Recommended

Taliban

Selimut Debu 66: Nostalgia Komunis

Bagi sebagian orang, mimpi adalah masa lalu yang gemilang, sempurna, tanpa cacat. Itulah masa lalu yang sama sekali tak terbandingkan dengan realita hidup sekarang yang begitu terbelakang. Bakhtali, pria 35 tahun ini, masih hidup dalam masa lalunya. Gurat-gurat wajahnya menggambarkannya jauh lebih tua, tidak heran jika kuduga dia lebih dari 50 tahun. Kumisnya tebal tersekat antar hidung dengan bibir atas. Wajahnya keras. Tangannya pun keras. Sungguh berbeda dengan figur guru, atau mualem, sebagaimana ia biasa dipanggil penduduk Desa Kret. Dengan bangga dia menunjukkan serpihan-serpihan sejarahnya. ”Ini kartu anggota partai komunis.” Foto Bakhtali muda dalam lipatan kartu merah tampak sangat tampan dan gagah. Pandangan matanya tajam, wajahnya halus dan bersih. Bibirnya terkatup rapat. Inilah figur masa lalu seorang komunis yang sangat dibanggakannya. “Nah, kalau ini, tanda penghargaan kader komunis,” seringai Bakhtali, “langsung dari Presiden Najibullah!” Aku mengamati Bakhtali yang duduk di hadapanku. Mulutnya tak pernah terkatup rapat. Pandangan matanya kosong, kumisnya tebal, wajahnya gelap dan kasar, tak terawat. Benarkah ini Bakhtali yang sama dengan yang dibanggakan dalam kartu-kartu berlambang bintang dan palu arit? Ia masih hidup dalam masa lalu. ”Aku memang komunis,” katanya sambil menepuk dada, ”dan komunis itu baik.” Istri Bakhtali masuk membawa senampan cangkir dan poci teh, serta beberapa [...]

January 27, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 59: Melihat Dunia Luar

Di zaman sekarang, informasi tentang dunia luar jauh lebih mudah didapatkan. Orang Afghan tidak perlu harus menjadi pengungsi dulu untuk melihat kehidupan di dunia luar. Cukup menyalakan televisi, dan voila, fantasi semua penonton digiring pada sebuah kehidupan di dunia yang sama sekali berbeda. Sekarang acara lagi yang populer di televisi Afghanistan, selain siaran berita, adalah sinetron India yang judulnya “Ibu Mertua Juga Pernah Jadi Menantu.” Anehnya, acara opera sabun yang tidak habis-habis ini justru menjadi favorit para lelaki Afghan yang tampak berjenggot dan beringas. Sumber informasi lainnya bagi orang-orang di Ishkashim datang dari para tentara asing. Hari ini, para tentara gabungan mancanegara (ISAF) datang dan menyebarkan buletin publikasi (atau propaganda) mereka yang berjudul ISAF News. Dalam bahasa Farsi, nama buletin ini berjudul Sada ye Azadi, yang artinya “Suara Kemerdekaan”. Dua mobil baja besar berisikan tentara Denmark singgah di Ishkashim. Dalam sekejap mereka dikelilingi para penduduk desa yang begitu gembira menerima pamflet informasi dengan gambar-gambar berwarna. ISAF News terdiri dari beberapa halaman, terlihat seperti koran, ditulis dalam tiga bahasa: Inggris, Farsi, dan Pashto. Isinya beraneka ragam, mulai dari foto-foto Piala Dunia, cerita humor Molla Nasruddin, berita dunia, kegiatan ISAF (sepertinya ini yang menjadi poin utama). Bagian yang menarik adalah sebuah kolom [...]

January 16, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 56: Ladang Candu

Jarak dari Faizabad menuju kota Ishkashim di timur hanya 160 kilometer. Tetapi seperti halnya seluruh jalanan di Badakshan, jalanan ini pun berdebu, tidak beraspal. Transportasi sangat sulit dan tidak terjamin. Provinsi yang sejuk ini termasuk daerah paling tertinggal di Afghanistan. Bahkan ibukota provinsi pun sama sekali tidak memiliki jalan beraspal. Selama di Faizabad aku tinggal di rumah seorang jurnalis merangkap petani bernama Jaffar Tayyar, di pinggiran kota. Seperti biasa, semua kendaraan umum jarak jauh berangkat pagi-pagi buta karena bepergian di negeri tanpa jalan beraspal dan tanpa listrik di malam hari sangatlah berbahaya. Untuk mencapai terminal bus Faizabad, aku harus meninggalkan desa tempat tinggal Tayyar sejak pukul 4 subuh. Tidak ada kendaraan yang langsung menuju Ishkashim. Semua harus berhenti dulu di Baharak, 42 kilometer atau sekitar 2 jam perjalanan dari Faizabad, dengan ongkos Af 150 (US$3).  Baharak adalah dusun pasar yang teramat biasa. Di sinilah kita bisa menemukan kendaraan menuju Ishkashim. Semua kendaraan baru berangkat ketika penumpang penuh, tapi Ishkashim bukanlah tujuan yang umum, sehingga jadi berangkat atau tidaknya sangat tergantung pada keberuntungan. Aku beruntung karena ketika aku tiba di Baharak, ada sebuah kendaraan Toyota 4WD (yang bertuliskan besar-besar “ATOYOT”, mungkin yang menulis adalah orang Afghan yang terbiasa menulis dari kanan [...]

January 13, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 55: Perjalanan Menuju Badakhshan

Kendaraan yang membawa penumpang dari Taloqan menuju provinsi tetangga Badakhshan sudah sibuk sejak pagi-pagi buta. Pukul 5, langit masih gelap, tapi bus-bus sudah penuh dan siap berangkat. Ada beberapa jenis kendaraan umum di Afghanistan, tergantung dari model mobilnya. Mulai dari yang paling murah, falancoach (sebuah korupsi dari nama flying coach) hingga mobil Volvo yang nyaman dijamin mahal. Aku memilih falancoach, karena aku pencinta kemurahan. Tapi aku datang terlambat. Setelah pukul 5:30, penumpang sudah mulai jalan. Mobil hanya berangkat kalau penumpang penuh, dan kebanyakan para penumpang memilih untuk berangkat sebelum matahari terbit. Baru pukul 7, mobil ini berhasil mengumpulkan penumpang dan kami bertolak dari Taloqan. Aku duduk di baris ketiga. Mobil ini sejatinya berkapasitas menampung 14 penumpang, tapi dipaksa  mengangkut 18 orang. Di depanku ada dua orang perempuan memakai burqa. Kelihatannya, yang satu adalah wanita muda dan kurus, merupakan anak dari perempuan yang satunya. Ketika aku bersiap duduk, mereka sudah duduk di sana dan sibuk mengurus tiga anak kecil. Di samping mereka juga ada bocah lelaki lain, yang tentunya adalah kerabat mereka, karena di Afghanistan laki-laki yang bukan mahram dilarang duduk di samping penumpang perempuan. Para perempuan itu sangat terkejut begitu aku masuk mobil, hanya karena aku orang asing. Laki-laki pula. [...]

January 10, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 51: Peninggalan Gerilyawan

Apakah jatuhnya Taliban sudah berarti Afghanistan siap menyongsong era damai? Kering berpuluh tahun tidak bisa dihapus dengan hujan sehari. Perang berpuluh tahun tidak bisa terhapus dengan damai yang cuma sekejap. Kunduz adalah ibukota dari provinsi Kunduz, terletak hanya 60 kilometer dari perbatasan Tajikistan. Perjalanan dari Kabul ke Kunduz melewati gunung-gunung tinggi dan sejuk, tapi Kunduz sangatlah panas. Untuk datang ke sini, bus berjalan menembus gunung melewati Terowongan Salang, yang dibangun tahun 1960-an sebelum perang mencabik-cabik Afghanistan. Terowongan ini sangat panjang dan modern. Bisa dilihat, betapa dulu Afghanistan adalah negara yang begitu kaya dan maju. Udara panas di Kunduz sebanding dengan Kandahar atau Jalalabad, terkenal karena gelombang panas yang sangat parah di puncak musim panas. Ketinggian Kunduz hanya 400 meter di atas permukaan laut, sebuah penurunan drastis dari Terowongan Salang yang mencapai 3.363 meter. Kunduz seperti dasar sebuah mangkuk di Asia Tengah, tidak heran juga panasnya bisa menjadi-jadi seperti ini. Memasuki Kunduz, kita sebenarnya sudah memasuki Asia Tengah. Uzbekistan dan Tajikistan sudah sangat dekat. Tetapi bukannya orang Uzbek dan Tajik yang mendominasi kota ini, justru orang Pashtun yang berasal dari Afghanistan selatan. Aku disambut oleh Rohullah Arman, wartawan Pajhwok yang bertugas di daerah ini. Dengan sepeda motor superbesarnya, Arman segera membawaku [...]

January 6, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 48: Masa Lalu Gemilang

Mungkin masa lalu gemilang itu telah berlalu… Dengan sepeda motornya, Nikzat membawaku ke Tapa Sardar, peninggalan Buddhis di Ghazni. Tapa Sardar terletak sedikit di luar kota, dekat dengan jalan raya utama. Musafir China termasyhur, Hsuan Tsang dari Dinasti Tang mengunjungi situs religius ini pada tahun 644 M. Dari catatan perjalanannya, tertulis bahwa di tempat ini terdapat stupa raksasa di puncak bukit, ditemani dua bangunan yang mempunyai dinding yang diukir indah. Tetapi hampir sama sekali tidak tersisa apa-apa di sini. Seorang lelaki yang bekerja untuk Departemen Kebudayaan Ghazni berkata padaku bahwa Taliban telah menghancurkan segalanya yang ada di sini. “Masa lalu yang gemilang sudah berlalu sama sekali.” Menyedihkan. Afghanistan telah kehilangan ribuan tahun peradaban bersejarah hanya karena perang beberapa puluh tahun. Berabad-abad kejayaan dihapus hanya oleh beberapa tahun kebodohan. Sesungguhnya Tapa Sardar sudah hancur jauh lebih awal daripada itu. Juga karena perang. Sebuah catatan lain dari sejarawan Arab mengatakan, kehancuran pusat peradaban Buddhis di sini sudah dilakukan pada abad ke-8 M oleh serdadu Muslim. Saat itu, Ghazni perlahan berubah fungsi dari pusat peradaban Buddhis menjadi pusat peradaban Islam, dan raja-raja Muslim dari Arab maupun Afghanistan sangat terkenal dalam upaya mereka menghancurkan “berhala-berhala” agama Hindu atau Buddha, mulai dari Afghanistan, Pakistan, hingga [...]

January 1, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 47: Surat Apa?

Untuk memahami masa lalu peradaban Afghanistan yang gemilang, aku pergi ke Ghazni. Ghazni adalah ibukota provinsi dengan nama yang sama, terletak di utara Provinsi Zabul pada jalan raya Lintas Selatan Afghanistan yang menghubungkan Kabul dengan Kandahar. Udara di Ghazni cukup sejuk, apalagi jika dibandingkan dengan Kandahar. Ini karena Ghazni terletak pada ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut. Saat ini Ghazni termasuk daerah yang cukup rawan di Afghanistan, karena serangan Taliban cukup sering terjadi di berbagai wilayah provinsi. Tetapi semua orang meyakinkanku, kota Ghazni sendiri cukup aman untuk dikunjungi. Shehr Ahmad Haider adalah wartawan Pajhwok yang meliput daerah ini. Kantornya adalah ruangan mungil berukuran 3 x 5 meter di sebuah hotel dekat terminal bus menuju Kandahar. Ada dua komputer di ruang kerjanya, dan alat utamanya untuk mendapatkan berita adalah dua telepon genggam dan sebuah telepon rumah. Haider belum pernah bertemu Taliban, walaupun wilayah kerjanya ini sangat berkaitan dengan aktivitas Taliban. Semua wawancara dilakukan per telepon. Tapi dia tidak menganggur. Kenyataannya, dia bisa membuat minimal 5 artikel berita setiap hari, dan harus sibuk bolak-balik memutar nomor telepon dan mondar-mandir ke warung internet (hanya ada satu-satunya di kota ini, dan mematok harga yang cantik, Af 70 atau US$1.40 per jam). Teman dekat [...]

December 31, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 46: Gerakan Bawah Tanah

Mereka bukanlah kaum perempuan Afghanistan yang pasif menerima keadaan dan tradisi. Sejak lama, perjuangan mereka adalah revolusi berbahaya. Nama RAWA (Revolutionary Association of Women in Afghanistan) telah menjadi legenda, atau bahkan momok bagi banyak orang. Organisasi ini didirikan tahun 1977, hanya setahun sebelum invasi Rusia, dan selalu dalam bentuk organisasi bawah tanah, komunitas rahasia di Afghanistan. RAWA tidak punya kantor di Kabul, para anggotanya bahkan tidak mengenal satu sama lain. Untuk bertemu anggota RAWA sungguh tak mudah. Aku harus menghubungi kantor pusat RAWA di Quetta, Pakistan. Setelah korespondensi cukup lama, akhirnya mereka memperkenalkanku pada Panveen via email. Nama Panveen ini pun sangat mungkin bukan nama sebenarnya. Aku dan Panveen membuat janji melalui telepon, dan bertemu di sebuah sudut jalan yang agak jauh dari pusat kota Kabul, ke arah utara. Panveen datang dengan seorang temannya. Keduanya mengenakan hijab, tetapi hidung dan mulut mereka tertutup, hanya sepasang mata yang kelihatan. Panveen kemudian berjalan tergesa-gesa menyusuri gang kecil. Aku mengikutinya. Pada setiap langkah, dia selalu melongok ke kiri dan ke kanan, takut diikuti. Rumah itu adalah rumah pribadi, gelap dan kosong, punya seorang teman mereka. Panveen mengembus napas lega ketika kami berhasil masuk ke dalam bangunan, lalu menutup pintu rapat-rapat. Dua perempuan, membawa [...]

December 30, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 44: Jantung Negeri Bangsa Pashtun

Perang memang telah mengubah banyak hal tentang Kandahar. Tetapi tidak sedikit pula pernak-pernik kehidupan bangsa Pashtun yang tidak berubah. Tidak adil kiranya jika kita menganggap Kandahar hanyalah kota yang penuh kengerian dan kekerasan. Kota ini sesungguhnya adalah kota yang menyenangkan, terlepas dari panasnya musim panas nan ganas. Ya, suhu udara naik setiap hari. Saat aku datang 45 derajat, lalu besoknya 46, lalu 47, lalu 48, dan hari ini 49 derajat Celcius. Kenapa Kandahar sepanas ini? Ada dongeng tentang Baba Farid, seorang pertapa Sufi yang menghukum Kandahar karena penduduknya yang tidak ramah. Dia menyamar sebagai pengemis, meminta makanan di pinggir pasar. Tapi tidak seorang pun yang sudi mengasihaninya. Dia marah karena kelakuan para penduduk. Dia menangkap ikan dari sungai, mengangkatnya tinggi-tinggi ke langit. Matahari perlahan turun mendekat, memanggang ikan itu sampai matang dan bisa dimakan. Bukan cuma ikan yang dipanggang. Seluruh penduduk Kandahar pun menjadi bangkai gosong. Matahari yang mendekat, inilah alasan kenapa panas musim panas Kandahar begitu ganas. Panas beberapa hari ini semakin tidak tertahankan, karena pasokan listrik begitu buruk setelah Taliban menyerang pembangkit listrik di Helmand. Terlepas dari begitu banyak peringatan keamanan, aku memaksakan diri sendirian berkelana melewati gang-gang sempit di pasar kuno Kandahar. Ada empat bazaar utama: Herat [...]

December 26, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 43: Teror di Dalam Jiwa

Kemenangan dari teror adalah ketika ketakutan itu sudah merasuk-rasuk ke dalam jiwa. Kita bahkan tidak tahu lagi, apa sebenarnya yang kita takuti. Lam Li adalah seorang jurnalis Malaysia yang sudah dua bulan ini tinggal di Kandahar, menumpang di rumah seorang sahabatnya. Lam Li malah ingin mendapat pekerjaan di Kandahar. Dia sudah mengajukan surat lamaran ke banyak organisasi, seperti PBB, ANSO, UNAMA, dan sebagainya. Bukan cuma untuk mencari kerja sebenarnya, tapi Lam Li penasaran mengetahui ada apa di balik desas-desus penyelewengan dana miliaran dolar yang dilakukan oleh organisasi-organisasi raksasa di Afghanistan itu, yang tampaknya juga tidak memberi kemajuan berarti pada negeri ini. Begitu banyak surat lamaran yang dia kirim, tapi tidak ada balasan positif sama sekali. Dua bulan berlalu di Kandahar, hanya menunggu dan menunggu. Paspornya sampai dipenuhi stiker perpanjangan visa Afghan. Jangan lupa untuk melihat tulisan besar di bagian “Tempat Penerbitan Visa” yang berupa nama salah satu kota terseram di dunia: “KANDAHAR”. Memperpanjang visa di Kandahar juga berarti mengalami prosedur keamanan yang khas kota ini. Kantor Departemen Luar Negeri terletak tidak jauh dari kantor gubernur, dikelilingi tembok padat yang tinggi. Seperti halnya kantor pemerintah dan organisasi kemanusiaan penting lainnya di kota ini, tidak ada tanda-tanda sama sekali di kantor ini. [...]

December 25, 2013 // 0 Comments

Selimut Debu 42: Zona Perang

Di zona perang, ada sebuah kebijaksanaan yang harus kita ingat: tempat yang paling aman justru adalah tempat yang paling tidak aman. Saat berada di Kandahar, ingatlah jangan nongkrong di dekat polisi atau tentara. Pada tanggal 3 Juli 2006, di sepanjang jalan pusat perbelanjaan utama di Kandahar, yaitu di daerah kota baru (Shahr-e-Nao) di barat Perempatan Syahid (Shahidan Chowk), tiga orang pemotor menembaki jalanan secara acak. Ya, memuntahkan tembakan begitu saja ke berbagai arah, seperti anak kecil yang menembakkan pistol airnya sembarangan. Mereka sebenarnya menarget polisi, tapi penembakan liar ini bisa membunuh siapa saja yang sedang apes berada di jalanan. Untunglah, penembakan acak ini tidak membunuh siapa-siapa, dan para pelaku berhasil diringkus saat itu juga. Sesudah aksi penembakan, tidak perlu juga 10 menit, kehidupan di jalan itu sudah kembali normal. Para fotografer di pinggir jalanan Kandahar yang nongkrong sepanjang hari untuk menunggu pelanggan membuat foto identitas dengan kamera kuno mereka yang sudah berabad usianya, kini sudah kembali lagi melanjutkan pekerjaan mereka, seolah tidak terjadi apa-apa. Pepatah Inggris bilang, rasa ingin tahu bisa membunuh kucing. Di Kandahar, rasa ingin tahu bisa membunuhmu begitu saja. Apalagi kalau yang ingin kau ketahui adalah bom. Ini sudah sering terjadi. Bom meledak. Seketika datanglah pasukan mau [...]

December 24, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 41: Ketika Semua Telah Menjadi Normal

Semua tampak normal di Kandahar (AGUSTINUS WIBOWO) “Di sini semua mahal. Yang murah cuma satu: nyawa manusia.” Kandahar adalah kota terbesar kedua di Afghanistan, telah membayangi imajinasi para musafir sejak ratusan tahun silam. Deskripsi dari kisah-kisah kuno tentang Kandahar berkutat pada gelombang panas yang mematikan, gurun yang kejam, juga tentang keramahtamahan bangsa Pashtun yang tiada bandingannya. Anehnya, deskripsi itu masih tetap valid hingga hari ini, walaupun perang berkepanjangan dan fundamentalisme telah mengubah wajah kota ini. Hidup di Kandahar di tengah puncak dari tren “war on terror” tentu didominasi perhatian pada masalah keamanan. Bom bunuh diri dapat terjadi di mana pun. Juga penembakan di jalanan bisa terjadi secara random, langsung mengirimkan peluru melesat ke sebelah kakimu. Taliban adalah pihak yang selalu dituding berada di belakang semua teror ini, tetapi tidak seorang pun yang tahu pasti siapa dalang sesungguhnya. Politik di Afghanistan sangatlah rumit. Bukan hanya para ekstremis religius yang mengenakan topeng agama pada setiap aksi mereka, Afghanistan juga merupakan medan permainan dan incaran banyak negara yang mencampuri politik dalam negeri mereka. Hidup di Kandahar banyak berubah setelah itu. Sejak akhir 2004, situasi di kota ini memburuk dan hanya memburuk. Banyak penduduk setempat yang bahkan tidak berani pulang ke kampung mereka di [...]

December 23, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 32: Legenda Masa Lalu

Ahmad Sabur di Kakrak (AGUSTINUS WIBOWO) Lembah ini bersimbah air mata. Ada sebuah legenda indah namun tragis tentang Bamiyan. Konon, di lembah Bamiyan pernah bertahta raja Jalaluddin. Raja memaksa putrinya menikah dengan seorang pangeran tampan dari Ghazni. Tapi hati sang putri bukanlah pada lelaki itu. Dia tidak rela dipaksa menikah oleh ayahnya. Dalam hatinya tumbuhlah dendam pada sang ayah. Pada saat itu, kabar mengenai keganasan bangsa Mongol sudah tersiar ke negeri-negeri tetangga. Pasukan Jenghis Khan membabi buta menerjang ke negeri-negeri Muslim, menghancurkan semua peradaban, membakar habis kota-kota, memerkosa dan membantai penduduk yang malang. Tidak lama lagi, pasukan Mongol itu akan tiba di negeri Bamiyan. Tebersit dalam benak sang putri, inilah saat  terbaik untuk menghukum ayahnya. Apabila kekuatan seorang wanita tidak sanggup menghukum lelaki jahanam itu, batinnya, bagaimana kalau dengan menggunakan tenaga para lelaki Mongol yang tidak pernah kenal belas kasihan? Hanya dengan kata-kata, sang putri yakin ayahnya akan hancur. Dia membocorkan rahasia benteng kerajaan ayahnya pada pasukan Mongol. Tidak perlu lama, tanpa bertele-tele, pasukan Mongol berhasil menundukkan benteng Jalaluddin berkat informasi rahasia dari sang putri. Jenghiz Khan terkenal sebagai kaisar berhati dingin. Di kebanyakan negeri yang dikalahkannya, semua makhluk dibantai habis. Lolongan ratapan berkumandang dari seluruh penjuru benteng itu. Pria, [...]

December 10, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 31: Perjalanan Hazara

Foto raksasa pahlawan Hazara dalam perang Mujahiddin menghiasi langit Bamiyan. (AGUSTINUS WIBOWO) “Indonesia? Aku tahu Indonesia! Jawa, Bali, Roti!” seru lelaki Hazara di pondok kayu bobrok di pinggir pasar utama Bamiyan ini begitu aku menyebut asal negaraku. Ramazan mengejutkan aku dalam dua hal. Pertama, dia adalah lelaki yang berasal dari pedalaman Afghanistan di tengah pegunungan tinggi yang cukup terpencil. Tidak banyak orang Afghan yang benar-benar tahu apa atau siapa itu Indonesia. Sejumlah orang Afghan yang kutemui malah mengira Indonesia itu adalah kota kecil di dekat London. Atau negara pecahan Uni Soviet. Atau negara mungil lagi miskin di pedalaman Afrika. Kejutan kedua, Ramazan bahkan tahu tentang Roti, sebuah pulau kecil nun jauh di pelosok kepulauan Indonesia, yang tentunya banyak orang Indonesia sendiri pun tidak tahu pasti di mana itu letaknya. Ramazan ternyata bukan cuma tahu tentang Roti. Dia pernah tinggal di sana. Bukan sebagai pengunjung short time sepertiku di Afghanistan sekarang ini, Ramazan tinggal di Roti sampai 14 bulan dari tahun 2001 sampai 2002. Selain Roti, ternyata Ramazan pernah tinggal di Jakarta dan Bali. Ini bukan jalan-jalan piknik suka-suka. Perjalanan Ramazan adalah menembus gunung dan bukit-bukit berdebu, bersembunyi dari terjangan peluru dan kemelut perang, lalu menyelundup dari negeri yang satu ke [...]

December 9, 2013 // 8 Comments

Selimut Debu 26: Buddha Bertabur Ranjau

  Yang tersisa dari peradaban kuno Buddhisme itu adalah rongga raksasa dan gua-gua kosong. (AGUSTINUS WIBOWO) Mengunjungi Bamiyan bagaikan menyusuri lekuk-lekuk memori. Tiga tahun lalu, berdiri di hadapan patung-patung Buddha puncak peradaban ribuan tahun yang berubah menjadi tumpukan batu hanya dalam semalam, hatiku menangis. Hari ini, tumpukan-tumpukan batu di rongga gunung itu masih seperti dulu. Berbongkah-bongkah, tak beraturan, menjadi saksi kebodohan perang. Sepi, kosong, sementara angin berhembus sepoi-sepoi mengayun-ayunkan rerumputan di lembah hijau. Kesunyian yang berlebihan ini membuatku merinding. Sunyi sesunyi-sunyinya, karena anak-anak masih bersekolah dan para lelaki bekerja di ladang. Tidak ada orang lain di sini, dan aku satu-satunya “turis”. Kesunyian itu sesungguhnya tidaklah total. Semakin aku berjalan mendekat ke arah rongga Buddha raksasa, semakin terlihat banyak pekerja yang sedang sibuk. Para pekerja itu ada dua macam. Yang pertama adalah para pekerja berhelm kuning, seperti para pegawai konstruksi, sibuk hilir mudik di antara patung Buddha Besar (tingginya 55 meter) dan lebih jauh ke arah patung Buddha Kecil (tingginya 38 meter). Kedua gua Buddha raksasa itu (yang saking besarnya aku harus mendongak melihat atapnya) kini sudah dipagari, dan para turis diwajibkan membayar tiket. Aku sendiri kurang tahu soal tiket itu, karena sejauh ini tidak ada staf yang menagih tiket, kantor [...]

December 2, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 22: Kabul, Pandangan Pertama

  Para pengunjung Safi Landmark, pusat perbelanjaan termegah di Kabul hari ini. (AGUSTINUS WIBOWO) Tiga tahun berselang… Mimpi berpendar bersama realita, Aku berubah, Afghanistan pun berubah.   Apakah ini sungguh Afghanistan? Aku tak henti bertanya ketika memandang kota Kabul. Setelah melintasi Khyber Pass yang sama seperti tiga tahun lalu, aku kembali datang ke kota ini, ke negeri ini, berbekal sedikit pengetahuan bahasa Farsi demi mendengarkan cerita-cerita langsung dari mulut Afghanistan. Dan begitu asingnya dia sekarang. Kota yang sama, ibukota negeri perang yang selalu membayangi imajinasiku selama bertahun-tahun ini, kini hampir tak kukenali lagi. Kabul hari ini, di hadapanku, adalah kehidupan mewah, pesta foya-foya, kekayaan yang melimpah. Namun semua itu tersembunyi di balik tembok padat yang kumuh dan kusam. Aku tinggal bersama seorang teman dari Indonesia, yang bekerja pada sebuah perusahaan IT di Kabul dengan beberapa warga asing. Teman-teman sekerjanya sesungguhnya adalah orang Afghan yang kini telah menjadi warga sebuah negara Skandinavia. Afghanistan saat ini membuka lebar-lebar pintu investasinya, mengundang diaspora Afghan yang tinggal di berbagai negeri untuk membaktikan diri pada tanah air. Setelah perang berkepanjangan, banyak warga Afghanistan yang mengungsi ke luar negeri dan menjadi warga negara lain. Mereka sekarang boleh bekerja dan tinggal di Afghanistan seberapa lama pun mereka [...]

November 26, 2013 // 0 Comments

Selimut Debu 20: Malam Terakhir

Super Deluxe Bus ala Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO) Beberapa hari ini dilewatkan hanya dengan kunjungan rutin ke Kedutaan Inggris karena masalah visa Adam. Ide-ide gila sempat muncul untuk mendapat visa Pakistan, mulai dari membuat surat dari organisasi palsu yang ditandatangani sendiri, sampai mengurus visa Pakistan di konsulat di Jalalabad, atau pergi ke Iran dan Uzbekistan (yang harga visanya sampai US$100). Tetapi dengan uang Adam yang tidak kalah tipisnya dari punyaku, semua pilihan itu jadi mustahil. Bagaimana pun juga aku tidak bisa terus-terusan di Kabul, dan harus meninggalkan negeri ini dengan kekecewaan mendalam. Waktuku sangat singkat, dan aku hampir tidak berkesempatan mengenal negeri Afghan ini sama sekali. Untuk menebus perasaan bersalah karena membuatku menemaninya setiap hari ke Kedutaan Inggris yang membosankan, Adam mentraktirku makam malam terakhir di restoran China yang segedung dengan Khyber Restaurant. Lumayan mahal makanannya, seporsi sampai US$8, apalagi untuk kami para backpacker kere yang rela melakukan apa pun hanya demi menghemat satu sen. Sial! Bus menuju perbatasan Pakistan berangkat subuh-subuh, tetapi aku baru bangun pukul tujuh siang. Ya, pukul tujuh itu sudah siang kalau ukuran Afghanistan. Sudah mustahil aku berangkat ke Pakistan hari ini. Aku tidak tahu harus senang atau sedih. Rencana tidak terlaksana, tapi setidaknya aku punya satu [...]

November 22, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 17: Keajaiban Dunia

Danau mukjizat (AGUSTINUS WIBOWO) “Band-e-Amir adalah salah satu keajaiban dunia. Band-e-Amir sudah berada di atas segala rasa, dialah keindahan sejati.” Begitu sebuah buku panduan wisata kuno Afghanistan terbitan Kabul melukiskan keindahan danau-danau Band-e-Amir. Airnya biru kelam, bagaikan bola mata yang menatap begitu dalam dan misterius. Birunya air ini laksana kristal permata yang berkilauan diterpa sinar mentari di tengah ketandusan. Band-e-Amir berupa kumpulan lima danau berkilauan, terletak 75 kilometer di sebelah barat Bamiyan. Nama Band-e-Amir berarti “Bendungan sang Raja”. Setiap danau dikelilingi oleh tebing tinggi batu-batuan cadas yang membentuk seperti tembok yang membendung air danau. Menurut legenda, batuan-batuan cadas ini adalah mukjizat dari Hazrat Ali (sepupu Nabi Muhammad) yang mendirikan tembok-tembok batuan untuk membendung aliran sungai yang membanjiri negeri. Islam konon masuk ke Lembah Bamiyan setelah kedatangan Ali dan berbagai mukjizat ajaibnya, termasuk membunuh naga raksasa, menciptakan danau, dan mengalahkan raja lalim. Dalam perjalanan menuju Band-e-Amir, kami singgah di sebuah kedai teh, yang dalam bahasa Afghan disebut sebagai chaikhana. Ini adalah tempat penting dalam kehidupan orang Afghan. Mereka melewatkan hari-hari mereka yang panjang di kedai teh. Hari yang baru biasanya diawali dengan sepoci teh jahe plus gula batu atau permen manis yang dikulum di bibir. Secangkir teh hangat juga menyegarkan tenggorokan [...]

November 19, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 16: Inisiasi

Bocah-bocah dari negeri perang (AGUSTINUS WIBOWO) Mulai hari ini, kami resmi menjadi war tourists. Para turis sinting yang tergila-gila dengan eksotisme kehancuran, pertumpahan darah, dan memorabilia perang. Kami mendaki bukit terjal yang menjadi tempat berdirinya patung-patung Buddha. Ada jalan setapak berpasir yang cukup curam, membuatku terpeleset berkali-kali. Tetapi Adam adalah pencinta alam liar, dia pernah mendaki gunung dan mengelilingi Annapurna di deretan pegunungan Himalaya di Nepal, medan seperti ini justru yang dia cari. Apa lagi yang lebih menantang daripada mendaki gunung di negeri perang, yang kita pun tidak tahu mana yang ada ranjau, mana yang aman? Di puncak bukit, bertaburan rongsokan artileri dan tank. Tetapi kengerian ini seakan dilunakkan oleh lembah hijau Bamiyan yang menghampar, menantang tegarnya pegunungan gersang dan cadas. Aku memungut sebuah peluru, dari ratusan yang bertabur begitu saja di tanah. Ukurannya besar-besar, lengkap dengan selongsongnya. “Ambil lagi yang banyak,” Adam tertawa girang. ”Untuk kenang-kenangan dari Afghanistan.” Aku menyimpan peluru itu hati-hati dalam saku, diiring sebuah pertanyaan pragmatis: bagaimana cara menyelundupkan butir peluru sisa perang Afghan dengan aman sampai ke rumah? Kami berdua menyusuri tebing-tebing di sekitar reruntuhan patung Buddha. Kami melupakan pesan orang-orang bijak: jangan sembarangan melangkah di Afghanistan karena ranjau bertebaran di mana-mana. Ah, siapa yang [...]

November 18, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 15: Bayang-Bayang Sang Buddha

Seperti baru kemarin saja perang itu berhenti (AGUSTINUS WIBOWO) Berabad silam, negeri ini adalah pusat peradaban Buddha, dengan patung-patung raksasa yang memancarkan kemilau batu mulia. Tetapi, hanya dalam dua tahun yang lalu, puncak peradaban itu menjadi bongkah-bongkah batu tanpa makna. Di hadapan puing-puing reruntuhan, aku merenungkan betapa manusia bisa menjadi begitu kejam dan bodohnya. Aku punya perasaan istimewa terhadap tempat ini. Adalah Bamiyan yang membuatku bermimpi tentang Afghanistan. Suatu hari di dua tahun lalu, siaran berita televisi mengabarkan Taliban akan segera menghancurkan patung Buddha tertinggi di dunia yang terletak di jantung Afghanistan. Ada patung Buddha di negeri Afghan? Aneh juga kedengarannya. Televisi menunjukkan gambar para pelaku, yang menyebut diri sebagai Taliban, berwujud orang-orang berjenggot lebat, berjubah hitam, dan beserban kain hitam panjang menjuntai hingga ke pinggang. Mereka berbicara penuh semangat. Tentang perjuangan, tentang agama, tentang kelaparan dan dunia yang lebih mementingkan patung daripada penderitaan manusia Afghan. Siaran berita televisi itu kemudian menunjukkan gambar tebing cadas sebuah dusun bernama Bamiyan. Cadas itu berdiri tegak lurus. Pada sisinya terdapat dua relung besar dengan dua patung Buddha raksasa berdiri di dalamnya. Patung-patung itu sudah cacat. Kakinya hilang, hidungnya tertebas, wajahnya rusak. Itulah peninggalan peradaban dunia yang masih tersisa di negeri yang hancur lebur. [...]

November 15, 2013 // 7 Comments

1 2 3