Recommended

Titik Nol 134: Lambang Cinta

Maatam, memukuli dada sendiri melambangkan duka cita yang mendalam (AGUSTINUS WIBOWO)

Maatam, memukuli dada sendiri melambangkan duka cita yang mendalam (AGUSTINUS WIBOWO)

Para pria ini kalap. Mereka memukulkan pisau ke punggung mereka. Berkali-kali, tanpa henti. Darah segar mengalir. Inilah lambang cinta bagi sang Imam Hussain.

Ada banyak cara menunjukkan duka cita ketika ditinggal pergi orang yang disayangi. Ada yang menangis berhari-hari. Ada yang berpantang kesenangan selama empat puluh hari. Ada yang mengurung diri, tak mau bicara dengan siapa pun. Ada pula yang menyakiti diri sendiri, untuk menunjukkan kesedihan yang tak terkira.

Ratusan pria yang berkumpul di sebuah lapangan di Lahore ini termasuk golongan yang disebut terakhir. Begitu kesedihan mereka mencapai klimaks, lautan massa menangis keras dan suara pukulan-pukulan pada kepala dan dada berlangsung serempak, tamparan-tamparan di wajah sendiri meninggalkan jejak-jejak tangan. Kaum perempuan sudah meledak air matanya di balik cadarnya yang hitam pekat. Tangisan yang tak lagi terbendung mengeringkan kantung air mata, para pria yang bertelanjang dada berebutan menggapai rantai pisau, untuk menunjukkan cinta mereka pada sang Imam yang syahid dalam membela kebenaran.

Massa mulai tidak terkendali. Semuanya berdiri dan saling dorong. laki-laki yang bertelanjang dada saling berebutan zanjir, rantai.  Rantai ini berupa rangkaian beberapa bilah pisau berujung melengkung, terikat oleh jalinan rantai logam. Bilah pisau bermata tajam, cukup untuk menyayat dan merobek permukaan kulit.

Kepala berambut putih yang bersimbah darah (AGUSTINUS WIBOWO)

Kepala berambut putih yang bersimbah darah (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka yang telah meraih zanjir langsung mengisi tempat di tengah lingkaran. Tempat ini kini menjadi ajang penyiksaan diri para lelaki dengan mencabik punggung dengan rantai pisau. Diayun lewat sebelah kiri leher, sebelah kanan, terus menerus. Darah mengucur deras. Ada pula yang menciprat, langsung ke wajah saya.

Emosi dan histeria ini menular cepat. Yang tak kebagian zanjir menangis keras-keras, dengan penuh tenaga meraih rantai pisau dari umat yang sudah berdarah-darah. Mereka pun hanyut dalam sebuah ‘ibadah’ perlambang cinta. “Ya Hussain… Ya Hussain…” teriakan bersahut-sahutan, bersama suara daging yang terkoyak.

Seorang kakek tua berambut putih seperti kesurupan. Tak berhasil meraih zanjir dari yang muda, ia memukuli kepalanya sendiri. Pukulan itu sangat keras pastinya, tiga kali pukul saja rambut putihnya berubah menjadi merah. “Hussain! Hussain! Hussain!” ia menangis, berjongkok di antara para pria yang bermandi darah.

Acara zanjirzani – memukulkan zanjir ke punggung – adalah acara yang sangat berbahaya. Seorang yang sudah histeris tak merasakan sakit sama sekali. Jika keterusan memukulkan pisau bisa habis darahnya. Kasus umat yang tewas karena histeria berlebihan bisa saja terjadi. Kawan-kawan yang tak sedang melakukan zanjirzani berkewajiban menjaga agar tak sampai ada korban yang jatuh.

Darah terciprat dalam prosesi zanjirzani. (AGUSTINUS WIBOWO)

Darah terciprat dalam prosesi zanjirzani. (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang pria, punggungnya sudah banjir darah. Kawan-kawannya berusaha menghentikannya, merebut zanjir-nya. Tetapi emosi sudah menghapus kesadarannya, ia berusaha merebut kembali rantai pisau itu. Tak berhasil, sang pria kekar menangis sesenggukan di sudut. “Hussain… Hussain…” ratapnya.

Tak hanya pria dewasa, bocah-bocah pun ikut ber-zanjirzani. Pisau mereka berukuran lebih kecil. Gerakan mereka memukulkan pisau ke punggung pun tak seganas para pemuda atau pria tua. Tetapi, ada keteguhan hati ketika melakukannya. Tak ada yang merintih kesakitan atau memicingkan mata. Setiap sambitan pisau dibarengi keyakinan.

Ada pula yang masih kecil sekali, tak lebih dari tujuh tahun, masih belum melakukan zanjirzani sendiri. Ayahnya turun tangan, memukulkan rantai pisau kecil ke punggung anaknya sendiri. Ada sayatan kecil di punggung yang mulus itu. Tetapi si anak sama sekali tak menangis. Tak ada tanda-tanda kesakitan.

Zanjirzani bukanlah debus atau pertunjukan mistis. Pisau ini nyata. Lukanya nyata. Sakitnya pun ada, walaupun terbenam dalam keyakinan dan ‘cinta’. Sayatan zanjir di punggung membekas seumur hidup, sebagai bukti pengorbanan dan keberanian menderita seperti Hussain, keberanian untuk membela yang benar dan melawan yang salah.

“Mengapa harus takut?” kata Umer, pemuda yang mengaku setiap tahun ikut dalam prosesi ini, “Hussain pun merasakan sakit, yang jauh lebih hebat daripada apa yang kami rasakan ini. Dan ini adalah wujud cinta kami kepada Imam Hussain.”

Tak semua Muslim setuju dengan penyiksaan diri zanjirzani. Bahkan di Iran, satu-satunya negara Islam Syiah di dunia, acara zanjirzani yang sampai berdarah-darah dilarang. Di Pakistan, yang berpenduduk mayoritas Sunni, zanjirzani justru tak pernah absen dari peringatan Ashura.

Bocah kecil yang sudah turut serta dalam prosesi berdarah ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah kecil yang sudah turut serta dalam prosesi berdarah ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Ke dalam kerumunan orang yang histeris bersimbah darah ini, digiring sebuah kuda putih yang berhias bunga-bunga. Seketika, ratusan umat berebutan untuk menyentuh kuda ini, menciuminya dengan penuh kasih, dan menempelkan tangan setelah menyentuh kuda ke dahi masing-masing. Ini adalah perlambang kuda suci Zuljinah milik Imam Hussain A.S. yang turut dalam perang di Karbala. Orang percaya, dengan menyentuh kuda suci ini mereka akan mendapat berkah.

Darah membasahi punggung para pria ini. Mereka berbaris berhadap-hadapan, bersama-sama mendengungkan derasan-derasan doa, sambil memukuli dadanya serempak. Pukulan di dada itu, sedemikian keras dan serempaknya, sehingga laksana menjadi tetabuhan mengiringi doa panjang berulang-ulang itu. Bak ombak di pantai, sesekali melambat, sesekali berderu cepat.

Peringatan Ashura berakhir. Tetapi perkabungan belum usai. Masih ada empat puluh hari lagi sampai perkabungan Imam Hussain berakhir. Tangisan kesedihan masih akan memenuhi penjuru Pakistan. Darah masih akan tertumpah lagi – wujud cinta bagi mereka-mereka yang meyakini.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 6 Februari 2009

1 Comment on Titik Nol 134: Lambang Cinta

  1. Henpriadi koto // August 30, 2021 at 11:11 pm // Reply

    Edhan…

Leave a comment

Your email address will not be published.


*