Recommended

shalwar qamiz

Titik Nol 203: Romantisme

Gandengan tangan, berangkulan, berpelukan antara sesama pria adalah hal lazim (AGUSTINUS WIBOWO) Mungkin ini termasuk kotoran yang dipandang Wahid dengan tatap mata penuh jijik. Baru saja saya berhasil menghindar dari pria Pashtun yang mengaku dirinya sebagai Prince, pangeran – entah dari kerajaan mana lagi, yang menawarkan angkutan murah meriah menuju Afghanistan. Perjalanan menuju Afghanistan nantinya akan melewati daerah-daerah berbahaya. Pemerintah Pakistan mewajibkan orang asing yang akan melintas untuk dikawal tentara bersenjata. Orang asing juga tidak diijinkan untuk naik kendaraan umum, harus menyewa kendaraan sendiri. Bagi saya dengan kantong backpacker ini, biaya menyewa taksi yang bisa sampai seribu Rupee tentu saja membuat gundah. Prince, dengan aura kepangeranan yang terlalu dipaksakan, terus memantau kedatangan orang asing di Peshawar. Ia punya jaringan kuat dengan semua hotel di kota ini. Setiap ada backpacker yang datang, dengan sigap ia langsung nyanggong di hotel yang bersangkutan untuk bertemu dengan si turis. Lalu ia akan memamerkan foto-fotonya, tindakan amal apa saja yang pernah dia lakukan, gambar ratusan anak asuhnya, juga foto ribuan turis yang terpuaskan oleh layanan angkutan dan tour guide-nya. Ia memamerkan dua buku tebal testimonial para turis yang ditulis dalam pelbagai bahasa, mulai dari Inggris, Jepang, Perancis, hingga Mandarin. Para turis itu terpikat oleh aroma [...]

June 3, 2015 // 9 Comments

Titik Nol 188: Bahauddin Zakariya Express

Bahauddin Zakariya Express (AGUSTINUS WIBOWO) Senja mulai merambah tanah Punjab. Stasiun kereta api Bahawalpur penuh dengan calon penumpang yang mulai resah karena kereta api Bahauddin Zakariya Express yang berangkat dari Multan menuju Karachi tak kunjung tiba. Multan hanya beberapa puluh kilometer jauhnya sebelum Bahawalpur, sekitar satu setengah jam perjalanan dengan kereta ‘ekspres’ ini. Tetapi baru menjelang tengah malam, kereta panjang berwarna kuning dan hijau ini merapat di stasiun. Yang tercipta pada detik berikutnya adalah kericuhan. Ratusan penumpang yang sudah tidak sabar lagi setelah penantian berjam-jam, segera menyerbu masuk ke dalam gerbong. Petugas pun tak kuasa menahan luapan manusia. Masing-masing penumpang membawa barang bawaan berkarung-karung. Saling dorong, maki, cakar. Suasana pertempuran dipindahkan ke dalam koridor gerbong sempit dan gelap ini. Saya meraba-raba di tengah dorongan dan teriakan beringas orang-orang yang tidak sabar. Nyaris saya menginjak seorang bayi yang teronggok di bawah kaki. Sementara dorongan orang-orang semakin kuat. Saya terjebak dalam histeria. Semua orang seperti sudah tak punya waktu tersisa untuk segera menaruh barang dan duduk di tempat yang paling nyaman. Setelah bercucur peluh saya akhirnya berhasil duduk. Sudah tidak ada tempat lagi untuk menaruh tas ransel, karena semua tempat sudah ditempati oleh karung dan tas penumpang lainnya. Bahkan tempat untuk menaruh [...]

May 13, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 179: Heera Mandi (1)

Masjid Badshahi di senja hari (AGUSTINUS WIBOWO) “Larki-marki dekhaun? Mau aku kasih liat koleksi cewek?” seorang pria berjubah shalwar kamiz yang tidak saya kenal berbisik ketika saya menyusuri gang-gang ruwet di kota kuno Lahore. Kemegahan Masjid Badshahi, masjid terbesar dari Dinasti Mughal, adalah kebanggaan Lahore dan Pakistan. Tetapi, bayang-bayang masjid ini menaungi daerah prostitusi paling tersohor di negeri ini, bahkan namanya hingga ke negara-negara tetangga. Siapa yang tak tahu nama Heera Mandi (baca: Hira Mandi)? Ratusan tahun lalu, ratusan gadis penari molek ditambah kaum hijra (penari transeksual) meliuk-liukkan badannya menggoda iman di malam yang gelap. Kini, di kota modern Lahore di bawah kibaran bendera Republik Islam Pakistan, gadis-gadis masih menawarkan hiburan malam, namun tersembunyi di balik tembok tebal. Siang hari, barisan rumah di ruwetnya gang Heera Mandi tak nampak istimewa. Hanya rumah-rumah kuno dari zaman negeri dongeng seribu satu malam. Ada pasar kuno yang ribut, para pria yang semuanya mengenakan ‘seragam’ shalwar kamiz, dan para perempuan yang dibalut purdah hitam pekat. “Tidak mahal,” kata lelaki berkumis itu masih penuh semangat, “hanya 300 Rupee saja.” Di siang hari pun, walaupun tidak semarak malam, transaksi masih terus perjalan. “Mujhe dilcaspi nehin. Saya tidak tertarik,” saya bergegas pergi menuju masjid. Matahari memanggang Lahore [...]

April 30, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 167: Negeri Para Petarung (3)

Kandar di puncak pegunungan Kashmir (AGUSTINUS WIBOWO) “Kamu percaya dengan segala kebohongan itu? Tidak benar itu. Orang Kandar bukan petarung seperti yang kamu bayangkan,” kata Behsar, pria Kandar berumur 24 tahun, “lagipula desa-desa yang kamu lihat sama sekali bukan Kandar!” Saya dalam perjalanan mencari jawaban misteri orang Kandar, dan kini terperangkap dalam kebingunan antara kenyataan, drama, dan mitos. Tubuh saya sudah banjir keringat ketika kami sampai di sebuah desa yang menurut Farman adalah desa Kandar Tengah. Di sinilah Behsar, pemuda yang bahasa Inggrisnya fasih sekali, membongkar habis semua serpihan tentang misteri orang Kandar yang saya kumpulkan sepanjang perjalanan. “Orang Kandar adalah orang yang ramah tamah, tetapi mereka sangat miskin. Kami tidak berkelahi. Mungkin memang ada orang yang suka berkelahi, jumlahnya tak lebih dari 25 orang, mungkin. Dan mungkin orang-orang inilah yang membuat reputasi Kandar hancur.” Jadi, yang dari tadi mengaku sebagai jago petarung dari Kandar, sama sekali bukan orang Kandar? Behsar menggeleng. Wajahnya tak berkumis dan berjenggot. Gerak-geriknya penuh percaya diri, yang malah membuat saya semakin ragu dengan segala pembicaraan yang sudah saya catat. Saya juga mulai terngiang-ngiang ucapan dokter Zaman, yang mengingatkan bahwa Farman sangat mungkin malas membawa saya sampai ke Kandar, dan sebagai gantinya akan membawa saya ke [...]

April 14, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 139: Do Nambar

Asyiknya naik bus di Pakistan. Duduk di atap bukan pengalaman untuk dicoba kaum hawa. (AGUSTINUS WIBOWO) Bagi perempuan, bepergian seorang diri di Pakistan tidak selalu mudah. Bukan hanya kendaraan yang penuh sesak, tetapi juga ada tangan-tangan jahil yang mengintai. Di Pakistan, di mana segala sesuatu selalu dipisahkan untuk perempuan dan laki-laki, naik kendaraan umum bisa jadi kesusahan sendiri. Aturan mainnya, perempuan tidak boleh duduk di sebelah laki-laki kalau bukan muhrimnya. Untuk bus dan kereta, masalahnya tidak terlalu besar, karena tempat duduk banyak tersedia. Tetapi untuk angkutan kota lain lagi ceritanya. Angkutan umum yang paling banyak mengarungi rute Rawalpindi – Islamabad adalah colt. Maksimal 14 orang bisa disumpalkan ke dalam mobil kecil ini. Jarang sekali saya melihat penumpang perempuan. Bukan hanya karena perempuan tidak banyak bepergian, tetapi sopir pun sering enggan menyediakan tempat buat wanita. Apa sebab? Biasanya, tempat yang tersedia untuk penumpang perempuan adalah dua bangku di depan di sebelah sopir. Itu kalau jam-jam peak hour juga sudah diduduki laki-laki. Kalau bagian tengah atau belakang, kecuali sopir bisa menemukan empat atau delapan penumpang perempuan sekaligus, maka mengangkut penumpang perempuan berarti harus kehilangan banyak slot untuk penumpang laki-laki, yang lebih banyak. Keadaan sedikit lebih gampang kalau si perempuan bepergian dengan saudara [...]

March 5, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 115: Mencari Identitas

  Sudahkah saya seperti orang Pakistan? (AGUSTINUS WIBOWO) “Bhai jan, aku sudah seperti orang Pakistan? Bagus tidak?” tanya pria Inggris ini kepada sopir rickshaw, memamerkan pakaian shalwar kamiz yang baru saja didapat dari tukang jahit seharga 1.000 Rupee. Bukan hanya sopir rickshaw, tapi semua orang Pakistan yang dijumpai – tukang jual pisang, penjaga losmen, toko obat, sopir taksi, kondektur bus,… Namanya Al Malik, warga negara Inggris keturunan Pakistan. Umurnya tiga puluhan, tetapi masih belum menikah. Tubuhnya tambun, wajahnya ditumbuhi kumis dan jenggot pendek, tajam-tajam seperti duri. Pandangannya menghunus tajam dari matanya yang berwarna coklat indah itu. Saya pertama kali berjumpa dengannya dalam pertunjukan malam Sufi, di mana ia terpesona oleh suasan mistis yang menghanyutkan. Juga meriahnya musik qawwali yang membuatnya merasa telah mencapai tujuan perjalanannya. Dalam sebulan terakhir, Al telah  mengunjungi empat negara Muslim – Turki, Suriah, Iran, dan sekarang Pakistan. “Suriah, aha, negara itu sangat bebas. Tehran sangat modern. Tetapi justru di sini, di Pakistan, aku menemukan apa yang aku cari. Kesenian Islam modern yang inovatif!” katanya dalam bahasa Inggris dengan logat Britania yang kental. Al, menurut pengakuannya sendiri, adalah pengamat seni. Ia mengunjungi negeri-negeri Muslim untuk mencari kesenian Islam kontemporer, modern, yang bakal digemari penikmat seni Eropa. Kemarin [...]

January 30, 2015 // 10 Comments

Titik Nol 114: Malam Sufi

Berputar… berputar… berputar… (AGUSTINUS WIBOWO) Asap hashish mengepul, memenuhi ruangan yang penuh sesak oleh ratusan pria ini. Genderang bertambur bertalu-talu, menghipnotis semua yang ada. Dua orang pria berputar-putar di tengah lingkaran, bergedek bak pecandu ekstasi. Semua lebur dalam kecanduan spiritual. Sufisme, dikenal juga sebagai tasawuf, adalah aliran mistis dalam Islam yang percaya bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan tidak hanya bisa melalui satu cara saja, termasuk musik dan tarian. Di Asia Tengah dan anak benua India, Sufisme adalah bagian dari budaya Islam itu sendiri. Kamis malam, bulan bersinar terang merambah kegelapan, susasana kuburan Baba Shah Zaman di daerah kota tua Ikhra di Lahore seakan melemparkan saya ke alam magis. Daerah ini seakan hidup dalam dunianya sendiri, dalam dunia yang berbeda dengan hiruk pikuk modernitas kota Lahore. Saya menyusuri anak tangga menuju ke makam suci ini. Semua orang harus melepas sandal di depan pintu. Di balik pintu gerbang, ada halaman berlantai pualam. Di sini hanya ada laki-laki. Perempuan dilarang masuk. Ratusan pria berjubah shalwar kamiz berusaha menerobos masuk ke halaman sempit yang terbatas ini. Saya mendapat tempat di antara kerumunan pria berjenggot. Semerbak baru harum bunga mawar bercampur dengan asap yang mengepul di mana-mana. Bau hashish, candu, menusuk dalam-dalam. “Ini adalah cara [...]

January 29, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 113: Qawwali

Musik qawwali, mistis dan menghanyutkan (AGUSTINUS WIBOWO) Hanya beberapa jengkal dari perbatasan India, denyut jantung kehidupan Pakistan langsung bervibrasi kuat. Ada dunia lain di balik garis perbatasan itu. Dalam sekejap, India yang penuh warna, pertapa Hindu miskin yang berkeliaran, orang yang tidur di atas trotoar, serta peziarah Sikh dengan surbannya yang khas, tinggal kenangan. Kota Lahore yang terhampar di hadapan terasa gersang. Debu beterbangan. Para pria mengenakan pakaian yang sama semua – celana kombor shalwar dan jubah kamiz yang panjangnya sampai ke lutut dengan belahan di kedua tepinya. Warna shalwar dan kamiz biasanya sama, memberikan aksen monoton. Perempuan hampir tidak nampak sama sekali. Kalaupun terlihat di jalan, hanya satu atau dua, mengenakan cadar hitam pekat dan hanya menyisakan sepasang mata saja. Selamat datang di Republik Islam Pakistan. Tubuh saya lemah karena penyakit yang saya derita. Nafsu makan saya sudah mulai normal, tetapi sekarang saya harus berhati-hati memilih makanan. Kalau di Amritsar kemarin saya masih bisa menenggak sup China yang lezat dan bergizi, di Pakistan saya kesulitan kesulitan mencari makanan. Semuanya berminyak. Gara-gara penyakit kuning ini, saya selalu mual kalau melihat minyak. Akhirnya, saya terpaksa duduk di restoran mewah bernama Pizza Hut, di pinggir jalan utama Mall Road. Restoran ini terletak [...]

January 28, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 97: Pernikahan Muslim India

Permainan menyuapi calon pengantin pria (AGUSTINUS WIBOWO) Masih ingat Aman, seorang pria Muslim pemilik hotel yang akhirnya mengundang saya dan Lam Li ke rumahnya untuk merayakan Idul Fitri? Hubungan kami bukan hanya hubungan biasa antara pemilik hotel dan tamunya. Aman sudah menganggap saya bagian dari keluarganya dan wanti-wanti saya harus hadir dalam pesta pernikahan adik perempuannya. Khusus untuk acara ini, saya memutar haluan dari Bikaner kembali ke Jaipur. Lam Li tak bisa datang. Ia punya prinsip yang dipegang teguh selama perjalanannya keliling dunia – tak sekalipun mengulang jalan yang pernah dilalui. Saya sendiri lebih mengutamakan pencarian pengalaman sepanjang jalan, tak peduli kalau harus mulai lagi dari titik awal. Aman memang sudah menyiapkan segalanya untuk saya. Begitu saya datang ke Jaipur, saya sudah disiapkan kamar di losmennya yang gelap. Sekarang kualitas losmen yang tak seberapa ini di mata saya begitu luar biasa, karena kemurahan hati pemiliknya. Bahkan Aman sempat wanti-wanti kepada manajernya yang baru untuk memperlakukan saya sebaik-baiknya, karena gelar saya adalah the family’s most important guest, seperti yang tertulis di buku daftar tamu. “Kenapa kamu tidak datang kemarin?” tanya Aman, “kamu sudah kelewatan satu acara penting dalam prosesi panjang pernikahan. Kemarin malam adalah acara mehndi, pembubuhan cat henna ke tangan [...]

January 6, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 77: Idul Fitri di Kota Merah Jambu

Suguhan Idul Fitri.(AGUSTINUS WIBOWO) Saya masih belum menemukan kembali semangat traveling yang hilang. Bersama Lam Li, kami berdua menyusuri jalan-jalan kota merah jambu Jaipur. Di Rajasthan, kota-kota kuno berasosiasi dengan warna – kota merah jambu Jaipur, kota biru Jodhpur, dan kota emas Jaisalmer. Kota Jaipur disebut kota merah jambu, karena di balik benteng kota kuno, banyak bangunan berwarna merah jambu. Sebenarnya sejarah merah jambu ini tak terlalu lama. Pada tahun 1876, ketika Pangeran Edward VII berkunjung, kota ini bersolek habis-habisan, menjadi kota cantik berwarna romantis – merah jambu. Bangunan yang menjadi landmark kota Jaipur adalah Hawa Mahal, seperti istana yang tinggi dan megah, dilengkapi dengan 953 lubang jendela. Hawa artinya angin. Dari lubang jendela ini, angin berhembus, memberi kesejukan bagi yang ada di balik bangunan ini. Walaupun nampak seperti istana raksasa dari luar, sebenarnya Hawa Mahal hanyalah sebidang dinding saja, bagian dari istana raja Jaipur, dibangun oleh Maharaja Pratap Singh tahun 1799. Saya jadi ingat setting film kolosal, yang bisa menghadirkan bentuk bangunan megah luar biasa di depan kamera, tetapi sesungguhnya di balik kemegahan hanyalah dinding kosong buruk rupa. Kami berjalan-jalan di kota kuno Jaipur. Saya mengagumi jalannya yang lurus dan teratur, berpetak-petak. Lam Li, dengan observasinya yang lebih tajam, [...]

September 9, 2014 // 0 Comments