Recommended

Titik Nol 142: Sebuah Desa di Lereng Gunung

Barisan gunung salju terlihat dari Noraseri (AGUSTINUS WIBOWO)

Barisan gunung salju terlihat dari Noraseri (AGUSTINUS WIBOWO)

Tengoklah tanah Kashmir ini. Gunung-gunung hijau tinggi menggapai langit. Manusia, bak semut, bertaburan dari kaki, pinggang, hingga ke puncak gunung. Di kala malam, gunung-gunung itu seperti mengenakan pakaian berkelap-kelip. Indah sekali.

“Tetapi bayangkan ketika gunung yang menggapai langit itu, tiba-tiba, ditumpahkan ke atas kepalamu,” kata Syed Abid Gilani, pemimpin LSM Danish Muslim Aid di Islamabad, “itulah yang terjadi di Kashmir.” Ia menitikkan air mata.

Siapa yang tidak menangis meratapi bencana yang menimpa tanah Kashmir, surga di muka bumi? Bahkan setelah gempa bumi ini pun, tempat ini masih teramat indah.

Muzaffarabad gemerlap di waktu malam. Bukit-bukit diselimuti rumah penduduk. Setiap rumah menyalakan lampu, menjadikan bukit ini tidak hanya berselimut gelap yang muram. Saya malah teringat Hong Kong. Walaupun tidak ada gedung tinggi di sini, Muzaffarabad tak kalah cantiknya.

“Listrik, air, semua gratis untuk korban gempa selama enam bulan, 24 jam sehari,” kata Rashid. Tak heran semalam suntuk semua orang menyalakan lampu. Kota ini seperti lautan bintang yang berkelap-kelip, mendaki dari permukaan bumi, menyusuri lereng gunung, hingga ke langit tinggi bergabung dengan bintang yang sesungguhnya di batas cakrawala.

Tetapi banyak di antar penduduk yang kurang beruntung. Bukannya menikmati fasilitas gratis ‘pelipur lara’ dari pemerintah, mereka masih harus tinggal di tenda-tenda kumuh di lapangan sepak bola. Tent city, atau kota tenda, jajaran kemah yang berbaris rapat dan kumuh, masih menjadi pemandangan lumrah di kota ini.

 

Ketika mendung mereda, pemandangan mistis nampak dari kejauhan (AGUSTINUS WIBOWO)

Ketika mendung mereda, pemandangan mistis nampak dari kejauhan (AGUSTINUS WIBOWO)

“Orang-orang masih trauma. Mereka sebenarnya banyak yang masih punya rumah, tetapi kejadian gempa kemarin itu terlalu menakutkan. Gempa susulan masih sering terjadi. Siapa yang tega kembali tinggal ke rumah yang sudah mengantarkan para kerabat ke pintu kematian?” Rashid menjelaskan.

Kantor Danish Muslim Aid di Muzaffarabad adalah beberapa kamar di sebuah rumah kontrakan di distrik Chela Bandi, di pinggiran ibu kota provinsi ini. Dindingnya sudah retak-retak karena gempa, tetapi tidak terlalu parah. Kalau ada gempa, ngeri juga.

Di sini ada beberapa staf yang tinggal untuk keperluan administrasi. Tetapi sebagian besar staf DM-Aid tinggal di lapangan, di sebuah desa bernama Noraseri, 17 kilometer ke utara, di lereng gunung tinggi. Di sanalah mereka mendistribusikan bahan-bahan bangunan untuk membuat rumah yang tahan gempa.

“Besok, kita ke lapangan. Kamu sudah siap?” tanya Rashid. Bukan siap lagi. Saya sudah tidak sabar segera ‘terjun’ ke sana.

Sepanjang perjalanan dari Muzaffarabad ke Noraseri, saya malah langsung lemas. Di kanan kiri jalan yang nampak adalah reruntuhan. Hancur lebur di mana-mana. Kehidupan terenggut, dan ratusan ribu manusia seketika lenyap ditelan bumi. Kehancurannya mirip sekali dengan Banda Aceh selepas tsunami. Bedanya di sini batu dan barisan gunung menggantikan potongan kayu dan debur ombak.

“Itu dulunya desa,” kata Rashid menunjuk sebuah lembah di kanan jalan yang kami lintasi. Yang terlihat hanyalah tumpukan batu-batu putih, bekas rumah. Luas menghampar, tersebar tak beraturan. Di belakangnya, wajah gunung sudah terpangkas, memperlihatkan batu padas curam. Gunung sebesar ini ambrol, mengubur hidup-hidup puluhan desa yang bertengger di tebing dan kakinya. “Hampir semua penduduk desa-desa di sini mati,” kata Rashid.

Saya juga tak melihat tanda-tanda kehidupan lagi. Barisan tiang listrik yang sudah miring tidak karuan menjadi saksi bencana dahsyat ini. Hujan mulai turun rintik-rintik.

“Selain gempa, nanti kamu akan membiasakan diri dengan hujan dan tanah longsor,” pesan Rashid. Saya mengangguk lemah, masih nanar oleh kehancuran luar biasa di sana sini.

Kompleks perkemahan Danish Muslim Aid yang kami tinggali (AGUSTINUS WIBOWO)

Kompleks perkemahan Danish Muslim Aid yang kami tinggali (AGUSTINUS WIBOWO)

Jalanan menuju Noraseri berkelak-kelok menyusuri punggung-punggung gunung. Terkadang sangat sempit. Walaupun tidak securam dan seseram jalan raya di Hunza sana, tetapi gunung-gunung yang menghias wajah Kashmir selepas gempa dalam keadaan yang sangat tidak stabil. Sedikit goncangan saja, maka batu besar atau sejumput bumi bisa terjun bebas dari atas sana.

Ini akan menjadi keseharian saya. Saya masih mencoba meyakinkan diri.

Mobil berhenti. Sekarang kami pelan-pelan memanjat tebing ini untuk mencapai desa Noraseri di atas sana. Tidak ada mobil yang bisa ke sana. Kami harus jalan kaki, mengangkut beberapa bahan bangunan dan makanan untuk para sukarelawan. Saya yang masih belum terbiasa dengan jalan gunung, harus digandeng erat-erat oleh seorang sukarelawan. “Aduh, saya ke sini mau membantu, malah menambah repot,” batin saya.

Setelah perjuangan berat, akhirnya sampai juga kami ke Noraseri. Puncak bersalju Nanga Parbat, gunung tertinggi kesembilan di dunia, tampak samar-samar di kejauhan dibungkus awan. Suasana misterius menyelimuti perkemahan ini.

Ada tujuh tenda. Saya mendapat tempat tidur di tenda nomor 5, bersama dua orang sukarelawan lainnya. Dalam sekejap, saya diperkenalkan dengan belasan orang, yang susah sekali mengingat namanya.

Sementara saya ingat Gul Muhammad, tukang masak, yang dulu pernah kerja di Yunani. Juga ada Aslam Sahab, atau Pak Aslam, yang mengaku berasal dari Yugoslavia. Saya tidak percaya, apalagi gaya bicaranya tidak pernah serius. Ia bahkan tidak tahu nama ibu kota Yugoslavia. Aslam Sahab bertumbuh bundar, berwajah juga bundar dan sedikit botak. Orang-orang memanggilnya ‘Mao Tsetung’.

Dengan sedemikian banyak kawan baru yang ramah-ramah, saya begitu senang. Di sini tak ada listrik. Malam gelap gulita. Hanya ada cahaya bintang, lilin, dan lampu minyak. Tetapi suasana persahabatan adalah cahaya yang tiada bandingnya.

Kashmir yang hijau (AGUSTINUS WIBOWO)

Kashmir yang hijau (AGUSTINUS WIBOWO)

Hujan masih terus turun, ketika saya berusaha memejamkan mata di balik selimut tebal. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. “Apa itu?” saya tersontak. “Itu adalah bunyi tanah longsor,” kata Aslam.

Entah desa yang mana lagi yang menjadi korban sekarang. Gemuruh bunyi tanah longsor sambung menyambung sepanjang malam. Saya masih selalu terloncat takut mendengarnya. Tetapi akhirnya saya terlelap juga.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 18 Februari 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*