Recommended

Titik Nol 163: Barat dan Baran

Menanti datangnya barat (AGUSTINUS WIBOWO)

Menanti datangnya barat (AGUSTINUS WIBOWO)

Vicky terbilang rajin mengunjungi kamp sukarelawan kami, sudah menjadi kawan akrab kami hampir setiap hari. Kemarin, di bawah guyuran hujan gerimis, Vicky datang menyampaikan undangan pernikahan seorang kerabatnya.

Sudah beberapa hari pegunungan Kashmir dilanda sapuan hujan lebat dan gemuruh tanah longsor. Tetapi hari ini matahari terik bersinar. Gunung-gunung Kashmir mulai berdandan dengan selimut hijau. Musim semi telah tiba, diawali hujan yang memunculkan kembali segarnya rumput dan pohon. Langit biru cerah. Benar-benar hari yang indah untuk melangsungkan pernikahan.

Bersama beberapa kawan sukarelawan, kami menuju ke tempat perhelatan pernikahan. Vicky dan beberapa sepupunya yang masih kecil-kecil sibuk menata kursi di tanah lapang yang dipenuhi bongkah batu. Seperti layaknya daerah pasca gempa, lokasi acara pernikahan kali ini pun tak jauh dari puing-puing dan tenda.

Lihat saja dapurnya. Tungku api dinyalakan di atas puing-puing batu. Entah rumah siapa yang pernah ambruk di sini. Dua tongkat kayu menyokong selapis atap seng, melindungi masakan yang baru matang.

Di dapur terbuka ini semua orang sibuk. Dua juru masak membikin nasi biryani di panci berukuran raksasa. Di Kashmir, nasi adalah menu wajib untuk acara besar seperti pernikahan, perkabungan, tahlilan, dan sebagainya. Panci satunya untuk memasak daging sapi, diiris kecil-kecil dan diaduk dalam adonan sup qorma. Coklat hitam warnanya. Baunya jangan ditanya lagi, dijamin membuat perut langsung keroncongan.

Dapur darurat (AGUSTINUS WIBOWO)

Dapur darurat (AGUSTINUS WIBOWO)

Ada pula bocah-bocah yang menaruh nasi biryani yang menggunung dan daging qorma yang berember-ember ke barisan piring gembreng, siap dihidangkan kepada para tamu. Semua dikerjakan dengan tangan telanjang. Pesta pernikahan di tempat darurat seperti ini memang tak perlu diskusi panjang lebar tentang kebersihan dan sanitasi.

Tak jauh dari dapur, ada kulkas tua berwarna hijau muda, berdiri sendirian di lapangan terbuka atas tumpukan puing-puing batu. Bukan daging yang disimpan di dalamnya, melainkan buku pelajaran dan koleksi kaset lagu India kepunyaan Meraj, sepupu Vicky yang masih empat belas tahun. Di sini tak ada listrik. Kulkas pun beralih fungsi menjadi almari. Orang-orang daerah bencana bertahan hidup dengan apa pun yang masih tersisa.

Lapangan mulai penuh orang. Tamu-tamu berdatangan, dan keluarga pengantin menyalami para tamu dan langsung menghidangkan sepiring nasi pullao dan qorma. Saya hanya melihat laki-laki. Tamu perempuan ada tempatnya sendiri, di dalam rumah kayu yang baru saja dibangun.

Meraj dan lemari bukunya (AGUSTINUS WIBOWO)

Meraj dan lemari bukunya (AGUSTINUS WIBOWO)

Tamu yang datang langsung dibawa ke lapangan. Di sana belasan kursi sudah berbaris, menantang langit mendung. Cuaca di pegunungan memang sukar diterka. Pagi tadi matahari terik membakar, sekarang langit kelabu sudah menangkupi bumi. Siapa tahu berapa menit lagi akan hujan.

Acara hari ini cuma menunggu. Sepupu Vicky yang menikah adalah mempelai perempuan. Saya sama sekali tidak melihat wajahnya. Penduduk desa ini sangat tradisional dan memegang teguh aturan purdah. Purdah, yang secara harafiah berarti tirai, adalah pemisahan yang ketat antara perempuan dan laki-laki. Wajah perempuan sama sekali tidak terlihat oleh kaum pria.

Pengantin perempuan dan tamu-tamu wanita semua berkumpul di dalam rumah. Tamu pria menunggu di lapangan terbuka, bercengkerama menghabiskan waktu. Yang kami nanti-nantikan adalah datangnya barat, rombongan pengantin pria dari desa seberang yang akan menjemput sang puteri dari desa kami.

Kami sedang menunggu datangnya Satu jam, dua jam, tiga jam, berlalu begitu saja. Langit semakin gelap. Sebentar lagi turun hujan. Barat tak juga datang, malah baran (hujan) sudah muncul duluan.

Tetes gerimis mulai membasahi bumi. Kursi-kursi di lapangan langsung kosong. Tamu-tamu yang semula duduk sudah bubar ke berbagai penjuru, mencari perlindungan dari hujan. Gerimis bubar. Tanah lembut menjadi lumpur yang menjengkelkan. Hujan semakin lama semakin deras.

Keluarga Vicky panik, mencari tempat pengganti. Setelah debat panjang yang penuh teriakan penuh gelisah, akhirnya diputuskan untuk menggunakan rumah shelter darurat milik Vicky yang masih belum jadi. Rumah kayu ini masih belum ada atapnya, tetapi sudah dipasangi terpal biru yang menangkupi. Ukurannya tak lebih dari 3 x 3 meter. Jendelanya berukuran besar, tetapi belum dipasangi kaca. Titik-titik hujan menetes membasahi ruangan.

Bocah-bocah sibuk membersihkan rumah darurat ini. Para pria langsung menaruh terpal lain, yang nanti akan menjadi alas duduk. Dalam hitungan menit, rumah ini sudah siap menjadi tempat akad nikah.

Di bawah rintik hujan, akhirnya sang pengantin pun datang (AGUSTINUS WIBOWO)

Di bawah rintik hujan, akhirnya sang pengantin pun datang (AGUSTINUS WIBOWO)

Setengah jam kemudian, dari kejauhan nampak arak-arakan barat. Lima puluhan janji, orang-orang yang ikut dalam arakan barat, berbaris mengular menyusuri pendakian lereng gunung yang terjal. Barat ini berasal dari Pattika, sebuah desa pasar di dekat jalan raya di utara sana. Dari kampungnya, mereka datang dengan mobil sampai ke kaki gunung, kemudian dilanjutkan acara pendakian menyusuri lereng berlumpur sampai ke Noraseri.

Pengantin pria memimpin iring-iringan barat ini. Umurnya sekitar 35 tahun. Kumisnya tebal, wajahnya tegang dan garang. Surbannya putih, berpadu dengan shalwar kamiz dan jubah berwarna senada. Di lehernya dikalungkan untaian besar bunga-bunga merah dan kuning. Di belakangnya, para pengiring yang laki-laki mengikuti. Para pengiring perempuan dengan pakaian yang berwarna-warni menyala tertinggal di belakang.

Anggota barat yang laki-laki segera memenuhi rumah darurat mungil ini. Tak semua bisa masuk, hanya kerabat dekat pengantin saja. Sisanya menunggu di luar, di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Para pengiring perempuan sudah berada di ruangan khusus bagi mereka, sama sekali tak terlihat oleh kami.

Akad nikah pun dimulai.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 20 Maret 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*