Recommended

Sukarno

Titik Nol 169: Selamat Tinggal Noraseri

Para sukarelawan mengucapkan selamat tinggal kepada penduduk Noraseri, diiringi cucuran air mata (AGUSTINUS WIBOWO) Mentari pagi menyembulkan sinarnya di balik barisan pegunungan Kashmir. Puncak tinggi Nanga Parbat berdiri gagah penuh aura misteri. Lekukan kurva sambung menyambung ke seluruh penjuru. Permadani hijau membungkus bumi. Kashmir menyambut datangnya musim panas. Tetapi justru di saat inilah saya harus meninggalkan Noraseri. Tujuh minggu di kamp sukarelawan berlalu begitu cepat. Saya teringat, di bawah rintik hujan ketika saya pertama kali datang, dikenalkan dengan belasan wajah-wajah dan nama-nama baru, berkelap-kelip di bawah sinar lampu minyak. Para sukarelawan yang masing-masing punya cerita unik. Ada juru masak yang telur gorengnya luar biasa nikmat di pagi yang dingin, yang berkisah tentang hidup di Yunani dan bagaimana beriman sepenuhnya. Ada yang suka mengajukan pertanyaan tanpa henti, sepanjang hari, membawa berbagai topik diskusi berat. Ada permainan kriket di sore yang cerah. Ada yang serius mengerjakan tugas-tugas di kegelapan malam hanya dengan sinar lampu petromaks. Ada lantunan naat di kemah, dengan penduduk desa yang datang berkerumun. Saya teringat betapa susahnya jalan naik turun gunung untuk melakukan survey di bawah guyuran hujan, melintasi tebing curam dan becek, atau lereng terjal berbalut pasir dan kerikil licin yang bisa longsor setiap saat. Betapa indahnya senyum [...]

April 16, 2015 // 0 Comments

Titik Nol (161): Pak Dokter yang Bukan Dokter

Karena alasan keamanan, keluarga di Kashmir menyimpan senjata api (AGUSTINUS WIBOWO) Orang-orang Noraseri menyebut pria berjenggot putih yang murah senyum ini sebagai Doctor Sahab, Pak Dokter. Saya pun mengamininya sebagai dokter, setelah mendengar ceramahnya tentang obat-obatan anti diare. “Hah, kau kira Dokter Sahab itu benar-benar dokter?” Hafizah, putri Haji Sahab yang juga bekerja di rumah sakit tertawa tergelak-gelak, “Bukan. Dia sama sekali bukan dokter. Tak tahu mengapa semua orang sini memanggilnya Pak Dokter.” Pak Dokter yang satu ini, saudara kandung Basyir Sahab yang menjaga keamanan tenda kami, hampir setiap sore bertandang ke perkemahan kami. Orangnya humoris dan tak pernah kehabisan bahan lelucon. Walaupun sudah tua, Pak Dokter suka sekali bermain dengan kami yang muda-muda, mulai dari kartu sampai kriket, semua dia jagonya. “Saya dulu satu sekolah dengan Presiden Sukarno,” saya teringat salah satu bualan Pak Dokter yang paling dahsyat, “jadi jangan lupa kirim peci dari Indonesia, paling sedikit 50 biji. Nanti penduduk desa Noraseri semua akan jadi seperti Presiden Sukarno, sahabat karibku itu.” Di kesempatan lain, Pak Dokter menyuruh saya cepat-cepat menikah. “Kalau kamu tidak menikah, nanti kamu tidak bisa dapat bahan bangunan rumah!” Organisasi kami memang punya ketentuan, hanya mendistribusikan bahan bangunan shelter permanen kepada keluarga. “Tak peduli betapa [...]

April 6, 2015 // 1 Comment

Selimut Debu 6: Wild Wild West Peshawar

Seperti kembali ke masa lalu (AGUSTINUS WIBOWO) Dunia barat yang liar. Peshawar, kota berdebu di ujung barat Pakistan adalah gerbang menuju Afghanistan. Atmosfernya, bahayanya, dengusannya, bahkan ketidakberadabannya…. Peshawar terasa begitu liar. Ibukota provinsi North Western Frontier Province (NWFP) ini seakan melemparkan diriku ke zaman puluhan tahun silam. Keledai-keledai mengiring kereta pengangkut barang, menyusuri jalan-jalan sempit di bazaar kota. Wanita-wanita yang juga tidak banyak jumlahnya, berjalan merunduk-runduk sambil menutupkan cadar di wajahnya. Sesekali nampak juga perempuan-perempuan yang berbungkus jubah hitam atau burqa biru dan putih. Burqa adalah pakaian yang menutup sekujur tubuh dari kepala hingga ujung kaki, termasuk kedua mata dan wajah, menyimpan rapat-rapat kecantikan seorang wanita. Hanya dari kisi-kisi kecil di bagian matalah sang perempuan mengintip dunia luar. Ada traveler Hong Kong temanku yang mendeskripsikan burqa seperti “lampion”, para “lampion” itu berjalan mencari arah di tengah keramaian jalanan. Bagiku, burqa terlihat seperti sangkar rapat, terserah engkau mengartikan itu melindungi atau mengurung makhluk yang ada di dalamnya. Pria-pria berjenggot dengan kibaran shalwar qameez yang gagah menguasai seluruh penjuru kota. Para lelaki itu selalu tersenyum ramah dan menyapa dengan pertanyaan yang sama, yang diulang lagi, yang diulang lagi, yang diulang lagi. “Hello, how are you? what’s your good name? Where are [...]

November 4, 2013 // 1 Comment