Recommended

Titik Nol 146: Di Bawah Temaram Lampu Minyak

Gembira menerima sheet CGI (AGUSTINUS WIBOWO)

Gembira menerima sheet CGI (AGUSTINUS WIBOWO)

Sekali perjalanan naik turun gunung, mengumpulkan data puluhan keluarga korban gempa dalam sehari, rasanya sudah membuat remuk tulang punggung. Tetapi saya tersentuh oleh keramahan setiap keluarga miskin yang selalu menawarkan secangkir teh panas. Dalam kesengsaraan, mereka masih ingat berbagi kebahagiaan.

Hari ini kami mengunjungi lima desa. Tiga di atas, dua di bawah. Ijaz mengajari saya, kalau berpapasan dengan perempuan, kita tak boleh memandang wajah mereka atau berkontak mata, harus cepat-cepat menunduk dan mengalihkan pandangan. Umumnya penduduk desa menantikan kedatangan kami, menyampaikan keluh kesah jumlah CGI sheet yang tak cukup, atau menyampaikan keberhasilan rumah baru mereka yang mungil namun nyaman.

Untuk setiap penerima bahan bantuan, kami mencatat nama kepala keluarga dan nama ayah. Hanya mereka yang sudah berkeluarga saja yang berhak menerima. Banyak orang yang punya nama sama di Pakistan. Hampir semua orang namanya berasal dari Al Qur’an. Karena itu pulalah, nama ayah juga perlu dicatat untuk menjadi pembeda. Tetapi ada pula kasus di mana dua orang bisa punya nama sendiri dan nama ayahnya yang sama persis. Untuk kasus begini, yang paling berfungsi adalah nomor KTP. Setiap korban gempa yang menerima bahan bangunan harus menunjukkan dokumen.

Mengerjakan laporan di kemah menjelang tidur (AGUSTINUS WIBOWO)

Mengerjakan laporan di kemah menjelang tidur (AGUSTINUS WIBOWO)

Senja hari, perkemahan sukarelawan DM-Aid berkelap-kelip. Listrik tak pernah masuk ke desa ini sejak gempa. Kami hanya bertahan di bawah temaram lampu petromaks. Beberapa pemuda dari tim kami sibuk mencatat semua data yang berhasil dihimpun sepanjang hari ke dalam buku besar. Data ini nanti akan dimasukkan ke database komputer di Muzaffarabad. Saya tak bisa membantu karena semua dalam bahasa Urdu.

Di tenda lainnya, anggota tim yang lain berkumpul. Penduduk desa Noraseri, mulai dari dokter sampai pelajar SD, datang meramaikan malam kami. Seperti biasa, mereka bermain kartu. Manzur Sahab membaca buku-buku puisi Urdu, mengajari saya beberapa bait sederhana.

Yang lebih bersemangat lagi adalah para pemuda. Dalam kegelapan yang samar-samar begini sibuk berdebat agama. Sebenarnya saya yang mulai, iseng-iseng bertanya tentang makna peringatan Ashura. Mengapa di negeri yang mayoritas Sunni ini, peringatan umat Syiah menjadi hari yang teramat penting.

“Ashura adalah perjuangan kebaikan melawan kejahatan,” jelas Rashid, “ini sifatnya universal. Bukan masalah Sunni atau Syiah. Semua Muslim harus menghayati maknanya.” Hussain, cucu Nabi Muhammad, adalah penegak kebenaran. Yazid, musuhnya, adalah lambang demoralisasi, dosa, kejahatan, kebusukan. Perang antara Hussain dan Yazid di Padang Karbala adalah jihad, juga melambangkan jihad kita menuju kebenaran.

Kisah ini selalu diulang-ulang dalam setiap acara majlis, tetapi selalu saja ada perbedaan pendapat. Seperti kisah Mahabarata yang setiap bagian ceritanya mengandung pelajaran, teladan Hussain melawan Yazid pun demikian. Sohail, teman satu tim, mengkisahkan bahwa pasukan Hussain kala itu hanya ada 72 imam, sedangkan pasukan Yazid jauh lebih banyak dan kuat. Tubuh Hussain diterjang panah, didera sakit yang hebat, terkapar di tengah padang gurun. Dari kisah ini, kita belajar tentang kebebasan dan demokrasi, bagaimana Hussain menawarkan kesempatan kepada Yazid untuk memilih jalan yang benar. Kita juga belajar tentang cinta pada Sang Khalik, salat tengah malam Hussain yang menyerahkan dirinya sepenuhnya ke dalam kuasa Tuhan. Kita juga belajar tentang kesetiaan 72 imam yang memilih untuk tetap mendirikan salat tanpa meninggalkan Hussain dan Allah.

Bagi kebanyakan orang Pakistan, agama adalah segalanya. Diskusi agama seperti ini diikuti dengan sepenuh hati. Tak jarang suasana bisa memanas, terlebih lagi kalau sudah menyangkut kepercayaan. Di tim kami, ada penganut Sunni dan Syiah. Seperti biasa mereka selalu berbeda pendapat tentang upacara Ashura umat Syiah yang berdarah-darah. Kemah yang satu ini penuh dengan orang ngotot yang berteriak-teriak sampai terlihat urat lehernya. Saya memilih pindah ke kemah lain yang lebih damai.

Makan dalam remang lilin dan lampu minyak (AGUSTINUS WIBOWO)

Makan dalam remang lilin dan lampu minyak (AGUSTINUS WIBOWO)

Di tenda lain ada pak guru desa, sedang mengobrol dengan Aslam dan Anis Sahab. Pembicaraan berkisar tentang keluarga mereka. Di sini jumlah anak sangat besar, rata-rata keluarga punya lima orang anak ke atas. Mengapa mereka tidak menerapkan keluarga berencana di Pakistan?

Jawabannya sungguh di luar dugaan. Pak Guru bilang sistem keluarga berencana itu adalah konspirasi barat untuk mengecilkan jumlah penduduk negara Islam. Tetapi, bukankah untuk memelihara anak juga butuh biaya yang mahal? “Mahal? Tidak ada kata ‘mahal’ kalau urusan anak. Kalau kita beriman, kita harus yakin sepenuhnya bahwa Tuhan akan memelihara putra-putri kita. Kamu lihat serigala di gunung, mereka tak punya uang, dan Allah memelihara mereka. Kamu lihat pohon-pohon di hutan hijau ini, mereka sama sekali tak khawatir, dan Allah memeliharanya. Allah berkata, kalau engkau sedang menyantap makan malam, janganlah kau khawatirkan apa yang hendak kau makan untuk sarapan esok pagi.”

“Pandangan kami berbeda dengan pandanganmu,” kata Aslam Sahab bijak, “Kalau orang-orang di negara lain memikirkan hanya untuk jangka pendek, hanya hidup di dunia. Kami memikirkan lebih jauh ke depan. Sejauh mana di depan? Kami pun tak tahu, karena mempersiapkan diri untuk akhirat dan kiamat.” Bagi Aslam dan Pak Guru, pembangunan material, makanan bergizi, pendidikan, kesejahteraan ekonomi, tak terlalu banyak berarti.

Membangun kembali rumah baru, harapan baru (AGUSTINUS WIBOWO)

Membangun kembali rumah baru, harapan baru (AGUSTINUS WIBOWO)

Malam semakin larut, tetapi tenda kami semakin ramai. Selain pak guru, masih ada pak dokter yang berbagi cerita lucu. Di bawah kelap-kelip lampu petromaks, Aslam tiba-tiba meminta semua diam. Ia menarik nafas panjang, kemudian melantunkan melodi naat yang sendu dan panjang. Rasyid dan Anis ikut bergabung, menghantarkan puji-pujian bagi Nabi Muhammad. Yang lain mendengarkan dengan penuh takzim.

Di bawah temaram lampu minyak, seisi kemah terhanyut dalam kedamaian spiritual.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 24 Februari 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*