Recommended

India

Titik Nol 96: Dunia Tikus

Tikus-tikus suci dari kuil Karni Mata (AGUSTINUS WIBOWO) India, negeri raksasa dengan semilyar penduduk, beratus bahasa, lusinan agama yang memuja berlaksa dewa. Segala macam budaya, pemikiran, keajaiban berpadu, berbenturan, melebur menjadi satu. Dan salah satu hasilnya – kuil pemujaan tikus. Alkisah hidup seorang suci atau dewi bernama Shri Karni Mata, Sang Bunda Karni, berasal dari kasta Charan. Karni Mata melakukan banyak mukjizat dan dipercaya sebagai titisan Dewi Durga, Sang Dewi Perang. Suatu hari, seorang bocah kerabatnya meninggal dunia. Karni Mata langsung bertemu dengan Yama, Dewa Kematian, untuk memintanya menghidupkan kembali nyawa anak yang malang itu. Yama menolak karena roh bocah itu sudah menitis. Karni Mata naik pitam. Ia bersumpah bahwa untuk seterusnya roh kasta Charan akan menitis sebagai tikus dan lepas dari campur tangan Yama. Itulah asal muasal 20.000-an ekor tikus hitam yang berlarian ke sana ke mari di chua mandir, kuil tikus. Kuil Karni Mata di desa padang pasir Deshnok, 20 kilometer di selatan kota Bikaner di tepi barat Rajasthan. Dari luar mandir (kuil) ini nampak biasa saja. Tetapi di balik pintu gerbang tinggi berwarna emas itu, ada pemujaan yang tiada duanya di dunia – pemujaan tikus. “Ini bukan tikus biasa,” kata penjaga kuil, “ribuan kaba (tikus) yang ada [...]

January 5, 2015 // 13 Comments

Titik Nol 95: Skeptis

Biro pemesanan tiket, bisa mempermudah perjalanan, tetapi tak jarang pula malah menambah masalah. (AGUSTINUS WIBOWO) Indiakah yang mengubah saya? Satu setengah bulan di negara ini membuat saya semakin susah mempercayai orang. Hati saya selalu dipenuhi curiga yang berawal dari kehati-hatian yang berlebihan. Ini adalah sebuah kisah yang sangat biasa bagi backpacker yang berpetualang di India. Kisah sama yang diulang-ulang oleh ribuan orang – gangguan para calo, teknik tipu-tipu bus dan rickshaw, pedagang kaki lima yang agresif, orang-orang yang mata duitan. Ini adalah pengalaman sehari-hari yang menjadi kenangan betapa kerasnya mental yang diperlukan untuk bertahan hidup di India. Saya mem-booking karcis bus menuju Bikaner, berangkat malam dari Jaisalmer dan sampai di kota di utara Rajashthan menjelang subuh. Sebuah teknik kuno untuk menekan pengeluaran akomodasi, dengan risiko mengorbankan stamina yang diperas habis-habisan di kendaraan. Tetapi, stamina saya sudah habis bahkan sebelum naik bus. Bagaimana tidak, kalau untuk naik bus saja saya masih harus berjuang menghadapi orang-orang rakus yang mengincar setiap keping uang di dompet. Berbekal tiket dari Hanuman Travels di Lapangan Hanumar di kota benteng Jaisalmer, saya langsung meluncur ke biro travel itu tepat pukul 8 malam. “Wah… tidak bisa ini,” kata pria yang duduk di kursi di pinggir jalan, “bus yang [...]

October 3, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 94: Bukan Orang Suci

Kota emas Jaisalmer (AGUSTINUS WIBOWO) Sejauh mata memandang, ribuan rumah kotak-kotak berwarna kuning keemasan tersebar semburat. Benteng raksasa dari berusia delapan ratus tahun masih megah berdiri, menantang monotonnya gurun pasir Thar yang membentang hingga kePakistan. Seperti Jaipur yang kota merah jambu dan Jodhpur yang kota biru, Jaisalmer pun punya julukan manis – kota emas. Bukan berarti bangunan di kota ini terbuat dari emas, terlalu mewah untuk kota di kering di tepi padang pasir ini. Warna emas nampak membara ketika matahari senja membilas barisan rumah dari tanah berwarna kuning yang terhampar di seluruh penjuru. Bahkan benteng raksasa Jaisalmer yang menjulang membayangi seluruh kota pun berwarna keemasan. Berbeda dengan kebanyakan benteng lainnya di Rajasthan, Benteng Jaisalmer yang didirikan tahun 1156 Masehi oleh seorang bangsawan Rajput, Rawail Jaisal, bukan hanya bangunan kuno yang bertahan dalam gilasan roda zaman. Benteng Jaisalmer bukan monumen bersejarah biasa. Ada kehidupan di balik dinding menjulang ini, dan denyut kehidupan itu masih ada hingga sekarang. Di dalam benteng, yang mirip kota kecil, saya seperti terlempar ke masa lalu. Jalan setapak sempit berkelok-kelok di antara bangunan rumah kuno. Unta masih menjalani perannya sebagai alat angkutan utama. Nenek tua sibuk menyulam di beranda. Alunan tetabuhan sitar dan kendang di kota benteng, [...]

October 2, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 93: Bishnoi

Di desa tandus ini, setiap rumput dan pohon punya nyawa (AGUSTINUS WIBOWO) Tak secuil pun daging pernah masuk kerongkongan mereka, karena mereka adalah pengasih semua makhluk yang ada di alam raya. Kakek Mamohan membonceng saya dan Lam Li di atas sepeda motor tuanya. Lam Li di tengah dan saya di belakang. Rasanya sungguh menyeramkan dengan kendaraan ini naik turun bukit, menyusuri gang sempit kotakuno yang disliweri oleh sapi, bocah, rickshaw, sampai mobil butut.Tetapi Kakek Mamohan sangat piawai mengendalikan kendaraannya, hingga kami tiba di tempat resepsi pasangan kemarin. Resepsi adalah puncak dari rangkaian acara pernikahan India. Keluarga kaya mengundang ribuan tamu, menunjukkan eksistensi dan posisi mereka dalam masyarakat. Ada ratusan gadis cantik berpakian sari indah, penuh warna dan keanggunan. Para pelayan pun hilir mudik menyajikan makanan bagi para tamu. Yang ada hanya goreng-gorengan, roti chapati, dan nasi. Yang menjadi favorit pengunjung adalah martabak. Tak ada daging di sini. Semu amakanan adalah vegetarian. Dalam agama Hindu ada ajaran cinta kasih yang besar terhadap sesama makhluk hidup, terutama binatang. Vegetarian adalah jalan hidup yang demikian utama. Tetapi umat Hindu di Jodhpur ini tidaklah terbandingkan dengan kecintaan orang Bishnoi terhadap alam lingkungan mereka. Bukan hanya mereka tak membunuh hewan, umat Bishnoi bahkan tak menebang [...]

October 1, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 92: Rajput

Taman Mandore (AGUSTINUS WIBOWO) Rajasthan adalah tanah kekuasaan kaum kesatriya yang gemilang. Nama aslinya adalah Rajputana, negeri kaum Rajput. Dari penginapan Gopal di Jodhpur, saya meraba-raba kegemilangan masa lalu para petarung ini. Rumah kuno Gopal boleh dibilang seiris sejarah. Kamar-kamar tua beratap tinggi, dengan tata ruang yang seakan membawa saya seakan kembali ke masa kolonial Inggris. Foto-foto tua hitam putih melukiskan masa lalu India di bawah pemerintahan British Raj. Ayah dan kakek Gopal adalah para pejuang. Wajah yang tergambar pada foto tua itu sangat tampan – alis matayang keras, hidung mancung, tatapan mata tajam, kumis tipis menyiratkan aura kejantanan. Surban besar bertengger di atas kepala yang anggun. Pedang tersematdi tubuh, menunjukkan pria-pria ini bukan orang sembarangan. Gopal berasal dari kasta Rajput, salah satu klan kasta Khsatriya – kaum pejuang. Rajput berasal dari bahasa Sanskerta Rajaputra, artinya putera raja. Levelnya sedikit lebih rendah dari kasta Brahmana, masih termasuk kelompok yang dihormati dalam struktur kemasyarakatan India. Tengoklah Rajasthan ini yang penuh dengan benteng dan istana megah, mulai dari Jaipur hingga Jodhpur, dari Jaisalmer di utara sampaiUdaipur di selatan. Semuanya adalah peninggalan para raja, pejuang kasta khsatriya. Tak heran Gopal begitu bangga dengan masa lalu keluarganya. Untuk mengagumi kebesaran klan kaum ksatriya ini, [...]

September 30, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 91: Pernikahan Tengah Malam (2)

Pernikahan tengah malam (AGUSTINUS WIBOWO) Sorak sorai bergemuruh ketika sang dulha –pengantin pria, berhasil menaiki kuda putih dengan pelana berbalut permadani cantik. Ia kini bagaikan seorang pangeran dari negeri fantasi di atas kuda putih, berangkat untuk menjemput sang putri. Arak-arakan ini sungguh ramai. Puluhan gadis dengan sari yang cantik menari sepanjang jalan, mengiringi tetabuhan genderang dan trompet yang bersahut-sahutan. Kami bersama-sama menyusuri jalan-jalan kota kuno Jodhpur yang sempit. Kuda putih sang pengantin memimpin. Tari-tarian dan band menyusul. Selanjutnya barisan orang yang tertawa riang, dalam busana mereka yang terbaik, bak parade karnaval akbar. Di musim kawin India, arak-arakan ramai seperti ini ada setiap hari membawa suasana semarak ke tengah kota. Barat artinya iring-iringan pengantin pria menyambut sang wanita. Dalam tradisinya, pengantin menunggang kuda putih sampai ke rumah sang gadis. Tetapi sekarang zaman sudah modern. Sudah ada mobil dan bus. Apalagi rumah sang pengantin wanita di kota Nagaur, lebih dari 100 kilometer jauhnya dari sini. Iring-iringan kuda pengantin hanya beberapa ratus meter saja sampai kami mencapai jalan utama. Di sana sudah ada dua bus besar menunggu, siap mengantar semua orang dalam iringan barat ini. Berawal dari turis yang memotret-motret band kawinan, sekarang kami berdua malah sudah duduk dalam bus bersama sanak saudara [...]

September 29, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 90: Pernikahan Tengah Malam (1)

Siap berangkat menjemput istri (AGUSTINUS WIBOWO) Di malam bertabur bintang, ketika saya sedang menikmati langit malam yang tenang di atap rumah, merenungi hamparan kota kuno Jodhpur yang bak mozaik masa lalu, mensyukuri betapa beruntungnya takdir yang menuntun sampai ke tempat ini, seringkali saya dikejutkan oleh bunyi genderang, musik band yang fals lagi keras, dan ledakan petasan. Itulah hiruk pikuknya pernikahan India yang memecah keheningan malam gelap. Matahari siang terik bersinar. Gang kota Jodhpur meliuk-liuk bak labirin, mudah sekali tersesat di sini. Tetapi justru terperangkap dalam ruwetnya jalan kecil ini yang mengantar kami berdua pada pengalaman pernikahan kasta Brahmana dari Rajasthan. Bunyi genderang dan tetabuhan bertalu-talu. Sepuluh orang berseragam merah dengan untaian sulam-sulaman cantik dari benang emas dengan penuh semangat memainkan berbagai alat musik. Mereka adalah anggota Vishal Band, band acara kawinan yang lumayan ternama di Jodhpur. Ada lima orang peniup trompet yang sampai merah mukanya kehabisan nafas. Ada para penabuh genderang dari ukuran besar sampai kecil yang memukul dengan penuh semangat. Ada yang mengusung bendera band. Ada anak-anak tetangga yang ikut menari riang. Musiknya cepat, naik turun, menggugah semangat. Tetangga melongokkan kepala dari jendela lantai atas rumah mereka. Kalau dalam film Bollywood keributan orkestra jalanan macam ini pasti langsung diiringi [...]

September 27, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 89: Arranged Marriage

Sebuah acara pernikahan di India. Jumlah tamu bisa mencapai ribuan. (AGUSTINUS WIBOWO) Alangkah meriahnya pernikahan India, batin saya, ketika Ram menunjukkan foto-foto pernikahan kakaknya yang sampai mengundang 4.000 tamu dengan mas kawin sampai 10 lakh Rupee. Pernikahan akbar pangeran tampan dan putrid cantik seperti dalam fantasi negeri dongeng, atau imajinasi film Bollywood. Saya sungguh mengagumi semangat bertualang Lam Li, si gadis Malaysia ini. Bukan hanya sebagai seorang perempuan seorang diri ia menempuh perjalanan darat dari negaranya, melintasi Indochina hingga ke Tibet, Nepal, sampai ke sini, hasratnya untuk selalu belajar, menjelajah, dan menemukan hal-hal yang baru sungguh luar biasa. Lam Li mengajak saya menyusuri gang-gang kecil kota Jodhpur. Bukan hanya di daerah kota biru yang ramai dikunjungi turis, kami juga merambah jalan-jalan sempit di daerah kota, melintasi perkampungan, tempat pembuangan sampah, sampai mengunjungi rumah-rumah penduduk. Inilah sisi lain kota Jodhpur yang jarang dilihat turis asing, yang umumnya sudah cukup terpesona dengan benteng raksasa, istana mewah, dan birunya rumah-rumah. Tak banyak orang yang punya semangat bertualang seperti Lam Li, mencoba segala jenis makanan, memasuki semua gang dan jalan, bercakap dengan segala macam manusia. Hingga tibalah kami berkenalan Ram, seorang pria Hindu yang mengajak kami masuk ke rumahnya. Kami sempat membuat keributan di [...]

September 26, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 88a: Mehrangarh

Kota biru Jodhpur. (AGUSTINUS WIBOWO) “Apa yang salah dengan kaum pria India?” tanya Lam Li retorik, “Apakah mereka memang punya hasrat nafsu yang menggebu-gebu? Ataukah citra perempuan asing di sini begitu buruknya, murahan dan bergaul bebas?” Kota biru Jodhpur memang sesuai dengan julukannya. Sejauh mata memandang, yang nampak adalah rumah-rumah biru tersebar tak beraturan, namun menjadi sebuah mosaik yang punya ritme dan harmoni. Memandangi warna biru yang bak lautan di tengah padang gersang Rajasthan sungguh sejuk rasanya. Dari mana asal-muasal warna biru ini? Orang-orang kasta Brahmana punya kebiasaan mengecat rumahnya dengan warna biru muda. Alkisah ketika Jodhpur didirikan, tak banyak kaum pandita Brahmana di sini. Raja Jodhpur kemudian mendatangkan kaum pemimpin agama ini dari berbagai wilayah. Orang Brahmin adalah pengikut setia agama Hindu. Mereka mematuhi semua perintah agama dengan sepenuhnya, mulai dari garis kasta, ritual pada dewa dewi, vegetarian ketat, bahkan sampai anjing peliharaan mereka pun jadi vegetarian. Untuk membedakan mereka dari kasta lainnya, mereka mewarnai rumah dengan warna biru. Sekarang warna biru bukan hanya monopoli orang Brahmin. Bahkan Muslim di kota tua Jodhpur pun mengecat rumah mereka dengan warna biru. Ada lagi yang mengatakan bahwa Jodhpur, selain dikenal sebagai blue city, juga dijuluki sebagai sun city karena panasnya matahari [...]

September 25, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 88: Paniwala

Kakek Mamohan (AGUSTINUS WIBOWO) “Hari Om, Ashok, Hari Om, Lilavati” kakek Mamohan menyapa. Jenggot putih menghiasi wajah tuanya. Kami berdua masuk ke padepokannya yang sederhana di pertigaan jalan, di bawah rindangnya pohon besar. “Hari Om…. Ramram…” saya membalas sapanya. Kemarin Kakek Mamohan memberi nama Hindu bagi kami berdua. Ashok buat saya dan Lilavati buat Lam Li. Ashok, atau dalam bahasa Indonesia disebut Ashoka, adalah nama raja besar India dari Dinasti Maurya, berkuasa abad kedua Sebelum Masehi. Roda Chakra dan Singa Ashoka dijadikan lambang negara dan bendera Republik India modern. “Ashok, benar-benar nama yang indah,” saya berterima kasih padanya. Kendi demi kendi air berjajar rapi di halaman. Kakek Mamohan sendiri yang mengisi kendi air itu. Air jernih dan menyegarkan tersedia bagi siapa pun yang melintas. “Kakek Mamohan, berapakah yang harus dibayar orang yang minum air ini?” saya bertanya. “Kuch nehi. Tidak sama sekali. Air ini tersedia cuma-cuma,” ia menjawab dengan perlahan, tenang, elegan. Air ini adalah perlambang cinta dan pengabdian. Kakek Mamohan adalah seorang paniwalla. Pani artinya air, dan walla adalah akhiran bahasa Hindi untuk menyebut orang. Tukang air biasanya duduk dengan tenang di sudut jalan Rajasthan dengan kendi di tangan mereka. Air mengucur dari leher kendi siap diguyurkan ke tenggorokan [...]

September 24, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 87: Hidup Menurut Buku Panduan

Sarapan pagi pun saya membaca Lonely Planet. (AGUSTINUS WIBOWO) Mengapa hidup kita harus selalu dituntun oleh buku panduan? Tidakkah kita memiliki hasrat lebih besar untuk melakukan pengembaraan, menemukan rahasia alam yang tak terduga? Terilhami dari perang omelet di Jodhpur, saya jadi berpikir sejauh mana buku panduan macam Lonely Planet sudah memengaruhi cara orang menjelajah dunia. Coba perhatikan, berapa banyak turis yang berkeliaran di India yang yang tidak membawa-bawa buku suci tebal berjudul Lonely Planet, atau buku panduan wisata lainnya? Semua orang membawa buku yang sama, pergi ke tempat yang sama seperti yang ditulis dalam buku, menginap di hotel-hotel yang sama, sampai makan omelet pun di tempat yang sama. Turis-turis ini hanya melakukan perjalanan napak tilas seperti yang dituntunkan oleh buku. Bahkan beberapa edisi terbaru Lonely Planet sudah mencantumkan rute pilihan penulis. Apa jadinya? ‘Petualang’ atau bahasa kerennya traveler zaman sekarang, sudah jauh berbeda dengan para pengelana dunia pada zaman dahulu, bahkan tak bisa dibandingkan dengan para hippie yang menapaki hippie trail dari Istanbul sampai Kathmandu pada era 70-an. Perjalanan backpacker zaman sekarang terlalu terikat dengan petuah dan petunjuk Lonely Planet. Semua pergi ke tempat yang sama, semua mencicip makanan di restoran yang sama, dan menyelami pengalaman perjalanan yang sama. Apa [...]

September 23, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 86: Perang Omlet (2)

Direkomendasikan oleh Lonely Planet. (AGUSTINUS WIBOWO) Kios omelet di depan pintu gerbang jam kota Jodhpur memang nampak biasa dari kejauhan. Yang tidak biasa adalah persaingan sengit di antara mereka gara-gara sebuah buku panduan turis berjudul Lonely Planet. “Terletak di pintu gerbang utara menara jam kota Jodhpur, kios omelet ini memang tampak seperti kios biasa. Tetapi konon mereka berhasil menjual 1.000 telur per hari dan penjualnya sudah berkecimpung dalam bisnis ini selama 30 tahun.” Demikian Lonely Planet India menulis tentang toko omelet ini di bagian “Tempat Makan” di kota Jodhpur. Sebuah paragraf yang bahkan saya lirik pun tidak, tetapi gara-gara mendengar kisah persaingan seru kios-kios omelet di sekitar jam kota, saya pun tertarik membaca. Sebait paragraf sederhana ini, ditambah lagi informasi tentang pedasnya omelet dan harganya yang murah, ternyata berarti luar biasa bagi bapak tua pemilik warung. Kepalanya sedikit botak, kaca matanya tebal, dan dengan bangga ia berkata, “saya sudah bekerja 33 tahun!” Seperti di warung sebelah, pemilik warung ini juga lebih sibuk menunjukkan testimoni kejayaannya daripada menyajikan omeletnya. Saya disuguhi dua lembar fotokopian ukuran besar dari halaman Lonely Planet yang menyebut tokonya, dilaminating pula. Ini adalah kebanggaannya yang paling besar. Paragraf itu di-highlight, bagian ‘wajib baca’ untuk semua turis yang [...]

September 22, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 85: Perang Omlet

Buku testimonial adalah senjata ampuh warung-warung omelet untuk menarik pelanggan. (AGUSTINUS WIBOWO) Siapa yang tak kenal Lonely Planet? Tampaknya hampir semua backpacker yang berkeliaran di India berpegang teguh pada buku tebal yang sudah menjadi seperti kitab suci ini. Tetapi  siapa sangka Lonely Planet juga sudah mempengaruhi pasar di India? Jodhpur, kota biru Rajasthan, adalah salah satu magnet turis India. Kota ini dibanjiri oleh wisatawan dari berbagai kelas, mulai dari penghuni hotel bintang lima di puri kuno sampai backpacker kere penghuni losmen murah. Dari Pushkar yang masih ramai dan mahal, saya datang bersama Lam Li, menyusuri gang kota Jodhpur yang menyesatkan untuk mencari penginapan yang sesuai dengan cekaknya kantong kami. Kami mengunjungi lebih dari empat losmen. Setiap kali kami datang melihat losmen, yang pertama kali diperlihatkan kepada kami bukan kamar, melainkan kitab tebal berisi testimoni para tamu yang pernah menginap di sini. Guest Book, buku tamu, adalah alat promosi ampuh untuk menarik pelanggan. Yang namanya tercantum dalam kitab suci Lonely Planet dengan bangga menulis di plakat, “We are in Lonely Planet.” Yang tidak pun tetap optimistis, seraya berkata, “Kami masih baru, jadi masih belum terdaftar di Lonely Planet. Tapi jangan khawatir dengan pelayanan kami!” Sebegitu pentingnyakah terdaftar di Lonely Planet? Mungkin, [...]

September 19, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 84: Ajmer Sharif

Selamat datang di dunia Jain. (AGUSTINUS WIBOWO) Sebelas kilometer dari Pushkar yang menjadi kota sucinya umat Hindu, Ajmer Sharif adalah salah satu kota paling suci bagi umat Muslim India. Di sini, guru Sufi Chishsti bersemayam dan raja-raja Afghan menghancurkan patung-patung berhala Jain. India, walaupun namanya Hindustan dan mayoritas penduduknya beragama Hindu, bukanlah negara Hindu. Di sini, beragam agama dan kepercayaan kuno terlahirkan, jauh sebelum datangnya Kristen dan Islam. Jain, agama asli India sudah ada sejak beratus tahun sebelum Masehi, masih hidup hingga hari ini, dengan sisa-sisa kebesaran masa lalunya. Kuil Merah Nasiyan di kota Ajmer membuat saya ternganga. “Seumur hidupmu, engkau tak akan pernah melihat tempat seindah ini,” kata bapak tua penjual karcis. Ia benar. Saya tak pernah begitu terpesona melihat sebuah kuil seperti saat ini. Ruang utama Nasiyan disebut Swarna Mandir, Kuil Emas, karena segala sesuatu yang berkilau di sini adalah … emas. Sebuah negeri dongeng, penafsiran dunia dalam mitologi Jain, kota kuno Ayodhya dan Prayoga, terukir dari seribu kilogram emas murni setinggi bangunan dua lantai. Negeri antah berantah ini dijuluki Swarna Nagari – Negeri Emas. Ada istana berkubah besar dengan raja dan hulubalangnya. Ada pandita Jain sekte Digambar yang tak berpakaian sama sekali. Ada para penari wanita dengan [...]

September 18, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 83: Pak Kumis

Kartik Purnima, bulan purnama terbit di antara puncak-puncak kuil Rangji. (AGUSTINUS WIBOWO) Bunyi terompet dan tetabuhan bersahut-sahutan, seolah memaksa pinggul untuk bergoyang mengikutinya. Padang pasir yang muram, setahun sekali berubah menjadi pasar raksasa yang gegap gempita. Pushkar larut dalam kemeriahan festival. Inilah hari yang telah lama ditunggu-tunggu – Kartik Purnima, puncak dari semua hiruk pikuk di Pushkar sejak dua minggu terakhir. Lagu Bollywood berdentum-dentum dari pengeras suara. Nyaring, sumbang, memekakkan telinga. Sekelompok pria dan wanita berdiri di depan sebuah kotak mungil. Di dalam kotak itu ada panggung, beberapa deret bangku panjang, dan seorang penari berjoged, berlenggak-lenggok mengikuti dentuman lagu Aashiq Banaya – lagu film India yang sedang hits di negeri ini. Pinggul sang penari berguncang dahsyat. Penonton di luar pagar hanya berdiri, tertegun, menenggak ludah. Tak sampai tiga menit, tiba-tiba layar merah menutup panggung. Penonton yang di luar pagar hanya bisa mendengus kecewa. Lagu romantis Aashiq Banaya terus menggelegar, dan seorang pria berhalo-halo dengan mikrofon, “Saksikanlah! Saksikanlah pertunjukan istimewa ini!” Pertunjukan akan diadakan nanti sore. Karcisnya cuma 5 Rupee. Yang perempuan melenggak-lenggok selama tiga menit tadi cuma trailer, siaran ekstra yang akan bisa ditonton dalam pertunjukan akbar di dalam kotak mungil itu. Bukankah inovatif cara mereka mencari uang? Sore hari, [...]

September 17, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 82: Festival Padang Pasir

Warna-warni Rajasthan. (AGUSTINUS WIBOWO) Pushkar yang suci tidak hanya dipenuhi oleh peziarah dan pedagang unta. Eksotisme danau suci dan pasar unta tak luput dari perhatian turis dari seluruh penjuru dunia. “Japani! Japani!”  Dua orang perempuan berkerudung, yang satu merah jambu satunya merah membara, berteriak ke arah kami sambil berlari, mengumbar senyum pada sebaris gigi kuning yang mengkontraskan wajah hitam. “Foto! Foto!” mereka menggeret tangan saya. Walaupun sempat tergoda oleh pakaian mereka yang sangat etnis, aksesori berwarna-warni dan berat, saya memaksa diri untuk tidak memotret. Perempuan dan gadis-gadis ini selalu meminta imbalan Rupee atau dolar. Mereka datang dari kelas sosial yang cukup rendah, menjual ‘kecantikan padang gurun’ untuk kenang-kenangan para turis mancanegara yang berkantong tebal. “Kelihatan, mana yang orang kasta tinggi mana yang orang gurun,” kata Lam Li, “walaupun sama-sama berwaju warna-warni dan mencolok mata, pakaian orang gurun ini sudah tambal sulam. Kosmetik yang mereka pakai menghias wajah pun sering kali amburadul, bentrok sana-sini, norak luar biasa.” Ada yang gincunya ungu gelap, membuat wajah hitamnya bertambah seram, ada pula yang bedaknya terlalu tebal sampai seperti orang sakit kulit. Walaupun demikian, siapa yang tak terkesima melihat gelora kaum perempuan Rajasthan ini yang begitu dahsyat. Kerudung tembus pandang menutup wajah mereka sepenuhnya, melindungi [...]

September 16, 2014 // 0 Comments

Titik Nol (81): Pasar Unta

Pasar unta di Pushkar. (AGUSTINUS WIBOWO) Purnama berpancar penuh di Bulan Kartika. Kartik Purnima, purnama yang membawa keberuntungan, bersinar di antara atap mandir yang menjulang. Asap dupa bertebar, kolam suci memancarkan sinar. Dan kota Pushkar dipenuhi segala jenis hewan ternak Kartik Purnima diagungkan oleh umat Hindu, Sikh, dan Muslim India. Jatuhnya di sekitar bulan November. Ketika bulan bersinar sepenuh-penuhnya, kolam suci menjanjikan penyucian diri yang paling sempurna. Umat Hindu dari seluruh penjuru negeri berdatangan ke kolam Pushkar. Mulai dari sadhu yang berbungkus kain kumal, berselimut aroma dupa dan wangi bunga, hingga ke peziarah jelata yang datang berombongan dalam bus pariwisata. Pada saat yang bersamaan, padang pasir Pushkar menjadi arena pasar unta terbesar di dunia. Suku-suku pengembara padang gurun mengadu nasib di sini, mentransformasi kekayaan potensial mereka menjadi gepokan uang. Seekor unta mencapai 20 ribu Rupee, harta karun paling utama bangsa pengembara. Bukan hanya unta, ada pula kambing, domba, kuda, dan segala macam ternak lainnya. “Saya datang dari Nagaur,” kata pria bersurban berkumis tebal dan bermata garang, “Empat hari jauhnya jalan kaki dari sini. Sang pedagang unta membawa tiga ekor unta besar dan dua kuda gagah, mendirikan kemah kecil di tengah padang untuk tinggalnya dan bocahnya. Mereka sekeluarga sudah datang di [...]

September 15, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 80: Kota Suci

Para peziarah mencelupkan diri dalam danau suci. (AGUSTINUS WIBOWO) “Hare Krishna Hare Krishna, Krishna Krishna Hare Hare, Hare Rama Hare Rama, Rama Rama Hare Hare” Kabut masih menyelimuti pagi yang dingin di Pushkar. Pukul enam tepat, hari baru di kota danau suci ini dimulai dengan bacaan mantra enam belas kata Hare Krishna. Enam belas kata, diikuti enam belas kata berikutnya, diikuti enam belas lagi, berulang-ulang, dari pagi hingga tengah hari. Ribut sekali, dinyalakan dari kaset yang sudah hampir rusak pitanya. Kenapa pukul enam? Tepat jam enam pagi Undang-undang Polusi Suara tak berlaku lagi. Isi Undang-undang ini adalah segala jenis kebisingan dilarang mulai dari jam 10 malam sampai 6 pagi. Kebisingan ini meliputi drum, terompet, pengeras suara, klakson mobil dan sepeda motor, dan lain sebagainya. Larangan ini juga berlaku bagi semua tempat ibadah. Begitu jarum jam menunjuk pukul enam, kedamaian dan ketentraman pun seketika menguap bersama terbitnya mentari. Kuil-kuil berlomba dengan loudspeaker mereka, melantunkan mantra suci dari pagi sampai malam. Maha-mantra Hare Krishna seharusnya punya kekuatan dahsyat, menyucikan diri dan membawa pencerahan, diucapkan dari hati yang paling dalam dengan suara bergetar. Tetapi sekarang orang tak perlu repot membaca dari pagi sampai malam, cukup menyalakan kaset tua dengan pengeras suara berkualitas buruk, [...]

September 12, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 79: Turisme di Kota Kuno

Kota suci Pushkar di sekeliling danau suci. (AGUSTINUS WIBOWO) Kota kecil Pushkar, tempat datangnya ribuan umat Hindu membasuh diri di kolam suci, hiruk pikuk menyambut datangnya Kartika Purnima. Bukan hanya kaum peziarah, kini unta, karavan, nomad, memenuhi seluruh sudut kota. Tak lupa tentunya turis. Bagaimana turisme mengubah kehidupan di tempat suci ini? Saya dan Lam Li bersama-sama meninggalkan Jaipur menuju kota suci Pushkar. Bus penuh sesak. Orang India selalu tidak sabaran untuk turun dari bus. Saling desak, saling senggol, saya hampir terlindas oleh kakek tua yang mendorong saya dengan kasar. Penduduk negeri ini sepertinya punya konsep waktu yang aneh. Di kala senggang mereka tiduran seperti waktu tak pernah habis. Tetapi kalau sudah urusan turun dari kendaraan, mulai dari bus, rickshaw, kereta api, sampai pesawat terbang sekali pun, mereka harus jadi yang paling dulu menyentuh tanah, seolah waktu mereka tak tersisa lagi barang sedetik pun. Kami berganti bus di kota suci Ajmer, kota suci umat Muslim. Pushkar, kota sucinya umat Hindu, hanya 14 kilometer jauhnya dari Ajmer. Suasana kota kuno segera menyergap begitu kami memasuki gang sempit Pushkar yang berkelok-kelok bagai rumah sesat. Rumah kotak-kotak berwarna putih bertebaran. Alunan mantra terus mengalir dari pengeras suara yang ringsek. Sapi berkeliaran, dan perempuan [...]

September 11, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 78: Dunia Memang Kecil

Benteng Amber. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya sebenarnya kurang begitu tertarik dengan kegiatan mengunjungi museum, benteng, monumen, atau sebangsanya. Bagi saya tempat-tempat itu adalah masa lalu yang sudah mati. Hanya gedung tua yang dikerebuti turis mancanegara yang berpose di depan kamera. Sebenarnya saya masih mencari-cari kembali semangat perjalanan ini yang sempat hilang setelah rentetan pengalaman kurang menyenangkan di New Delhi. Saya hanya ingin bersantai di Rajasthan, tetapi menghabiskan waktu tanpa kegiatan di dalam bilik losmen yang gelap dan kotor bakalan akan lebih membunuh semangat perjalanan yang sudah tinggal secuil. Untuk mengisi hari, Lam Li mengajak saya pergi ke Benteng Amber, sekitar sebelas kilometer jauhnya dari pusat kota Jaipur. Walaupun sebenarnya malas, saya akhirnya mengiyakan ajakannya. “Kalau aku suka sekali melihat benteng.,” kata Lam Li, “Justru benteng-benteng kuno India lah yang membuat aku tertarik datang ke sini.” Benteng-benteng kuno itu adalah masa lalu Hindustan yang penuh histori dan fantasi. Apa yang dikatakan Lam Li memang benar. Baru pertama kali ini saya melihat sebuah bangunan benteng yang penuh fantasi. Benteng Amber dibangun pada abad ke-16. Terletak di puncak sebuah bukit. Pengunjung harus berjalan mendaki setidaknya dua puluh menit untuk mencapainya. Di bawah bukit ada sebuah danau. Airnya memantulkan refleksi kemegahan benteng Amber. Dari bawah, [...]

September 10, 2014 // 1 Comment

1 2 3 4 5