Recommended

Titik Nol 150: Terjebak Birokrasi Pakistan (1)

Sok kenal sok dekat. Dengan berbekal foto bersama kepala inspektur polisi ini saya berharap semua urusan akan berjalan mulus (AGUSTINUS WIBOWO)

Sok kenal sok dekat. Dengan berbekal foto bersama kepala inspektur polisi ini saya berharap semua urusan akan berjalan mulus (AGUSTINUS WIBOWO)

Mungkin memang takdir saya untuk selalu dipusingkan masalah visa. Saya teringat betapa saya harus beradu mulut untuk mendapatkan visa India di Nepal, bersusah payah dengan setumpuk beban mental untuk mendapat visa Pakistan di India, dan kini, saya akan mengalami serentetan perjuangan panjang dalam semrawutnya birokrasi Pakistan.

Salah satu masalah bagi tenaga sukarelawan asing adalah visa. Tak terasa, visa tiga bulan yang diberikan Kedutaan Pakistan akan segera habis dalam beberapa hari ini. Sebelumnya, Rashid dari Danish Muslim Aid selalu berusaha meyakinkan saya, “Jangan kuatir untuk urusan visa. Saya akan membantumu. Semuanya pasti beres, Insya Allah!”

Saya pun menaruh harapan besar padanya, apalagi katanya Rashid kenal banyak orang penting di Muzaffarabad. Di Pakistan, semuanya bisa jalan dengan koneksi. Kenal seorang tetangga dari ipar dari sepupu dari nenek dari ayah dari teman dari bibi dari ibu Anda bisa mengantar Anda ke puncak dunia, atau kalau salah orang, ke penjara. Sering kita melihat hubungan kekerabatan yang ruwet dalam film-film Bollywood. Sekarang, semuanya itu menjadi dunia nyata yang sedang saya jalani.

Hubungan koneksi yang panjang mengantar saya dan Rashid duduk di hadapan Senior Superintendent of Police (SSP) atau Kepala Inspektur Polisi Muzaffarabad. Kami berada di kompleks asrama polisi. Kurshid Sahab, si Bapak SSP, baru saja mendapat rumah baru di tengah kompleks itu, sebuah daerah yang orang luar tak bisa bebas keluar masuk. “Kenal pejabat tinggi di Pakistan,” bisik Rashid, “selalu hal yang menguntungkan. Kamu percaya saja.”

Sungguh saya ingin mempercayainya. Bapak Khurshid adalah pejabat polisi tertinggi di seluruh Azad Kashmir, tak perlu dibantah. Pak Inspektur melihat-lihat visa saya, berkata, “Perpanjangan visa bukan kewenangan polisi. Kamu mesti ke kantor DC (Deputy Comissioner, wakil komisaris). DC Sahab nanti yang memperpanjang visa kamu.” Pak Inspektur berbaik hati hendak menyambungkan kami dengan Pak DC. Ia memanggil anak buahnya untuk mengambilkan teleponnya yang terletak di atas meja di sudut ruangan.

“Sayang sekali,” kata Pak Khurshid setelah menelepon, “DC Sahab sedang tidak ada di kantornya. Kalian berdua ke sana saja langsung, bilang saja kenal dengan Pak Khurshid Inspektur Kepala.” Apakah kami butuh surat pengantar yang membuktikan bahwa kami ‘kenal’ dengan Pak Inspektur? Sama sekali tidak perlu. Kami berfoto bersama dengan Bapak Inspektur, menyimpan fotonya di kamera digital saya, dan siap kami tunjukkan kepada Bapak DC nanti kalau ditanya. Inilah koneksi di Pakistan. Asal kenal, ada jalan.

Kantor Deputy Comissioner yang lama sudah ambruk kena gempa. Sekarang letaknya di gedung bekas kantor Pakistan International Airlines. Hasilnya adalah sebuah kantor pemerintahan dengan segala macam atribut yang salah alamat. Kantor DC adalah ruangan yang ditandai sebagai “Tourist Information” dan loket pengajuan paspor penuh dengan stiker ‘huge discount’.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya kami berhasil bertemu pula dengan kepala kantor DC. Orangnya masih muda, tetapi wajahnya serius sekali. Rashid menjelaskan maksud kedatangan kami, dan DC Sahab langsung membolak-balik paspor halaman saya.

“Visanya dari India?” ia mengernyitkan dahi. “Maaf. Kami tidak bisa menolong.”

Semua harapan saya langsung menguap. Hanya satu pertanyaan dan pintu diskusi langsung ditutup. Tak ada gunanya foto kenangan bersama Pak Inspektur. Keadaan Kashmir yang menjadi sengketa dengan India langsung menyangkal segala macam beking relasi yang kami punyai.

“Jangan kuatir,” Rashid masih berusaha menenangkan saya yang mulai panik, “masih ada Islamabad. Apa sih yang tidak bisa diurus di Islamabad? Apalagi saya punya lebih banyak orang penting di sana.”

Katanya Rashid kenal dengan pejabat A.C. dari kepolisian Islamabad. Entah jabatan apa lagi itu, tetapi koneksi dengan petinggi-petinggi Pakistan adalah kebangaannya dan keyakinannya bahwa semua masalah akan teratasi.

Bagaimana saya tidak panik, visa saya kurang lima hari lagi, dan saya masih belum siap meninggalkan Pakistan. Rashid langsung mengontak kawannya di Islamabad untuk membantu segenap masalah birokrasi saya di sana.

Perjalanan lima jam dengan bus dari Muzaffarabad menuju ibu kota Pakistan rasanya seperti berhari-hari. Ingin rasanya saya langsung terbang ke sana, karena hati ini dibakar kecemasan yang tiada tara. Saya mulai memikirkan plan A, plan B, plan C, dan seterusnya. Tetapi semua cadangan rencana itu masuk kategori buruk dan lebih buruk saja.

Kawan Rashid di Islamabad adalah dr. Zahid, seorang pria Pashtun dari Baluchistan di perbatasan Afghanistan. Orang Pashtun dikenal sebagai etnik yang paling konservatif di Pakistan. Kesan pertama saya, dr. Zahid tidak pernah sungkan untuk berdiskusi hal-hal yang berat bahkan dengan orang yang baru pertama kali dikenalnya. “Kalau kau menganggap semua Muslim adalah fundamentalis,” kata dr. Zahid sambil menyetir, “maka, iya, saya adalah fundamentalis dan ekstremis.”

Walaupun keras, orang Pashtun terkenal dengan kesetiannya. Dr. Zahid benar-benar mengorbankan waktu sehari penuh menemani saya memperpanjang visa. Berbekal surat dari Danish Muslim Aid yang diketik, dinomori acak, dan ditandatangani sendiri oleh Rashid, kami menuju ke Kantor Paspor Islamabad. Ini bukan kali pertama saya bertandang ke kantor seram ini. Kunjungan saya yang dulu-dulu untuk mengurus surat-surat selalu berakhir kegagalan. Saya berharap kali ini, ditemani seorang pria Pashtun yang gagah dan tangguh, nasib saya bisa lebih baik.

“Iya, memang saya dulu bilang cuma perlu surat dari NGO tempat kamu bekerja,” kata petugas di Kantor Paspor, “tetapi surat ini harus ditandatangani oleh Kementrian Dalam Negeri.”

Kementerian Dalam Negeri adalah neraka birokrasi yang lain lagi yang harus saya alami.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 2 Maret 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*