Recommended

tarian

Titik Nol 170: Mehndi

Calon pengantin yang berbahagia (AGUSTINUS WIBOWO) Berakhir sudah hari-hari saya di Kashmir. Hari ini seorang kawan sukarelawan, Syed Ijaz Gillani, menjanjikan akan membawa saya ke sebuah pesta pernikahan di Islamabad. “Pesta ini pasti akan menarik buat kamu,” katanya, “besok kamu siap jam 8 pagi ya, kita berangkat ke Islamabad sama-sama.” Saya menunggu di Muzaffarabad sedangkan Ijaz akan datang dari dusun Noraseri. Saya punya banyak kawan di Muzaffarabad yang ingin mengucapkan selamat jalan. Ali, pemuda Kashmir berumur 16 tahun misalnya, sudah berniat mengantar saya dengan sepeda motornya untuk menyantap sarapan pagi. Saya menolak, karena Ijaz akan datang jam 8 pagi. “Ah, pasti terlambat,” katanya, “aku orang Pakistan dan aku tahu bagaimana kebiasaan orang Pakistan. Ayolah, pergi sama-sama.” Saya tetap memilih menunggu di rumah kontrakan di Muzaffarabad. Tapi Ali memang benar, Ijaz baru datang jam 1 siang. Itu pun dengan melenggang santai tanpa beban. Jam karet sudah bagian dari darah dan daging. Kami baru tiba di Islamabad pukul 8:15, padahal kata Ijaz acara pernikahan dimulai pukul 8. Tetapi dia santai sekali, sama sekali tidak takut terlambat. Kami masih sempat kembali ke rumahnya, ganti baju, dan mengumpulkan seisi rumahnya untuk berangkat bersama. Yang perempuan diangkut di satu mobil, yang laki-laki di mobil lainnya. [...]

April 17, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 164: Terbungkus

Membaca doa setelah akad nikah (AGUSTINUS WIBOWO) Imam berkomat-kamit membaca doa. Pengantin pria menundukkan kepalanya, tegang sekali. Para pria mengelilingi sebuah lingkaran di dalam rumah darurat. Rintik-rintik hujan dan deru angin menembus melalui lobang pintu dan jendela. Di sinilah akad nikah berlangsung. Saya terbayang pernikahan Kashmir yang pernah saya baca. Ratusan orang menari-nari di jalan, dengan tetabuhan musik dan senandung lagu-lagu, menembus keheningan barisan gunung-gunung yang menggapai langit. Makanan melimpah ruah. Orang-orang berpesta pora. Tetapi di sini, enam bulan lalu gempa dahsyat telah menghancurkan semuanya. Bukan hanya rumah yang hancur, tetapi juga keluarga, manusia, hewan ternak, harta benda, mimpi dan cita-cita. Semua dirundung kesedihan karena kehilangan sanak saudara. Banyak desa yang musnah, sisanya lagi tinggal sebagian saja penduduknya. Longsor menghanyutkan rumah-rumah. Manusia bangkit dari puing-puing reruntuhan. Tetapi hidup masih harus terus berjalan bukan? Setelah sekian bulan berlalu, pelan-pelan hidup mulai bangkit dari kehancuran. Setelah melewati Ramadan, Idul Fitri, hingga empat puluh hari perkabungan Muharram, pasangan-pasangan berbahagia pun dinikahkan, menempuh hidup baru yang berawal dari bongkahan kehancuran. Lupakan pesta perkawinan Kashmir yang mewah dan berwarna-warni. Sekarang, kita kembali ke reruntuhan, barisan tenda, dan rumah darurat yang masih belum jadi. Di sinilah akad nikah dilangsungkan. Dalam keheningan dan [...]

April 9, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 130: Air Mata Pengantin

Rombongan barat tiba di rumah pengantin perempuan (AGUSTINUS WIBOWO) Baru pertama kali saya menyaksikan pesta pernikahan seperti ini – sang pengantin perempuan menangis keras, meraung-raung seperti orang yang ditinggal mati keluarganya. Hassanabad, rumah sang pengantin perempuan, letaknya hanya empat kilometer dari Karimabad. Tetapi rombongan barat kami diangkut dalam iring-iringan belasan jip. Bersama kami, ikut seorang khalifa, penghulu umat Ismaili. Acara akad nikah dilangsungkan di jemaatkhana di dekat rumah pengantin wanita, demikian adatnya. Kalau zaman dulu barat selalu menampilkan seorang pangeran tampan berjubah yang duduk dengan gagah di atas kuda putih, sekarang sang pangeran naik jip butut yang tak kalah tangguhnya menyusuri lereng perbukitan di barisan pegunungan raksasa. Apalagi sekarang dingin tak terkira menembus mantel dan jaket. Hassanabad terletak di lereng bukit terjal. Karena jip kami sudah terengah-engah, rombongan bharat kami harus mendaki gunung dengan berjalan kaki. Acara akad nikah tertutup bagi orang luar. Hanya famili dekat kedua mempelai, plus khalifa dan muki (imamnya orang Ismaili) yang boleh masuk ke jemaatkhana. Rombongan 50 orang barati, termasuk saya, menunggu dengan sabar di rumah mempelai wanita. Sekitar setengah jam berselang, iring-iringan pengantin pria dan kerabatnya datang. Mereka bersiap masuk ke rumah pengantin perempuan. Beberapa orang perempuan menunggu di depan pintu, membawa sebuah nampan berisi [...]

February 20, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 129: Menjemput Sang Istri

Pengantin pria siap menjemput sang putri (AGUSTINUS WIBOWO) Rombongan barat berarak-arak menyusuri jalan sempit di pinggir rumah-rumah batu Karimabad. Kami menuju Hassanabad bersama sang pengantin pria untuk menjemput sang putri. Pukul sembilan pagi. Rumah keluarga karim mulai ramai didatangi sanak saudara. Bahkan ada beberapa paman yang sudah sejak beberapa hari yang lalu datang dari luar kota dan menginap di sini. Bocah-bocah perempuan anak tetangga berlari riang di halaman, menunjukkan tangan mereka yang sudah berhias henna. Yang laki-laki sudah siap dengan korek dan petasan. Ledakan demi ledakan sambung-menyambung. Di ruang utama, di bawah potret besar sang pemimpin spiritual Aga Khan yang sedang tersenyum, para pria kerabat dekat menikmati sarapan pagi – roti tipis chapati yang dimakan dengan gumpalan mentega padat. Minumnya adalah teh susu campur mentega, asin rasanya. Semua pria yang duduk di ruangan ini, termasuk saya, adalah kaum barati. Kami akan ikut dalam rombongan barat, rombongan pengantin pria untuk menjemput pengantin perempuan di rumahnya. Amin Khan, sang pengantin pria, kakak kandung Karim, sudah tiga puluh tahunan umurnya. Ia pemilik hotel di dusun Altit di atas Karimabad. Wajahnya garang dan tegang. Kumisnya tebal. Matanya menyorot tajam. Ia mengenakan shalwar kamiz putih bersih, dipadu dengan sweater abu-abu untuk mengusir dingin. Pakaian pengantin [...]

February 19, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 128: Sharbat dan Tamasha

Sharbat (AGUSTINUS WIBOWO) Semarak tari-tarian di malam yang gelap, memecah kesunyian pegunungan bisu Karakoram, mengawali hidup baru sepasang pengantin di Karimabad. Karim adalah seorang kawan Hussain si juru masak. Rumah Karim hari ini sibuk sekali, karena keluarga besar itu sedang menyiapkan acara pernikahan. “Makanlah ini,” Karim menyuguhi saya semangkuk makanan yang nampak seperti bubur. Namanya sharbat, makanan wajib pesta pernikahan di Hunza. Sharbat selalu dimasak oleh laki-laki, terbuat dari mentega yang direbus dengan air dalam wajan besar dengan api kecil, dicampur tepung kasar sampai mengental. Hangat, lembek, sedikit hambar. Di tengah kesibukannya membersihkan rumah, Karim bercerita bahwa kakaknya, Amin Khan, akan menikah besok lusa.. Pernikahan di Hunza selalu jatuh hari Sabtu. Tetapi sehari sebelumnya, hari Jumat, baik di keluarga pengantin pria dan wanita pesta sudah dimulai. Masing-masing keluarga mengundang tetangga, kerabat, dan kawan-kawan untuk makan siang. Menunya adalah sharbat, makanan kental yang barusan saya santap. “Acara besok dan besok lusa pasti meriah,” kata Karim, “Besok adalah acara tamasha, acara pesta dengan tari-tarian. Hari Sabtu lusa adalah puncak dari semua perayaan ini – nikah. Nikah akan dilaksanakan di jemaatkhana di dekat rumah pengantin perempuan. Nanti kami akan berombongan berangkat ke sana.” Untuk urusan jumlah tamu dan rombongan di Hunza ada aturan [...]

February 18, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 114: Malam Sufi

Berputar… berputar… berputar… (AGUSTINUS WIBOWO) Asap hashish mengepul, memenuhi ruangan yang penuh sesak oleh ratusan pria ini. Genderang bertambur bertalu-talu, menghipnotis semua yang ada. Dua orang pria berputar-putar di tengah lingkaran, bergedek bak pecandu ekstasi. Semua lebur dalam kecanduan spiritual. Sufisme, dikenal juga sebagai tasawuf, adalah aliran mistis dalam Islam yang percaya bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan tidak hanya bisa melalui satu cara saja, termasuk musik dan tarian. Di Asia Tengah dan anak benua India, Sufisme adalah bagian dari budaya Islam itu sendiri. Kamis malam, bulan bersinar terang merambah kegelapan, susasana kuburan Baba Shah Zaman di daerah kota tua Ikhra di Lahore seakan melemparkan saya ke alam magis. Daerah ini seakan hidup dalam dunianya sendiri, dalam dunia yang berbeda dengan hiruk pikuk modernitas kota Lahore. Saya menyusuri anak tangga menuju ke makam suci ini. Semua orang harus melepas sandal di depan pintu. Di balik pintu gerbang, ada halaman berlantai pualam. Di sini hanya ada laki-laki. Perempuan dilarang masuk. Ratusan pria berjubah shalwar kamiz berusaha menerobos masuk ke halaman sempit yang terbatas ini. Saya mendapat tempat di antara kerumunan pria berjenggot. Semerbak baru harum bunga mawar bercampur dengan asap yang mengepul di mana-mana. Bau hashish, candu, menusuk dalam-dalam. “Ini adalah cara [...]

January 29, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 112: Gerbang Kemerdekaan

Bus bersejarah itu pun tiba di wilayah India (AGUSTINUS WIBOWO) “Pakistan memang diciptakan untuk membuat jarak antara kita dan mereka, memecah belah persaudaraan kita. Tak perlu kita teruskan lagi [permusuhan ini].” Demikian sebuah koran India menurunkan artikel di rubrik opini. Kedua negara tetangga ini sudah berseteru sejak kelahirannya. Pakistan tercipta dari British India tahun 1947 ketika umat Muslim India minta diberi negara sendiri. Pakistan berarti ‘Negeri yang Murni’, cita-cita luhurnya adalah negara umat Muslim yang berdiri di atas kesucian dan kemurnian Islam. Tetapi, pertikaian dan perselisishan selalu mewarnai sejarah kedua negara, menyebarkan benci yang merayap sampai ke sanubari rakyat jelata. Ingat kasus bom di New Delhi yang serta merta membuat orang India langsung menunjuk hidung Pakistan sebagai kambing hitam? Ingat betapa susahnya orang India mendapat visa Pakistan dan juga sebaliknya? Orang India menggunakan kata Pakistan sebagai umpatan yang paling kasar – “Chalo Pakistan!”, artinya “Enyahlah ke Pakistan”. Mengapa Pakistan selalu digambarkan sebagai tempat bak neraka yang penuh kesengsaraan? Mengapa imej Pakistan di India hanya hitam dan kelabu? India dan Pakistan punya garis perbatasan sekitar 3000 kilometer, tetapi hanya satu perbatasan resmi yang dibuka. Perbatasan Wagah teramat sepi, kecuali di sore hari ketika upacara penurunan bendera berlangsung. Tak banyak orang yang [...]

January 27, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 110: Chalo, Pakistan

Bendera Pakistan dan India turun bersamaan (AGUSTINUS WIBOWO) Pakistan di hadapan mata. Perasaan berdosa menyelimuti diri saya. Mengapa saya masih belum juga melintas gerbang perbatasan itu? Enam minggu yang lalu, saya bersorak gembira ketika visa Pakistan tertempel di paspor saya. Orang-orang Kashmir menyemangati saya, dan ikut merayakan kemenangan perjuangan visa saya. Tawa itu, air mata kebahagiaan itu, tak akan pernah saya lupakan. Tetapi, bukannya cepat-cepat berangkat ke Pakistan, saya masih menyempatkan bermain ke Rajasthan, dengan justifikasi untuk menenangkan diri setelah frustrasi berhari-hari di New Delhi. Banyak pengalaman menarik yang saya alami, membuat saya semakin betah di India, semakin melupakan Pakistan. Hingga pada akhirnya datang penyakit ini – kuning merambah mata dan tubuh, lemas melambatkan langkah, rasa mual mengeringkan perut. Mungkin peringatan dari Tuhan, mungkin pula hukuman karena saya melupakan komitmen sendiri. Saya berdiri di depan pintu perbatasan, tertunduk lesu. Sementara di sekeliling saya suasana gegap gempita menggelorakan jiwa nasionalisme India. “Bharat mata ji, jay! Bunda India, jayalah!” ribuan orang India bersorak sorai di depan perbatasan Pakistan. Genderang bertalu-talu. Gemuruh siswa sekolah serempak melantunkan    “Hindustan Zindabad! Hindustan Zindabad! Hidup India! Hidup Hindustan!” Perbatasan India dan Pakistan terletak tepat di antara kota Amritsar dengan Lahore. Dulu, sebelum India dan Pakistan dibelah, [...]

January 23, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 91: Pernikahan Tengah Malam (2)

Pernikahan tengah malam (AGUSTINUS WIBOWO) Sorak sorai bergemuruh ketika sang dulha –pengantin pria, berhasil menaiki kuda putih dengan pelana berbalut permadani cantik. Ia kini bagaikan seorang pangeran dari negeri fantasi di atas kuda putih, berangkat untuk menjemput sang putri. Arak-arakan ini sungguh ramai. Puluhan gadis dengan sari yang cantik menari sepanjang jalan, mengiringi tetabuhan genderang dan trompet yang bersahut-sahutan. Kami bersama-sama menyusuri jalan-jalan kota kuno Jodhpur yang sempit. Kuda putih sang pengantin memimpin. Tari-tarian dan band menyusul. Selanjutnya barisan orang yang tertawa riang, dalam busana mereka yang terbaik, bak parade karnaval akbar. Di musim kawin India, arak-arakan ramai seperti ini ada setiap hari membawa suasana semarak ke tengah kota. Barat artinya iring-iringan pengantin pria menyambut sang wanita. Dalam tradisinya, pengantin menunggang kuda putih sampai ke rumah sang gadis. Tetapi sekarang zaman sudah modern. Sudah ada mobil dan bus. Apalagi rumah sang pengantin wanita di kota Nagaur, lebih dari 100 kilometer jauhnya dari sini. Iring-iringan kuda pengantin hanya beberapa ratus meter saja sampai kami mencapai jalan utama. Di sana sudah ada dua bus besar menunggu, siap mengantar semua orang dalam iringan barat ini. Berawal dari turis yang memotret-motret band kawinan, sekarang kami berdua malah sudah duduk dalam bus bersama sanak saudara [...]

September 29, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 90: Pernikahan Tengah Malam (1)

Siap berangkat menjemput istri (AGUSTINUS WIBOWO) Di malam bertabur bintang, ketika saya sedang menikmati langit malam yang tenang di atap rumah, merenungi hamparan kota kuno Jodhpur yang bak mozaik masa lalu, mensyukuri betapa beruntungnya takdir yang menuntun sampai ke tempat ini, seringkali saya dikejutkan oleh bunyi genderang, musik band yang fals lagi keras, dan ledakan petasan. Itulah hiruk pikuknya pernikahan India yang memecah keheningan malam gelap. Matahari siang terik bersinar. Gang kota Jodhpur meliuk-liuk bak labirin, mudah sekali tersesat di sini. Tetapi justru terperangkap dalam ruwetnya jalan kecil ini yang mengantar kami berdua pada pengalaman pernikahan kasta Brahmana dari Rajasthan. Bunyi genderang dan tetabuhan bertalu-talu. Sepuluh orang berseragam merah dengan untaian sulam-sulaman cantik dari benang emas dengan penuh semangat memainkan berbagai alat musik. Mereka adalah anggota Vishal Band, band acara kawinan yang lumayan ternama di Jodhpur. Ada lima orang peniup trompet yang sampai merah mukanya kehabisan nafas. Ada para penabuh genderang dari ukuran besar sampai kecil yang memukul dengan penuh semangat. Ada yang mengusung bendera band. Ada anak-anak tetangga yang ikut menari riang. Musiknya cepat, naik turun, menggugah semangat. Tetangga melongokkan kepala dari jendela lantai atas rumah mereka. Kalau dalam film Bollywood keributan orkestra jalanan macam ini pasti langsung diiringi [...]

September 27, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 83: Pak Kumis

Kartik Purnima, bulan purnama terbit di antara puncak-puncak kuil Rangji. (AGUSTINUS WIBOWO) Bunyi terompet dan tetabuhan bersahut-sahutan, seolah memaksa pinggul untuk bergoyang mengikutinya. Padang pasir yang muram, setahun sekali berubah menjadi pasar raksasa yang gegap gempita. Pushkar larut dalam kemeriahan festival. Inilah hari yang telah lama ditunggu-tunggu – Kartik Purnima, puncak dari semua hiruk pikuk di Pushkar sejak dua minggu terakhir. Lagu Bollywood berdentum-dentum dari pengeras suara. Nyaring, sumbang, memekakkan telinga. Sekelompok pria dan wanita berdiri di depan sebuah kotak mungil. Di dalam kotak itu ada panggung, beberapa deret bangku panjang, dan seorang penari berjoged, berlenggak-lenggok mengikuti dentuman lagu Aashiq Banaya – lagu film India yang sedang hits di negeri ini. Pinggul sang penari berguncang dahsyat. Penonton di luar pagar hanya berdiri, tertegun, menenggak ludah. Tak sampai tiga menit, tiba-tiba layar merah menutup panggung. Penonton yang di luar pagar hanya bisa mendengus kecewa. Lagu romantis Aashiq Banaya terus menggelegar, dan seorang pria berhalo-halo dengan mikrofon, “Saksikanlah! Saksikanlah pertunjukan istimewa ini!” Pertunjukan akan diadakan nanti sore. Karcisnya cuma 5 Rupee. Yang perempuan melenggak-lenggok selama tiga menit tadi cuma trailer, siaran ekstra yang akan bisa ditonton dalam pertunjukan akbar di dalam kotak mungil itu. Bukankah inovatif cara mereka mencari uang? Sore hari, [...]

September 17, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 77: Idul Fitri di Kota Merah Jambu

Suguhan Idul Fitri.(AGUSTINUS WIBOWO) Saya masih belum menemukan kembali semangat traveling yang hilang. Bersama Lam Li, kami berdua menyusuri jalan-jalan kota merah jambu Jaipur. Di Rajasthan, kota-kota kuno berasosiasi dengan warna – kota merah jambu Jaipur, kota biru Jodhpur, dan kota emas Jaisalmer. Kota Jaipur disebut kota merah jambu, karena di balik benteng kota kuno, banyak bangunan berwarna merah jambu. Sebenarnya sejarah merah jambu ini tak terlalu lama. Pada tahun 1876, ketika Pangeran Edward VII berkunjung, kota ini bersolek habis-habisan, menjadi kota cantik berwarna romantis – merah jambu. Bangunan yang menjadi landmark kota Jaipur adalah Hawa Mahal, seperti istana yang tinggi dan megah, dilengkapi dengan 953 lubang jendela. Hawa artinya angin. Dari lubang jendela ini, angin berhembus, memberi kesejukan bagi yang ada di balik bangunan ini. Walaupun nampak seperti istana raksasa dari luar, sebenarnya Hawa Mahal hanyalah sebidang dinding saja, bagian dari istana raja Jaipur, dibangun oleh Maharaja Pratap Singh tahun 1799. Saya jadi ingat setting film kolosal, yang bisa menghadirkan bentuk bangunan megah luar biasa di depan kamera, tetapi sesungguhnya di balik kemegahan hanyalah dinding kosong buruk rupa. Kami berjalan-jalan di kota kuno Jaipur. Saya mengagumi jalannya yang lurus dan teratur, berpetak-petak. Lam Li, dengan observasinya yang lebih tajam, [...]

September 9, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 45: Dewi Hidup

Sang Dewi mengintip dari balik jendela istananya. (AGUSTINUS WIBOWO) Hari ini adalah hari keempat perayaan Indra Jatra. Kumari Devi, sang dewi hidup, akan memberikan pemberkatan bagi raja dan seluruh warga Kathmandu. Mozaik warna-warni Nepal membungkus Lapangan Durbar dalam gelora perayaan. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana kebiasaan menyembah dewi hidup di Nepal bermula. Legenda mengatakan, raja Jayaprakash Malla dari abad ke-17 terpesona oleh kecantikan Dewi Taleju waktu bermain catur dengan sang dewi pelindung kerajaannya. Kecantikan itu membangkitkan nafsu birahinya. Sang Dewi, yang bisa membaca pikiran raja, marah besar dan mengutuknya. Dewi meninggalkan istana itu sambil memberi tahu titisan berikutnya adalah seorang gadis muda dari kasta rendah. Gadis yang dipercaya sebagai titisan Dewi Taleju dijadikan Kumari Devi, dewi hidup pelindung keluarga kerajaan dan Lembah Kathmandu. Tradisi itu berlangsung hingga sekarang. Kathmandu, Bhaktapur, dan Patan masing-masing punya seorang Kumari Devi yang dipuja umat Hindu dan Budha Newari. Kumari Devi dipilih melalui serangkaian upacara dan pemilihan yang mirip dengan tradisi Budha Tantrayana di Tibet dalam memilih Dalai Lama dan Panchen Lama. Serangkaian mimpi, ilham, dan firasat menunjukkan letak nominasi titisan Dewi Taleju. Gadis-gadis kecil keluarga Budha Newari dari kasta Sakya, sekitar empat tahun umurnya, yang memenuhi 32 syarat fisik kesempurnaan, selanjutnya menjalani serangkaian [...]

July 3, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 38: Hari Perempuan

Kuil Pashupatinath dibanjiri kaum perempuan (AGUSTINUS WIBOWO) Kathmandu disapu warna merah. Ribuan perempuan turun ke jalan, menari mengiringi lagu yang meriah. Wanita mana yang tak bergembira di hari khusus bagi kaum perempuan ini? Di awal bulan Bhadra dalam penanggalan Nepal, kaum wanita bersuka cita menyambut Tij, perayaan bagi kaum perempuan. Kuil Pashupatinath dibanjiri perempuan – gadis, ibu-ibu, hingga nenek tua, semua berpakaian sari merah menyala. Walaupun Tij adalah festival perempuan, sebenarnya unsur lelaki sangat kuat di latar belakangnya. Alkisah, Dewi Parwati berdoa dalam kekhusyukan, berpuasa dalam ketabahan, mengharap agar Dewa Syiwa mau menjadi suaminya. Sang dewa, tersentuh oleh ketulusan hati Parwati, akhirnya menikahinya. Sebagai ucapan terima kasih, Dewi Parwati menjanjikan perempuan yang berpuasa dan berdoa akan mendapat kemakmuran dan kelanggengan di keluarganya. Dari sinilah Tij berasal. Sejak semalam sebelum Tij, selepas makan besar, kaum perempuan mulai berpuasa selama 24 jam. Semua ibadah dan perayaan Tij, mulai dari puasa, sembahyang, dan lantunan lagu, ditujukan untuk memuliakan Dewa Syiwa, yang akan menjamin kebahagiaan keluarga. Mereka yang sudah menikah berdoa demi kesehatan dan kebahagiaan suami. Yang belum, memohon agar Dewa Syiwa segera memberikan jodoh yang paling tepat. Yang sudah menjanda, berdoa bagi arwah suami. Tij adalah hari di mana perempuan beribadah mewakili suami [...]

June 24, 2014 // 0 Comments

Garis Batas 86: Puja dan Puji

Puja bagi Ruhnama (AGUSTINUS WIBOWO) Taman Abad Emas Saparmurat Turkmenbashi yang Agung, nama tempat di mana segala puja dan puji terhadap Sang Pemimpin Besar dipanjatkan setiap minggu, disiarkan secara langsung ke seluruh penjuru negeri oleh televisi negara. Inilah altar pemujaan, yang sepeninggal Sang Pemimpin masih terus melantunkan nyanyian pujian ke angkasa raya. Hari Sabtu dan Minggu sore, taman ini selalu ramai dikerumuni orang. Letaknya di hadapan patung emas Turkmenbashi yang gagah berdiri menyibakkan jubah. Dengan berbekal kamera saya mencoba menyelinap ke tengah kerumunan itu. Tahu-tahu saya diciduk polisi. “Hei, kamu! Mau ke mana?” Saya jawab mau ikut konser. Si polisi tambah curiga, menhardik, “Kamu dari kelas mana? Grup mana?” tanya polisi yang satunya. Kelas? Grup? Waduh, saya kan orang asing yang menyelundup, kok ditanya grup dan kelas. Kedua polisi itu mulai mengancam akan menjebloskan saya ke penjara. Nada-nadanya para pegawai kecil ini ingin mempertunjukkan kekuasaannya. Saya hanya ikut permainan mereka, tersenyum-tersenyum kecil, dan terus memohon-mohon. Ketika mereka lengah saya berhasil menyelinap ke kerumunan orang ramai ini. Sekarang baru saya sadar mengapa polisi-polisi itu mencegat saya. Semua orang yang datang ke tengah kerumunan ini berpakaian hampir sama. Para prianya mengenakan kemeja, dasi, jas hitam kualitas tinggi, dan topi tradisional berbentuk bundar [...]

October 11, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 67: Air Mata Pengantin

Kelin Salom (AGUSTINUS WIBOWO) Seperti kata orang, tidak ada senyuman terhias di wajah seorang kelin, mempelai wanita Uzbek. Yig’lama qiz yig’lama, jangan menangis, gadisku, jangan menangis. Demikian lagu Yor-yor mengalun sentimentil, mengiringi sang kelin memasuki kehidupannya yang baru. Butir-butir air mata membasahi pipinya. Kelin muncul dari balik pintu, diiringi sekelompok wanita tua yang semuanya berkerudung. Pakaiannya putih berpadu dengan rompi panjang hitam berbodir indah. Wajahnya ditutup selembar kain putih transparan yang penuh dengan sulaman. Kedua tangannya terbuka lebar, masing-masing memegang ujung kain yang menutupi kepalanya. Kelin membungkukkan badan, perlahan-lahan. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Inilah gerakan salom-salom, memberi salam, menghormati wanita-wanita dari keluarga mempelai pria. Kelin berbelok ke kiri, tiga kali salom-salom, ke kanan, tiga kali salom-salom. Kepala sang kelin terus tertunduk. Tak ada senyum kebahagiaan layaknya pengantin-pengantin di negara kita. Di sini, semuanya berjalan serius, diiringi lagu Yor-yor yang sangat berat menekan perasaan. Selembar kain sutra atlas bermotif wajik-wajik merah, kuning, hijau, dan putih digelar di atas tanah. Kelin berdiri di ujung kain itu, menghadap ke arah rumah. Di ujung lainnya, satu per satu wanita dari keluarga kuyov – mempelai pria, memberikan hadiah-hadiah kepada kelin. Kelin memberikan salom-salom tiga kali, yang kemudian langsung dipeluk oleh wanita dari keluarga [...]

September 16, 2013 // 8 Comments

Garis Batas 66: Yor-Yor

Yor-yor (AGUSTINUS WIBOWO) Adakah yang lebih sempurna dari ini, menghadiri pesta pernikahan tradisional Uzbek di jantung peradaban Uzbekistan, Lembah Ferghana? Yor-yor mengalun lembut menyebar tangis, ibu-ibu tua berkerudung menari-nari, dan mempelai perempuan sesenggukan di balik cadar. Kebetulan sekali waktu saya masih asyik menghabiskan waktu di pabrik sutra Yodgorlik di Margilan, ada orang yang membagikan sobekan kertas undangan pernikahan. Acaranya besok pagi. “Sudah, datang saja,” kata Firuza. Tetapi saya kan tidak diundang. “Tak masalah. Orang Margilan sangat suka kalau acara pernikahannya didatangi orang asing. Malah kadang undangan disebar sembarangan di pasar-pasar.” Dengan muka setebal tembok, saya datang ke alamat yang tertulis di atas sobekan kertas undangan itu. Bukannya dicerca pertanyaan macam-macam, saya malah disambut tuan rumah dengan penuh kehangatan. Keramahan Lembah Ferghana di Uzbekistan memang tidak perlu diragukan lagi. Para tamu pria duduk di halaman, yang sudah dipasangi tenda dan berdinding karpet-karpet bermotif indah. Merah menyala. Tamu-tamu mengenakan chapan, jubah tebal yang sebagian besar berwarna gelap, cocok untuk musim dingin begini. Kakek-kakek tua mengenakan topi bulu hitam, tinggi dan besar. Tuan rumah segera menyiapkan roti nan dan teh hijau, bagian tak terpisahkan dari meja makan Uzbekistan. Melihat ada tamu asing yang datang, tuan rumah buru-buru memperkenalkan saya ke anggota keluarga. Saya [...]

September 13, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 65: Plov

Makan malam bersama. (AGUSTINUS WIBOWO) Di sini sutra, di sana sutra. Kehidupan di kota sutra Margilan memang tak terpisahkan dari ipak, sutra. Tetapi yang membuat saya lebih terpukau adalah keramahan dan kemurahan hati orang-orang Lembah Ferghana, seperti yang telah saya dengar sejak lama. Lembah Ferghana disebut-sebut sebagai jantungnya kebudayaan Uzbek. Bahasa Uzbek yang paling murni katanya berasal dari sini. Lembah ini ditinggali lebih dari 8 juta penduduk, yang menjadikannya sebagai tempat terpadat di seluruh penjuru Asia Tengah. Di sini pulalah agama Islam mengakar kuat dalam keseharian, bercampur dengan adat dan kebudayaan. Tetapi yang paling membuat penduduknya bangga adalah keramahtamahan yang konon tiada bandingannya di mana pun. Tidak sulit untuk membuktikannya. Saya yang tidak sampai sehari di Margilan, langsung diajak Firuza Turdameyeva untuk menginap di rumahnya yang tersembunyi jauh di dalam gang di pinggiran kota Margilan. Gadis Uzbek yang cantik jelita ini bekerja sebagai desainer kain sutra. Kulit Firuza putih bersih. Matanya besar dan bulat. Hidungnya mancung. Senyum selalu terkembang di bibirnya yang secantik delima. Wajahnya benar-benar boleh dikatakan sebagai kecantikan tipikal Uzbek, kecantikan yang berasal dari Lembah Ferghana. Tetapi Firuza bukan tipe gadis desa. Pakaiannya modis, roknya cuma sedengkul. Saya heran bagaimana dia bertahan dalam udara yang sedingin ini. Sepatu [...]

September 12, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 51: Ada Indonesia di Uzbekistan

Ozoda dan murid-muridnya (AGUSTINUS WIBOWO) Tidak banyak negara seperti Uzbekistan. Bukan hanya terkunci daratan, semua negara yang mengelilinginya di keempat penjuru pun sama-sama tak punya lautan. Demikian jauhnya Uzbekistan dari laut, sampai ke utara, selatan, timur, barat, untuk mencapai lautan harus lewat setidaknya dua negara. Tetapi itu bukan berarti orang sini tidak peduli dengan Indonesia, negeri romantis berdebur ombak nun jauh di seberang lautan sana. “Setangkai anggrek bulan…, yang hampir gugur layu….” lagu tempo doeloe mengalun lembut di gedung kepemudaan Samarkand, kota bersejarah Uzbekistan yang terkenal dengan untaian monumen peradaban. Para penonton yang terkesima, ikut berdiri, dan mengayun-ayunkan badannya mengikuti irama lagu kepulauan yang mendayu-dayu. Kalau tidak diberi tahu bahwa yang menyanyi bukan orang Indonesia, melainkan orang Uzbek tulen, saya pun tak percaya. Lafal penyanyinya fasih, iramanya pas, dan emosinya sudah tepat, walaupun kemudian saya menemukan bahwa penyanyinya sendiri tidak tahu apa artinya. Tepuk tangan bergemuruh mengakhiri persembahan lagu Indonesia oleh sepasang penyanyi Uzbek itu. Pertunjukan kemudian dilanjutkan dengan tari-tari tradisional, yang nama-namanya pun tidak semuanya saya kenal, macam Badinding, Sukaria, Piring, Batik, Puspito, dan Yapong. Semuanya dibawakan oleh pelajar-pelajar Uzbek dari Samarkand, dan saya hanya bisa terkesima. Saya dibawa ke sini oleh staff penerangan Kedutaan Besar [...]

August 23, 2013 // 1 Comment