhan patung Buddha Bamiyan, Afghanistan. Surga yang cantik, dengan ranjau bertebaran di mana-mana. Perang dan pertumpahan darah seperti cadar hitam yang menyelubungi tanah Bangsa Afghan, yang diselimuti debu tebal dan dilupakan orang. Tragis memang, karena negara itu sebenarnya sangat indah dan permai. Dan meski begitu berat dan melelahkan, saya terus berjalan mengelilingi Afghanistan, untuk menemukan rahasia dan misteri negeri kuno itu, dan menjalin persaudaraan dengan warga Afghan, yang ternyata menerima saya dengan tangan terbuka, penuh cinta dan persahabatan. Tanpa terasa, dua tahun saya habiskan untuk [...]

October 8, 2010 // 6 Comments