Recommended

seksualitas

Titik Nol 203: Romantisme

Gandengan tangan, berangkulan, berpelukan antara sesama pria adalah hal lazim (AGUSTINUS WIBOWO) Mungkin ini termasuk kotoran yang dipandang Wahid dengan tatap mata penuh jijik. Baru saja saya berhasil menghindar dari pria Pashtun yang mengaku dirinya sebagai Prince, pangeran – entah dari kerajaan mana lagi, yang menawarkan angkutan murah meriah menuju Afghanistan. Perjalanan menuju Afghanistan nantinya akan melewati daerah-daerah berbahaya. Pemerintah Pakistan mewajibkan orang asing yang akan melintas untuk dikawal tentara bersenjata. Orang asing juga tidak diijinkan untuk naik kendaraan umum, harus menyewa kendaraan sendiri. Bagi saya dengan kantong backpacker ini, biaya menyewa taksi yang bisa sampai seribu Rupee tentu saja membuat gundah. Prince, dengan aura kepangeranan yang terlalu dipaksakan, terus memantau kedatangan orang asing di Peshawar. Ia punya jaringan kuat dengan semua hotel di kota ini. Setiap ada backpacker yang datang, dengan sigap ia langsung nyanggong di hotel yang bersangkutan untuk bertemu dengan si turis. Lalu ia akan memamerkan foto-fotonya, tindakan amal apa saja yang pernah dia lakukan, gambar ratusan anak asuhnya, juga foto ribuan turis yang terpuaskan oleh layanan angkutan dan tour guide-nya. Ia memamerkan dua buku tebal testimonial para turis yang ditulis dalam pelbagai bahasa, mulai dari Inggris, Jepang, Perancis, hingga Mandarin. Para turis itu terpikat oleh aroma [...]

June 3, 2015 // 9 Comments

Titik Nol 201: Di Atas Charpoi

Pria penduduk dusun Safed Sang (AGUSTINUS WIBOWO) Malam bertabur bintang. Kami duduk di atas charpoi di pekarangan rumah kerabat Ziarat Gul dari Safed Sang. Dalam remang-remang lampu petromaks, saya memandangi wajah kawan-kawan baru saya. Rumah ini bukan rumah Ziarat, melainkan rumah seorang kawannya. Rumah ini tertutup rapat dari luar, seperti halnya kultur Muslim Pakistan yang ketat yang tak mengizinkan perempuan anggota keluarga sampai terlihat orang lain. Tetapi di balik tembok padat yang melingkar, ada halaman luas terhampar. Musim panas Peshawar memang tanpa ampun, tetapi malam yang sejuk sungguh nikmat menikmati angin sepoi-sepoi di halaman rumah. Kami duduk di atas charpoi – kasur tradisional Asia Selatan berukuran memanjang, dengan empat kaki dari kayu, dan jalinan tali tambang sebagai tempat tidur. Satu charpoi cukup untuk satu orang tidur, tetapi bisa juga diduduki tiga orang. Duduk di atas charpoi di bawah tudung langit malam yang cerah adalah kenikmatan tak terhingga setelah hari panas yang melelahkan berakhir. Di hadapan saya banyak sekali kawan baru. Satu per satu diperkenalkan, tetapi saya tak ingat semua nama mereka. Seorang pria berusia 38 tahun adalah kakak yang paling tua. Adiknya yang gemuk berumur 25 tahun adalah teman Ziarat. Ada dua adik lagi, umurnya 12 dan 10 tahun, yang [...]

June 1, 2015 // 3 Comments

Titik Nol 111: Negeri Berjuta Warna

Negeri berjuta warna (AGUSTINUS WIBOWO) Hindustan, negeri Bharat yang jaya, meninggalkan berbagai kenangan. Berjuta warna satu per satu diputar kembali dalam memori saya, ketika matahari mulai perlahan-lahan terbenam menerbakan semarak senja di kota Amritsar. Ini adalah senja terakhir yang saya lihat di negeri ini. Saya datang ke India dengan secarik mimpi. Mimpi yang saya dapatkan dari beberapa film Bollywood yang pernah saya tonton. Gadis cantik berpakaian bak putri raja tinggal di rumah seperti istana, mengejar cintanya pada pangeran tampan, yang kemudian menari bersama diiringi ratusan orang yang entah muncul dari mana. Mimpi Hindustan yang saya bawa adalah mimpi tentang kehidupan gemerlap, semua orang kaya, punya mobil mewah, punya lusinan pembantu, sopir berseragam, kepala rumah tangga yang cerdas, dan helikopter di atap rumah. Tetapi, secuil Hindustan tempat saya menginjakkan kaki pertama kali adalah stasiun kota Gorakhpur, di mana pengemis bocah merintih tanpa henti, sapi berkeliaran di dalam peron, dan orang yang tidur di lantai tanpa alas. Selanjutnya adalah New Delhi yang penuh dekan tukang tipu di pasar, teriakan “Hallo! Hallo!”, bau pesing, jalan bolong-bolong, losmen tempat pasangan manusia mengumbar nafsu birahi, penderita kusta dan tumor terbaring tak berdaya di pinggir jalan yang hiruk pikuk oleh pejalan lalu-lalang namun tak satu pun [...]

January 26, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 99: Pelecehan

Kejorokan ada di mana-mana (AGUSTINUS WIBOWO) Pagi yang gelap gulita di kamar losmen yang gelap. Saya justru mengalami peristiwa paling memalukan dalam hidup saya di sini. Saya terbaring lemah di atas kasur. Sejak kemarin malam hingga pagi ini, saya mengalami diare hebat. Sebenarnya di India, diare sudah menjadi akrab dengan kehidupan sehari-hari saya di sini. Satu minggu kalau tidak diare malah aneh rasanya. Tetapi kali ini, bukan hanya diare, tubuh saya begitu lemah sampai bangun pun susah. Sebuah kamar sempit di lantai dua losmen murah adalah tempat tidur saya. Untuk ke kamar mandi pun saya harus keluar, berjalan beberapa meter, turun tangga, dan membuang hajat. Kali ini, untuk naik dan turun tangga pun rasanya sudah menjadi penderitaan hebat. Mengapa saya jadi selemah ini? Saya tak tahu jelas. Mungkin kurang minum, tetapi sekarang untuk keluar beli air minum pun saya tak kuat lagi. Gelap gulita. Listrik padam lagi, seperti biasa. Di kota ini, karena ada krisis listrik, setiap pagi listrik dipadamkan selama dua jam. Ini pemadaman rutin, tetapi membuat saya semakin menderita. Sinar matahari tak masuk ke kamar saya yang lebih mirip penjara ini. Kipas angin tak berputar. Gerah. Pengap. Saya menghirup nafas perlahan, menghembus lagi. Perut rasanya sakit sekali, rasa [...]

January 8, 2015 // 19 Comments

Titik Nol 88a: Mehrangarh

Kota biru Jodhpur. (AGUSTINUS WIBOWO) “Apa yang salah dengan kaum pria India?” tanya Lam Li retorik, “Apakah mereka memang punya hasrat nafsu yang menggebu-gebu? Ataukah citra perempuan asing di sini begitu buruknya, murahan dan bergaul bebas?” Kota biru Jodhpur memang sesuai dengan julukannya. Sejauh mata memandang, yang nampak adalah rumah-rumah biru tersebar tak beraturan, namun menjadi sebuah mosaik yang punya ritme dan harmoni. Memandangi warna biru yang bak lautan di tengah padang gersang Rajasthan sungguh sejuk rasanya. Dari mana asal-muasal warna biru ini? Orang-orang kasta Brahmana punya kebiasaan mengecat rumahnya dengan warna biru muda. Alkisah ketika Jodhpur didirikan, tak banyak kaum pandita Brahmana di sini. Raja Jodhpur kemudian mendatangkan kaum pemimpin agama ini dari berbagai wilayah. Orang Brahmin adalah pengikut setia agama Hindu. Mereka mematuhi semua perintah agama dengan sepenuhnya, mulai dari garis kasta, ritual pada dewa dewi, vegetarian ketat, bahkan sampai anjing peliharaan mereka pun jadi vegetarian. Untuk membedakan mereka dari kasta lainnya, mereka mewarnai rumah dengan warna biru. Sekarang warna biru bukan hanya monopoli orang Brahmin. Bahkan Muslim di kota tua Jodhpur pun mengecat rumah mereka dengan warna biru. Ada lagi yang mengatakan bahwa Jodhpur, selain dikenal sebagai blue city, juga dijuluki sebagai sun city karena panasnya matahari [...]

September 25, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 76: Buka Pintu

Pintu yang terkunci. (AGUSTINUS WIBOWO) “Haruskah aku membuka pintu hatiku?” tanya Lam Li. Si gadis Malaysia baru datang ke Jaipur sore ini. Ia sangat senang akhirnya sampai juga di Rajasthan. Apalagi sekarang kami tinggal di losmen yang sama, dan pemilik losmen memberi kamar yang nyaman untuk Lam Li dengan harga 100 Rupee saja. Saya yang masih tersiksa dengan guncangan gempa sepanjang malam gara-gara truk yang lewat, akhirnya minta pindah kamar juga. “Tahu tidak, tadi aku diundang tukang rickshaw,” ceritanya. Waktu datang mencari losmen ini, ia menumpang rickshaw – kendaraan bajaj yang menjadi angkutan umum di negara ini. Tukang rickshaw mengundangnya untuk ikut acara puja menyambut Diwali di rumahnya. Tetapi raut wajah Lam Li tidak seratus persen senang. Sambil mengunyah jajanan gorengan murah meriah – puri, ia mengisahkan bagaimana susahnya ia mempercayai orang India. Mungkin karena sudah terlalu banyak mendengar kisah buruk tentang kelakuan orang India yang suka tipu-tipu, Lam Li memasang tingkat kewaspadaan penuh menghadapi segala macam undangan. Ia tak pernah mempercayai orang sepenuhnya. Dinding curiga selalu menjadi batas pemisah antara dirinya dengan orang setempat. “Aku selalu menutup pintuku,” katanya, “aku selalu menghindari interaksi dengannya. Atau mungkin sekarang waktunya aku memberi kesempatan, membuka sedikit celah pintu hatiku untuk orang India?” [...]

September 8, 2014 // 0 Comments

Peshawar – Travelling Alone as a Woman, Travel Experience of Lam Li

April 17, 2006 Purdah “Kenapa mereka selalu hidup dalam ketakutan? Kenapa? Kenapa?” Ini adalah pengalaman dari seorang sahabat lama seorang Malaysia, Lam Li, yang sedang melakukan perjalanan melintasi Asia dan ‘mau tak mau’ singgah di Pakistan. Sebelum masuk Pakistan dia sudah dipenuhi oleh ketakutan tentang betapa ‘seramnya’ laki-laki Paksitan terhadap perempuan. Namun Pakistan memang bukan seperti yang iya bayangkan. Pakistan bukanlah India. Orang-orang Paksitan lebih ramah dan jujur. Dia suka Pakistan, itu tak dapat ia pungkiri. Keramahtamahan Pakistan yang dimulai dari Lahore di mana dia diundang menginap oleh seorang lelaki yang baru saja dia temui di jalan, adalah sebuah sambutan yang ramah dari Pakistan. Dalam waktu lima hari tinggal bersama keluarga Lahore itulah yang mengawali penglihatannya tentang Pakistan. Sebagai perempuan, dia mempunyai akses ke sudut-sudut rumah yang tak bisa saya rengkuh dengan identitas saya sebagai laki-laki. Sebagaimana diketahui, pemisahan seksual di Pakistan sangatlah kental, di mana ruang tamu di rumah pun biasanya masih dipisahkan oleh kelambu sehingga para perempuan tidak bercampur dengan laki-laki. Lam Li, seorang perempuan asing, memperoleh identitas ganda di rumah itu. Sebagai tamu dia boleh berbincang-bincang dengan laki-laki di rumah itu. Sebagai perempuan dia boleh duduk bersama-sama kaum perempuan dalam keluarga. Sebuah posisi yang paling menguntungkan. Apa [...]

April 17, 2006 // 0 Comments