Recommended

Tais 30 Agustus 2014: Kulit Hitam dan Kulit Putih

“Apakah di negaramu, orang kulit putih juga ada yang jadi pengemis?” Singai Suku, lelaki kepala desa Tais yang berperut besar itu bertanya kepada saya.

“Kulit putih? Kulit putih yang mana?” tanya saya.

“Kulit putih yang seperti kamu.”

“Kulit putih dan kulit hitam semua sama, semua ada.”

“Apa?” Singai begitu terkejut sampai melongo. “Kenapa kulit putih harus mengemis? Kalau kulit hitam jadi pengemis itu wajar. Tapi kulit putih? Itu tidak masuk akal!”

Ini adalah salah satu dari begitu banyak percakapan yang cukup membikin stres selama saya berada di Papua Nugini. Mengapa mereka selalu menganggap diri mereka lebih rendah daripada kulit putih?

Beberapa hari yang lalu, saya pernah menunjukkan foto-foto yang saya ambil di Afghanistan kepada Sisi—perempuan muda tuan rumah saya di Tais—bersama warga desa lainnya. Sisi terpaku menatap gambar anak-anak jalanan korban perang di ibukota Kabul yang mengemis dengan berbaring telentang di atas aspal panas. Sisi menggeleng-geleng tak percaya. “Tapi mengapa? Mengapa mereka harus hidup seperti itu? Mereka kulit putih, bukan?”

Boneka kulit hitam dijual di sebuah toko di Port Moresby (AGUSTINUS WIBOWO)

Boneka kulit hitam dijual di sebuah toko di Port Moresby (AGUSTINUS WIBOWO)

Warga Tais hidup dari berburu (AGUSTINUS WIBOWO)

Warga Tais hidup dari berburu (AGUSTINUS WIBOWO)

Di Papua Nugini, walaupun saya bukan kulit putih, mereka selalu menyebut saya kulit putih. Menjadi “orang putih” di sini, saya menerima penghormatan yang berlebih-lebihan dari mereka, seolah saya adalah tamu agung yang harus dilayani setiap saat. Saya mendapat tempat terbaik di rumah paling baru di desa ini, dengan matras tebal yang dibungkus seprei (sementara mereka semua tidur di lantai atau tikar di atas balai-balai kayu yang keras). Mereka juga melengkapi matras saya dengan bantal dan guling—sesuatu yang cukup langka di sini dan mereka beli jauh-jauh dari Merauke, dipinjamkan khusus untuk saya karena mereka meyakini semua orang putih dari Indonesia harus tidur pakai guling.

Setiap dua hari sekali, Sisi datang membawa dua timba air dari empang yang beberapa ratus meter jauhnya dari desa, ke dalam rumah-satu-ruangan ini, eksklusif untuk saya mandi. Lalu dari tas saya dia mengambil sebungkus mi instan Indomie yang kami beli di Boigu, Australia, dan merebusnya hanya untuk saya seorang—lengkap dengan irisan cabai karena dia tahu orang putih dari Indonesia suka pedas. Sisi melihat saya tidak terbiasa menyantap makanan mereka yang selalu sama—ketela dan ubi jalar yang direbus air santan—sehingga dia berusaha untuk selalu menyajikan ikan kakap (barramundi) hasil tangkapan tetangga atau daging rusa hasil buruan para lelaki, lalu dia rebus atau bakar dengan ditaburi garam (barang langka di sini), ditambah irisan cabai Tais yang pedasnya membikin meringis—karena dia yakin, perut orang putih cuma bisa menerima makanan lezat. Sedangkan ayah Sisi yang sudah tua itu setiap pagi juga membawakan setandan pisang yang sudah masak dan berukuran besar-besar, tanpa peduli saya mengatakan saya tak sanggup menghabiskan semua pisang itu seorang diri. Dia juga memanjat pohon kelapa sehingga setiap hari saya meminum air kelapa yang paling segar. Sementara Sisi, setiap dua hari, akan menyucikan semua baju dan celana saya, tanpa saya memintanya.

Ini terlalu berlebihan. Bahkan setiap kali saya mau ke toilet untuk melakukan pekpek (hajat besar), Sisi akan memerintahkan seorang pemuda untuk menemani saya ke empang yang beberapa ratus meter di belakang desa—hanya untuk mengambilkan air dari empang dengan gayung, menuangkannya ke botol untuk saya pakai mencuci dubur, dan menunggui saya yang pekpek di bawah pohon besar sampai selesai. Ketika saya bersikukuh saya bisa pergi pekpek sendiri tanpa merepotkan siapa-siapa, Sisi tak mengizinkan. “Kamu orang putih, nanti kamu kena sihir orang dengki, siapa yang tanggung jawab?” katanya.

Saya bertanya pada Ronald, adik lelaki Sisi yang berbadan tegap penuh otot yang selalu menjadi pengawal saya pergi pekpek, apakah mereka juga harus pergi sejauh ini hanya untuk berhajat.

“Tidak,” kata Ronald, “Kami bukan kulit putih, kami tidak perlu air.”

“Lalu kalian pakai tisu?”

“Tidak. Itu juga hanya untuk orang putih. Kami pakai batang kayu, atau batok kelapa, atau kulit pohon, atau tidak pakai apa-apa sama sekali.” Melihat wajah saya menampakkan keterkejutan dan kengerian, Ronald hanya tertawa terbahak-bahak. “Itu biasa. Karena kami hanya orang hitam!”

Permainan tradisional sudah mati di Tais, mereka kini bermain olahraga orang kulit putih (AGUSTINUS WIBOWO)

Permainan tradisional sudah mati di Tais, mereka kini bermain olahraga orang kulit putih (AGUSTINUS WIBOWO)

Kulit putih dianggap menjalani kehidupan yang lebih baik dan lebih rumit, tetapi di sisi lain, kulit putih juga bisa dianggap menakutkan. Banyak bayi menangis hanya karena melihat kulit saya yang terang ini. Mereka bisa berlarian kencang dan bersembunyi dari saya; atau kalau jarak kami terlalu dekat mereka akan menangis sekuat-kuatnya seolah memohon ampun dari saya. Pada awalnya, saya sedih, saya tidak disukai para pikinini (bocah kecil) ini walaupun begitu ingin saya memeluk mereka, padahal ini bukan salah saya karena saya tidak pernah memilih harus dilahirkan dengan warna kulit apa. Tetapi kemudian—ya, saya harus mengakui bahwa saya berdosa—ada kesenangan tersendiri untuk membuat mereka menangis dan berlarian ketakutan, hanya dengan melangkah mendekati mereka.

Dalam kepercayaan leluhur mereka, orang yang sudah mati akan berubah kulitnya dari hitam menjadi putih. Karena itu, ada kepercayaan bahwa orang putih adalah setan, makhluk halus, atau jelmaan leluhur. Orang-orang Kiwai yang mendiami daerah sekitaran Daru, di abad ke-18 pertama kali melihat orang putih—para eksplorer Barat. Mereka langsung berlutut dan menyembah di bawah kaki para orang putih itu, karena mereka mengira orang putih sebagai leluhur mereka yang datang dari dunia lain. Mereka sangat menuruti apa pun yang dikatakan orang putih itu, termasuk untuk menghancurkan semua peralatan magis dalam tradisi leluhur mereka dan memeluk agama Kristen yang dibawa para orang putih itu—yang mereka yakini lebih cerdas dan beradab.

Dalam bahasa Na yang digunakan di Tais, mereka menyebut saya sebagai markai—“orang putih”. Saya semula mengira kata itu berasal dari “Mark”, nama lelaki kulit putih. Tetapi penduduk sini tak satu pun yang bisa menjelaskan kepada saya dari mana kata markai itu berasal. Kata ini berbeda dengan orang Indonesia menyebut orang kulit putih sebagai bule, karena bule berasal dari kata bulai yang arti semula adalah kelainan kulit albino atau kekurangan pigmen pada binatang maupun manusia—bukan makna yang menyenangkan, cenderung rasis, dan jangan heran banyak orang putih di Indonesia yang tersinggung bila disebut bule, sementara orang Indonesia sendiri mungkin menganggap sebutan bule justru adalah sebuah pujian karena mereka mengidamkan punya kulit putih. Sedangkan kata markai yang dipakai di daerah ini sebenarnya adalah penghormatan. Mereka menggunakan kata ini bukan hanya untuk menyebut orang berkulit terang, tetapi juga untuk siapa pun orang berpangkat dan terpelajar, seperti pejabat pemerintah, dokter, atau guru. Artinya, memiliki kulit putih maka otomatis kita menjadi orang yang harus dihormati.

Penduduk di sini, di satu sisi merendahkan diri di hadapan orang putih, di sisi lain merasa diri mereka lebih tinggi daripada orang hitam yang lain. Pernah saya bertanya, kenapa Tais, yang semula adalah desa pesisir dan pernah dilanda banjir karena pasang laut di tahun 1940an sehingga kemudian seluruh desa pindah ke tengah pedalaman hutan ini yang jauh dari badai dan ancaman banjir, tetapi mereka tetap tinggal di atas rumah berpanggung yang cukup tinggi seperti senantiasa masih mewaspadai banjir. Rumah berpanggung ini sebenarnya sangat berbahaya, karena banyak anak kecil atau orang tua yang terjatuh dari rumah yang tinggi lantainya minimal dua meter dari tanah, ketika mereka hendak berhajat di malam hari yang gelap gulita tanpa listrik, atau tergelincir dari tangga yang berupa barisan batang pohon yang tidak rata dan tidak stabil. Ada seorang gadis muda 12 tahun di salah satu rumah di kampung ini, yang karena jatuh dari tangga, kini sudah dua bulan lumpuh total dengan kaki bersilangan dan tidak mampu menutup mulut sendiri yang seperti meneriakkan kengerian kesakitan.

Rumah panggung ini adalah pengaruh dari Australia (AGUSTINUS WIBOWO)

Rumah panggung ini adalah pengaruh dari Australia (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang gadis yang mengalami kelumpuhan setelah terjatuh dari rumah panggung (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang gadis yang mengalami kelumpuhan setelah terjatuh dari rumah panggung (AGUSTINUS WIBOWO)

John Abia, paman Sisi, menjelaskan pada saya bahwa rumah berpanggung dengan tiang-tiang kayu ini pun bukan kebudayaan asli mereka, melainkan budaya yang diperkenalkan dari luar. Dulu, nenek moyang mereka tinggal di rumah yang tepat di atas tanah. Rumah berpanggung ini adalah gaya rumah orang Australia, kata John, dan sekarang di seluruh Papua Nugini orang tinggal di rumah panggung. Dia merasa beruntung dan bangga, mereka tinggal paling dekat dengan Australia, sehingga mereka termasuk yang paling pertama di seluruh Papua Nugini yang “mengenal peradaban” dengan tinggal di rumah panggung. Mereka meniru gaya rumah orang Australia hanya dari panggung dan tiang-tiangnya, tetapi mereka tidak akan pernah terlihat seperti orang Australia—rumah mereka terbuat dari kayu, anyaman daun kelapa, kulit pohon, lebih mirip gubuk temporer yang harus dibongkar setiap tiga tahun.

Menjadi bagian dari Territory of Papua—jajahan Australia—juga membuat Sisi merasa mereka lebih terhormat daripada orang-orang di bagian utara negeri, yang merupakan wilayah New Guinea (Nugini) yang dijajah Jerman. Penjajahan Australia membuat mereka di pesisir selatan ini bisa berbahasa Inggris dengan sangat baik dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan orang-orang Nugini di utara sana berbicara satu sama lain dengan bahasa “broken”, alias “Inggris Rusak”, alias Pidgin—yaitu bahasa Inggris pasar dengan kosakata yang sangat terbatas dan tata bahasa yang hancur sehingga oleh orang kulit putih sering menjadi bahan olok-olok dan disebut “baby talk” atau “monkey talk”. Bagi saya, ini memang mencengangkan, karena saya tidak menduga bisa berkomunikasi selancar ini dengan penduduk di desa pedalaman yang miskin dan hampir semua warganya tidak tamat sekolah menengah. Bahasa Inggris mereka memang terdengar sangat, sangat terpelajar, buat standar kami orang Indonesia yang masih menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa asing.

Mereka sering memuji saya: “Kamu adalah orang Indonesia pertama yang bisa berbahasa Inggris sama bagus seperti kami.” Atau lebih sering mereka berkomentar dengan nada mengasihani, “Sayang orang-orang Indonesia sama sekali tidak bisa bahasa Inggris. Apakah kualitas pendidikan di sana terlalu rendah?” Bagi mereka, menguasai bahasa Inggris yang adalah bahasa dunia adalah jaminan bahwa negeri mereka akan makmur karena mengalir bersama rel internasional. Mungkin mereka lupa pada Jepang, China, Korea, yang bisa menjadi negara kaya tanpa harus mengganti bahasa sendiri dengan bahasa orang kulit putih.

Dan yang paling ironis bagi saya, justru orang-orang Australialah yang giat mempelajari bahasa-bahasa asli di Papua Nugini—negara dengan jumlah bahasa terbanyak di dunia, lebih dari 820 bahasa. Ketika penduduk lokal lebih asyik berbahasa Inggris yang semakin membuat mereka merasa lebih terhormat dan percaya diri, para linguis dari Universitas Nasional Australia justru diterjunkan ke desa-desa pedalaman di seluruh negeri ini untuk memetakan dan mendokumentasikan bahasa lokal yang semakin ditinggalkan oleh penduduk aslinya sendiri.

Sejak kecil mereka sudah belajar bahasa Inggris (AGUSTINUS WIBOWO)

Sejak kecil mereka sudah belajar bahasa Inggris (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya tidak tahu pasti, siapa linguis yang pertama memberi nama pada bahasa-bahasa di daerah Morehead sini. Semua bahasa diberi nama berdasarkan bagaimana mereka menyebut kata “apa?”. Jadi, di Tais “apa” adalah “na”, sehingga nama bahasa mereka adalah Bahasa Na. Penghuni desa Arramba di utara menyebut “apa” sebagai “nambu”, sehingga nama bahasa mereka adalah Bahasa Nambu. Sedangkan di Ber dan Buzi, “apa” adalah “agop”, sehingga nama bahasa mereka adalah Bahasa Agop. Ini seperti menyebut bahasa Inggris sebagai “Bahasa What?”, bahasa Melayu sebagai “Bahasa Apa?”, bahasa Jawa sebagai “Bahasa Opo?”, dan bahasa Sunda sebagai “Bahasa Naon?.”

Tahun lalu ada dua linguis Australia yang tinggal di Tais selama dua bulan. Anehnya, kedua linguis ini sepanjang hari hanya tinggal di rumah yang saya tinggali sekarang ini, tanpa banyak berinteraksi dengan penduduk desa. Pagi hari, mereka turun dari rumah panggung, menyapa dan mengobrol ala kadarnya dengan para penduduk, lalu kembali berkutat dengan buku-buku dan komputer mereka sendiri di dalam rumah. Mereka tidak makan makanan warga lokal; mereka masak sendiri. Sisi juga melayani mereka mandi dengan menyediakan air beberapa timba; masalahnya mereka kudu mandi setiap hari dua kali, dan melayani mereka itu sangat melelahkannya. Setidaknya mereka tidak membuat banyak bayi di sini menangis; karena mereka selalu mengurung diri sehingga para bocah tidak menyadari kehadiran para orang putih di kampung.

“Saya sungguh senang, karena kamu orang putih yang berbeda dengan orang putih lain,” kata ayah Sisi pada saya, “Kamu mau bicara dengan kami, kamu bercanda dengan kami, makan makanan kami, menari bersama kami, tidur satu ruangan dengan kami yang kulit hitam. Saya sungguh terharu.”

Justru saya yang terharu oleh kemurahan hati mereka yang terlalu berlebihan ini, sekaligus frustrasi kenapa mereka harus memandang semua ini tetap dalam dikotomi kulit hitam dan kulit putih. Ketika penjajah kulit putih melakukan rasisme atas diri mereka yang berkulit hitam, mereka pun sebenarnya melakukan rasisme terhadap diri mereka sendiri.

Tidak semua orang kulit putih mau makan bersama mereka (AGUSTINUS WIBOWO)

Tidak semua orang kulit putih mau makan bersama mereka (AGUSTINUS WIBOWO)

Sisi lebih hanya memilih orang kulit putih, atau orang kulit hitam berpangkat tinggi (AGUSTINUS WIBOWO)

Sisi lebih hanya memilih orang kulit putih, atau orang kulit hitam berpangkat tinggi (AGUSTINUS WIBOWO)

Sisi mengatakan, satu dari dua linguis Australia yang pernah tinggal di Tais itu adalah seorang lelaki muda campuran Aborigin dengan orang putih, cukup tampan dan sangat perhatian kepadanya. Sepulangnya dia ke Australia, dia masih mengirimkan dua panel surya mahal kepada keluarga Sisi. Dia sebenarnya sangat mencintai Sisi. Saya bertanya, kenapa Sisi tidak jadian saja dengan linguis itu. Sisi berkata, “Ah, dia hanya orang hitam seperti kami. Aku suka orang putih.” Sisi hanya mau dengan orang putih, atau orang hitam yang berpangkat tinggi. Kekasihnya sekarang, yang disebutnya sebagai “presiden”, adalah kepala distrik Morehad, seorang lelaki beristri.

Mereka inferior terhadap orang putih, tetapi merasa superior terhadap sesama orang hitam. Terlepas dari kehidupan mereka yang sangat miskin, tanpa penghasilan, tanpa pakaian yang cukup dan tanpa alas kaki, dengan bocah-bocah berperut buncit kekurangan gizi, mereka sama sekali tidak iri terhadap Boigu, wilayah Australia yang hanya tujuh kilometer jauhnya dari pesisir Papua Nugini. Penduduk asli Boigu adalah warga Selat Torres yang berkerabat dekat dengan penduduk asli Papua, tetapi sangat makmur karena mereka menjadi warga negara Australia.

“Orang Boigu itu seperti babi yang dipiara Australia,” kata Singai Suku si kepala desa Tais, yang ke mana-mana selalu memakai sandal jepit di kaki kiri, karena sandal jepit sebelah kanannya hilang dan dia tak punya lagi alas kaki yang lain. “Mereka sama seperti kami orang hitam, tapi mereka luar biasa malas. Mereka tidak bekerja dan terus mendapat uang dari orang putih Australia. Mereka hanya makan, makan, sehingga badan mereka terus menggelembung dan jadi besar. Tanpa Australia, mereka bisa apa? Tinggal tunggu saja babi-babi gemuk itu disembelih dan disantap ramai-ramai.”

Tetapi mereka tetap memuja orang putih yang membuat Boigu jadi daerah maju. Istri Singai, seorang guru, berandai-andai, betapa baiknya jika mereka tidak harus merdeka menjadi Papua Nugini. “Kami ini dulu adalah negara bagian ketujuh Australia. Tetapi sekarang, kami merdeka dan jadi satu negara dengan orang-orang Nugini itu, malah jadi kacau balau. Australia juga tidak lagi bantu kami. Australia seharusnya mengambil kembali kami lagi sebagai bagian mereka, seperti dulu. Cukup ambil kami saja Papua, tidak usah ambil Nugini juga.”

Singai Suku, kepala desa Tais, bersama istrinya. (AGUSTINUS WIBOWO)

Singai Suku, kepala desa Tais, bersama istrinya. (AGUSTINUS WIBOWO)

Dari manakah akar inferioritas ini? Saya seperti menemukan Indonesia saya dari kehidupan mereka. Suku-suku Indonesia juga memiliki superioritasnya sendiri-sendiri, merasa lebih tinggi daripada suku lain dalam negara yang sama. Tetapi kalau berhubungan dengan orang asing, seketika seperti bertekuk lutut, menghamba, mengidolakan, mengimitasi hal yang paling remeh dari orang asing, merasa lebih intelek jika menggunakan bahasa orang asing (sementara sudah bangga luar biasa kalau ada orang asing yang bisa bahasa Indonesia), tidak percaya bahwa dirinya mampu menghasilkan lebih baik daripada orang asing. Apakah ini mental terjajah yang sudah membelenggu pola pikir, dan butuh begitu banyak generasi untuk menghapusnya? Bahkan pendidikan resmi di sekolah pun mengajarkan bahwa Indonesia kami telah dijajah Belanda selama 350 tahun,. Padahal, kalau kita runut dari kemerdekaan 1945, maka 350 tahun sebelumnya itu adalah ketika orang Belanda Cornelis de Houtman pertama kali mendarat di Jawa pada tahun 1596. Bagaimana mungkin, seorang putih bisa langsung menjajah negara begini luas hanya dengan menginjakkan kakinya? Dan mitos itu terlalu lekat terpatri, tanpa sadar justru menanamkan ide bahwa bangsa ini terlalu bodoh dan tidak berdaya di hadapan orang putih sampai bisa dijajah selama itu. Ini kemudian menjadi mentalitas pesimistis terhadap kemampuan bangsa sendiri, tanpa disadari menjadi jiwa yang menghambat kemajuan negara ini.

Australia sebagai penolong? Emosi saya tak tertahan lagi. Di hadapan Madam, bibir saya bergetar hebat ketika berkata, “Justru Papua Nugini yang lebih banyak menolong Australia daripada Australia menolong Papua Nugini! Fasilitas yang diberikan Boigu atau dana bantuan AusAid pada kalian, tidak ada apa-apanya dibandingkan kekayaan alam kalian yang diangkut ke Australia. Dan kalian masih menganggap orang putih sebagai penolong kalian? Tidak ada yang bisa menolong kalian selain diri kalian sendiri!”

Mungkin kata-kata saya terlalu keras. Mungkin memang ini luapan dari frustrasi dan kegelisahan yang tak terbendung. Madam menganga, lalu tak henti mengusap air mata yang meleleh di pipinya. “Kenapa tidak seorang pun memberi tahu kami hal ini? Kenapa orang-orang Australia itu meneliti kami tapi tidak memberi tahu kami? Kenapa? Baru kamu yang pertama. Ini seperti sesuatu yang ditimbun dan ditutup-tutupi, dan kamu menyingkirkan penutup itu untuk kami.”

Mengapa harus ada beda kulit putih dan kulit hitam? (AGUSTINUS WIBOWO)

Mengapa harus ada beda kulit putih dan kulit hitam? (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Tais 30 Agustus 2014: Kulit Hitam dan Kulit Putih

  1. Bagus sekali tulisan dan fotonya.

1 2

Leave a comment

Your email address will not be published.


*