Recommended

religius

Titik Nol 140: Kota Modern

Kota Islamabad yang modern (AGUSTINUS WIBOWO) “Yang istimewa dari Islamabad adalah,” kata Syed Khalid Raza, pemuda Islamabad, “ibu kota ini terletak sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan.” Berada di Islamabad, kita seakan sudah bukan lagi berada di Pakistan. Lupakan hiruk pikuknya Rawalpindi, benteng dan masjid kuno Lahore, gang sempit yang meliuk-liuk di tengah bazaar Anarkali, atau kereta keledai yang hilir mudik di jalanan kota Pakistan. Di sini bukannya tempat jalan bolong-bolong dan genangan air hitam berbau busuk, bukan pula tempat asap hitam kendaraan bermotor mengotori udara. Selamat datang di sebuah kota masa depan Pakistan, di mana gedung tinggi menjulang sepanjang jalan raya yang mulus, lurus dan lebar, di mana mobil mewah berseliweran, dan rakyat Pakistan meletakkan kebanggaannya. Sebelum tahun 1960, Islamabad bukan apa-apa. Ibu kota Pakistan sejak negeri ini terpisah dari India pada tahun 1947 adalah Karachi. Kota Karachi, jauh di ujung  propinsi Sindh di selatan, di tepi Laut Arab, dianggap kurang strategis letaknya. Presiden Ayub Khan kemudian memindahkan ibu kota ke Rawalpindi pada tahun 1958 lalu pindah lagi ke Islamabad dua tahun kemudian. Ibu kota ini sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan, demikian gurauan penghuni Islamabad. Walaupun jaraknya hanya beberapa kilometer dari Rawalpindi – kota terdekat dan dinyatakan sebagai sister city [...]

March 6, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 139: Do Nambar

Asyiknya naik bus di Pakistan. Duduk di atap bukan pengalaman untuk dicoba kaum hawa. (AGUSTINUS WIBOWO) Bagi perempuan, bepergian seorang diri di Pakistan tidak selalu mudah. Bukan hanya kendaraan yang penuh sesak, tetapi juga ada tangan-tangan jahil yang mengintai. Di Pakistan, di mana segala sesuatu selalu dipisahkan untuk perempuan dan laki-laki, naik kendaraan umum bisa jadi kesusahan sendiri. Aturan mainnya, perempuan tidak boleh duduk di sebelah laki-laki kalau bukan muhrimnya. Untuk bus dan kereta, masalahnya tidak terlalu besar, karena tempat duduk banyak tersedia. Tetapi untuk angkutan kota lain lagi ceritanya. Angkutan umum yang paling banyak mengarungi rute Rawalpindi – Islamabad adalah colt. Maksimal 14 orang bisa disumpalkan ke dalam mobil kecil ini. Jarang sekali saya melihat penumpang perempuan. Bukan hanya karena perempuan tidak banyak bepergian, tetapi sopir pun sering enggan menyediakan tempat buat wanita. Apa sebab? Biasanya, tempat yang tersedia untuk penumpang perempuan adalah dua bangku di depan di sebelah sopir. Itu kalau jam-jam peak hour juga sudah diduduki laki-laki. Kalau bagian tengah atau belakang, kecuali sopir bisa menemukan empat atau delapan penumpang perempuan sekaligus, maka mengangkut penumpang perempuan berarti harus kehilangan banyak slot untuk penumpang laki-laki, yang lebih banyak. Keadaan sedikit lebih gampang kalau si perempuan bepergian dengan saudara [...]

March 5, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 136: Hancur Lebur

Api di mana-mana (AGUSTINUS WIBOWO) Saya dikeroyok orang-orang yang mulai beringas. Teriakan penuh marah terus bergemuruh. Asap mengepul di mana-mana. Data Darbar diselimuti lautan laki-laki yang membeludakkan semua kekesalan, “Bush anjing! Bush anjing!” bersahut-sahutan membahana. Tiba-tiba tangan saya diseret seseorang. “Ikut saya,” katanya lembut, di tengah keberingasan gerombolan lelaki yang mengepung saya. Pria bertubuh gemuk ini kemudian menghalau orang-orang beringas yang masih berusaha menyerang saya. “Kita ke rumah dulu, yuk,” katanya. Saya mengangguk. Qutbi bukan saja menyelamatkan saya dari kekisruhan, dia masih memberi saya segelas air dingin. Di dalam halaman rumahnya yang sederhana, saya aman. “Kamu pulang saja. Hari ini berbahaya sekali. Semua orang sudah jadi gila,” ia menganjurkan. Saya menggeleng. Qutbi pun tak berdaya dengan kekeraskepalaan saya. Istrinya yang bercadar sekujur tubuh datang membawa sebuah kopiah putih. Qutbi memasangkannya di atas kepala saya. “Sekarang kamu sudah seperti pelajar Muslim,” kata Qutbi, “Orang-orang itu tidak akan mengganggumu lagi.” Saya sangat terharu. Qutbi tidak tega melihat saya turun ke jalan sendirian. Ia menjadi pengawal saya. Saya merasa aman sekali. Kami kembali ke Data Darbar. Orang-orang baru saja bershalat, dan sekarang siap bergerak, melakukan pawai jalanan keliling Lahore. Suasana semakin panas dan kacau. Asap mengepul tinggi dan api berkobar di mana-mana. Di [...]

March 2, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 135: Bukan Hari Valentine Biasa

Kerusuhan di depan Data Darbar (AGUSTINUS WIBOWO) 14 Februari 2006. Matahari sudah mulai tinggi di Lahore. Tetapi tak ada hiruk pikuk klakson kendaraan di jalan raya yang biasanya selalu ruwet oleh segala macam kendaraan. Toko sepanjang jalan tutup semua. Bahkan sarapan pun susah. Ada apa ini? “Hartal,” demikian jawab pemilik penginapan tempat saya tinggal. Artinya mogok – acara mogok massal di mana semua toko-toko tutup, semua orang tak bekerja dan mengurung diri di rumah, kendaraan tidak hilir mudik, semua kantor tak beroperasi. Saya ingat hartal adalah salah satu gerakan damai Mahatma Gandhi melawan imperialisme Inggris. Hingga sekarang, acara mogok-mogokan massal ini masih sangat populer di negara-negara Asia Selatan. “Bukan, bukan hartal,” sanggah seorang pemuda pemilik guesthouse tempat menginapnya para backpacker asing, “Kamu lupa? Hari ini kan hari Valentine. Ini hari cinta kasih di Pakistan, dan dirayakan di seluruh negeri. Kamu pergi saja ke taman kota. Di sana kamu melihat pasangan muda-mudi memadu kasih.” Sejak kapan Pakistan merayakan hari Valentine? Tak ayal, saya tetap melangkahkan kaki ke arah taman kota. Jalan raya Mall Road, jalan paling ramai di Lahore, hari ini tampak lengang dan sunyi. Yang bertebaran di mana-mana cuma polisi Pakistan, berseragam coklat abu-abu, membawa tongkat kayu. Demonstrasi damai yang [...]

February 27, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 134: Lambang Cinta

Maatam, memukuli dada sendiri melambangkan duka cita yang mendalam (AGUSTINUS WIBOWO) Para pria ini kalap. Mereka memukulkan pisau ke punggung mereka. Berkali-kali, tanpa henti. Darah segar mengalir. Inilah lambang cinta bagi sang Imam Hussain. Ada banyak cara menunjukkan duka cita ketika ditinggal pergi orang yang disayangi. Ada yang menangis berhari-hari. Ada yang berpantang kesenangan selama empat puluh hari. Ada yang mengurung diri, tak mau bicara dengan siapa pun. Ada pula yang menyakiti diri sendiri, untuk menunjukkan kesedihan yang tak terkira. Ratusan pria yang berkumpul di sebuah lapangan di Lahore ini termasuk golongan yang disebut terakhir. Begitu kesedihan mereka mencapai klimaks, lautan massa menangis keras dan suara pukulan-pukulan pada kepala dan dada berlangsung serempak, tamparan-tamparan di wajah sendiri meninggalkan jejak-jejak tangan. Kaum perempuan sudah meledak air matanya di balik cadarnya yang hitam pekat. Tangisan yang tak lagi terbendung mengeringkan kantung air mata, para pria yang bertelanjang dada berebutan menggapai rantai pisau, untuk menunjukkan cinta mereka pada sang Imam yang syahid dalam membela kebenaran. Massa mulai tidak terkendali. Semuanya berdiri dan saling dorong. laki-laki yang bertelanjang dada saling berebutan zanjir, rantai.  Rantai ini berupa rangkaian beberapa bilah pisau berujung melengkung, terikat oleh jalinan rantai logam. Bilah pisau bermata tajam, cukup untuk menyayat [...]

February 26, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 133: Ya Hussain

Menangisi penderitaan Hussain (AGUSTINUS WIBOWO) Bulan Muharram membawa kemuraman di seluruh penjuru Pakistan. Seketika, banyak orang berbaju hitam-hitam. Hingar bingar musik dan lagu India tak lagi terdengar. Para penabuh genderang jalanan, orang-orang bersurban dan bertrompet pemeriah pesta pernikahan, lenyap dari berbagai sudut kota. Tak ada orang yang menikah dalam bulan ini. Muharram adalah bulan perkabungan. Saya berada dalam bus antar kota yang menghubungkan Rawalpindi dengan Lahore. Kaset tua membunyikan lagu-lagu penuh kesedihan. Sebenarnya ini bukan lagu, tetapi alunan syair tentang perkabungan. Musiknya juga bukan dari alat musik, tetapi dari dada yang ditepuk secara serempak, berirama. Ada kekuatan magis di dalamnya, semua yang mendengarnya pasti larut dalam kesedihan. Di Indonesia, Muharram dirayakan sebagai Tahun Baru Islam. Di Pakistan, Muharram adalah waktu di mana orang meratapi kematian Imam Hussain, cucu Nabi Muhammad S.A.W yang gugur dalam perang Karbala. Perang ini adalah lambang keberanian untuk mengorbankan nyawa untuk membela kebenaran dan melawan kebatilan. Puncak perkabungan Muharram adalah hari Ashura, jatuh pada tanggal 10 Muharram. Kata Ashura berasal dari bahasa Arab, artinya ‘kesepuluh’. Pada hari inilah Hussain gugur dalam pertempuran melawan pasukan Yazid, tahun 61 Hijriyah. Ashura adalah hari teramat penting bagi umat Syiah, sekitar 20 persen jumlahnya di kalangan Muslim Pakistan. Tetapi Ashura [...]

February 25, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 131: Berjalan Lagi

Mata Hassan masih sembab melepas kepergian kedua anaknya (AGUSTINUS WIBOWO) Saya melihat tetes air menggenangi mata Hassan Shah melepas kepergian anak-anaknya. Saya teringat air mata yang sama mengalir di kedua belah pipi ibunda saya. Sudah sepuluh hari Karimabad terkunci dari dunia luar. Jalan Karakoram Highway, satu-satunya jalan yang menghubungkan Islamabad ke negeri Tiongkok melintasi barisan gunung tinggi Himalaya, tak bisa ditembus. Penyebabnya, badai salju menyebabkan beberapa titik sepanjang jalan ini ditimbun longsor. Batu-batu gunung raksasa bisa begitu saja berpindah tempat dari puncak sana ke badan jalan. Di belahan bumi ini, di tengah musim seperti ini, longsor batu sama lazimnya dengan chapati di pagi hari. Lebih dari sebulan sudah saya terperangkap di Hunza. Semula saya datang dengan tubuh lemah, nafsu makan minim, dan mata kuning mengerikan. Tetapi udara pegunungan surgawi yang berdaya magis dalam sekejap menyembuhkan penyakit saya. Setelah beristirahat sekian lama, rasanya segenap semangat hidup saya sudah kembali lagi, walaupun saya belum yakin kekuatan tubuh ini sudah pulih seperti sedia kala. Lepas dari hepatitis, sekarang saya ditekan rasa berdosa. Dulu semangat saya begitu meluap-luap, ingin segera membaktikan diri ke daerah gempa di Kashmir. Tetapi kini, saya tak lebih dari seorang turis lemah yang menghabiskan hari-hari di pondokan, menonton film India [...]

February 23, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 130: Air Mata Pengantin

Rombongan barat tiba di rumah pengantin perempuan (AGUSTINUS WIBOWO) Baru pertama kali saya menyaksikan pesta pernikahan seperti ini – sang pengantin perempuan menangis keras, meraung-raung seperti orang yang ditinggal mati keluarganya. Hassanabad, rumah sang pengantin perempuan, letaknya hanya empat kilometer dari Karimabad. Tetapi rombongan barat kami diangkut dalam iring-iringan belasan jip. Bersama kami, ikut seorang khalifa, penghulu umat Ismaili. Acara akad nikah dilangsungkan di jemaatkhana di dekat rumah pengantin wanita, demikian adatnya. Kalau zaman dulu barat selalu menampilkan seorang pangeran tampan berjubah yang duduk dengan gagah di atas kuda putih, sekarang sang pangeran naik jip butut yang tak kalah tangguhnya menyusuri lereng perbukitan di barisan pegunungan raksasa. Apalagi sekarang dingin tak terkira menembus mantel dan jaket. Hassanabad terletak di lereng bukit terjal. Karena jip kami sudah terengah-engah, rombongan bharat kami harus mendaki gunung dengan berjalan kaki. Acara akad nikah tertutup bagi orang luar. Hanya famili dekat kedua mempelai, plus khalifa dan muki (imamnya orang Ismaili) yang boleh masuk ke jemaatkhana. Rombongan 50 orang barati, termasuk saya, menunggu dengan sabar di rumah mempelai wanita. Sekitar setengah jam berselang, iring-iringan pengantin pria dan kerabatnya datang. Mereka bersiap masuk ke rumah pengantin perempuan. Beberapa orang perempuan menunggu di depan pintu, membawa sebuah nampan berisi [...]

February 20, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 129: Menjemput Sang Istri

Pengantin pria siap menjemput sang putri (AGUSTINUS WIBOWO) Rombongan barat berarak-arak menyusuri jalan sempit di pinggir rumah-rumah batu Karimabad. Kami menuju Hassanabad bersama sang pengantin pria untuk menjemput sang putri. Pukul sembilan pagi. Rumah keluarga karim mulai ramai didatangi sanak saudara. Bahkan ada beberapa paman yang sudah sejak beberapa hari yang lalu datang dari luar kota dan menginap di sini. Bocah-bocah perempuan anak tetangga berlari riang di halaman, menunjukkan tangan mereka yang sudah berhias henna. Yang laki-laki sudah siap dengan korek dan petasan. Ledakan demi ledakan sambung-menyambung. Di ruang utama, di bawah potret besar sang pemimpin spiritual Aga Khan yang sedang tersenyum, para pria kerabat dekat menikmati sarapan pagi – roti tipis chapati yang dimakan dengan gumpalan mentega padat. Minumnya adalah teh susu campur mentega, asin rasanya. Semua pria yang duduk di ruangan ini, termasuk saya, adalah kaum barati. Kami akan ikut dalam rombongan barat, rombongan pengantin pria untuk menjemput pengantin perempuan di rumahnya. Amin Khan, sang pengantin pria, kakak kandung Karim, sudah tiga puluh tahunan umurnya. Ia pemilik hotel di dusun Altit di atas Karimabad. Wajahnya garang dan tegang. Kumisnya tebal. Matanya menyorot tajam. Ia mengenakan shalwar kamiz putih bersih, dipadu dengan sweater abu-abu untuk mengusir dingin. Pakaian pengantin [...]

February 19, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 128: Sharbat dan Tamasha

Sharbat (AGUSTINUS WIBOWO) Semarak tari-tarian di malam yang gelap, memecah kesunyian pegunungan bisu Karakoram, mengawali hidup baru sepasang pengantin di Karimabad. Karim adalah seorang kawan Hussain si juru masak. Rumah Karim hari ini sibuk sekali, karena keluarga besar itu sedang menyiapkan acara pernikahan. “Makanlah ini,” Karim menyuguhi saya semangkuk makanan yang nampak seperti bubur. Namanya sharbat, makanan wajib pesta pernikahan di Hunza. Sharbat selalu dimasak oleh laki-laki, terbuat dari mentega yang direbus dengan air dalam wajan besar dengan api kecil, dicampur tepung kasar sampai mengental. Hangat, lembek, sedikit hambar. Di tengah kesibukannya membersihkan rumah, Karim bercerita bahwa kakaknya, Amin Khan, akan menikah besok lusa.. Pernikahan di Hunza selalu jatuh hari Sabtu. Tetapi sehari sebelumnya, hari Jumat, baik di keluarga pengantin pria dan wanita pesta sudah dimulai. Masing-masing keluarga mengundang tetangga, kerabat, dan kawan-kawan untuk makan siang. Menunya adalah sharbat, makanan kental yang barusan saya santap. “Acara besok dan besok lusa pasti meriah,” kata Karim, “Besok adalah acara tamasha, acara pesta dengan tari-tarian. Hari Sabtu lusa adalah puncak dari semua perayaan ini – nikah. Nikah akan dilaksanakan di jemaatkhana di dekat rumah pengantin perempuan. Nanti kami akan berombongan berangkat ke sana.” Untuk urusan jumlah tamu dan rombongan di Hunza ada aturan [...]

February 18, 2015 // 0 Comments

Titik Nol (127): Dusun Mati

Desa mati yang ditinggal penduduknya di musim dingin (AGUSTINUS WIBOWO) Dusun Karimabad terperangkap dalam sepi. Salju terus mengguyur, menyelimuti lereng gunung dengan warna putih yang merambah semua sudut. Teras-teras ladang bagaikan lautan salju yang berombak. Saya juga terperangkap di sini. Sekarang hanya ada seutas jalan yang menghubungkan Karimabad dengan dunia luar – Karakoram Highway. Ke utara, ke arah China, perbatasan ditutup total sejak awal Januari. Ke selatan, ke arah kota-kota Pakistan, jalan pun tertutup oleh longsoran batu gunung. Seluruh wilayah Northern Areas sekarang terperangkap dalam dunianya sendiri. Saya sudah ingin cepat-cepat meninggalkan surga di lereng Karakoram ini menuju Kashmir, tempat saya seharusnya bekerja sebagai sukarelawan. Tetapi harga karcis bus ke Rawalpindi sungguh mahal, 821 Rupee. Karenanya, saya langsung mengiyakan tawaran Akhtar, pemuda dari Sost, yang katanya mau berangkat bersama menuju Islamabad dengan kendaraan pribadinya. Tetapi janji orang sini tak boleh dipercaya seratus persen. Akhtar berkata, seminggu lagi kita berangkat. Saya sudah menunggu seminggu penuh, tak ada kabar juga. Komunikasi satu-satunya yang mungkin hanya via telepon. Di musim dingin begini, hanya ada satu warung telepon yang buka di Karimabad. Saya harus naik bukit hanya untuk sekadar menanyakan kapan ia berangkat. Jawabannya, bisa ditebak, “Mister,‘dua’ hari lagi”. Dua hari berikutnya, di bawah [...]

February 17, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 126: India di Hati

Film India mendominasi persewaan VCD di Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO) India adalah musuh bebuyutan Pakistan. Jutaan dolar dihabiskan Pakistan untuk membangun pertahanan kuat menghadapi negeri tetangganya yang raksasa itu. Tetapi saya masih merasakan jiwa India hidup di sini. Karimabad mungkin adalah sebuah dusun kecil yang terlupakan dalam peta dunia. Kehidupan tenang tanpa gelora mengalir lambat di lereng pegunungan yang hening dan sejuk ini. Salju yang sejak kemarin mengguyur Karakoram menjadikan tempat ini terbungkus putih yang sempurna. Di tengah kesepian itu, menyeruak lagu Bollywood dari televisi kabel. Salman Khan beradu dengan Akshay Kumar di tepi pantai, menarik-narik lengan Priyanka Chopra seperti lomba tarik tambang. Mereka berdendang riang, Mujhse Shaadi Karogi…, Menikahlah Denganku…. Sejurus berikutnya, gambar berganti dengan panggung gegap gempita. Emran Hashmi, sang superstar Bombay yang selalu tampil dalam film-film seksi, menjadi bintang lagu Aashiq Banaya Aap Ne, Kau Jadikan Aku Kekasih, soundtrack dari film berjudul sama. Ketika saya di Rajasthan beberapa bulan lalu, semua orang memutar lagu ini. Dari radio, televisi, sampai ke pedagang kaki lima di pinggir jalan semua memutar Aashiq Banaya berulang-ulang. Selang berapa bulan, di Pakistan lagu ini juga meledak. Kakek Haider dan kawan-kawannya, sekelompok lelaki tua berjenggot, datang ke pondok. Begitu listrik datang, mereka bersorak. Televisi langsung [...]

February 16, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 122: Senandung Dalam Gelap

Orang Pakistan tidak pernah bermain-main ketika menyebut kata ‘mehman’. Arti harafiahnya tamu. Kata itu menyiratkan penghormatan yang luar biasa kepada musafir, kemurahan hati sebagai bagian dari ibadah, dan ketulusan untuk menolong sesama. Pemuda ini bernama Majid. Umurnya baru 22 tahun, tetapi bahasa Inggrisnya sudah cukup bagus. Tubuhnya besar, dan kegemarannya adalah tertawa di akhir setiap kalimat yang diucapkannya, dengan tubuh sampai berguncang-guncang saking hebatnya. Dengan penuh sabar ia menjelaskan setiap detail rumah itu. “Ini adalah rumah Tajik,” katanya bak seorang guide, “ di ruangan ini ada lima pilar, masing-masing melambangkan Muhammad, Ali, Hassan, Hussain, dan Fatima. Di pintu masuk itu ada dua pilar yang berdekatan, melambangkan Hassan dan Hussain – kedua putra Ali. “Kamu tahu, di ruangan ini kami menari kalau ada acara pernikahan,” terang Majid. Tubuhnya terguncang-guncang, tertawa terpingkal-pingkal, seringkali untuk hal yang saya juga tidak mengerti di mana lucunya. Ruangan itu berbentuk segi empat. Gelap pekat. Cahaya hanya muncul dari api yang membara di tengah ruangan. Di ketiga sisi ruangan ada panggung dari tanah liat untuk tempat duduk para tamu, atau tempat tidur keluarga di malam hari. Di sisi keempat ada panggung tanah liat juga. Tempatnya lebih tinggi, tengahnya berongga. Inilah tempat kayu kering. Api dinyalakan. Poci teh [...]

February 10, 2015 // 3 Comments

Titik Nol 121: Jejak Masa Lalu

Bayang mentari sudah lenyap di balik gunung cadas yang menjulang bak tembok raksasa di kiri dan kanan. Lembah Chapursan diselimuti gelap. Aziz mengundang semua penumpang jip singgah di rumahnya untuk sekadar menghirup segarnya teh susu. Keramahtamahan adalah hukum utama di tempat ini. Semua orang suka menerima tamu. “Ini adalah rumah tradisional orang Tajik,” jelas Noorkhan seperti seorang guide, “terbuat dari tanah liat. Bentuknya kotak persegi atau kubus. Di dalam rumah inilah keluarga menikmati kehangatan.” Rumah tanah liat itu, dari luar nampak seperti kotak kelabu yang tak menarik sama sekali. Di dalamnya, di balik tirai tebal yang menutup lubang pintu, kenyamanan sebuah keluarga langsung menyambut saya. Walaupun ukuran rumahnya tak besar, orang yang tinggal di sini banyak sekali. Lebih dari sepuluh yang jelas, setidaknya ada tiga generasi. Sistem kekeluargaan yang berlaku adalah semua kerabat tinggal bersama. Perlu diingat, sepasang suami istri bisa memproduksi sampai 15 orang anak. Kehangatan tentunya bukan hanya karena banyak orang yang memadati ruangan ini. Di tengah ruangan ada tungku dan cerobong. Api menyala dari dalam tungku yang berisi kayu bakar dan ranting. Seorang perempuan menjerang air, menyiapkan gelas, menata roti. Barisan rumah batu Chapursan yang gersang (AGUSTINUS WIBOWO) Chelpek, roti renyah goreng yang menjadi makanan sehari-hari penduduk [...]

February 9, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 120: Seutas Jalan di Bibir Jurang

Pernahkah Anda mendengar tentang sebuah lembah yang dirundung kegelapan – tanpa mentari  – selama berbulan-bulan? Saya tertarik anjuran Wahid untuk belajar lebih banyak tentang kehidupan orang Tajik di chapursan. Seorang pemilik kios kecil di kota perbatasan Sost menambahkan, “Engkau harus ke Chapursan, mengalami siksaan hidup kedinginan tanpa sinar matahari!” Saya memberanikan diri pergi ke Chapursan, sebuah lembah yang tersembunyi di balik barisan gunung, di tengah musim dingin Hunza yang menggigit. Gilakah saya? Noorkhan tertawa tergelak-gelak. Pria kurus 30 tahun berkumis tipis ini tubuhnya dibalut selimut tebal. Musim dingin membuat orang Hunza jalan ke mana-mana dengan selimut terlingkar di pundak. “Chapursan dingin sekali,” katanya, “dan tidak banyak orang yang senekad kamu pergi ke sana di musim begini.” Jalan sempit di tepi jurang (AGUSTINUS WIBOWO) Tawa Noorkhan membuat saya sedikit ragu. Afiyatabad dan Sost yang berkelimpahan sinar matahari seperti ini saja masih dingin bukan kepalang. Kalau lepas sarung tangan beberapa menit saja, telapak tangan sudah membiru. Apalagi di lembah yang terjepit gunung, 60 kilometer jauhnya dari sini itu, seperti apa dinginnya? “Saya sebenarnya juga pendatang ke Chapursan,” lanjutnya, “saya memang lahir di Chapursan, tetapi tinggal di Karachi.” Bahasa Inggrisnya fasih, gerak-gerik tubuhnya menunjukkan tingkat pendidikannya yang tinggi. Noorkhan adalah orang penting di [...]

February 6, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 119: Pelabuhan Darat

Hunza bukan lagi Shangri-La yang tersembunyi, tak terjamah peradaban manusia. Sejak Karakoram Highway selesai dibangun, desa-desa di pegunungan tinggi ini semakin terbuka bersama kemajuan dunia. Pembangunan jalan raya menembus gunung-gunung pada ketinggian di atas 4000 meter bukanlah hal yang mudah. Pemerintah Pakistan dan China bersama-sama mengerjakan proyek ini, membutuhkan waktu 20 tahun, dan baru selesai pada tahun 1986. Panjangnya 1300 kilometer, menghubungkan Islamabad dengan kota Kashgar di propinsi Xinjiang milik Republik Rakyat China. Medannya sangat berat. Pakistan menyebut jalan raya ini sebagai Keajaiban Dunia Kedelapan. Saya berhasil mengalahkan rasa malas, memaksa diri beranjak meninggalkan Karimabad menuju kota Sost, kota terakhir Pakistan sebelum perbatasan China. Saya dengar karena banyaknya orang China, di kota Sost kita bisa membeli makanan China yang asli citarasanya. Dua tahun lalu, saya sudah pernah sampai di sini. Para pekerja China sedang sibuk membangun dry port – pelabuhan darat, yang akan membangkitkan denyut nadi perekonomian di barisan pegunungan Karakoram. Waktu itu mereka sangat gembira, karena kiriman daging babi dari China baru datang. Bagi para pekerja itu, makanan Pakistan terlalu hambar dan tak sesuai lidah mereka. Di seluruh negeri, daging babi tak tersedia sama sekali dan harus diimpor untuk konsumsi sendiri. Selain itu, para pekerja juga tidak bisa hidup [...]

February 5, 2015 // 15 Comments

Titik Nol 118: Firdaus di Atas Awan

Bendera PPP (Pakistan People’s Party) pimpinan Benazir Bhutto berkibar di Karimabad yang dibalut salju tebal (AGUSTINUS WIBOWO) Al pergi meninggalkan Hunza dengan segala kepuasan batinnya, dalam perjalanan pencarian jati dirinya dengan menemukan komunitas orang-orang seiman. Ia tak lagi mengeluhkan hawa dingin, jalan bolong-bolong, dan ketiadaan tiket pesawat. Jiwa yang terpenuhkan membuat segalanya menjadi indah. Sedangkan saya, masih sendiri di pemondokan kakek tua Haider. Salju turun deras beberapa hari lalu. Jalanan desa yang naik turun makin berbahaya dengan lapisan es selicin cermin. Tak ada pilihan. Saya hanya bisa menghabiskan hari dengan selimut dan jaket tebal, membaca buku, dan menyeruput teh hijau hangat dari teko Kakek Haider. “Aap kaise hai? Bagaimana keadaanmu?” Kakek itu menyapa saya. Kerut-merut tajam menghias sudut matanya. Tubuhya berbalut selimut tebal, topi pakkol coklat menutup kepalanya, menyembunyikan rambut yang memutih. “Aap ki dua hai. Mein thik hun.. Berkat doa Anda, saya baik-baik saja,” saya memasang senyum Kakek Haider menatap bola mata saya dalam-dalam. Sudah tiga hari saya beristirahat di desa beku ini gara-gara penyakit hepatitis-A, kenang-kenangan petualangan di India. Saat seluruh tubuh menguning dan dalam keadaan sakit parah, saya berhasil menyeberang ke Pakistan. Hepatitis bukan barang yang asyik untuk dicoba, apalagi dalam perjalanan keliling dunia. Saya sempat takluk [...]

February 4, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 116: Karakoram Highway

Kakek tua Haider (AGUSTINUS WIBOWO) Di bawah gunung bertudung salju setinggi 7.790 meter, Desa Karimabad diam dalam keheningan. Di sini waktu mengalir lambat-lambat, ditelan keagungan puncak-puncak raksasa. Di bawah sana terhampar Lembah Hunza—terletak di utara Pakistan, diapit tiga gunung besar: Himalaya, Karakoram, dan Pamir. Jalan raya Karakoram Highway berkelok di pinggang gunung, menghubungkan Islamabad—ibu kota Pakistan—dengan kota kuno Kashgar di negeri Tiongkok. “Perjalanan yang benar-benar menyakitkan,” keluh Al, “Saya memang sudah tua. Perjalanan seperti ini sudah bukan untuk umurku lagi.” Saya dan Al baru saja menempuh perjalanan panjang sampai ke dusun Karimabad di jantung Lembah Hunza. Tujuh jam perjalanan Lahore–Rawalpindi plus 22 jam dengan bus menyusuri Karakoram Highway, dan masih ditambah lagi dua jam perjalanan sampai ke Karimabad. Jalannya berkelak-kelok, naik turun, bolong-bolong. Namanya juga jalan gunung. Gunung-gunung di bagian utara Pakistan mengisolasi wilayah pedesaan di seluruh provinsi Northern Areas (NA) di dataran tinggi ini. Ajaib, di liukan tajam punggung bukit, di tepi jurang dengan air sungai yang menggelegak, bisa dibangun jalan raya beraspal yang menghubungkan Pakistan-China, menghidupkan kembali perdagangan Jalur Sutra, dan menyembulkan dusun-dusun Hunza ke atas peta. Namun, bagi Al, itu adalah siksaan. Tak pernah ia semenderita ini. “Masa tak ada pesawat terbang ke Gilgit?” ia mengeluh lagi. [...]

February 2, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 115: Mencari Identitas

  Sudahkah saya seperti orang Pakistan? (AGUSTINUS WIBOWO) “Bhai jan, aku sudah seperti orang Pakistan? Bagus tidak?” tanya pria Inggris ini kepada sopir rickshaw, memamerkan pakaian shalwar kamiz yang baru saja didapat dari tukang jahit seharga 1.000 Rupee. Bukan hanya sopir rickshaw, tapi semua orang Pakistan yang dijumpai – tukang jual pisang, penjaga losmen, toko obat, sopir taksi, kondektur bus,… Namanya Al Malik, warga negara Inggris keturunan Pakistan. Umurnya tiga puluhan, tetapi masih belum menikah. Tubuhnya tambun, wajahnya ditumbuhi kumis dan jenggot pendek, tajam-tajam seperti duri. Pandangannya menghunus tajam dari matanya yang berwarna coklat indah itu. Saya pertama kali berjumpa dengannya dalam pertunjukan malam Sufi, di mana ia terpesona oleh suasan mistis yang menghanyutkan. Juga meriahnya musik qawwali yang membuatnya merasa telah mencapai tujuan perjalanannya. Dalam sebulan terakhir, Al telah  mengunjungi empat negara Muslim – Turki, Suriah, Iran, dan sekarang Pakistan. “Suriah, aha, negara itu sangat bebas. Tehran sangat modern. Tetapi justru di sini, di Pakistan, aku menemukan apa yang aku cari. Kesenian Islam modern yang inovatif!” katanya dalam bahasa Inggris dengan logat Britania yang kental. Al, menurut pengakuannya sendiri, adalah pengamat seni. Ia mengunjungi negeri-negeri Muslim untuk mencari kesenian Islam kontemporer, modern, yang bakal digemari penikmat seni Eropa. Kemarin [...]

January 30, 2015 // 10 Comments

Titik Nol 114: Malam Sufi

Berputar… berputar… berputar… (AGUSTINUS WIBOWO) Asap hashish mengepul, memenuhi ruangan yang penuh sesak oleh ratusan pria ini. Genderang bertambur bertalu-talu, menghipnotis semua yang ada. Dua orang pria berputar-putar di tengah lingkaran, bergedek bak pecandu ekstasi. Semua lebur dalam kecanduan spiritual. Sufisme, dikenal juga sebagai tasawuf, adalah aliran mistis dalam Islam yang percaya bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan tidak hanya bisa melalui satu cara saja, termasuk musik dan tarian. Di Asia Tengah dan anak benua India, Sufisme adalah bagian dari budaya Islam itu sendiri. Kamis malam, bulan bersinar terang merambah kegelapan, susasana kuburan Baba Shah Zaman di daerah kota tua Ikhra di Lahore seakan melemparkan saya ke alam magis. Daerah ini seakan hidup dalam dunianya sendiri, dalam dunia yang berbeda dengan hiruk pikuk modernitas kota Lahore. Saya menyusuri anak tangga menuju ke makam suci ini. Semua orang harus melepas sandal di depan pintu. Di balik pintu gerbang, ada halaman berlantai pualam. Di sini hanya ada laki-laki. Perempuan dilarang masuk. Ratusan pria berjubah shalwar kamiz berusaha menerobos masuk ke halaman sempit yang terbatas ini. Saya mendapat tempat di antara kerumunan pria berjenggot. Semerbak baru harum bunga mawar bercampur dengan asap yang mengepul di mana-mana. Bau hashish, candu, menusuk dalam-dalam. “Ini adalah cara [...]

January 29, 2015 // 7 Comments

1 2 3 4 5 8