Recommended

Titik Nol 122: Senandung Dalam Gelap

Orang Pakistan tidak pernah bermain-main ketika menyebut kata ‘mehman’. Arti harafiahnya tamu. Kata itu menyiratkan penghormatan yang luar biasa kepada musafir, kemurahan hati sebagai bagian dari ibadah, dan ketulusan untuk menolong sesama.

Pemuda ini bernama Majid. Umurnya baru 22 tahun, tetapi bahasa Inggrisnya sudah cukup bagus. Tubuhnya besar, dan kegemarannya adalah tertawa di akhir setiap kalimat yang diucapkannya, dengan tubuh sampai berguncang-guncang saking hebatnya. Dengan penuh sabar ia menjelaskan setiap detail rumah itu.

“Ini adalah rumah Tajik,” katanya bak seorang guide, “ di ruangan ini ada lima pilar, masing-masing melambangkan Muhammad, Ali, Hassan, Hussain, dan Fatima.

Di pintu masuk itu ada dua pilar yang berdekatan, melambangkan Hassan dan Hussain – kedua putra Ali.

“Kamu tahu, di ruangan ini kami menari kalau ada acara pernikahan,” terang Majid. Tubuhnya terguncang-guncang, tertawa terpingkal-pingkal, seringkali untuk hal yang saya juga tidak mengerti di mana lucunya.

Ruangan itu berbentuk segi empat. Gelap pekat. Cahaya hanya muncul dari api yang membara di tengah ruangan. Di ketiga sisi ruangan ada panggung dari tanah liat untuk tempat duduk para tamu, atau tempat tidur keluarga di malam hari. Di sisi keempat ada panggung tanah liat juga. Tempatnya lebih tinggi, tengahnya berongga. Inilah tempat kayu kering. Api dinyalakan. Poci teh dipanaskan.

Bocah-bocah Chapursan (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah-bocah Chapursan (AGUSTINUS WIBOWO)

Keluarga besar dari Chapursan dalam rumah batu mereka (AGUSTINUS WIBOWO)

Keluarga besar dari Chapursan dalam rumah batu mereka (AGUSTINUS WIBOWO)

Di atas api dipasang cerobong. Asap dapur menguar ke luar rumah kubus. Itulah warna kedua setelah kelabunya Chapursan yang saya lihat: asap hitam.

“Cerobong ini baru diperkenalkan 30 tahun lalu. Sebelumnya, tanpa cerobong asap, banyak kecelakaan. Rumah kebakaran. Bayi-bayi jadi buta,” Majid menjelaskan.

“Oh, bahaya sekali ya,” saya melongo, membayangkan bayi-bayi yang harus tidur dalam ruangan berasap karbon.

“Iya. Tentu saja. Bahaya sekali,” Majid tertawa. Pundaknya terguncang-guncang lagi. Sungguh selera humornya tak biasa.

Aziz dan Noorkhan undur diri. Mereka punya rumah masing-masing di desa ini. Malam ini saya menjadi tamu Majid. Ibu Majid adalah adik kandung Aziz. Sekarang perempuan bertopi bundar merah menyala di bawah kerudung hijau sibuk menyiapkan makan malam. Menunya adalah irisan kentang dan daging kambing. Baunya harum sekali. Mereka memasak di ruangan yang sama dengan tempat tidur. Tetapi justru di bagian ruangan inilah musim dingin terasa begitu hangat.

Tangan ibu Majid sangat cekatan melindas tepung, kemudian mencelupkan ke dalam minyak di wajan, digoreng dengan api kecil. Ini adalah chelpek, roti goreng orang Tajik. Dimakan bersama teh susu dudhpati yang asin. Sebelum mulai bersantap, dua adik Majid melayani orang-orang dewasa di rumah itu.

Yang satu membawa pot berisi air hangat, satunya baskom dan serbet. Air mengucur dari leher pot, membasahi kedua tangan saya yang membasuh. Air langsung mengalir ke baskom yang ditadahkan ke bawah. Kemudian giliran ayah Majid, disusul Majid dan kawannya. Di sini urutan juga penting. Mehman selalu yang pertama.

Ayah Majid menyalakan lampu petromaks, sedikit menambah seberkas cahaya dalam kepekatan malam. Api unggun di tengah kamar terus berkobar.

Dalam remang-remang cahaya di rumah kuno ini, denting dawai rebab kawan Majid memecah kesunyian. Suaranya melenting, mengalun lembut, membawa nuansa pegunungan dan padang rumput ke dalam kamar gelap ini. Majid memainkan seruling. Semua diam, takzim mendengarkan sang pelantun yang wajahnya berkedip-kedip dalam keremangan api di tungku.

Permainan rebab dalam remang-remang api tungku (AGUSTINUS WIBOWO)

Permainan rebab dalam remang-remang api tungku (AGUSTINUS WIBOWO)

“Lailai lailailailai lailai lailailailaiiiii….,” ia mengawali lagunya, dilanjutkan sebaris syair dalam bahasa Wakhi Tajik, bahasa yang dipakai di lembah Chapursan dan berkerabat dengan bahasa Persia di Iran.

Gunung-gunung tinggi yang menjulang mengurung manusia-manusia dalam keterisolasian menjadikan lembah Hunza dan Gojal kaya keragaman kultural. Dari orang gunung bawah yang bicara bahasa Shinia, sampai orang Hunza yang berbahasa Burusashki yang menghentak, hingga orang Tajik di tanah tinggi Chapursan yang berujar bahasa Persian dan menghirup teh susu bercampur garam.

Saya tak tidur di rumah ini. Majid mengajak saya ke rumah pamannya, karena di situlah mereka punya mehman khana – rumah khusus bagi tamu. Jaraknya sekitar seratus meter, tetapi susah sekali. Saya tak pernah melihat kegelapan yang demikian total. Sejauh mata memandang, hanya hitam. Bintang tak banyak, tertutup mendung. Menyalakan lampu senter pun sampai tak berguna, ditelan gulita. Angin menderu-deru, lolongan anjing (atau mungkin juga serigala?) bersahut-sahutan, mewarnai malam.

Berkali-kali saya tersandung semak belukar. Sungguh tak mudah mencapai rumah ini, yang masih dalam radius kategori ‘tetangga sebelah’.

Ruangan rumah mehman khana ini berukuran lebih luas daripada rumah yang tadi. Lantainya dari kayu. Nampaknya ini adalah rumah keluarga Majid di musim panas, luas dan berangin. Di musim dingin mereka pindah ke rumah kecil tadi, hangat di sekeliling tungku.

Yang tidur di sini hanya saya, Majid, dan seorang pamannya yang bertama Amir. Begitu saya berjumpa dengannya, saya langsung akrab dengan pria berkumis yang suka becanda ini. Ia sedang mencukur jenggotnya, katanya besok pagi ia akan berburu orang asing dengan bedil. Kemudian ia bercerita tentang seorang gadis Karimabad yang dioperasi menjadi laki-laki. Saya berulang kali tergelak mendengar kisah-kisah anehnya yang selalu diucapkan dengan mimik wajah yang meragukan.

Di dalam rumah orang Tajik tidak ada toilet. Letaknya selalu di luar, hanya lubang di atas tanah di halaman belakang. Kalau malam gelap di musim dingin begini, sebenarnya semua tempat bisa dijadikan toilet.

Mencuci tangan sebelum makan (AGUSTINUS WIBOWO)

Mencuci tangan sebelum makan (AGUSTINUS WIBOWO)

Sudah pukul dua tengah malam. Badan saya terasa remuk setelah perjalanan panjang ke Lembah Chapursan, bertamu di rumah keluarga Tajik, dan kini mendengar cerita Amir yang tiada habisnya. Majid menyiapkan matras tebal, lengkap dengan dua selimut bulu yang juga tebal dan berat. Tubuh saya terjepit seperti sandwich di antara lipatan selimut.

Lampu petromaks dimatikan. Gelap pun menyelimuti ruangan ini.

Kal milenge. Jumpa lagi besok,” salam saya menutup malam.
“Insya Allah….,” Majid menyahut.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 21 Januari 2009

3 Comments on Titik Nol 122: Senandung Dalam Gelap

  1. Good, karena dalam Islam memuliakan tamu ganjaran pahalanya besar. Wallahu a’lam.. 🙂

  2. “Dalam remang-remang cahaya di rumah kuno ini, denting dawai rebab kawan Majid memecah kesunyian. Suaranya melenting, mengalun lembut, membawa nuansa pegunungan dan padang rumput ke dalam kamar gelap ini”

    Terasa sekali emosinya mengalir lwt tulisan..

  3. Mr Agustinus Wibowo bagaimana caranya bisa bertemu Anda, ngopi dan ngobrol tentang pengalaman2 kita masing2 dan buku2 Anda dan buku saya? Salam https://www.facebook.com/gayatriwm?fref=ts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*