Recommended

Titik Nol 116: Karakoram Highway

Kakek tua Haider (AGUSTINUS WIBOWO)

Kakek tua Haider (AGUSTINUS WIBOWO)

Di bawah gunung bertudung salju setinggi 7.790 meter, Desa Karimabad diam dalam keheningan. Di sini waktu mengalir lambat-lambat, ditelan keagungan puncak-puncak raksasa. Di bawah sana terhampar Lembah Hunza—terletak di utara Pakistan, diapit tiga gunung besar: Himalaya, Karakoram, dan Pamir. Jalan raya Karakoram Highway berkelok di pinggang gunung, menghubungkan Islamabad—ibu kota Pakistan—dengan kota kuno Kashgar di negeri Tiongkok.

“Perjalanan yang benar-benar menyakitkan,” keluh Al, “Saya memang sudah tua. Perjalanan seperti ini sudah bukan untuk umurku lagi.”

Saya dan Al baru saja menempuh perjalanan panjang sampai ke dusun Karimabad di jantung Lembah Hunza. Tujuh jam perjalanan Lahore–Rawalpindi plus 22 jam dengan bus menyusuri Karakoram Highway, dan masih ditambah lagi dua jam perjalanan sampai ke Karimabad. Jalannya berkelak-kelok, naik turun, bolong-bolong. Namanya juga jalan gunung.

Gunung-gunung di bagian utara Pakistan mengisolasi wilayah pedesaan di seluruh provinsi Northern Areas (NA) di dataran tinggi ini. Ajaib, di liukan tajam punggung bukit, di tepi jurang dengan air sungai yang menggelegak, bisa dibangun jalan raya beraspal yang menghubungkan Pakistan-China, menghidupkan kembali perdagangan Jalur Sutra, dan menyembulkan dusun-dusun Hunza ke atas peta.

Namun, bagi Al, itu adalah siksaan. Tak pernah ia semenderita ini.

“Masa tak ada pesawat terbang ke Gilgit?” ia mengeluh lagi. “Ada, tetapi sebaiknya kita berangkat naik bus, terus waktu pulang kamu bisa naik pesawat. Sekali-sekali mencicipi kehidupan rakyat jelata di Pakistan,” hibur saya.

Ia kapok.

“Tetapi ini pengalaman pertama dan terakhir saya. Tidak akan saya ulangi lagi perjalanan seperti ini.”

Langit sudah mulai gelap ketika kami sampai di Karimabad. Dua tahun yang lalu, saya pernah ke sini, menginap di pemondokan sederhana milik Haider-ji, Kakek Haider. Namun, saya sudah lupa-lupa ingat tempatnya.

Saya bertanya-tanya ke beberapa lelaki yang duduk di pinggir jalan, berselempang selimut tebal. Tiba-tiba datang seorang kakek tua, berjenggot putih, bertopi pakkol yang beratap datar dan berwarna coklat.

Welcome back,” serunya, “Welcome back!”

Senyumnya ramah sekali, seperti menyambut seorang kawan lama. Rupanya Kakek Haider masih ingat saya, yang hanya mampir tiga malam di penginapan sederhananya. Saya terharu. Kakek tua di hadapan saya ini masih begitu gagah. Semangatnya masih menggebu.

“Aku senang sekali kamu datang, senang sekali,” Haider-ji tersenyum riang.

Persawahan di lereng bukit Karimabad dibungkus salju (AGUSTINUS WIBOWO)

Persawahan di lereng bukit Karimabad dibungkus salju (AGUSTINUS WIBOWO)

Ia menggiring saya dan Al masuk ke ruang makan losmennya. Gelap gulita, hanya lampu petromaks yang menyala, itu pun khusus karena ada tamu. Selain kami berdua, tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Memang siapa yang mau datang ke Hunza di musim dingin begini? Membayangkannya sudah ngeri. Tubuh saya sudah menggigil sejak di dalam kendaraan dari kemarin malam. Turun di sini, di hadapan Gunung Rakaposhi, suhu udara lebih rendah lagi. Malam hari, teh pun bisa beku.

Tetapi Kakek Haider tidak mengeluh. Musim dingin usahanya memang sepi, namun ia selalu bersyukur menerima siapa pun yang datang. Ia segera menyuruh Hussain, sang juru masak, menyiapkan sup tomat untuk kami berdua.

Al pun tersenyum gembira di hadapan Kakek Haider. Seperti biasa, ia memperkenalkan dirinya terlebih dulu sebagai ‘Pakistani’ dan ‘Muslim’, sekarang dengan bangga pula ia menyebut dirinya ‘Ismaili’.. Di tanah Hunza ini, itulah ketiga identitas yang menjadi kebanggaan dirinya. Ia pun berulang kali memuji masakan Hussain, walaupun saya tak tahu pasti apakah pujian itu sekadar pemanis bibir.

Di bawah remang-remang petromaks, Kakek Haider menyodorkan tiga buah buku tebal kepada saya. Inilah barang berharganya—buku tamu. Semua tamu yang pernah tinggal di sini menulis pesan, kesan, tips perjalanan. Buku ini menjadi semacam jejak semua orang yang pernah singgah di pemondokan kecil Kakek Haider.

Dua tahun lalu, ketika saya datang ke sini di musim panas, kegemaran saya adalah membaca tulisan demi tulisan para petualang dunia yang sampai di sini, di halaman luar sambil bermandi matahari dan menikmati kegagahan gunung-gunung raksasa. Buku-buku ini membuat saya semakin bermimpi tentang petualangan, menyerapi sari pati perjalanan ratusan pendahulu saya. Ada kisah petualang Afghanistan yang mengundang decak kagum, ada kisah keberanian seorang pendaki K-2, atau pengalaman lucu menyeberangi jembatan gantung di dekat gletser.

Saya masih menemukan nama saya di daftar tamu, yang saya torehkan dua tahun silam. Ada kolom nama, alamat, nama ayah, tempat tanggal lahir, dan pekerjaan. Biasanya para backpacker mengisi kolom-kolom ini dengan tidak serius. Ada yang mengisi di kolom pekerjaan sebagai presiden, mata-mata, bahkan ese-gakusei (bahasa Jepang: pelajar gadungan). Memang kebanyakan petualang yang berkeliling dunia dalam hitungan bulanan hingga tahunan adalah mereka yang berani mengambil keputusan meninggalkan pekerjaan dan hidup terkatung-katung. Mau diisi apa kolom pekerjaan? Pengangguran? Ah, tidak elegan. Lebih baik mengarang pekerjaan lucu-lucu yang membuat ketawa backpacker yang datang berikutnya.

Buku tebal ini juga pengikat takdir saya dengan Lam Li. Sebulan setelah saya singgah di pemondokan Kakek Haider dua tahun silam, seorang backpacker perempuan Malaysia bernama Lam Yuet singgah di tempat ini, dalam misinya keliling dunia. Lam Yuet tak lain dan tak bukan adalah kakak kandung Lam Li. Kami pernah bertemu tak sengaja di perbatasan Mongolia, tiga tahun silam. Lam Yuet menemukan nama saya tertoreh dalam buku kakek Haider, mengagumi kenyataan bahwa ke mana pun melangkah, selalu ada benang yang menghubungkan kami berdua. Di dunia pengembaraan, ada garis-garis perjodohan yang ditalikan secara misterius oleh Sang Pengatur Alam.

Puncak Rakaposhi (AGUSTINUS WIBOWO)

Puncak Rakaposhi (AGUSTINUS WIBOWO)

Kakek Haider menyiapkan sebuah kamar istimewa buat saya dan Al. Pemondokannya ada dua lantai, kami mendapat lantai bawah. Lantai atas terlalu dingin dan tak ada kamar mandi. Sebenarnya dalam keadaan suhu seperti ini, siapa yang ingin mandi?

Kami berdua menggigil kedinginan di dalam kamar, walaupun Kakek Haider sudah membawakan pemanas ruangan sesuai pesanan Al. Semula ia agak segan, tetapi Al meyakinkan bahwa ia akan membayar semua ongkos minyaknya.

Di bawah dua lapis selimut pun, saya meringkuk kedinginan. Al lagi-lagi mengeluh.

“Tidak adakah hotel berbintang di sini? Tadi ada hotel di seberang, saya lihat ada hotel yang mirip istana. Namanya Hunza Darbar. Besok saya pindah ke sana,” mulutnya tak berhenti berujar, “this is crazy, man. Tempat ini dingin sekali. Dan kita tinggal di kamar seperti ini.”

Kamar yang kami tinggali lebih mirip kamar kos-kosan, hanya ada deretan tiga ranjang dan kamar mandi. Tarifnya 70 rupee per orang per malam, hanya satu dollar lebih sedikit. Tentu saja kamar seperti ini sudah tidak sesuai lagi dengan umur dan gaya hidupnya yang berasal dari vila mewah di London.

“Pokoknya besok saya pindah. Dan moga-moga besok bisa dapat tiket pesawat untuk terbang ke Islamabad,” ujarnya sebelum membenamkan tubuh tambunnya di bawah tumpukan dua selimut tebal.*

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 13 Januari 2009

5 Comments on Titik Nol 116: Karakoram Highway

  1. Jadi kangen Three Cups of Tea T_T

Leave a comment

Your email address will not be published.


*