Recommended

Titik Nol 141: Dari Reruntuhan

Bocah-bocah pengungsi  (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah-bocah pengungsi (AGUSTINUS WIBOWO)

Mulai hari ini saya punya gelar baru – sukarelawan. Saya sudah berada dalam mobil milik Danish Muslim Aid, sebuah organisasi kemanusiaan, menuju ke Kashmir yang diluluhlantakkan  oleh gempa bumi 8 Oktober 2005.

Sudah lama sekali saya ingin ke Kashmir. Saya teringat betapa bulatnya tekad saya untuk menjadi sukarelawan gempa ketika memohon visa Pakistan di New Delhi, lima bulan silam. Tetapi setelah mendapatkan visa, saya malah menyempatkan berkeliling Rajasthan, dan akhirnya mendapat penyakit hepatitis. Mungkin Tuhan mengingatkan saya akan komitmen yang saya buat dahulu.

Ada perasaan tertekan dan bersalah, ketika harus menghabiskan hari-hari dengan beristirahat di pegunungan Hunza untuk memulihkan diri dari sakit kuning. Perasaan bersalah akan pengingkaran janji. “Mana Agustinus yang dulu bercita-cita jadi sukarelawan? Mana semangat sosialnya yang menggebu-gebu? Sekarang mengapa malah jadi turis di Hunza?” demikian bunyi e-mail Lam Li yang langsung menampar saya tanpa basa-basi.

Hari ini, saya sudah resmi jadi sukarelawan, walaupun terlambat. Seorang kawan di Islamabad menjadi kepala organisasi Danish Muslim Aid (DM-Aid) yang menghimpun dana bantuan dari Denmark. Saya diminta membantu mendokumentasikan kegiatan mereka di lapangan.

Saya berada di dalam mobil organisasi bersama Rashid, seorang sukarelawan juga. Rashid masih berumur 25 tahun, tetapi kumis tebalnya membuatnya tampak jauh lebih tua daripada umurnya yang sebenarnya. “Dengan kumis ini, orang jadi lebih menghargai saya,” demikian alasannya.

Mobil kami dikemudikan seorang sopir etnik Pashtun dari Peshawar. “Ingat, kalau ditanya orang di jalan, jangan bilang kita dari Danish. Bilang saja dari Ganish!” Rashid mengingatkan. Membawa panji-panji Denmark dalam suasana kisruh kartun Nabi Muhammad memang jadi serba salah.

Kami melintasi jalan raya Murree, kota pegunungan di dekat Islamabad yang menjadi tujuan wisata orang kota. Udaranya sejuk. Pemandangan sepanjang jalan amat indah. Barisan gunung tinggi dan sungai besar. Tetapi jalan yang naik turun ini membuat Rashid tak berdaya. “Saya harus tidur,” katanya, “daripada nanti muntah di jalan.”

Barisan tenda PBB (AGUSTINUS WIBOWO)

Barisan tenda PBB (AGUSTINUS WIBOWO)

Empat jam perjalanan penuh siksaan bagi Rashid akhirnya berakhir sudah. Mobil kami melintasi jembatan menyeberangi Sungai Neelum. “Welcome to Kashmir!” seru Rashid. Kami sudah meninggalkan Punjab dan propinsi perbatasan NWFP, memasuki tanah Kashmir, yang keindahannya mengundang puja dan puji berabad-abad, tetapi kini hancur lebur karena goyangan gempa dan jutaan  penduduknya bergulat untuk bertahan hidup.

Kashmir adalah daerah sensitif, menjadi sumber permasalahan antara Pakistan dan India. Sebagian wilayah Jammu dan Kashmir berada di bawah kontrol Pakistan, dan sisanya berada di bawah India.

Perseteruan Kashmir bermula ketika British India dipartisi menjadi Pakistan dan India pada tahun 1947. Maharaja Kashmir beragama Hindu, sedangkan mayoritas penduduknya beragama Islam. Sang maharaja ingin Kashmir merdeka, tidak memilih India ataupun Pakistan. Konflik berkobar, ketika pasukan Pakistan menyerbu Kashmir, dan sang maharaja meminta bantuan ke India. Sejak saat itulah, Jammu dan Kashmir terbelah.

India menyebut wilayah yang di bawah kekuasaannya sebagai ‘Jammu dan Kashmir’, dan yang di bawah Pakistan sebagai ‘Occupied Kashmir’. Demikian halnya Pakistan, menamai Kashmir sebagai ‘Azad Jammu and Kashmir (AJK)’ atau Azad Kashmir, dikontraskan dengan ‘Indian Occupied Kashmir’. Azad, dalam bahasa Urdu berarti ‘merdeka’. Perbatasan antara kedua Kashmir juga tidak disebut border, melainkan Line of Control (LoC), yang menggambarnya di atas peta harus dengan garis putus-putus.

Apakah Azad Kashmir benar-benar ‘merdeka’? Seorang Kashmir dari India pernah berkata, “tak peduli itu Kashmir India atau Azad Kashmir, dua-duanya adalah Kashmir yang terjajah dan tertindas.”

Karena posisinya yang sangat sensitif, Pakistan sangat berhati-hati dalam masalah Kashmir. Orang India jelas dilarang masuk sini. Orang asing pun sebenarnya juga putuh surat-surat izin khusus yang berbelit. Keadaan menjadi agak longgar karena bencana gempa. Mirip dengan Aceh pasca tsunami. Bahkan bala bantuan pangan mengalir dari India, melintasi garis LoC, yang oleh media lokal disebut sebagai ‘Unlock the LoC’.

Retakan gedung karena gempa dahsyat (AGUSTINUS WIBOWO)

Retakan gedung karena gempa dahsyat (AGUSTINUS WIBOWO)

Matahari mulai terbenam ketika kami sampai di Muzaffarabad, ibu kota Azad Kashmir. Kota ini sangat indah. Gunung-gunung tinggi menggapai awan, memenuhi seluruh penjuru. Jalan beraspal naik turun menyusuri lereng-lereng bukit. Tata kotanya pun rapi, jauh lebih teratur daripada Rawalpindi yang semrawut. Kalau bukan karena reruntuhan rumah-rumah batu di pinggir-pinggir jalan, dan kemah-kemah pengungsi yang masih bertebaran di sana sini, Anda juga akan mengamini bahwa Kashmir layak disebut sebagai surga di muka bumi.

Rashid langsung menggeret saya mengikuti rapat di kamp PBB. Semua NGO berkumpul, membahas kegiatan mereka dan pengorganisasian budget. Jutaan dolar dari seluruh dunia mengucur di Kashmir, tetapi lima bulan sesudah gempa pun pengungsi masih kelaparan dan kedinginan. Saya mendengarkan ceramah tentang pentingnya program pembersihan puing-puing, persiapan datangnya musim panas, pembangunan tempat tinggal sementara, kebersihan air, dan sanitasi.

Saya tak mengerti apa-apa, karena baru datang tak lebih dari setengah jam di tempat ini. Tetapi saya hanyut dalam haru dan bangga, resmi menjadi sukarelawan di Kashmir.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 17 Februari 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*