Recommended

Titik Nol 137: Timbangan Kecil

Anarkali Food Street, terang benderang di malam hari (AGUSTINUS WIBOWO)

Anarkali Food Street, terang benderang di malam hari (AGUSTINUS WIBOWO)

Taktaktaktaktak…taktaktaktak… suara denting logam beradu, menambah riuh rendahnya jalanan di waktu malam. Bau harum semerbak. Seorang pedagang pinggir jalan dengan bangga menawarkan jualan andalannya. Orang-orang Lahore memenuhi jalanan yang diterangi lampu warna-warni ini, sudah tak sabar lagi mengisi perut mereka.

Anarkali Food Street adalah daya tarik kuliner kota Lahore malam hari. Bagi penduduk kota besar Pakistan, keluar untuk makan malam adalah salah satu kegiatan hiburan yang digemari. Bukan hanya karena makanan lezat yang dijual dengan harga murah, tetapi karena juga suasana makan di jalan terbuka khusus para pejalan juga punya nuansanya sendiri. Segala macam jajanan Punjabi, segala macam nasi biryani dan roti, sampai kebab ala Turki dan bakmi China, tak lupa juga teh susu dudhpati dan manisnya faluda bisa dicicip di sini.

Tak-a-tak atau kat-a-kat, diberi nama demikian karena bunyi santer taktaktaktaktak atau katkatkatkatkatkat yang dihasilkan ketika pemasak menggilas daging ayam dan kambing di atas wajan datar berdiameter besar. Kedua tangan koki sangat piawai memainkan dua lempeng logam berbentuk segitiga, cepat, berirama, menjadi melodi yang mengiringi harumnya beragam makanan tradisional dan hiruk pikuknya pengunjung dari segala penjuru kota.

Jalanan ini terang benderang. Lampu hias warna-warni mengiluminasi semua sudut jalanan. Hasrat makan semakin luar biasa karena semerbak asap gorengan dan kebab. Pengunjung kebanyakan laki-laki, mulai dari yang masih mahasiswa dari kampus-kampus sekitar sampai pria tua berjenggot dan berjubah semua tumpah ruah di sini. Yang perempuan kebanyakan menutup diri rapat-rapat, hanya memperlihatkan sepasang mata, untuk menghindari pandangan tak perlu dari ratusan pria yang lalu lalang mencuci mata.

Tetapi nuansa pesta di jalan terbuka ini bukan untuk semua orang. Bahkan seporsi tak-a-tak yang seharga 40 Rupee cuma sekadar mimpi bagi anak-anak jalanan yang sepanjang hari dari pagi hingga tengah malam menghabiskan hidup di Food Street ini.

Sebut saja Wasid, bocah yang kira-kira berumur 11 tahun, bermata indah dan besar, berkulit putih, terbungkus shalwar kamiz abu-abu yang sudah kumal. Wasid tak tahu berapa umurnya sendiri. Ia mengaku antara 10 sampai 15 tahun, tetapi itu rentang perkiraan yang terlalu besar. Ia duduk di pinggir jalan, menunggui harta satu-satunya – sebuah timbangan badan kecil.

Dari seorang penimbang berat badan, Wasid menerima sekeping uang receh dua Rupee, atau sekitar 300 Rupiah. Wasid duduk beralas tas plastik. Saya duduk di sampingnya, ikut menanti datangnya rejeki.

Para pengunjung menikmati wisata kuliner di kota Lahore (AGUSTINUS WIBOWO)

Para pengunjung menikmati wisata kuliner di kota Lahore (AGUSTINUS WIBOWO)

Manusia terus mengalir seperti sungai di sepanjang jalan ini. Kami duduk berjongkok di pinggir jalan, dengan tatap mata sejajar lutut-lutut yang terus berjalan. Yang nampak hanya pasang-pasang kaki melintas. Ada yang cepat tak kuasa menahan lapar, ada yang lambat mengamati setiap makanan yang dijajakan oleh kios yang berjajar. Ada pula pasang kaki milik anak kecil yang melompat riang melihat semaraknya lampu jalan. Tetapi langkah kaki itu terus mengalir, tak pernah berhenti.

Lebih dari sepuluh menit berselang, baru seorang wanita gemuk bercadar rapat yang menimbangkan berat badan. Wasid tersenyum girang.

Untuk seporsi tak-a-tak, Wasid harus menunggu setidaknya 20 orang penimbang badan, yang baru terkumpul dalam waktu tiga jam di petang yang ramai. Di pagi hari pengunjung jauh lebih sedikit lagi.

Bocah kecil ini tak banyak bicara. Hanya seulas senyum tipis yang menghiasi wajahnya yang tampan namun terkurung kepasrahan. Bahasa Urdunya patah-patah. Wasid adalah etnis Pathan dari Peshawar yang mengadu nasib bersama kakaknya di kota besar Lahore. Kakaknya pun berprofesi sama dengannya, menunggui timbangan badan sepanjang hari.

Di seluruh penjuru Pakistan, orang Pathan selalu ada. Di Phir Wadhai mereka tinggal di kampung kumuh di sebelah stasiun bus. Di Hunza dan Gilgit di propinsi Northern Areas mereka mengadu nasib sebagai pedagang dan sopir truk. Bahkan sampai tukang bangunan di Kashmir, pemungut sampah di Karachi, pedagang makanan pinggir jalan di Lahore sampai pengusaha sukses berumah mewah di Quetta, orang Pathan sudah merambah semua profesi di semua tempat yang menjanjikan. Orang Pathan berasal dari daerah di pinggir barat Pakistan dan mereka adalah etnis mayoritas di Afghanistan. Kebanyakan orang ini mengaku berasal dari sisi Pakistan, walaupun sebenarnya tak sedikit yang pengungsi dari negeri Afghan.

Sebelum datang ke Lahore, Wasid sudah pernah berkelana ke berbagai penjuru negeri untuk mencari sesuap nasi. Pir Wadhai pernah sangat akrab dalam lembaran hidupnya. Rawalpindi, Islamabad, Lahore, bahkan Karachi metropolis yang jauh di selatan sana, terdaftar dalam deretan kota besar yang pernah dijelajahi.

Tetapi Wasid terpaku di hadapan timbangan kecilnya (AGUSTINUS WIBOWO)

Tetapi Wasid terpaku di hadapan timbangan kecilnya (AGUSTINUS WIBOWO)

Anak jalanan adalah salah satu sisi dinamika pergulatan hidup di Pakistan. Menurut laporan badan PBB, diperkirakan 1.2 juta anak hidup di jalanan Pakistan, menghasilkan uang kurang dari satu dolar per hari, menjadi sasaran penyalahgunaan anak dan eksploitasi seksual. Mereka melakukan segala macam pekerjaan, mulai dari mengorek sampah, mencuci piring, berdagang buah, membersihkan mobil, sampai melayani tamu hotel.

Kebanyakan mereka bukan sebatang kara, seperti Wasid yang datang bersama kakaknya dan punya orang tua di Peshawar yang terjepit kemiskinan. Sudah beberapa tahun ia tak berjumpa ayah ibunya. Ia sudah terbiasa hidup sendiri.

Wasid merasa hidup seperti ini tak berat, karena banyak kawan-kawan yang saling membantu. Ikatan persaudaraan sebagai suku pendatang di kota besar ini membuat mereka terus bertahan digerus beratnya kehidupan Lahore. Bocah kecil dan pemuda Pathan berjuang dengan segala cara dengan tangan-tangan mungil mereka. Tak ada hasrat untuk menyerah.

Saya begitu terharu melihat tatap mata Wasid yang begitu penuh percaya diri ketika mengusap timbangan kesayangannya dengan serbet agar tetap bersih mengkilat. Timbangan ini adalah harta karunnya, yang senantiasa menemani hidupnya dan menghidupi dirinya.

Langkah manusia terus mengalir. Suara taktaktaktaktak terus bertalu. Aroma makanan lezat menggoda. Tetapi Wasid tetap terpaku di hadapan timbangan kecilnya.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 11 Februari 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Titik Nol 137: Timbangan Kecil

  1. Miris dan sedih…andai ada yg bisa dibperbuat.tks wawasanya mas agustinus

Leave a comment

Your email address will not be published.


*