Recommended

Tais 28 Agustus 2014: Rumah di Sini dan Rumah di Sana (2)

Didimus dan Mama Ruki (AGUSTINUS WIBOWO)

Didimus dan Mama Ruki (AGUSTINUS WIBOWO)

Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau; sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia…

Lirik lagu kredo nasionalisme Indonesia itu masih terpatri kuat pada memori Didimus Gepse, lelaki suku Marind asal Merauke yang menetap di Tais, Papua Nugini. Lelaki tua berotot gempal dengan jenggot putih serupa duri menyelimuti dagu ini selalu menyimpan sekilas senyum manis ketika mengenang kampung halaman yang sudah 22 tahun dia tinggalkan. Saya bertanya, apakah dia mengerti lagu yang dia nyanyikan, apakah dia tahu Sabang ada di mana. Didimus terkekeh. Dengan bahasa Indonesia yang berlogat Papua dia berkata, “Itu artinya Suharto datang dari Sabang, lewat pulau-pulau sampai ke Merauke.”

Didimus lahir tahun 1962, ketika Papua Indonesia masih berstatus jajahan Belanda. Dia hanya dengar dari ayahnya, tentara dari Jakarta terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, para tentara payung berjatuhan ke kampung-kampung, dan sejak itu Papua jadi milik Indonesia. Sejarah yang lebih kompleks dari itu, dia tak tahu. “Politik hanya untuk orang-orang di atas yang pintar,” katanya.

Hubungan Didimus dengan Sisi Wainetti, perempuan Papua Nugini tuan rumah saya di Tais, adalah paman dengan keponakan. Nenek Sisi berasal dari Kondo, Merauke, dan berpindah ke sisi Papua Nugini karena terpikat oleh lelaki sini yang pernah bertandang ke desanya. Didimus masih berkerabat dengan nenek Sisi itu.

Perempuan Papua harus bekerja sangat keras (AGUSTINUS WIBOWO)

Perempuan Papua harus bekerja sangat keras (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang ibu Papua dengan anaknya (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang ibu Papua dengan anaknya (AGUSTINUS WIBOWO)

Kisah hidup Didimus terbilang damai; tidak saya temukan sedikit pun gelora kemarahan dalam kisah-kisahnya. Dia bukan pengungsi yang melarikan diri dari Indonesia karena kekerasan, juga tidak paham perjuangan yang didengungkan OPM. Didimus muda bekerja pada seorang bos Tionghoa di Kali Maro, Merauke (yang dia panggil sebagai “Koko” sebagaimana dia memanggil saya), tugasnya menangkap ikan dan menguliti buaya. Sesekali dia juga harus menangkap buaya. Mengayuh perahu dayung di tengah malam, mencari mata buaya yang bersinar terang dalam kegelapan, dan hap, dia hujamkan tombaknya untuk mematikan buaya itu. Sebuah pekerjaan yang berbahaya tentunya. Tapi bagi Didimus, itu sudah biasa, sebagaimana ayahnya yang tidak mengenal uang juga hanya hidup dari berladang dan berburu hewan buas untuk dimakan.

Setelah Papua menjadi bagian Indonesia, mulailah Didimus mengerti apa itu uang. Tradisi tua berpadu dengan kapitalisme, alam dieksploitasi demi lembar-lembar uang yang tanpanya perut akan kelaparan. Logika itu yang Didimus kenal sejak masa muda, ketika dia harus berjuang di tengah perkotaan modern Merauke. Di kota, tanpa ladang tanpa hutan, maka kau takkan bisa makan kalau tak punya uang.

Pada tahun 1992, Didimus ikut seorang pedagang dari Makassar untuk memberi hasil bumi dari Papua Nugini. Ini juga adalah sebuah perjalanan berbahaya, penyelundupan ilegal, demi mengisi perut. Risiko mereka selain harus menghadapi lautan Selat Torres yang ganas ombaknya, juga para perompak Papua Nugini yang tidak kenal ampun, ditambah lagi polisi yang tidak segan menghajar para pelintas ilegal dari Indonesia yang dianggap mencuri hasil laut Papua Nugini. Tugas Didimus yang berkulit hitam adalah sebagai pelindung tuannya yang berkulit putih, juga untuk memasang jaring untuk menangkap ikan kakap putih, kakap cina, dan hiu. Zaman itu, betapa luar biasa ikan kakap barramundi yang ada di Papua Nugini. Seekor ikan bisa sampai dua meter panjangnya, lebih panjang daripada tinggi manusia, dan harus digotong minimal dua orang.

“Papua Nugini memang hasil melimpah, sedangkan di Merauke sudah habis,” kata Didimus, “Itu sebabnya para pedagang dari Indonesia datang ke sini, beli di sini sangat murah, lalu jual lagi di Merauke mahal.”

Sekali jalan dari Merauke ke Papua Nugini, Didimus bisa tinggal sampai berbulan-bulan. Di desa Tais ini, dia jatuh hati. Dia putuskan untuk menetap di sini, menikahi seorang perempuan Tais, seorang janda yang ditinggal mati suami dan itu membuatnya iba. Sejak itu, dia tak pernah lagi pulang ke Merauke. Padahal di Merauke sana, Didimus masih punya istri (yang dia sebut sebagai “Mama”), dengan empat orang anak. Dari anak-anaknya itu, hanya seorang anak lelaki yang menyusulnya ke Papua Nugini, bernama Ger, kini seorang pemuda kekar penuh otot dan berambut rasta.

Saya bertanya apakah istri dan anak-anaknya di Merauke tidak marah Didimus menikah lagi di sini. “Mama tidak mungkin marah,” katanya.

Sulit saya membayangkan bagaimana perasaan istri yang harus membesarkan empat orang anak sendirian, sementara suami pergi ke negeri tetangga dan tak pernah pulang lagi karena terpincut hatinya oleh perempuan lain yang lebih muda. Penantian seorang perempuan yang terkurung di rumah tak pernah berakhir, sementara si lelaki petualang ini hanya meyakini, “Mama tidak pernah marah.”

Ger, cukup menikmati hidup di Papua Nugini yang santai dibandingkan Merauke yang sibuk (AGUSTINUS WIBOWO)

Ger, cukup menikmati hidup di Papua Nugini yang santai dibandingkan Merauke yang sibuk (AGUSTINUS WIBOWO)

Kisah Ger mendapatkan istrinya juga sebuah petualangan (AGUSTINUS WIBOWO)

Kisah Ger mendapatkan istrinya juga sebuah petualangan (AGUSTINUS WIBOWO)

Mungkin ini karma. Petualangan cinta Didimus seperti terulang pada anaknya Ger, dalam versi berbeda. Di Tais, Ger jatuh cinta dengan seorang gadis yang masih sekolah. Orangtua gadis itu tidak setuju, sehingga Ger membawa lari anak perempuan itu sampai ke Bula—desa terakhir Papua Nugini sebelum perbatasan Indonesia. Didimus dan istrinya yang sudah renta berjalan kaki tertatih-tatih dari Tais, kaki sudah pegal ketika mereka sampai di desa Mari, mereka terus berjalan hingga melihat barisan kelapa dusun Jerai, mereka terus berjalan hingga matahari terbenam dan terpaksa tidur di hutan. Total mereka perlu tiga malam tidur di hutan baru mencapai Bula. Mama sampai menangis, kaki telanjangnya penuh luka. Sampai di Bula, Didimus menjerit pada Ger, “Kasih pulang itu anak orang!”

Didimus, Mama, dan gadis itu akhirnya bersama menumpang perahu balik ke Tais, sementara Ger tetap tinggal di Bula. Didimus menyerahkan gadis itu pada orangtuanya, tapi tengah malam yang sama, gadis itu kabur lagi dari rumah, lari ke Bula untuk mencari Ger kekasihnya. Betapa sial Didimus dan istrinya. Dia memaki, “Ini anak sungguh bikin susah setengah mati!” Mereka suami istri tua harus berjalan kaki lagi tiga malam terpincang-pincang mengejar gadis itu sampai ke Bula. Akhirnya orangtua gadis itu pasrah, kedua anak itu tampaknya tak mungkin dipisahkan. Demikianlah balada Ger mendapatkan istrinya.

Sama seperti ayahnya, ini kisah lelaki dari sisi barat perbatasan yang menikahi perempuan dari sisi timur perbatasan; apakah pernikahan ini akan langgeng masih sebuah tanda tanya besar. Kedua lelaki ini sama-sama merindukan Merauke, sedangkan istri-istri mereka yang orang Papua Nugini menyebut desa ini sebagai rumah yang sejati.

Saat kami berbagi kenangan, datanglah Mama Ruki Zakayo, seorang janda tua tanpa anak yang adalah teman dekat Didimus Tua di dusun ini.

Mama Ruki, karena berteman dengan Didimus, bisa mengerti bahasa Indonesia walaupun tidak fasih berbicara. Didimus, karena sudah lama tinggal di Tais, juga sudah bisa berbahasa Na yang dipakai di sini. Mama Ruki hanya bercakap dengan saya dalam bahasa Inggris. “Mama di Merauke sana hidupnya sangat bagus, dan kamu lihat di sini Papa hidup dalam keadaan yang tidak bagus,” kata Mama Ruki dengan sendu seperti meratapi nasib.

Pakaian Didimus adalah kaos bekas bolong-bolong dari Merauke, yang dari gambarnya yang sudah sangat pudar itu terlihat foto dua lelaki calon bupati dan wakil bupati Merauke. Ini baju yang biasa dibagikan gratis pada musim kampanye kepala daerah. Didimus mendapatkan baju ini pemberian dari pedagang Merauke, dan ini baju terbaik dari total dua baju yang dia punya. Kami berbagi cerita di balai-balai yang dilapisi tikar anyaman daun sagu di depan rumah Didimus, yang sepenuhnya terbuat dari batang kayu dan dindingnya dari kulit pohon. Mama Ruki duduk berongkang-ongkang kaki di rongga pintu rumah Didimus (semua rumah di Tais tidak memiliki daun pintu).

Keluarga Papua umumnya memiliki anak dalam jumlah besar (AGUSTINUS WIBOWO)

Keluarga Papua umumnya memiliki anak dalam jumlah besar (AGUSTINUS WIBOWO)

Sejumlah besar warga Tais adalah bayi dan anak-anak (AGUSTINUS WIBOWO)

Sejumlah besar warga Tais adalah bayi dan anak-anak (AGUSTINUS WIBOWO)

Papa Didi tak mau pulang ke Merauke?” saya bertanya.

“Saya akan pindah ke sana, tunggu saja,” katanya, “Merauke baik. Di sini hidup susah, rokok tak ada. Orang Merauke datang sini baru saya bisa hisap lampion, Surya. Tidak ada mereka ya kita cuma hisap tembakau daun. Di sini tak ada beras, tepung, kopi, gula.” Setengah mati hidup di Papua Nugini, Didimus mengeluhkan setiap hari dia mesti potong kayu kering, mesti potong bambu untuk pagar, mesti tanam ubi jalar, pisang, kentang, ketela. Seberat apa pun mereka bekerja, tidak ada duit, karena di sini tidak ada pasar dan tidak ada jalan. Mereka cuma bisa menunggu orang Merauke datang membeli hasil bumi mereka: kulit buaya, kepiting, tanduk rusa, cakar ayam.

Para orang Merauke itu sering bilang pada Didimus: “Istrimu sudah tanya kapan kau mau pulang.” Didimus hanya ingin membangun sebuah rumah dulu untuk istri mudanya yang di Tais ini. Lalu, setelah rumah ini selesai, dia dan Ger akan pergi bersama ke Merauke dan bersatu dengan keluarga di sana. Mungkin memang seperti itu nasib para perempuan yang dinikahi Didimus—pada satu titik tertentu mereka akan ditinggalkan suami yang berpindah dari sisi garis batas yang satu ke sisi garis batas yang lain.

Merauke. Didimus dengar dari para pedagang bahwa kota itu sudah jauh berubah. Itu membuatnya bernostalgia, dibumbui fantasi, membuat kampung halaman yang tak pernah dilihatnya lagi itu jauh lebih sempurna di benaknya daripada realita sesungguhnya. Toh dia juga tidak tahu realita seperti apa. Dengan kebanggaan membuncah, dia selalu bercerita pada penduduk Tais sini betapa makmurnya Indonesia tanah airnya: “Ey, Merauke. Merauke sekarang sudah berubah! Orang Jawa sudah masuk ke pedalaman, orang Papua juga kawin dengan orang Jawa. Jalan besar, empat truk bisa lewat. Dulu miskin, Indonesia masuk bawa perubahan, bantu orang-orang Marind.”

“Zaman Suharto dulu,” kenang Didimus, “Orang Marind tidak bisa kerja, bunuh-bunuhan. Dulu, polisi cuma orang Jawa, tapi sekarang, orang Papua juga jadi tentara atau polisi. Jawa, Papua, Cina, sekarang tidak pisah-pisah lagi, pergi patroli bersama-sama. Sekarang orang Marind punya pangkat tinggi-tinggi. Itu bagus.”

Mama Ruki hanya menatap kami dengan menggeleng-geleng kepala penuh kekaguman. “Merauke good. Merauke good.”

Mama Ruki menari hula-hula sehabis pulang dari kebun (AGUSTINUS WIBOWO)

Mama Ruki menari hula-hula sehabis pulang dari kebun (AGUSTINUS WIBOWO)

“Iya,” kata Papa Didimus, “Papua Nugini hidup tak bagus, karena pemerintah tak perhatikan rakyatnya. Presiden tidak perhatikan sini. Kalau di sana, presiden perhatikan kita, di sana kita pu kampung semua rumah seng bawahnya semen. Orang sini pu mau juga supaya presiden Indonesia datang sini, perhatikan sini. Oh, kamu kasih tahu, siapa sekarang presiden di sana?”

Saya bertanya apakah mereka tahu tentang gerakan Papua Merdeka.

Mama Ruki langsung menyahut, “Ini yang Papua Nugini lebih bagus daripada Indonesia! Di sini kita sangat punya merdeka. Di sini kita punya dua minggu penuh, kita bebas main apa saja. Di sana mereka cuma punya satu hari!”

Saya bingung dengan reaksi Mama Ruki. Lama baru saya menyadari, yang dimaksudnya dengan “independence” adalah perayaan Hari Kemerdekaan. Di Papua Nugini, mereka merayakannya pada 16 September, merupakan hari libur di seluruh negeri antara seminggu sampai dua minggu. Bagi mereka, itu adalah libur panjang untuk bermain sepuasnya.

Papa Didimus tidak terima pendapat Mama Ruki. “Tapi di sana biarpun cuma satu hari, ada tari-tarian kebudayaan. Di sini kita mau main kendang kundu, pastor datang larang kita orang. Tidak boleh lagi main itu dalam Kristen, dia bilang. Menyanyi pun tak boleh. Sekarang kita cuma main voli dua minggu. Buat apa?”

Mama Ruki terkikik. “Aku juga mau ke Merauke. Kalau kau ajak aku,” katanya sambil menundukkan kepala, menggesekkan kedua telapak kaki telanjangnya yang terayun-ayun dari lantai gubuk berpanggung.

Hari kemerdekaan Papua Nugini dirayakan dua minggu penuh (AGUSTINUS WIBOWO)

Hari kemerdekaan Papua Nugini dirayakan dua minggu penuh (AGUSTINUS WIBOWO)

Perayaan utama kemerdekaan adalah bermain voli (AGUSTINUS WIBOWO)

Perayaan utama kemerdekaan adalah bermain voli (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

10 Comments on Tais 28 Agustus 2014: Rumah di Sini dan Rumah di Sana (2)

  1. catatan lintas batas RI – PNG menggugah sekali mas agus. saya membaca dan sangat menikmati setiap detail-detailnya.

  2. hmm… Jd tidak sabar utk k merauke,,

  3. serasa sedang duduk di sana sambil mendengarkan celotehan mama ruki dan papa dimidus…sangar mas..saya merasakan ambience nya

  4. Serasa di Tais. Impian sesuatu yg sukar dijelaskan 🙂

  5. bukunya kapan terbit mas Agus?

  6. Sisi Wainetti dan Didimus Gepse, .. seru juga kisah pelintas batasnya.

  7. Seru ya..ternyata “garis batas” yang di Asia Tengah ternyata disini juga ada..

  8. Seperti biasa. Cerita-cerita Mas Agus ini selalu keren. Serasa mengajak bertualang.

  9. Huhuhu… Mama tidak pernah marah.

  10. kisa hidup didimus menyentuh banget, ga kebayang strong banget dia hebattt

Leave a comment

Your email address will not be published.


*