Recommended

Titik Nol 133: Ya Hussain

Menangisi penderitaan Hussain (AGUSTINUS WIBOWO)

Menangisi penderitaan Hussain (AGUSTINUS WIBOWO)

Bulan Muharram membawa kemuraman di seluruh penjuru Pakistan. Seketika, banyak orang berbaju hitam-hitam. Hingar bingar musik dan lagu India tak lagi terdengar. Para penabuh genderang jalanan, orang-orang bersurban dan bertrompet pemeriah pesta pernikahan, lenyap dari berbagai sudut kota. Tak ada orang yang menikah dalam bulan ini. Muharram adalah bulan perkabungan.

Saya berada dalam bus antar kota yang menghubungkan Rawalpindi dengan Lahore. Kaset tua membunyikan lagu-lagu penuh kesedihan. Sebenarnya ini bukan lagu, tetapi alunan syair tentang perkabungan. Musiknya juga bukan dari alat musik, tetapi dari dada yang ditepuk secara serempak, berirama. Ada kekuatan magis di dalamnya, semua yang mendengarnya pasti larut dalam kesedihan.

Di Indonesia, Muharram dirayakan sebagai Tahun Baru Islam. Di Pakistan, Muharram adalah waktu di mana orang meratapi kematian Imam Hussain, cucu Nabi Muhammad S.A.W yang gugur dalam perang Karbala. Perang ini adalah lambang keberanian untuk mengorbankan nyawa untuk membela kebenaran dan melawan kebatilan.

Puncak perkabungan Muharram adalah hari Ashura, jatuh pada tanggal 10 Muharram. Kata Ashura berasal dari bahasa Arab, artinya ‘kesepuluh’. Pada hari inilah Hussain gugur dalam pertempuran melawan pasukan Yazid, tahun 61 Hijriyah.

Ashura adalah hari teramat penting bagi umat Syiah, sekitar 20 persen jumlahnya di kalangan Muslim Pakistan. Tetapi Ashura dinyatakan sebagai hari libur nasional, dan juga hari penting bagi orang Sunni untuk merenungi suri tauladan Imam Hussain. Walaupun demikian, tak semua suka dengan kedatangan Ashura. Seorang kawan orang Lahore malah mengajak saya piknik ke luar kota, “Biarlah kota ini menjadi gila, kita bersenang-senang saja di bukit yang indah.” Karena selain identik dengan perkabungan, Ashura juga berkerabat dekat dengan kata ‘tangisan’, ‘darah’, dan ‘penyiksaan’.

Kota Lahore sunyi. Jalanan lengang dan semua toko tutup. Sesekali ada truk bak terbuka yang melintas, mengangkut penumpang yang semua berpakaian hitam. Di sepanjang jalan mereka berseru, “Ya Hussain! Ya Hussain!”

Pukul 11, udara masih dingin. Seribuan orang sudah berkumpul di halaman, duduk rapi dalam baris dan saf. Para pria ini berwajah muram. Beberapa memasang ikat kepala kuning bertulis huruf Arab “Ya Hussain”. Perempuan duduk di tempat terpisah di belakang tirai purdah. Ada pula bocah kecil bersembunyi di balik badan orang tuanya.

Ratusan umat mendengarkan ceramah majlis dengan penuh kesedihan (AGUSTINUS WIBOWO)

Ratusan umat mendengarkan ceramah majlis dengan penuh kesedihan (AGUSTINUS WIBOWO)

Lautan manusia ini berwarna muram. Kebanyakan pria berpakaian shalwar hitam dan kamiz hitam. Warna kedua yang mendominasi adalah putih. Kaum wanita dibalut dengan cadar berwarna hitam, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mereka semua dibalut kesedihan, yang diteriakkan oleh seorang penceramah.

Acara ini adalah majlis, pertemuan agama. Seorang pembicara mengisahkan  tentang Perang Karbala. Suaranya naik turun. Sesenggukan. “Padang gurun panas menyengat, air tak ada, semuanya kering. Tapi O…. Hussain, ya Hussain, ia berjalan tertatih-tatih menegakkan hukum Allah. Ia tak gentar, o…Hussain.”

Ribuan umat terbawa emosinya. Suara sesenggukan sambung menyambung, bak gelombang. Kakek-kakek menggeleng-gelengkan kepalanya, menghayati kisah yang dibawakan, sambil menggumam, “hai hai… hai hai…”, kemudian menyapu wajahnya yang sembab dengan sapu tangan.

Sang pembicara di mimbar tak hanya berkisah. Ia juga melantunkan syair, dibacakan naik turun berirama seperti mantra. Suaranya bergetar. Air matanya menetes. Tangisannya seketika diikuti oleh tangisan ribuan umat yang hadir. Mereka menangis berjamaah.

Maatam karo! Maatam karo!” Sang ulama meminta umat untuk melakukan maatam, memukuli dada sebagai lambang turut berduka cita. Dua orang pengiring imam melantunkan doa-doa Al Quran. Suara mereka sangat bening, tetapi iramanya sendu, penuh kesedihan. Beberapa orang mulai histeris. Ada yang bangkit berdiri, memukul dadanya kuat-kuat. Ada yang menangis keras sampai berteriak-teriak. Ada yang kakinya menyepak-nyepak sambil menangis. Orang-orang ini terbungkus histeria.

Air mata penuh histeria (AGUSTINUS WIBOWO)

Air mata penuh histeria (AGUSTINUS WIBOWO)

Suasana sedikit mereda, sang ulama mulai mengisahkan tentang tauladan Hussain, tentang Yazid yang laknat, tentang kelicikan pasukan Yazid, tentang jalan mati syahid untuk menegakkan jalan Allah. Begitu nama Yazid disebut, orang-orang histeris, berteriak serempak “Yazid murdabad! Yazid murdabad! Hussain zindabad! Hussain zindabad! Matilah Yazid! Hiduplah Hussain!”

Sebuah suara meledak dari tengah umat, penuh semangat, “NARAI TAKBIR!!!”, disusul gemuruh “Allahuakbar!!!” lautan umat berteriak serempak. “NARAI RISALAH!!!” disambut dengan seruan “Ya Rasulullah!!!” Seruan narai ini ditutup dengan “NARAI  HAIDRI!!!” yang dijawab dengan “Ya …. Ali!!!” Kata ‘ya’ diucapkan panjang, diakhiri dengan ‘Ali’ yang dibunyikan dengan dentuman sekali hembusan nafas.

Ulama melanjutkan kembali ceramahnya. Demikian berulang kali, emosi para pendengar perlahan-lahan dinaikkan menuju klimaks, diiringi sesenggukan tangis dan maatam, slogan-slogan bagi Imam Hussain, teriakan narai, dan ketika emosi reda sang ulama berceramah lagi. Ini kisah yang sama, diulang-ulang setiap tahun, didengar setiap Ashura, tetapi orang masih tetap larut dalam histeria kesedihan.

Kematian Hussain diperingati setiap tahun di bulan Muharram (AGUSTINUS WIBOWO)

Kematian Hussain diperingati setiap tahun di bulan Muharram (AGUSTINUS WIBOWO)

Tangisan meletus berkali-kali. Sungguh pemandangan luar biasa melihat ribuan orang menangis bersama-sama. Beberapa dari mereka memukuli kepala sendiri keras-keras, sebagai lambang duka cita yang mendalam.

Sudah enam jam lebih mereka duduk di sini. Beberapa pria melepas bajunya. Saya melihat banyak punggung yang tersayat. Ceramah majlis semakin mengaduk-aduk emosi. Lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang sendu membawa kesedihan bagi siapa pun yang mendengarnya. Sorak-sorai “Hussain Zindabad!” bertalu-talu. Beberapa pria berjubah membawa rantai pisau, berkeliling di sela ribuan umat pria yang duduk sambil menangis.

Sesaat berikutnya, darah terciprat di mana-mana.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 5 Februari 2009

1 Comment on Titik Nol 133: Ya Hussain

  1. Selalu suka tulisannya Mas Agus… Enak dibaca dan yang pasti bikin kepengen menjelajah 😉

Leave a comment

Your email address will not be published.


*