Recommended

visa

[ISDB] Garis Batas di Atas Kertas

“Maaf, Tuan, kami tidak bisa mengizinkan Anda naik ke pesawat,” kata petugas di balik konter China Airlines, saat saya melakukan pelaporan di bandar udara Svarnabhumi, Bangkok, Thailand, untuk penerbangan saya menuju Belanda. Kepada petugas yang seorang lelaki muda Thai ini, saya telah mengakui bahwa saya belum memastikan tanggal berapa saya akan meninggalkan Eropa, dan saya juga tidak memiliki tiket pulang. “Tetapi saya hendak ke sana melakukan riset,” kata saya. “Mustahil bagi saya untuk memastikan kapan riset saya akan benar-benar selesai. Lagi pula, saya memiliki masa berlaku visa yang panjang, untuk satu tahun.” Petugas itu kembali mengamati stiker visa yang tertempel di dalam paspor saya. Visa saya adalah Visa Schengen untuk kategori C, visa tinggal jangka pendek, yang artinya saya bisa tinggal di negara-negara Eropa penanda tangan perjanjian Schengen selama maksimal 90 hari dalam setiap masa 180 hari. Lelaki itu menggeleng. “Saya sudah tanya atasan saya,” katanya, “untuk kategori visa C, wajib untuk mempunyai tiket pulang yang sudah terkonfirmasi.” Dia lalu menutup buku paspor saya dan mengembalikannya kepada saya tanpa pas naik. “Maaf, Tuan, Anda harus punya rencana yang pasti.” Saya tetap berdiri di sana beradu argumen, sementara petugas itu berusaha meyakinkan bahwa saya bisa membeli tiket pulang dan membatalkannya begitu [...]

January 11, 2022 // 1 Comment

Titik Nol 206: Afganistan, Saya Datang

Khyber Pass yang termashyur (AGUSTINUS WIBOWO) KOMPAS.com — Masuk ke mulut singa. Begitulah yang saya rasakan ketika akhirnya saya melihat papan besar, bertuliskan  “FOREIGNERS ARE NOT ALLOWED BEYOND THIS POINT”. Inilah pintu gerbang Khyber Agency, salah satu dari tribal area yang tersohor itu, di mana orang asing tidak diperbolehkan masuk tanpa surat izin dari Political Agent di Peshawar. Gerbang ini adalah tempat dimulainya daerah tanpa hukum. Yang berlaku selepas ini adalah hukum adat Pashtun. Mata balas mata. Darah balas darah. Dari sekian banyak agency, unit wilayah tribal area di Pakistan, semuanya adalah sumber masalah bagi negara ini. Kata tribal sering diorientasikan dengan keterbelakangan, primitif, dan kekacauan. Dalam kasusnya di Pakistan, memang tidak ada berita bagus tentang tribal area. Taliban, opium, senjata ilegal, hashish, penculikan, perang, bom, tanpa hukum, pemberontakan. Semuanya kumpulan kosa kata berkonotasi negatif. Khyber agency, yang pintu gerbangnya ada di depan mata saya sekarang, adalah urat nadi utama yang menghubungkan Peshawar ke Kabul melintasi Celah Khyber. Nama Khyber sudah membangkitkan nostalgia masa lalu, celah di gunung-gunung yang dilewati para penakluk dunia, mulai dari Iskander Yang Agung, raja-raja Persia, Turki, Mongol, hingga pasukan kolonial Inggris. Sekarang, tempat ini juga sudah mulai dirambah Taliban, didukung Lashkar-i-Islami, pasukan suku setempat, yang [...]

June 6, 2015 // 14 Comments

Titik Nol 202: Negeri Berselimut Debu

Dua pemuda ‘modern’ Afghan dari negeri berselimut debu (AGUSTINUS WIBOWO) “Apa yang kau cari di Afghanistan?” tanya pria muda ini, di sebuah sudut gelap ruang tunggu visa di kantor konsulat Afghanistan di Peshawar. Ruangan itu kotor. Selapis debu tebal menyelimuti lantai. Pemuda itu kemudian mencolekkan tangan kanannya di atas lantai. “Kamu mau melihat Afghanistan? Lihat saja tanganku. Kamu lihat debu ini? Kamu sudah melihat Afghanistan. Cukup. Di sana cuma ada debu!” Debu-debu beterbangan bersama hembusan napasnya. Saya terbatuk-batuk. Kantor konsulat Afghanistan dipenuhi orang Afghan. Mereka berpakaian mirip orang Pakistan, tetapi punya kebiasaan aneh suka menggigit syal yang melingkari leher. Tidak ada orang asing lainnya. Visa Afghan tidak sulit. Datang pagi hari, sore bisa diambil. Harganya cuma 1 dolar per hari. Mau enam bulan, satu tahun, berapa pun boleh, asal punya duitnya. Tetapi kemudahan visa ini tidak serta merta mendatangkan ribuan rombongan turis ke Afghanistan. Situasi keamanan sejak serangan Amerika di negara itu semakin lama semakin memburuk. Baru-baru ini ada kerusuhan besar di Kabul. Bom bunuh diri juga mulai marak. Semakin jarang petualang yang berani menjelajah negeri itu dalam kondisi seperti ini. Wahid, pemuda itu, berumur 25 tahun. Kulitnya putih bersih dan wajahnya tampan. Bahasa Inggrisnya sangat fasih, seperti belajar di [...]

June 2, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 151: Terjebak Birokrasi Pakistan (2)

Dari Islamabad… (AGUSTINUS WIBOWO) Perpanjangan visa Pakistan membuat saya merasa seperti bola pingpong yang dilempar dari satu kantor ke kantor lain. Kementrian Dalam Negeri letaknya jauh sekali dari Kantor Paspor. Islamabad adalah kota modern yang didesain oleh orang Eropa tetapi dimanajemen oleh orang Pakistan. Akibatnya adalah perencanaan tata kota yang matang yang berbaur dengan morat-maritnya dunia ketiga. Jalan lurus dan panjang, taman-taman yang teratur rapi, di sebuah kota kosong di mana kantor-kantor pemerintah bertebaran di segala penjuru. Saya dan dr. Zahid menunggu di depan bangunan Visa Section di kompleks Kementrian Dalam Negeri. Ada dua pintu. Yang satu khusus untuk warga Afghan, keturunan Afghan, dan jurnalis – kelompok rawan. Pintu lainnya untuk orang asing, turis, dan NGO. Jam kerja kantor ini dari pukul 11 hingga 12 siang – benar-benar jam kerja yang ideal. Pengumuman yang tertempel di depan pintu mengatakan bahwa pukul 10:45 akan dibagikan nomor urut bagi para pengantre. Tetapi tidak ada antrian di sini. Semua orang bergerombol di depan pintu yang masih tertutup. Kami hanya menantikan detik-detik pintu kayu yang agung itu akan terbuka, sebagai jalan emas menuju visa Pakistan. Bukan Pakistan namanya kalau tidak terlambat. Pukul 11:15, pintu itu baru terbuka. Seorang petugas membawa setumpuk kartu kecil. Bukannya [...]

March 23, 2015 // 6 Comments

Titik Nol 150: Terjebak Birokrasi Pakistan (1)

Sok kenal sok dekat. Dengan berbekal foto bersama kepala inspektur polisi ini saya berharap semua urusan akan berjalan mulus (AGUSTINUS WIBOWO) Mungkin memang takdir saya untuk selalu dipusingkan masalah visa. Saya teringat betapa saya harus beradu mulut untuk mendapatkan visa India di Nepal, bersusah payah dengan setumpuk beban mental untuk mendapat visa Pakistan di India, dan kini, saya akan mengalami serentetan perjuangan panjang dalam semrawutnya birokrasi Pakistan. Salah satu masalah bagi tenaga sukarelawan asing adalah visa. Tak terasa, visa tiga bulan yang diberikan Kedutaan Pakistan akan segera habis dalam beberapa hari ini. Sebelumnya, Rashid dari Danish Muslim Aid selalu berusaha meyakinkan saya, “Jangan kuatir untuk urusan visa. Saya akan membantumu. Semuanya pasti beres, Insya Allah!” Saya pun menaruh harapan besar padanya, apalagi katanya Rashid kenal banyak orang penting di Muzaffarabad. Di Pakistan, semuanya bisa jalan dengan koneksi. Kenal seorang tetangga dari ipar dari sepupu dari nenek dari ayah dari teman dari bibi dari ibu Anda bisa mengantar Anda ke puncak dunia, atau kalau salah orang, ke penjara. Sering kita melihat hubungan kekerabatan yang ruwet dalam film-film Bollywood. Sekarang, semuanya itu menjadi dunia nyata yang sedang saya jalani. Hubungan koneksi yang panjang mengantar saya dan Rashid duduk di hadapan Senior Superintendent [...]

March 20, 2015 // 12 Comments

Titik Nol 141: Dari Reruntuhan

Bocah-bocah pengungsi (AGUSTINUS WIBOWO) Mulai hari ini saya punya gelar baru – sukarelawan. Saya sudah berada dalam mobil milik Danish Muslim Aid, sebuah organisasi kemanusiaan, menuju ke Kashmir yang diluluhlantakkan  oleh gempa bumi 8 Oktober 2005. Sudah lama sekali saya ingin ke Kashmir. Saya teringat betapa bulatnya tekad saya untuk menjadi sukarelawan gempa ketika memohon visa Pakistan di New Delhi, lima bulan silam. Tetapi setelah mendapatkan visa, saya malah menyempatkan berkeliling Rajasthan, dan akhirnya mendapat penyakit hepatitis. Mungkin Tuhan mengingatkan saya akan komitmen yang saya buat dahulu. Ada perasaan tertekan dan bersalah, ketika harus menghabiskan hari-hari dengan beristirahat di pegunungan Hunza untuk memulihkan diri dari sakit kuning. Perasaan bersalah akan pengingkaran janji. “Mana Agustinus yang dulu bercita-cita jadi sukarelawan? Mana semangat sosialnya yang menggebu-gebu? Sekarang mengapa malah jadi turis di Hunza?” demikian bunyi e-mail Lam Li yang langsung menampar saya tanpa basa-basi. Hari ini, saya sudah resmi jadi sukarelawan, walaupun terlambat. Seorang kawan di Islamabad menjadi kepala organisasi Danish Muslim Aid (DM-Aid) yang menghimpun dana bantuan dari Denmark. Saya diminta membantu mendokumentasikan kegiatan mereka di lapangan. Saya berada di dalam mobil organisasi bersama Rashid, seorang sukarelawan juga. Rashid masih berumur 25 tahun, tetapi kumis tebalnya membuatnya tampak jauh lebih tua [...]

March 9, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 132: Losmen Murah di Rawalpindi

Para buruh harian menanti pekerjaan di Rajja Bazaar (AGUSTINUS WIBOWO) Dengan visa Pakistan dari India, sungguh susah mencari losmen murah di Rawalpindi. Dan akhirnya saya malah terjebak di tempat seperti ini. Semua visa Pakistan yang diterbitkan High Commission of Pakistan di New Delhi distempel “Visa Not Valid for Cantt Area”. Cantt adalah singkatan Cantontment, kota garnisun, peninggalan kolonial Inggris di kota-kota British India yang sekarang masih menjadi pusat aktivitas pertahanan Pakistan. Biasanya memang tidak banyak pengaruhnya untuk turis karena saya bukan turis mata-mata yang ingin mengintai persenjataan, perbentengan, teknologi nuklir, pasukan tempur, dan lain-lain untuk dilaporkan kepada India. Tetapi, di Rawalpindi, cap stempel di atas visa sangat mengganggu, karena kebanyakan losmen murah terletak di daerah pasar ramai Saddar Bazaar yang kebetulan bertetangga dengan daerah kota garnisun. Tak bisa menginap di Saddar, saya langsung menuju ke Rajja Bazaar, pasar ramai lainnya di kota ini. Perjalanan panjang 20 jam dari Gilgit memang sangat menyiksa. Yang saya inginkan sekarang adalah sebidang kasur empuk untuk beristirahat barang sejenak. Tetapi mencari penginapan tidak mudah. Hotel Tujuh Bersaudara yang nampak kumuh dan gelap katanya sudah fully booked padahal dari luar tampaknya semua kamarnya kosong. Saya disuruh ke hotel di sebelahnya, Hotel Javed, yang kelihatan lebih bersih [...]

February 24, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 131: Berjalan Lagi

Mata Hassan masih sembab melepas kepergian kedua anaknya (AGUSTINUS WIBOWO) Saya melihat tetes air menggenangi mata Hassan Shah melepas kepergian anak-anaknya. Saya teringat air mata yang sama mengalir di kedua belah pipi ibunda saya. Sudah sepuluh hari Karimabad terkunci dari dunia luar. Jalan Karakoram Highway, satu-satunya jalan yang menghubungkan Islamabad ke negeri Tiongkok melintasi barisan gunung tinggi Himalaya, tak bisa ditembus. Penyebabnya, badai salju menyebabkan beberapa titik sepanjang jalan ini ditimbun longsor. Batu-batu gunung raksasa bisa begitu saja berpindah tempat dari puncak sana ke badan jalan. Di belahan bumi ini, di tengah musim seperti ini, longsor batu sama lazimnya dengan chapati di pagi hari. Lebih dari sebulan sudah saya terperangkap di Hunza. Semula saya datang dengan tubuh lemah, nafsu makan minim, dan mata kuning mengerikan. Tetapi udara pegunungan surgawi yang berdaya magis dalam sekejap menyembuhkan penyakit saya. Setelah beristirahat sekian lama, rasanya segenap semangat hidup saya sudah kembali lagi, walaupun saya belum yakin kekuatan tubuh ini sudah pulih seperti sedia kala. Lepas dari hepatitis, sekarang saya ditekan rasa berdosa. Dulu semangat saya begitu meluap-luap, ingin segera membaktikan diri ke daerah gempa di Kashmir. Tetapi kini, saya tak lebih dari seorang turis lemah yang menghabiskan hari-hari di pondokan, menonton film India [...]

February 23, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 112: Gerbang Kemerdekaan

Bus bersejarah itu pun tiba di wilayah India (AGUSTINUS WIBOWO) “Pakistan memang diciptakan untuk membuat jarak antara kita dan mereka, memecah belah persaudaraan kita. Tak perlu kita teruskan lagi [permusuhan ini].” Demikian sebuah koran India menurunkan artikel di rubrik opini. Kedua negara tetangga ini sudah berseteru sejak kelahirannya. Pakistan tercipta dari British India tahun 1947 ketika umat Muslim India minta diberi negara sendiri. Pakistan berarti ‘Negeri yang Murni’, cita-cita luhurnya adalah negara umat Muslim yang berdiri di atas kesucian dan kemurnian Islam. Tetapi, pertikaian dan perselisishan selalu mewarnai sejarah kedua negara, menyebarkan benci yang merayap sampai ke sanubari rakyat jelata. Ingat kasus bom di New Delhi yang serta merta membuat orang India langsung menunjuk hidung Pakistan sebagai kambing hitam? Ingat betapa susahnya orang India mendapat visa Pakistan dan juga sebaliknya? Orang India menggunakan kata Pakistan sebagai umpatan yang paling kasar – “Chalo Pakistan!”, artinya “Enyahlah ke Pakistan”. Mengapa Pakistan selalu digambarkan sebagai tempat bak neraka yang penuh kesengsaraan? Mengapa imej Pakistan di India hanya hitam dan kelabu? India dan Pakistan punya garis perbatasan sekitar 3000 kilometer, tetapi hanya satu perbatasan resmi yang dibuka. Perbatasan Wagah teramat sepi, kecuali di sore hari ketika upacara penurunan bendera berlangsung. Tak banyak orang yang [...]

January 27, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 111: Negeri Berjuta Warna

Negeri berjuta warna (AGUSTINUS WIBOWO) Hindustan, negeri Bharat yang jaya, meninggalkan berbagai kenangan. Berjuta warna satu per satu diputar kembali dalam memori saya, ketika matahari mulai perlahan-lahan terbenam menerbakan semarak senja di kota Amritsar. Ini adalah senja terakhir yang saya lihat di negeri ini. Saya datang ke India dengan secarik mimpi. Mimpi yang saya dapatkan dari beberapa film Bollywood yang pernah saya tonton. Gadis cantik berpakaian bak putri raja tinggal di rumah seperti istana, mengejar cintanya pada pangeran tampan, yang kemudian menari bersama diiringi ratusan orang yang entah muncul dari mana. Mimpi Hindustan yang saya bawa adalah mimpi tentang kehidupan gemerlap, semua orang kaya, punya mobil mewah, punya lusinan pembantu, sopir berseragam, kepala rumah tangga yang cerdas, dan helikopter di atap rumah. Tetapi, secuil Hindustan tempat saya menginjakkan kaki pertama kali adalah stasiun kota Gorakhpur, di mana pengemis bocah merintih tanpa henti, sapi berkeliaran di dalam peron, dan orang yang tidur di lantai tanpa alas. Selanjutnya adalah New Delhi yang penuh dekan tukang tipu di pasar, teriakan “Hallo! Hallo!”, bau pesing, jalan bolong-bolong, losmen tempat pasangan manusia mengumbar nafsu birahi, penderita kusta dan tumor terbaring tak berdaya di pinggir jalan yang hiruk pikuk oleh pejalan lalu-lalang namun tak satu pun [...]

January 26, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 78: Dunia Memang Kecil

Benteng Amber. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya sebenarnya kurang begitu tertarik dengan kegiatan mengunjungi museum, benteng, monumen, atau sebangsanya. Bagi saya tempat-tempat itu adalah masa lalu yang sudah mati. Hanya gedung tua yang dikerebuti turis mancanegara yang berpose di depan kamera. Sebenarnya saya masih mencari-cari kembali semangat perjalanan ini yang sempat hilang setelah rentetan pengalaman kurang menyenangkan di New Delhi. Saya hanya ingin bersantai di Rajasthan, tetapi menghabiskan waktu tanpa kegiatan di dalam bilik losmen yang gelap dan kotor bakalan akan lebih membunuh semangat perjalanan yang sudah tinggal secuil. Untuk mengisi hari, Lam Li mengajak saya pergi ke Benteng Amber, sekitar sebelas kilometer jauhnya dari pusat kota Jaipur. Walaupun sebenarnya malas, saya akhirnya mengiyakan ajakannya. “Kalau aku suka sekali melihat benteng.,” kata Lam Li, “Justru benteng-benteng kuno India lah yang membuat aku tertarik datang ke sini.” Benteng-benteng kuno itu adalah masa lalu Hindustan yang penuh histori dan fantasi. Apa yang dikatakan Lam Li memang benar. Baru pertama kali ini saya melihat sebuah bangunan benteng yang penuh fantasi. Benteng Amber dibangun pada abad ke-16. Terletak di puncak sebuah bukit. Pengunjung harus berjalan mendaki setidaknya dua puluh menit untuk mencapainya. Di bawah bukit ada sebuah danau. Airnya memantulkan refleksi kemegahan benteng Amber. Dari bawah, [...]

September 10, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 72: Visa Profesional

Seorang pedagang dari Srinagar di Kashmir, salah satu pendukung saya untuk terus tetap berjuang demi visa Pakistan. (AGUSTINUS WIBOWO) Permusuhan antara India dan Pakistan menyebabkan New Delhi sebagai salah satu tempat paling susah untuk memperoleh visa Pakistan. Bagi sebagian besar orang India, pergi ke Pakistan hampir sama sekali mustahil. Demikian pula sebaliknya. Perseteruan kedua negara tetangga ini, yang dulu sama-sama di bawah pemerintahan British India, sudah diwarnai beberapa kali pertempuran dan perlombaan senjata nuklir. Walaupun demikian, kedutaan Pakistan selalu ramai dipenuhi orang-orang yang mencoba peruntungan untuk memperoleh izin masuk ke negeri itu. Banyak di antara para pemohon visa ini adalah Muslim dari Kashmir. Tanah Kashmir terbelah dua. Sebagian di bawah kontrol India, sebagian sisanya di bawah Pakistan. Para pemohon visa ini umumnya punya sanak saudara di Kashmir-nya Pakistan yang menjadi sponsor visa. Tanpa undangan dari Pakistan, sulit sekali bagi seorang warga negara India bisa mendapat izin ke Pakistan. Kalaupun mereka mendapat visa, bukan berarti mereka bisa berkeliaran bebas di Pakistan. Untuk warga India, Pakistan hanya memberikan city visa. Hanya kota-kota tertentu yang ditulis di atas visa yang boleh dikunjungi. Misalkan seorang India mendapat visa untuk Lahore, maka ia tak boleh ke Karachi. Hal yang sama juga diberlakukan oleh India kepada [...]

September 2, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 71: Surat-surat

Bagi warga negara India, visa Pakistan sangat tak mudah didapat. (AGUSTINUS WIBOWO) Gagal mendapatkan visa Pakistan hampir membuat saya gila. Saya hanya ingin cepat-cepat menuju Pakistan, tetapi sekarang malah terjebak dalam ramah-tamah penuh diplomasi dan birokrasi dalam gedung besar bernama Kedutaan Besar Republik Indonesia atau KBRI. Sudah berulang kali saya mondar-mandir gedung Kedutaan, seperti pelamar kerja yang gigih memperjuangkan nasib. Ke mana-mana saya selalu membawa map berisi surat-surat. Ada surat permohonan untuk Pak Dubes, ada fotokopi dokumen, surat-surat referensi, dan sebagainya. “Surat kamu sudah dibaca Pak Dubes,” kata ibu staf. Banyak staf kedutaan ini yang ramah dan memperhatikan saya, salah satunya ibu ini yang terus membantu memikirkan cara bagaimana menembus birokrasi ini. Tetapi kali ini, ia pun nyaris putus asa. “Percuma saja, dari Pak Dubes surat itu diturunkan lagi kepada Bapak Diplomat yang kemarin, cuma dibubuhi kalimat ‘Bagaimana Menurut Anda?’ Artinya, kamu masih berurusan dengan Bapak Diplomat lagi.” Saya sudah lelah. Pintu yang ini sudah tertutup rapat. Saya tak terbiasa dengan diplomasi, berkata-kata manis untuk memohon-mohon. Lebih baik cari cara lain. Tiba-tiba saya teringat tante saya yang menjadi guru les putra-putri diplomat di KBRI Beijing. Saya langsung meneleponnya, minta tolong untuk disambungkan dengan diplomat penting bagian konsuler di Beijing. Tak [...]

September 1, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 70: Perjuangan Demi Visa Pakistan

Kedutaan Pakistan yang ramai oleh para pemohon visa. (AGUSTINUS WIBOWO) Berita gempa bumi di Kashmir yang menewaskan hingga 40 ribu jiwa membuat hati saya tak tenang. Betapa ingin saya segera menuju ke Pakistan, mengabdikan diri di daerah gempa, melakukan perjalanan yang punya sedikit arti bagi kemanusiaan. Itu pulalah yang membuat saya bergegas melintas dari Kathmandu hingga ke New Delhi, sampai pada akhirnya saya berada di depan Kedutaan Pakistan di daerah Channakyapuri. Kedutaan ini, levelnya High Commission, bak pasar yang dikerubuti banyak pembeli tetapi tak ada penjual. Pelataran di luar kedutaan dipenuhi orang India yang memohon visa. Banyak di antara mereka yang tidur di tikar, menghabiskan malam di pinggir jalan, hanya untuk bisa menyampaikan formulir kepada manusia-manusia dingin di balik tembok. Petugas visa bersembunyi di balik loket-loket kecil. Loket inilah yang menjadi jendela mungil mereka berhubungan dengan para pemohon visa yang berbaris mengular. Cuma dua loket yang ada orangnya. Satu untuk perempuan, satu untuk laki-laki. Pakistan memang negara yang sangat terkenal membeda-bedakan jenis kelamin. Satu lagi loket khusus, untuk orang asing dan pebisnis. Tak sampai dua menit, saya sudah sampai di depan loket, tak perlu mengantre bersama puluhan pelamar visa lainnya. Tak banyak bicara, petugas memberikan saya formulir untuk diisi, plus [...]

August 29, 2014 // 2 Comments

Titik Nol (66): Lumbini

Pagoda Mongolia di Lumbini. (AGUSTINUS WIBOWO) Setelah mendapatkan visa India, saya langsung menggeret Nefransjah – seorang kawan backpacker Indonesia, untuk bersama-sama berangkat menuju negeri Hindustan. Perbatasan India dan Nepal yang paling sering dilintasi adalah Sunauli, terletak tiga kilometer di selatan kota Bhairawa yang panas dan kering. Debu langsung memenuhi kerongkongan, begitu kami meloncat dari bus. Lurus ke selatan adalah India. Belok ke kanan adalah Lumbini – tempat kelahiran Budha. Saya menganjurkan untuk singgah dulu ke Lumbini, bermalam di kota suci itu, dan melanjutkan ke India esok hari. Langit sudah mulai gelap, kendaraan pun tak banyak. Masuk ke negeri yang sama sekali asing di tengah kegelapan malam tentunya bukan hal yang menyenangkan. Jalan berdebu ke arah Lumbini sunyi senyap, tak ada kendaraan ke arah desa kecil itu. Hanya turis dan peziarah Budha yang ke sana. Sebagian besar kendaraan umum dan truk barang hanya menuju ke India, negara tetangga raksasa yang menawarkan gelimang kemakmuran. Bulan purnama bersinar, menerangi malam yang berdebu. Saya, Nef, dan seorang backpacker Israel terguncang-guncang di bak truk melintasi jalan batu menuju Lumbini. Lumbini sungguh berbeda dengan kota Nepal kebanyakan. Biksu Budha dari berbagai negara ada di sini. Selamat datang di India. Orang Nepal dan India bebas keluar masuk [...]

August 25, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 65: Visa India yang Gagal

Mimpi buruk di Muktinath jadi kenyataan. (AGUSTINUS WIBOWO) Kedutaan India di Kathmandu selalu ramai oleh antrian panjang para pelamar visa. Nepal mungkin tempat paling mudah untuk mengambil visa India. Tetapi tak semua orang membawa pulang kisah keberhasilan dari sini. Saya terjebak lagi dalam antrean panjang pagi hari di depan kedutaan India yang tersembunyi di sebuah gang kecil tak jauh dari Thamel di Kathmandu. Ini adalah kali ketiga saya datang. Tiga minggu yang lalu, saya sudah mengisi formulir visa dan menyerahkan ke loket. “Datang seminggu lagi!” kata petugas visa. Prosedurnya, formulir saya konon akan dikirim ke kedutaan India di Jakarta untuk klarifikasi. Kalau kedutaan di Jakarta menyetujui dan mengirimkan fksimil ke Kathmandu, maka visa akan diterbitkan. Untuk harga formulir dan kontak lewat kawat ini, pelamar visa masih harus merogoh kocek 1.000 Rupee. Apakah formulir ini benar-benar akan difaks ke Jakarta dengan uang yang sudah kita bayar, hanya Tuhan yang tahu. Keesokan harinya, tiba-tiba saya memutuskan berangkat trekking ke Annapurna. Perjalanan mengelilingi barisan gunung bersalju ini membutuhkan waktu setidaknya dua minggu. Lalu bagaimana dengan formulir visa India saya? Kembali lagi saya ke Kedutaan India, terjebak dalam antrean panjang turis mancanegara yang mengular sampai 30 meter.. Orang Nepal tidak mengantre visa sama sekali, [...]

August 22, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 63: Angkasa Raya

Manusia sungguh tak ada artinya di hadapan gunung-gunung perkasa ini. (AGUSTINUS WIBOWO) Babak belur saya sampai di Jomsom, diterpa angin ribut dan badai pasir. Kaki saya sudah tak kuat lagi rasanya. Rambut jadi gimbal seperti Bob Marley di Muktinath. Selapis debu bercampur keringat membungkus tubuh. Ini adalah akhir perjalanan saya di Annapurna. Memang saya belum berhasil mengitari seluruh Sirkuit Annapurna, tetapi saya sudah bulat memutuskan untuk kembali ke Kathmandu esok hari dengan pesawat gunung dari Jomsom menuju Pokhara. Kekhawatiran terutama saya adalah visa India. Tiga minggu lalu saya sudah menyodorkan pengajuan visa ke Kedutaan India, diminta untuk mengambil visa seminggu sesudahnya. Karena sedang berada di Annapurna, sekarang saya sudah terlambat satu minggu untuk pengambilan visa. Masalah visa ini sempat menghantui tidur saya di Muktinath. Saya merengek-rengek di depan petugas visa yang kejam, yang hanya bisa memberi saya visa satu bulan. Saya terjepit di Nepal, negeri mungil yang dipepet satu raksasa besar di utara dan satunya lagi di selatan. Mimpi buruk itu membuat saya memutuskan untuk kembali ke Kathmandu secepatnya. Saya adalah orang yang percaya firasat. Mimpi bisa jadi pertanda alam yang menuntun takdir. Di pegunungan Himalaya ini, banyak penerbangan swasta yang namanya membawa-bawa misteri atap dunia. Sebut saja Yeti Airlines, [...]

August 20, 2014 // 1 Comment

Byron Bay, July 31, 2014: A Nanny State?

“Australia is a country only for old people,” says Celine, a 22-year-old Indonesian student sitting next to me in a Qantas flight to Sydney. Celine lives in a suburb of Melbourne, and has been there for four years majoring food technology. “After 5 pm all shops are closed and the towns are deserted. There is absolutely no fun.” I am on my way to Gold Coast, to attend Byron Bay Writers Festival tomorrow; while Celine is heading to Melbourne and she will have some hours of transit in Sydney. Celine grumbles as she has no choice but to take this Qantas flight. She usually takes the Indonesian carrier, Garuda, which offers the only direct flight from Jakarta to Melbourne. But Garuda tickets are sold out, and only Qantas is available for her. But as I am a first timer to Qantas, I am very excited with this flight. In fact, I am first timer to any Western airlines. And I have to admit, I am shocked to see that all passengers were greeted by an overweight stewardess with thick lips wearing glossy lipsticks, whose age I bet around half a century. “Welcome, Sir,” she says with a friendly smile. In [...]

August 1, 2014 // 26 Comments

Titik Nol 32: Thamel

Thamel meriah menyambut Hari Turisme Dunia. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya datang ke Nepal dirundung kegalauan. Kamera saya, tumpuan harapan saya satu-satunya untuk mengabadikan perjalanan ini, rusak. Masih bisa memotret, tetapi tidak lagi bekerja sempurna. Tak biasanya, kali ini saya tak menumpang bus murah dari perbatasan Kodari menuju ibu kota, tetapi nekad membayar taksi yang harganya lebih mahal tiga kali lipat. Hati saya gundah gara-gara kamera rusak. Tujuan saya hanya ingin cepat-cepat sampai di Kathmandu. Pemandangan sejak dari Tibet berubah drastis. Klakson bus bertalu-talu, bagaikan nada yang mengisi aliran lalu lintas di jalanan sempit berkelok-kelok, di tepi bukit hijau dan hamparan sawah. Pemandangan di sini sungguh mirip di Jawa, sawah, bukit, rumput, pohon, semuanya hijau. Jalan yang sempit dan bolong-bolong, gubuk di pinggir jalan, dan semrawutnya lalu lintas, benar-benar mirip. Tetapi yang membedakan, di sini banyak pos pemeriksaan polisi. Keamanan Nepal terus memburuk sejak gerilyawan Maois semakin menunjukkan pengaruhnya. Setiap mobil yang melintas harus berhenti, para penumpangnya menunjukkan dokumen, dan berjalan kaki melintasi pos. Orang asing boleh tetap tinggal di mobil, karena yang diincar polisi adalah gerilyawan Maois yang menyelundup. Begitu sampai di Kathmandu, saya langsung menuju Thamel, pusat berkumpulnya backpacker, setara dengan Jalan Jaksa di Jakarta atau Khaosan di Bangkok. Setelah [...]

June 16, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 31: Perbatasan

Kota perbatasan Zhangmu, kemegahan di bukit terpencil. (AGUSTINUS WIBOWO) Di atas peta dunia, perbatasan hanyalah garis hitam yang memisahkan dua negara yang dibubuhi warna berbeda. Di alam nyata, perbatasan adalah garis tak kasat mata yang menentukan takdir manusia. Kami sampai di dekat Zhangmu cukup pagi. Untuk menghindari kecurigaan polisi, beberapa meter sebelum masuk kota, Ding meminta saya turun, berjalan kaki, melewati pos polisi, dan nanti berjumpa lagi di dalam kota. Sebabnya, truk sama sekali tak boleh membawa penumpang. Sopir yang tertangkap didenda mahal. Kota perbatasan Zhangmu adalah murni kota China. Semua bangunan di sini baru, kotak-kotak, berlantai tinggi. Toko berbaris, tiang listrik dan kabel semrawut di pinggir jalan. Banyak truk di sini. Ada yang punya orang Tibet, orang Sichuan, juga truk Nepal yang warna-warni berhias huruf-huruf Dewanagari. Jalannya hanya satu, semakin ke perbatasan Nepal semakin turun, berkelak-kelok mengikuti pinggang gunung. Penunjuk arah di sini tak perlu menyebut arah mata angin, cukup dengan ‘naik’ dan ‘turun’ saja. Sempit, hanya cukup untuk dua kendaraan saja di tikungan yang semuanya berbahaya. Sebagian besar kendaraan di sini adalah truk barang. Seperti kota perbatasan pada umumnya, Zhangmu hidup dari perdagangan internasional dengan negeri tetangga. Kebanyakan orang yang terlihat di sini adalah etnis Han. Dialek Sichuan [...]

June 12, 2014 // 6 Comments

1 2 3 5