Recommended

Titik Nol 154: Rumah Baru, Harapan Baru

Rumah baru, harapan baru (AGUSTINUS WIBOWO)

Rumah baru, harapan baru (AGUSTINUS WIBOWO)

Perjalanan kembali ke Noraseri rasanya seperti pulang ke kampung halaman. Saya mulai merasa bahwa dusun di pegunungan ini adalah suratan takdir saya, tempat saya menemukan orang-orang dan ratusan kisah yang mengubah hati saya. Salah satunya adalah keluarga Basyir Sahab.

Dulu saya hanya mengenal Pak Basyir sebagai petugas keamanan kamp kami. Orangnya kurus, berkumis lebat, tetapi senantiasa ramah dengan senyumnya. Selalu berjubah shalwar kamiz ke mana-mana. Kalau perkemahan kami sedang kosong ketika para pekerja sosial turun ke lapangan, Pak Basyir lah yang menjaga keamanan barang-barang kami. Pak Basyir juga membantu memasak, menyediakan perlengkapan, dan membantu kami boyongan. Lebih dari itu, saya tak tahu banyak karena Pak Basyir sendiri tak banyak bicara.

Hingga akhirnya saya berkenalan dengan Mubasshar, putra tertua Basyir Sahab yang berumur 22 tahun. Mubasshar berjenggot lebat sehingga kawan-kawannya di Noraseri menjulukinya sebagai Sufi, ahli mistis. Sejak bencana gempa itu, Mubasshar tak pernah mencukur jenggotnya lagi, mungkin sebagai nasar.

“Waktu gempa itu aku sedang bekerja di Muzaffarabad,” kata Mubasshar, “dan jalan menuju Noraseri sama sekali terputus.” Muzaffarabad hancur lebur, ribuan orang tewas. Mubasshar lebih kuatir keluarganya yang masih tinggal di lereng pegunungan Noraseri. Tanpa pikir panjang, di tengah alam yang masih sesekali mengamuk dan berguncang, Mubasshar berlari menembus hutan, longsoran tebing, dan lereng gunung yang sudah terkoyak. Dua hari berjalan tanpa henti, sampailah ia di kampung halamannya.

“Waktu itu,” kata Mubasshar, “jangan kau tanya lagi berapa banyak air mataku yang tumpah. Tiga adikku mati. Yang dua sudah dikubur. Yang paling kecil, yang wajahnya mirip orang China itu, baru saja ditemukan di bawah reruntuhan rumah. Adik bayiku yang malang, ia sama sekali tak terluka. Tapi ia tak bernafas.”

Hari itu juga bayi itu dikubur, diiringi derai air mata keluarga yang bertahan hidup dari sisa puing-puing rumah mereka.

Pak Basyir punya enam putra dan empat putri, tipikal keluarga Pakistan yang punya anak banyak karena mempercayakan nasib di tangan Tuhan. Sekarang anaknya tinggal tujuh.

Sore itu Pak Basyir datang berbisik-bisik kepada saya, “Kamu tahu, sejak hari pertama kamu datang ke tempat kita untuk survey, malamnya istriku menangis.. Melihat wajahmu, istriku terbayang bayi kami yang berwajah seperti orang China itu. Melihat wajahmu, istriku merasa kamulah pengganti bayi kami itu.”

Sang bunda (AGUSTINUS WIBOWO)

Sang bunda (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya terharu sekali mendengarnya. Karena aturan adat yang ketat, saya tak pernah bertukar kata-kata dengan istri Pak Basyir. Saya hanya melihat bayangannya di balik dapur, sekelebat. Tetapi hanya selayang pandang bayang-bayang, istri Basyir Sahab memperhatikan saya lekat-lekat.

“Ibu tahu segala-galanya tentang kamu,” kata Mubasshar, “Ibu tahu waktu kamu sakit perut, terpeleset, pergi ke Gilgit, setiap gerak-gerikmu beliau perhatikan.”

“Bagaimana beliau bisa tahu tentang aku?” saya keheranan.

“Kamilah, anak-anaknya, yang selalu bercerita tentangmu pada Ibu.”

Kaum perempuan Pakistan seringkali tak terlihat dalam kehidupan, bersembunyi di sudut rumah dan terhalangi dinding tembus pandang dalam interaksi dengan lelaki yang merajai dunia. Tetapi bukan berarti mereka tak punya cara untuk mengetahui dunia luar. Mata mereka tetap terbuka lebar dan telinga mereka mendengarkan setiap desah angin sekalipun. Anak-anak, suami, tetangga, kerabat, semuanya adalah sumber informasi yang akurat.

Mudassar dan foto adiknya yang telah pergi (AGUSTINUS WIBOWO)

Mudassar dan foto adiknya yang telah pergi (AGUSTINUS WIBOWO)

Dalam tenda keluarga itu, Mudassar (16 tahun) dan Amar (10 tahun), kedua adik Mubasshar, menunjukkan foto-foto kenangan adik-adik mereka yang telah pergi. Semuanya masih balita. Yang paling menyedihkan adalah foto Bu Basyir menggendong bayi kecil dengan wajah mirip China itu. Foto itu benar-benar mengingatkan saya pada foto ibu saya yang menggendong saya waktu bayi. Saya mengerti mengapa Bu Basyir begitu terharu melihat saya. Itulah kasih sayang seorang ibu yang tak terbantahkan.

Bu Basyir datang ke tenda. Inilah kali pertama kami bertatap pandang. Tak banyak percakapan, yang ada hanya kekikukan, senyum kecil, dan setitik air di ujung mata. Sungguh saya telah membuka lagi luka lamanya.

Keluarga ini benar-benar bangkit dari puing-puing. Reruntuhan batu di lapangan yang menghadap langsung ke puncak salju Nanga Parbat menunjukkan ukuran rumah mereka yang sangat besar. Sekarang keluarga ini harus tinggal di dalam tenda sederhana. Pastilah tak mudah bagi orang yang dulunya kaya raya dan kini harus kehilangan segalanya.

Tetapi saya melihat ketabahan yang luar biasa dalam kesederhanaan Pak Basyir yang begitu banyak berkorban sebagai penjaga kemah. Saya menaruh hormat yang luar biasa kepadanya, yang tak pernah mengeluarkan keluh kesah apa pun tentang bencana yang dialaminya.

Hidup harus terus berjalan (AGUSTINUS WIBOWO)

Hidup harus terus berjalan (AGUSTINUS WIBOWO)

Dibandingkan dengan orang dewasa yang punya setumpuk ikatan masa lalu, anak-anak mungkin lebih mudah melupakan. Zein, bocah enam tahun keponakan Basyir yang tinggal di lereng atas, bermain dengan riang, berlari ke sana ke mari, seraya berteriak, “baby full… baby full.…” Maksudnya ‘beautiful’. Dia sudah tak ingat lagi ketika adiknya yang masih balita, yang duduk di sampingnya ketika gempa mengoyak bumi. Zein dan adiknya dievakuasi dari reruntuhan sehari sesudah gempa. Yang satu bertahan hidup, yang satunya lagi beristirahat dalam liang lahat mungil di lereng bukit.

“Hidup harus terus berjalan,” kata Pak Basyir. Ada semangat luar biasa di mata tuanya yang berbinar. Lima bulan sudah Pak Basyir dan putra-putranya bekerja membangun rumah permanen dari bahan bangunan yang disediakan organisasi kami. Kini rumah mungil itu sudah hampir jadi, dinding-dindingnya dari lembaran CGI sheet yang mirip lembaran seng, dicat warna merah menyala.

“Inilah rumah baru kami, harapan kami,” kata Mubasshar bangga. Hari-hari tinggal di tenda yang dingin di musim salju dan pengap di musim panas akan segera berakhir. Rumah mungil dan sederhana ini memang tidak ada apa-apanya dibandingkan rumah besar mereka yang lama.

Hidup memang harus terus berjalan.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 6 Maret 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*