Recommended

turisme

Titik Nol 60: High Camp

Menuju puncak. (AGUSTINUS WIBOWO) Perjuangan kami hampir mencapai titik kulminasi. Di ketinggian ini, langit sudah begitu dekat. Kami sudah nyaris sejajar dengan puncak-puncak salju di seberang sana. Tetapi justru di tempat ini, kaki semakin berat dan semangat menggebu-gebu tertekan oleh udara berat. Thorung Pedi adalah desa tertinggi di Sirkuit Annapurna. Ketinggiannya 4450 meter, hanya dua jam perjalanan dari Letdar melalui jalan batu yang berlekuk-lekuk. Tanaman tak nampak sama sekali. Gunung batu yang kami lewati hanya satu warna – muram kelabu. Senada dengan warna batu yang kelabu itu adalah rumah-rumah di Thorung Pedi. Rumah batu ala Tibet. Sunyi. Ada satu penginapan di sini, cukup terkenal karena merupakan tempat menginap rombongan turis. Karena tak banyak saingannya, ditambah lagi posisinya yang susah, harga menginap, makanan, dan air bersih di sini sangat mahal. Sebiji apel harganya 15 Rupee, sedangkan di bawah sana nyaris gratis. “Dari Indonesia?” tanya pemilik penginapan, orang Tibet yang pandai cakap Melayu, “Kemarin juga ada orang Indonesia menginap di sini. Hari ini sudah berangkat ke atas dia, naik kuda.” Hah? Pasti si Nef. Terkenal sekali kawan kita yang satu ini, di mana-mana meninggalkan jejak. Tetapi setahu saya ia hanya berangkat berjalan kaki dari Manang. “Kasihan sekali dia,” kata pria Tibet bertubuh [...]

August 15, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 58: Manang

Barisan bendera doa dan gunung salju. (AGUSTINUS WIBOWO) Manang adalah kejutan di tengah pendakian Sirkuit Annapurna. Sebuah perkampungan umat Budha Tibet yang religius, campur aduk dengan rombongan trekker, porter, pemandu wisata, barisan keledai, ladang jewawut, hotel, restoran, toko perlengkapan pendakian, warung internet, rumah sakit, dan seterusnya. Tak perlu heran, Manang adalah dusun terbesar sepanjang sisi timur lintasan Sirkuit Annapurna. Pada ketinggian 3540 meter ini, Manang adalah tempat yang paling dianjurkan bagi para pendaki untuk menyesuaikan diri dengan ketinggian. Beristirahat dua malam di sini sangat dianjurkan sebelum melangkahkan kaki menuju Puncak Thorung La. Nefransjah adalah salah satu trekker Indonesia yang sedang mengadaptasikan dirinya dengan tempat tinggi. Tak pernah ia berada di tempat setinggi ini. Keluhannya, kepala pusing dan cepat lelah. Tak salah pula kalau ia mengikuti kelas pelatihan gratis khusus para pendaki yang diselenggarakan setiap sore di klinik Manang. Acute Mountain Sickness (AMS) umumnya terjadi pada orang yang berpindah ketinggian terlalu cepat. Jadi bukan ketinggiannya yang bermasalah, tetapi kedrastisannya. Biasanya akan mulai terasa kalau kita sudah berada di atas ketinggian 2500 meter. Tanda-tandanya adalah sakit kepala, pusing, mual, batuk, hilang nafsu makan, muntah, atau halusinasi. Tanda-tanda ini tidak perlu harus muncul semuanya. Salah satu saja cukup sebagai gejala AMS. Kalau tidak [...]

August 13, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 56: Bahasa

Dusun Tibet yang tersembunyi. (AGUSTINUS WIBOWO) Tak disangka, di desa-desa di seluk pegunungan tinggi negeri terjepit ini, saya mendengar bahasa Melayu dilafalkan di mana-mana. Lintasan Sirkuit Annapurna sudah seperti menjadi lintasan wajib turis yang datang ke Nepal. Desa-desa di sini pun bergantung pada turisme. Kebanyakan desa yang kami singgahi tidak pernah ada sebelumnya. Hanya karena turis, desa-desa baru bermunculan, menawarkan pemondokan dan warung yang menjual makanan mulai dari dhal bat sampai makaroni, pizza, pasta, dan mashed potato. Harga makanan di sepanjang Sirkuit ditentukan oleh ketinggian tempat dari permukaan laut. Semua bahan makanan ini diangkut dari tempat rendah di bawah, oleh porter yang membawa berkarung-karung beras, gandum, tepung, sayur, sampai ayam hidup. Standar harga makanan sudah ditentukan oleh Annapurna Conservation Area Project (ACAP). Di setiap warung selalu tertempel daftar harga standar, biasanya selalu memasukkan dal bat – makanan tradisional Nepal yang terdiri dari nasi dan beberapa macam sayuran. Kalau makan di warung lokal yang bukan anggota ACAP, harganya lebih murah karena bukan ditujukan untuk turis. Harga makanan dengan daging jauh lebih mahal, saya pun jadi vegetarian. Selain jadi vegetarian, saya pun jadi penggemar makanan Barat macam makaroni, pasta, spageti, apple pie, dan mashed potato. Saking terkenalnya makanan Eropa di pemondokan dan [...]

August 11, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 55: Tentara Kerajaan

Tentara Kerajaan Nepal (AGUSTINUS WIBOWO) Macam-macam cara orang menikmati perjalanan. Ada yang bersantai, menikmati setiap pemandangan yang terhampar di sekeliling. Ada yang terburu-buru, mengejar target yang dipasang sendiri. Ada yang sambil bermeditasi, merenungi setiap detail yang ditampilkan oleh alam. Perjalanan hidup pun tergantung bagaimana kita ingin menikmatinya. Namanya Rob, tingginya lebih dari 180 sentimeter, kekar dan gagah. Asalnya dari Amerika Serikat. Matanya biru, wajahnya tampan. Lulusan Phd dari salah satu universitas terbaik di muka bumi – Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dia datang ke Danakkya ketika langit sudah mulai gelap, ikut bergabung dengan kami menginap di Hotel Snowland di dusun ini. Pemondokan di sepanjang Annapurna memang punya nama garang-garang, menawarkan misteri dari puncak salju Himalaya. “Hey man, saya berencana mengelilingi Annapurna dalam waktu satu minggu saja. Ini adalah hari kedua saya,” kata pendatang baru itu. Jörg langsung berseru, “Satu minggu? Kamu gila? Kamu bisa mati kalau tubuh kamu tidak teraklimatisasi dengan perubahan ketinggian yang tiba-tiba!” Kami sudah menghabiskan empat hari dengan melenggang santai baru sampai di sini. Jörg berkisah, ketika ia menginap di Pokhara, ada turis Jepang yang baru saja datang dari mengelilingi Sirkuit Annapurna. Rupanya orang Jepang ini bertaruh dengan kawannya, siapa yang bisa menyelesaikan putaran ini dalam waktu [...]

August 8, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 54: Ladang Ganja

Ladang ganja (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan keliling Annapurna masih panjang. Memasuki hari keempat, kami baru saja meninggalkan dusun Tal. Kalau dilihat di peta, tak sampai juga dua puluh persen lintasan menuju puncak Thorung. Di pegunungan Annapurna, jarak horizontal tak banyak berarti. Peta dunia di tempat ini seharusnya digambar tiga dimensi, karena ketinggian dan kecuraman pinggang gurun lebih berarti dalam pendakian. Pukul setengah delapan, matahari masih belum terlalu panas. Selepas Tal, pada ketinggian 1700 meter, desa-desa berikutnya semakin tinggi dan sejuk. Gadis pemilik pemondokan begitu ramah, menghadiahi kami masing-masing sebilah tongkat kayu. Kami menyeruput lemon panas yang disediakannya. Sirkuit Annapurna ini begitu nyaman. Pemondokan ramah tersebar sepanjang jalan. Bayangkan, seratus tahun lalu ketika para pendahulu penakluk gunung-gunung Himalaya menjelajah sampai ke sini, yang ada hanya hutan lebat. Bahkan untuk mencari Gunung Annapurna pun mereka tersesat berkali-kali. Tak lama setelah meninggalkan Tal, ada seorang gadis yang duduk kelelahan di pinggir jalan. Di pundaknya ada ransel besar berwarna biru. Di atas ransel masih ada pula matras yang digulung. Di tangannya ada sepasang tongkat treking. “Good morning,” kami menyapa. Gadis itu orang Asia, bermata sipit berwajah datar. “Good morning… Namaste,” ia menjawab, terengah-engah. Saya dan Jörg melanjutkan perjalanan. “Taruhan, gadis itu dari negara mana?” saya [...]

August 7, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 53: Dusun Tal

Bermain, bermain, bermain… (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tertunduk di hadapan gerilyawan Maois. Semua kisah sedih sudah saya ceritakan. Moga-moga ia tergerak hatinya. “Kya karen, bhai? Apa lagi yang bisa saya lakukan, Saudara?” Saya menunjukkan dompet saya yang kosong melompong. Hanya ada uang sepuluh Rupee di dalamnya. Sisanya sudah saya sembunyikan di dalam kaus kaki. Gerilyawan Maois itu hanya garuk-garuk kepala, mungkin pertama kali melihat turis yang begitu miskin. Saya menunjukkan betapa dekatnya saya dengan perjuangan Maois, mencoba menarik simpatinya. Dimulai dari bualan tentang kehidupan komunis di Beijing dan betapa saya memuja Mao, sampai menunjukkan saya memakai baju warna merah dengan bintang emas – bendera Vietnam – yang saya beli dari Hanoi. Dia tak terlalu tertarik. Tiba-tiba datang serombongan pendaki bule. Masing-masing membopong ransel mahal, membawa sepasang tongkat khusus trekking, yang pasti juga mahal, dan menggunakan jasa dua orang porter Nepal malang yang terbungkuk-bungkuk harus menggendong tumpukan ransel besar. Ditambah lagi seorang pemandu lokal. “Pajak Maois ya?” tanya si pendaki dengan ramah, senyum lebar menghias wajahnya. Ia langsung mengeluarkan beberapa lembar ribuan Rupee, menyerahkan kepada sang gerilyawan. Sekarang giliran pengumpul pajak Maois itu yang sibuk menandatangani kuitansi. Semua orang harus membayar pajak 100 Rupee per hari. Untuk porter dan pemandu lokal gratis. [...]

August 6, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 52: Maois

Gerilyawan Maois menghampiri di pintu gerbang menuju Tal.(AGUSTINUS WIBOWO) Pendakian panjang dan curam akhirnya berakhir juga. Di atas sana, gerbang masuk desa Tal sudah nampak. “Welcome to Manang District”. Selamat datang, selamat datang. Seorang gerilyawan Maois menyambut kami. Hari sudah mulai tinggi ketika kami berangkat dari Chamje. Keith sudah berangkat duluan, karena mengejar waktu. Sementara Jörg masih berbaring malas di kamarnya yang sejuk. Saya memilih untuk berangkat agak siangan. Jörg, seperti saya, juga tak ingin terburu-buru menikmati perjalanan panjang keliling Annapurna ini. Pukul 8:30, matahari sudah panas menyengat, kami berdua baru mulai jalan. Tampaknya Jörg dan saya cocok sekali berjalan bersama, sama-sama pelannya. Saya jadi bisa lebih santai berjalan, tak perlu lagi malu karena berleha-leha. Tangga batu menurun drastis dari desa Chamje. Curam dan panjang. Dari dulu saya paling takut turun gunung terjal. Pengalaman saya terkilir berkali-kali, membuat pandangan saya hanya terpusat ke arah kaki. Keindahan alam sekitar terlewatkan begitu saja. Saya sadar satu hal, saya dilahirkan bukan untuk trekking. Orang memang tidak pernah memilih untuk dilahirkan di mana. Tengoklah orang-orang desa di sini, setiap hari mereka harus berjalan naik turun gunung yang terjal dan curam, melintasi sungai yang mengamuk di atas jembatan gantung yang bergoyang-goyang. Alam yang keras ini [...]

August 5, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 51: Lereng Curam

Namaste……….!!! (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan keliling Sirkuit Annapurna sebenarnya termasuk kategori tingkat kesulitan rendah. Walaupun demikian, bagi saya yang tidak biasa berjalan di medan pegunungan, perjalanan ini melelahkan juga. Ada pepatah China mengatakan, “Naik gunung mudah, turun gunung susah”. Mungkin lebih tepat kalau pepatah itu dimodifikasi: Naik gunung susah, turunnya lebih susah lagi. Perjalanan ini dimulai dari Besisahar, pada ketinggian 700 meter, melalui jalan mendaki, terus menurun, terus mendaki lagi, menurun lagi, dan seterusnya hingga ke Puncak Thorung La pada ketinggian 5400 meter, kemudian menurun drastis lagi terus sampai ke bawah. Demikianlah perjalanan hidup manusia. Ada naik, ada turun. Tujuan kita seakan tergambar jelas di awang-awang sana. Tetapi yang paling penting bukan tujuannya, melainkan lintasannya, naik turunnya, senang bahagia dan pahit getirnya hidup. Setiap trekker punya peta Annapurna, lengkap dengan hari pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya, nama dusun-dusun yang akan dilewati, serta ketinggiannya dari permukaan laut. Angka-angka yang menjadi patokan perjalanan ini adalah motivasi untuk terus maju, mencapai tujuan. Yang paling berbahaya dalam perjalanan ini adalah ketika kita terlalu menggebu untuk mencapai tujuan yang tinggi itu. Dari ketinggian 700 meter hingga 5400 meter, tubuh manusia harus bisa beradaptasi pada perubahan drastis. Di puncak sana, suhu udara rendah dan oksigen minim. Salju [...]

August 4, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 50: Naik Bukit

Bahundanda. (AGUSTINUS WIBOWO) Ada pepatah Jerman mengatakan, orang tidak seharusnya memuji hari kalau belum sampai malam. Orang tidak seharusnya senang di tengah jalan kalau belum melihat hasilnya. Hari pertama trekking Annapurna tak semudah yang saya bayangkan. Jalan-jalan keliling desa ini sebenarnya boleh juga. Sawah hijau menghampar di kanan kiri, mengingatkan saya pada hijaunya kampung halaman. Orang-orang Newari yang tinggal di sini pun mirip orang Jawa kulit dan perawakannya, walaupun sedikit lebih mancung. Bahkan kaum perempuannya pun memakai sarung batik sepanjang mata kaki. Motifnya pun mirip dengan yang dipakai perempuan desa di Jawa. Tak salah memang, sarung batik Indonesia banyak diekspor ke sini. Kalau dilihat secara detail, ada pula bedanya. Perempuan Hindu Nepal umumnya menindik hidung sebelah kiri, lalu dipasangi cincin kecil. Cara mereka bekerja mengangkut barang pun berbeda. Orang Jawa biasa mengusung benda berat di atas kepala, kalau orang Nepal digantungkan di kepala. Saya jadi teringat cara orang pedalaman Papua membawa tas yang talinya panjang, juga digantungkan di kepala. Segala jenis barang bisa digantungkan di kepala, mulai dari karung beras, keranjang rotan, sampai lemari baju, dari rumput, kayu bakar, sampai televisi. Laki-laki, perempuan, anak-anak, semua punya kepala sekeras baja. Jalanan datar, tak ada tantangan. Jujur saja, agak membosankan. “Moga-moga Sirkuit [...]

August 1, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 49: Sirkuit Annapurna

Menuju puncak salju di atas sana. (AGUSTINUS WIBOWO) Bagi sebagian besar turis asing, Nepal berarti gunung. Negeri ini memang mungil kalau dilihat secara horizontal. Dilihat dari sudut vertikal, Nepal berada dalam jajaran atas negara tertinggi di dunia. Annapurna adalah serangkaian puncak Himalaya terletak di bagian barat Nepal. Annapurna I, puncak tertingginya mencapai 8.000 meter, dikelilingi saudara-saudaranya yang di atas 7.000 meter, senantiasa diselimuti salju dan memancarkan keagungan yang menjadi magnet datangnya turis ke negeri ini. Semula saya kurang begitu tertarik dengan kegiatan turisme seperti mendaki gunung. Melihat distrik Thamel di Kathmandu yang dipenuhi perusahaan wisata menawarkan jasa porter dan pemandu, saya langsung muak. Saya tak pernah tahu, bahwa trekking berkeliling gunung pun bisa dilakukan secara independen tanpa harus memakai jasa biro tur. Lam Li, si gadis Malaysia yang sudah berangkat dulu ke Annapurna, meyakinkan saya, “Keliling Annapurna pasti menarik sekali. Di sana, satu kali putaran, kamu bisa berjumpa delapan macam suku sekaligus, hidup di desa-desa yang masih asli.” Saya sangat tertarik dengan keragamam suku dan budaya, tetapi saya masih belum yakin saya bisa melakukan perjalanan seperti ini. Saya tak pernah punya pengalaman naik gunung. Sekali naik, mengelilingi gunung suci Kailash di Tibet nyaris celaka. Kepercayaan diri saya bertambah ketika berjumpa [...]

July 31, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 48: Istana di Puncak Bukit

Istana Raja Prithvi Narayan Shah. (AGUSTINUS WIBOWO) Tentara Gurkha berasal dari kota perbukitan yang sunyi ini. Raja besar Nepal, Prithvi Narayan Shah, lahir di sini. Sekarang kota kecil Gorkha masih menjadi salah satu basis pertahanan penting Kerajaan Nepal. Seperti Kathmandu, Bhaktapur, dan Patan yang masing-masing punya Durbar Square, Gorkha pun punya. Gorkha Durbar terletak di puncak bukit, sekitar dua jam perjalanan mendaki, di daerah yang dijaga ketat oleh tentara Nepal. Istana Prithvi Narayan Shah di puncak bukit ini adalah tempat yang paling strategis yang pernah saya lihat. Sejauh mata memandang, barisan puluhan bukit hijau terpampang di hadapan. Lekuk kurvanya yang mulus sambung-menyambung. Bagaikan spektrum, dari hijau yang paling pekat hingga hijau kebiruan, dan jauh di sana bersambung dengan warna langit. Desa-desa kecil, berupa noktah putih, bertabur di seluruh penjuru perbukitan, dari kaki hingga puncak. Gorkha adalah salah satu kota peristirahatan di tepi bukit yang sejuk. Di kaki bukit sana, banyak vila yang dibangun untuk para pengunjung. Walaupun sekarang seperti kota hantu yang sepi, tetapi masih nampak bahwa dulunya kota ini pun pernah menjadi pusat kunjungan turis. Di sini dulu Prithvi Narayan Shah pernah berdiri, memandang seluruh negeri yang terhampar di hadapannya. Dari titik inilah ia menaklukkan seluruh penjuru, menaklukan seluruh [...]

July 30, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 46: Laporan Kehilangan

Ruang kerja kantor polisi Hanuman Dhoka. (AGUSTINUS WIBOWO) “Sudahlah,” Lam Li menghibur saya yang masih bersedih gara-gara dompet yang tercopet, “Yang lalu biarlah berlalu. Percayalah, sekali kejadian buruk, serentetan keberuntungan akan menantimu. Bukan begitu?” Lam Li menoleh ke arah dua pandita Rusia. Yang satu sibuk dengan butir-butir rudraksha dan satunya lagi baru saja memasak bubur warna-warni untuk sesaji. “Tidak, bukan begitu,” kata pria bule berjubah itu, “Dalam ajaran Budha, kalau kamu mengalami kejadian buruk, itu tandanya karma burukmu berkurang. Kejadian buruk masih bisa terjadi lagi, imbalan karma dari apa yang sudah kamu perbuat. Percayalah, semuanya itu ada yang mengatur, karma adalah timbangan yang paling adil.” Setelah semalam suntuk saya tak bisa tidur gara-gara kecopetan, hari ini pun saya masih belum tenang. Dengan berbekal fotokopi paspor dan foto diri yang memalukan – mata mengantuk dan sembab, rambut acak-acakan, karena baru dipotret dua jam lalu ketika saya masih syok dengan kejadian kemarin, saya menggeret Lam Li dan Qingqing ke kantor polisi di sebelah lapangan Hanuman Dhoka. Kantor polisi ini tak pernah sepi. Selain polisi yang bersliweran ke sana ke mari, banyak pula pengunjung. Selain saya, ada pula turis yang melapor dompet hilang, paspor hilang, kamera hilang, dan sebagainya. Musim festival begini memang [...]

July 4, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 44: Maling di Tengah Perayaan

Di tengah keramaian seperti ini apa pun bisa terjadi. (AGUSTINUS WIBOWO) Di tengah kemeriahan perayaan Indra Jatra ini saya menangis. Ketika orang lain bersuka cita menyaksikan tarian dan permainan di bawah sinar rembulan di lapangan Hanuman Dhoka, hati saya kacau balau. Patung seram kepala Seto Bhairab, atau Bhairab Putih, yang biasanya tersembunyi di balik kisi-kisi kayu di pinggir kuil Taleju di tengah lapangan Durbar, di hari yang istimewa ini tiba-tiba muncul. Dalam setahun, hanya pada perayaan Indra Jatra dan Dasain saja patung misterius Seto Bhairab dipertunjukkan untuk umum. Konon, ketika Raja Rana Bahadur Shah membangun patung ini untuk membersihkan daerah istana yang pernah menjadi tempat pembakaran mayat, patung Bhairab ini terlalu seram sehingga penduduk ketakutan. Akhirnya, patung ini disembunyikan di balik kisi-kisi kayu sepanjang tahun. Ada pula yang mengatakan, patung Bhairab disembunyikan karena patung ini bersimbah perhiasan dari batu berharga. Patung kepala ini berwarna emas dengan mulut menyeringai seram dan memamerkan gigi taringnya yang tajam. Matanya ada tiga. Mahkotanya terbuat dari tengkorak manusia. Seperti Kala Bhairab – si Bhairab Hitam yang juga seram – Seto Bhairab adalah salah satu pusat pemujaan penting umat Hindu di Kathmandu. Umat datang membawa prasad (sesaji) berupa bunga dan dupa ke hadapan patung kepala seram [...]

July 2, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 42: Freak Street

Lam Li, si gadis Malaysia penghuni Freak Street, pernah membotaki rambutnya untuk menyamar jadi bikuni di Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO) Dari hubungan kawannya kawannya kawannya kawan, akhirnya saya bejumpa dengan gadis Malaysia ini. Ajaib, walaupun belum pernah mengenal sebelumnya, saya merasakan kedekatan yang tak terkira, seperti kami memang sudah ditakdirkan berjumpa. Namanya Lam Li, umur tiga puluh tahunan, tetapi masih nampak energik dan ceria. Tubuhnya kurus, kepalanya nyaris botak. Sengaja dibotakin, katanya, untuk menyamar jadi bikuni di Tibet supaya bisa masuk kuil gratis. Selain suka menyamar, berkeliling Tibet ilegal, Lam Li juga punya rekor yang cukup membanggakan sebagai seorang perempuan – tak pernah sekalipun ia membayar untuk masuk kuil di Tibet. Semuanya mengandalkan teknik ‘panjat tembok dan loncat’-nya yang menakjubkan. Sungguh saya malu di hadapan perempuan ini. Sebagai lelaki, saya yang sekali meloncat langsung kecemplung lubang kakus sama sekali tidak ada apa-apanya. Lam Li pernah bekerja sebagai wartawati The Star, media yang cukup besar di Malaysia. Setelah menabung sekian lama, ia memutuskan untuk berkeliling dunia. Seperti saya juga ceritanya. Ia menempuh jalan darat dari Malaysia, melintas Thailand, Kamboja, Vietnam, masuk ke China, lalu Tibet, dan sekarang Nepal. Ia juga berencana menuju India, Pakistan, Afghanistan, terus ke barat sampai Eropa. Karena saya [...]

June 30, 2014 // 8 Comments

Titik Nol 41: Ceroboh

Keamanan di Nepal terbilang sangat baik. (AGUSTINUS WIBOWO) Tak ada satu kata lagi yang lebih tepat untuk mendeskripsikan diri saya – ceroboh. Pelajaran hari ini membuat saya kembali bertanya pada diri sendiri, mampukah saya mewujudkan mimpi saya melihat dunia? Daerah Thamel memang surganya para backpacker. Apa lagi yang kurang di sini? Losmen murah bertaburan. Restoran yang menjual segala jenis makanan mulai dari dal bat Nepal, thali India,  bakmi China, spageti Italia, sampai humus Israel dan tortilla Meksiko, dari teh susu sampai tequila. Mau cuci baju? Laundry yang siap menerima baju kotor kiloan pun berjajar. Toko buku murah punya koleksi selengkap perpustakaan, menawarkan bau-bau misteri surga Shangri-la di lekukan Himalaya. Yang kangen Indonesia bahkan bisa beli shampo lidah buaya diimpor langsung dari Nusantara. Mau Internet? Ini apa lagi, murah meriah. Sepuluh Rupee per jam dengan kecepatan yang lumayan banter. Sejak dari Tibet yang penuh perjuangan berat, ditambah lagi suntuk karena tidak bisa memotret dengan kamera yang separuh rusak, saya akhirnya menghabiskan lebih banyak waktu di warung Internet murah di sebuah sudut Thamel. Tempat ini bagaikan surga bagi orang malas seperti saya. Warnet, warung, hotel adalah habitat saya selama berhari-hari. Dari sore sampai malam saya berselancar di dunia maya, sebuah kemewahan yang [...]

June 27, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 39: Kremasi

Kremasi (AGUSTINUS WIBOWO) Di hadapan mayat yang melepuh ditelan api, saya jadi sadar, bahwa hidup di dunia ini hanyalah sebuah perjalanan dari debu kembali menjadi debu. Isak tangis mengiringi kepergian lelaki Brahmana tua itu. Raungan, ratapan, air mata membasuhkan aroma kesedihan. Jenazah itu dibilas dalam air Sungai Bagmati yang keruh, bertabur bunga dan sesaji. Alunan mantra Hindu mengiringi. Kayu bakar ditumpuk di tepi sungai, di sebelah selatan jembatan Sungai Bagmati di Kuil Syiwa Pashupatinath. Dalam tradisi kremasi umat Hindhu Nepal, kasta pun berpengaruh. Yang termasuk ningrat, keluarga kerajaan, dan kasta teramat tinggi, dikremasikan di utara jembatan, tempat pembakaran Arya Ghat. Rakyat jelata, di Ram Ghat di selatan. Lelaki di sampingku menjelaskan, pria tua ini adalah seorang petinggi yang sangat dihormati. Meninggalnya pun wajar, penyakit orang tua. Jenazahnya diletakkan di atas tumpukan kayu, setelah dibilas lagi dengan air suci oleh pendeta. Denting lonceng, alunan mantra, dan ratapan pilu mengiringi, ketika api mulai menyulut. Baru pertama kali ini saya melihat pembakaran mayat dari dekat. Tubuh itu meleleh seperti lilin. Jari-jari kaki mulai menyatu, kemudian membulat, kemudian hancur tak berbentuk. Ketika jasad ini mati, semuanya kembali dalam wujud yang sama. Tak peduli apa kastanya, bagaimana kekayaannya, setinggi apa jabatannya, sebanyak apa gelar kesarjanaannya, [...]

June 25, 2014 // 9 Comments

Titik Nol 37: Kota Cantik

Lapangan Durbar di Patan (AGUSTINUS WIBOWO) Pagi-pagi sekali, keluarga Pushkar Baral sudah sibuk sekali. Istrinya bangun sejak subuh, sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Anak-anak bersiap masuk sekolah. Pushkar dan istrinya siap-siap berangkat kerja. Hari ini hari Minggu, tetapi bagi orang Nepal hari ini adalah hari kerja biasa. Dalam seminggu, hanya hari Sabtu mereka bisa beristirahat. Sementara Pushkar dan istrinya berangkat ke kantor, saya sendirian berkeliling bagian kuno kota Patan. Patan hanya lima kilometer jauhnya dari Kathmandu, tetapi dulunya Patan adalah ibu kota dari kerajaan terpisah, berpasukan tangguh, dan berkebudayaan tinggi. Semuanya itu masih nampak jelas dari Lapangan Darbar yang dipunyai Patan. Gaya arsitektur bangunan di sini lebih padat, rapi, dan cantik. Patung Dewa Garud (Garuda) yang bersembah di atas tiang memberi penghormatan ke arah kuil suci. Tak salah jika nama lain Patan lebih putis – Lalitpur, atau ‘kota cantik’.. Dibandingkan Lapangan Darbar Kathmandu, Darbar Patan penuh sesak oleh bangunan megah. Saya tak ingat lagi nama-nama bangunan di sini. Terlalu banyak. Semuanya adalah maha karya arsitektur bangsa Newa yang mendiami Lembah Kathmandu, baik Budha maupun Hindu. Setelah datang dari Tibet, saya begitu tertarik melihat kehidupan umat Budha di Nepal. Sang Budha Gautama lahir di Lumbini, di Nepal bagian selatan. Tetapi di [...]

June 23, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 35: Mata Buddha

Biksu Tibet mengitari Boudha. (AGUSTINUS WIBOWO) Sepasang mata menatap penuh misteri. Harum asap dupa bertebaran. Kabut masih baru menyelimuti Kathmandu. Dingin. Penuh misteri. Tetapi orang-orang sudah larut dalam doa dan ibadah. Bersama legenda yang mengiringi lahirnya kota kuno Kathmandu, adalah Swayambhunath di puncak bukit tinggi yang membayangi seluruh kota. Alkisah, seluruh lembah Kathmandu adalah danau. Danau ini tiba-tiba mengering airnya, bersamaan dengan sinar yang muncul dari Swayambhunath. Swayambhu, dalam bahasa Nepal, artinya ‘muncul sendiri’. Tak ada yang tahu pasti berapa usia kuil ini. Ada yang mengatakan tempat ini menjadi suci sejak lebih dari 2000 tahun lalu ketika Raja Asoka datang berkunjung. Letaknya di puncak bukit tinggi, yang menurut ahli geologis dulunya adalah pulau di tengah danau. Stupa raksasa Swayambhu sudah ada di abad ke-5, berwarna kuning cerah. Bentuknya bulat besar. Puncaknya adalah pagoda dengan empat sisi, terbuat dari emas. Setiap sisinya tergambar sepasang mata yang menatap garang. Mata Buddha, memandang ke semua arah mata angin, menunjukkan bahwa Tuhan yang maha mengetahui ada di mana-mana. Di atas pasang mata, adalah mata ketiga yang melukiskan kebijaksanaan nurani. Di bawah mata, garis melingkar-lingkar seperti hidung, adalah angka ‘1’ (ek) dalam huruf Nepal, melambangkan persatuan segala makhluk. Tak ada telinga, karena konon Buddha tak [...]

June 19, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 32: Thamel

Thamel meriah menyambut Hari Turisme Dunia. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya datang ke Nepal dirundung kegalauan. Kamera saya, tumpuan harapan saya satu-satunya untuk mengabadikan perjalanan ini, rusak. Masih bisa memotret, tetapi tidak lagi bekerja sempurna. Tak biasanya, kali ini saya tak menumpang bus murah dari perbatasan Kodari menuju ibu kota, tetapi nekad membayar taksi yang harganya lebih mahal tiga kali lipat. Hati saya gundah gara-gara kamera rusak. Tujuan saya hanya ingin cepat-cepat sampai di Kathmandu. Pemandangan sejak dari Tibet berubah drastis. Klakson bus bertalu-talu, bagaikan nada yang mengisi aliran lalu lintas di jalanan sempit berkelok-kelok, di tepi bukit hijau dan hamparan sawah. Pemandangan di sini sungguh mirip di Jawa, sawah, bukit, rumput, pohon, semuanya hijau. Jalan yang sempit dan bolong-bolong, gubuk di pinggir jalan, dan semrawutnya lalu lintas, benar-benar mirip. Tetapi yang membedakan, di sini banyak pos pemeriksaan polisi. Keamanan Nepal terus memburuk sejak gerilyawan Maois semakin menunjukkan pengaruhnya. Setiap mobil yang melintas harus berhenti, para penumpangnya menunjukkan dokumen, dan berjalan kaki melintasi pos. Orang asing boleh tetap tinggal di mobil, karena yang diincar polisi adalah gerilyawan Maois yang menyelundup. Begitu sampai di Kathmandu, saya langsung menuju Thamel, pusat berkumpulnya backpacker, setara dengan Jalan Jaksa di Jakarta atau Khaosan di Bangkok. Setelah [...]

June 16, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 27: Berbalut Khata

Puncak Everest dibalut awan.(AGUSTINUS WIBOWO) Cuaca di pegunungan berubah cepat. Yang tadinya langit biru dan gumpalan mungil, kini sudah menjadi mendung tebal menggelayut. Saya tak melihat apa-apa, hanya putih kelabu yang dingin. “Shushu,” kata Donchuk, tukang sepeda motor yang mengantar saya sampai ke Everest Base Camp ini, “Masuk dulu. Qomolangma memang tergantung nasib. Banyak orang yang sampai sini juga tak lihat apa-apa. Moga-moga besok cuaca bagus.” Saya kembali ke tenda. Yang tinggal di sini adalah kawan Donchuk dan istrinya. Keduanya berkulit hitam, kasar, terbakar matahari. Si suami mengenakan jaket hijau ala jiefangjun – Tentara Pembebasan, model pakaian China yang cukup populer di Tibet. Istrinya berwajah datar, dengan rambut panjang dikepang dan dililitkan melingkari kepala. Mereka tak bisa bahasa Mandarin dan saya tak bisa bahasa Tibet. Perbincangan kami lebih banyak tak sambungnya. Walaupun demikian, saya merasakan kehangatan sebuah keluarga sederhana Tibet. Si istri menyiapkan teh mentega – minuman utama orang Tibet. Cara membuatnya khusus. Air teh yang sudah bersih dari daun ditumbuk bersama dengan mentega, garam, dan susu. Tumbukannya juga tak biasa, kurus dan panjang, terbuat dari kayu. Teh susu mentega ini bisa pula jadi makanan, disiramkan ke bubuk jewawut tsampa, yang hasilnya kemudian menjadi bubur mirip makanan bayi. Tsampa asalah [...]

June 6, 2014 // 3 Comments

1 2 3 4