Recommended

Torkham

Titik Nol 203: Romantisme

Gandengan tangan, berangkulan, berpelukan antara sesama pria adalah hal lazim (AGUSTINUS WIBOWO) Mungkin ini termasuk kotoran yang dipandang Wahid dengan tatap mata penuh jijik. Baru saja saya berhasil menghindar dari pria Pashtun yang mengaku dirinya sebagai Prince, pangeran – entah dari kerajaan mana lagi, yang menawarkan angkutan murah meriah menuju Afghanistan. Perjalanan menuju Afghanistan nantinya akan melewati daerah-daerah berbahaya. Pemerintah Pakistan mewajibkan orang asing yang akan melintas untuk dikawal tentara bersenjata. Orang asing juga tidak diijinkan untuk naik kendaraan umum, harus menyewa kendaraan sendiri. Bagi saya dengan kantong backpacker ini, biaya menyewa taksi yang bisa sampai seribu Rupee tentu saja membuat gundah. Prince, dengan aura kepangeranan yang terlalu dipaksakan, terus memantau kedatangan orang asing di Peshawar. Ia punya jaringan kuat dengan semua hotel di kota ini. Setiap ada backpacker yang datang, dengan sigap ia langsung nyanggong di hotel yang bersangkutan untuk bertemu dengan si turis. Lalu ia akan memamerkan foto-fotonya, tindakan amal apa saja yang pernah dia lakukan, gambar ratusan anak asuhnya, juga foto ribuan turis yang terpuaskan oleh layanan angkutan dan tour guide-nya. Ia memamerkan dua buku tebal testimonial para turis yang ditulis dalam pelbagai bahasa, mulai dari Inggris, Jepang, Perancis, hingga Mandarin. Para turis itu terpikat oleh aroma [...]

June 3, 2015 // 9 Comments

Selimut Debu 13: Realita Ibukota Negeri Perang

Pelayan warung di Jalalabad, kalau di Indonesia mungkin sudah jadi bintang sinetron (AGUSTINUS WIBOWO) Di negeri perang, ada formula yang selalu berlaku. Selain nyawa yang sangat murah, segala sesuatu yang lainnya teramat mahal. Hidangan kami siang ini bisa dikatakan sangat mewah, bagaikan hidangan penyambutan istimewa bagi tamu kenegaraan. Semangkuk kari paha ayam, sepiring besar nasi pulao, selepek bawang merah mentah dan cabe hijau yang panjang, sepotong paha ayam goreng …. Ini jauh lebih mewah daripada makanan mana pun yang kumakan sebulan terakhir. Bocah-bocah pelayan melemparkan roti ke hamparan tikar di lantai, ke hadapan kami. Melempar, dalam arti harfiah, seperti melempar bulir-bulir jagung kepada ayam-ayam peliharaan. Tikar plastik merah yang kotor itu, entah sudah berapa puluh tapak kaki yang sudah menginjaknya hari ini, terus-menerus dijatuhi lempengan roti gepeng yang bergedebuk keras. Aku merobek secuil dan mencicip sedikit roti itu. Ketika aku mengakhiri santapan, sisa rotiku itu diambil oleh pelayan warung, lalu dilemparkan lagi di hadapan pengunjung lain yang baru datang. Aku tak tahu rotiku itu, atau lebih tepatnya mantan rotiku itu, sebenarnya bekas tamu yang mana lagi. Sebelum rotinya mengalami nasib serupa, Adam langsung membungkusnya dan dimasukkan ke ranselku. Saat membayar. Santapan kami siang ini: 150 Afghani per orang. Tiga dolar! [...]

November 13, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 12: Menyingkap Cadar

Afghanistan bukan negeri padang pasir. Afghanistan justru didominasi gunung dan perbukitan. (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan melintasi jalan berdebu ini begitu lambat, sangat lambat. Seperti halnya negeri ini yang begitu perlahan, sangat perlahan, menyingkap kembali cadar pekat yang menutupi wajahnya setelah 30 tahun diamuk perang melawan Soviet, perang sipil antara suku-suku, perang antara Mujahiddin dan Taliban. Pemandangan di luar, gunung-gunung tandus yang sesekali diselingi lembah-lembah hijau, mengingatkanku pada film-film aksi Amerika tentang perang Afghanistan. Dan kini layar film yang datar itu berubah menjadi pemandangan tiga dimensi di sini. Mobil berhenti di tepian jalan yang dinaungi pohon-pohon rindang. Di bawah teduhnya pepohonan, nampak barisan tenda-tenda pedagang buah-buahan. Kami sudah memasuki daerah Jalalabad yang memang terkenal dengan buahnya. Seorang penumpang, kakek tua berjanggut putih beserban putih, turun membeli beberapa melon. Saat kakek itu menggendong melon-melon besar menyeberang jalan, aku menjepretkan kamera. Dia terkejut, buah-buahan yang semula aman dalam dekapannya, tiba-tiba menggelinding di jalan raya itu. Untungnya dia tidak marah, malah tersenyum tipis di balik lapisan jenggotnya itu. Setetes keringat dingin sempat mengalir di keningku, khawatir berbuat salah di negeri yang katanya penuh darah ini. Alunan lagu Afghani mengalir dengan gempitanya dari tape usang falangkoch, diiringi dendang yang membawa suasana ke alam gurun Timur Tengah. [...]

November 12, 2013 // 5 Comments

Selimut Debu 11: Terbang Bersama Flying Coach

Aku di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO) Kericuhan luar biasa meletus begitu hebatnya ketika kami berdua mencari kendaraan menuju ke Kabul. Dengan tarikan-tarikan kasar serta cengkeraman-cengkeraman kuat, mereka berusaha menggeret kami ke kendaraan-kendaraan mereka. Aku harus merangkul rapat-rapat ranselku, yang kini sudah berpindah posisi dari punggung ke pelukan. Teriakan-teriakan serta sahut-sahutan tak beraturan itu sangat mengintimidasi. Bocah-bocah kecil tertawa terbahak-bahak sambil berlari-larian histeris melihat orang asing—persis seperti yang kulakukan dulu saat masih kecil ketika ada turis bule datang ke kampungku. Sementara itu, para lelaki berjenggot lebat tak hentinya menarik-narik lenganku, juga lengan Adam, sambil berseru, “Kabul! Kabul!” Keriuhan baru mereda ketika seorang Afghan dengan karung putih terpanggul di pundaknya membantu kami keluar dari kekikukan ini. Dengan bahasa Inggrisnya yang teramat bagus, dia menjadi jembatan penghubung antara kami yang sama sekali bisu tuli bahasa Farsi ini dengan orang-orang di terminal bus itu. Dalam sekejap aku sudah duduk di jok depan mobil colt Flying Coach. Disebut demikian, karena dia berlari dengan cepat, seperti sedang terbang. Jangan berpikir hiperbola dulu, terbang ini adalah dibandingkan dengan mobil-mobil tua angkutan desa yang tidak pernah sembuh dari penyakit batuk saat mengarungi jalanan Afghan yang cuma debu dan lumpur. Tetapi nama flying coach itu terlalu sulit untuk lidah Afghan, [...]

November 11, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 10: Makhluk Asing

Pemandangan pertama negeri Afghan (AGUSTINUS WIBOWO) Detik-detik menuju Afghanistan semakin dekat. Di ruang pemeriksaan paspor, setumpuk paspor hijau Korea Selatan tiba-tiba menyeruak, dibawa seorang pria yang kucurigai sebagai pemandu wisata. Di luar tampak beberapa pemuda dan pemudi Korea yang cekikikan, seperti sedang menyaksikan pertunjukan komedi. Tak kusangka, rombongan turis pun sudah sampai ke Afghanistan. Entah berapa lama lagi perjalanan ke Afghanistan masih layak disebut sebagai petualangan, sebelum negeri yang eksotik ini disulap menjadi taman hiburan Disneyland Edisi Zona Perang bagi turis-turis asing. Adam dan aku melangkah menuju gerbang besar Afghanistan. Berbeda dengan Pakistan, tidak nampak tulisan “Welcome to Afghanistan” di sini. Atau mungkin saja ada, tapi dalam huruf Arab yang tidak bisa kubaca. Kami berjalan bersama seorang pria Afghan bertubuh subur, dengan bahasa Inggris yang fasih. Rupanya dia adalah penerjemah untuk kantor berita Fox. “Kamu tahu, Fox itu memang persis seperti fox, mereka selicik rubah,” bisik Adam kepadaku, ketika pria itu tak hentinya menceritakan tentang pekerjaannya, kekayaannya, gajinya yang fantastis, … sungguh ironi dengan kemelaratan negara yang habis dihajar perang berpuluh-puluh tahun. Memasuki Afghanistan, jarum jam seperti diputar mundur lima puluh tahun. Kekacauan yang balau, hiruk yang pikuk. Orang-orang berbondong-bondong menuju Pakistan, dengan barang-barang bawaan yang berbongkah-bongkah. Wanita-wanita [...]

November 8, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 9: Kalashnikov

Gerbang Khyber yang termasyhur itu (AGUSTINUS WIBOWO) Dari balik jendela taksi ini, aku berusaha mengamati keliaran tribal area. Sekilas mata, semuanya nampak begitu normal dari sini. Pria-pria berjalan hilir mudik di pasar, atau perempuan-perempuan bercadar dan berjubah hitam-hitam yang berjalan cepat-cepat di belakang sang suami. Anak kecil yang menangis minta dibelikan sesuatu, sedangkan sang bunda sama sekali tak menghiraukannya. Semuanya nampak sama seperti kota Pakistan lainnya, atau paling tidak, sama seperti Peshawar tanpa bangunan-bangunan modernnya. Tidak tampak sama sekali kengerian tribal area yang tersohor itu, kengerian tentang tembakan-tembakan berdesingan. Mungkin karena aku hanya seorang musafir, yang hanya melintas beberapa menit dan memandang dari balik jendela. Seorang musafir, yang tidak mampu dan tidak berkesempatan merasakan hembusan nafas dan dengusan hidup mereka. Taksi kuning kami pun melintasi Baab-i-Khyber, sebuah gerbang megah yang dibangun untuk menandai tempat bersejarah ini. Nama Khyber, sejak zaman dahulu sudah menjadi momok bagi semua orang. Sudah tak terhitung berapa banyak pertumpahan darah yang dimulai dari sini. Celah Khyber adalah jalur transportasi dan militer penting yang menghubungkan negeri Barat dengan Asia Selatan. Barisan tentara berbagai bangsa yang menyerang India (termasuk juga Pakistan saat itu) pun melintas dari sini, yang kemudian membawa penderitaan berkepanjangan dan pembantaian atas nama agama. Di [...]

November 7, 2013 // 1 Comment

Peshawar – Permit to Afghanistan

June 6, 2006 Bodyguards of Afghan consulate in Peshawar Three years ago, July 17, 2003 exactly, I was applying for the permit to pass thru Khyber Pass to go to Afghanistan. This is one of the essential procedure for foreigners to get to Afghanistan by land ‘legally’, as those areas bordering Pakistan and Afghanistan are all tribal controlled areas. I was with my travel companion, Adam from England, in the Home Department Office to apply for the permit for both of us. The Home Department didnt allow anybody to bring camera inside the office. I guessed maybe because that the office was too filthy. At the third floor we saw that the floor was flooded by water, leaking from cooler machine apparently. The rooms were all dark, with water on the floor, thousands of papers every here and there, … But something more embarassing about the office that we experienced. First we were directed to go to the third floor where we were supposed to get the form. The old man in charge, in white dress, white cap, and white beard, first interviewed us. First he emphasized, “You know, in this office, my signature is the most important signature. Without [...]

June 6, 2006 // 3 Comments