Recommended

Titik Nol 168: Negeri Para Petarung (4)

Ali Zaman dan Gul Zaman (AGUSTINUS WIBOWO)

Ali Zaman dan Gul Zaman (AGUSTINUS WIBOWO)

Tongkat, bedil, dan pedang adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Kandar. Seorang tetua Kandar mengajari saya tentang filosofi budaya bertarung mereka.

“Tidak benar orang Kandar suka bertarung,” sangkal Behsar, pemuda dari desa Kandar Tengah. Saya masih berdebat dengannya, membenturkan data-data yang berhasil saya kumpulkan dengan sanggahan-sanggahannya.

Saya bertanya tentang di mana helipad tempat pembajakan helikopter itu terjadi. Behsar menunjuk ke atas. Dia keceplosan. Jawabannya membuktikan bahwa peristiwa itu memang terjadi.

Semuanya jadi berbalik arah. Dari defensif, ia kini terang-terangan membanggakan kebiasaan berkelahi. “Apa salahnya? Kami memang bukan orang yang lemah! Tetapi kami sangat bersahabat dengan orang luar!”

Lalu mengapa orang-orang Noraseri punya begitu banyak kisah konyol dan seram tentang kebiasaan antik orang Kandar? Mengapa semua orang di lereng bawah gunung sana takut akan keganasan orang Kandar?

“Karena orang Noraseri-mu itu tidak berpendidikan!”

Dari seorang Behsar yang lemah lembut dengan bahasa Inggris yang fasih karena pendidikan yang tinggi, kini ia berubah menjadi Behsar yang benar-benar orang Kandar.

Farman sebenarnya sudah mulai kesal dengan saya. Dia sudah tidak ingin untuk membawa saya ke tempat yang lebih tinggi lagi.

“Saya masih belum melihat Kandar,” sanggah saya, “ayolah, bawalah saya ke atas lagi. Setidaknya sampai melihat helipad itu.”

Dengan berat hati kami terus mendaki. Semakin ke puncak, jalanan semakin terjal dan licin. Berkali-kali saya terpereset pasir halus sepanjang tebing. Sementara di bawah sana, kaki gunung nampak jauh di ujung pandangan.

Sampai di puncak bukit, pertama kali saya melihat pemandangan Kashmir yang luar biasa ini. Bukit dan gunung bertebaran sejauh mata memandang, seperti kerut-kerut yang tak beraturan namun punya harmoni misterius yang menebarkan keanggunan surgawi. Gunung-gunung dibungkus selimut hijau yang permai. Langit biru dan gumpalan awan mempercantik lukisan Tuhan ini.

“Lihatlah Kashmir kami yang cantik,” kata Farman bangga, dari titik puncak bukit ini. Kashmir memang dilukis Tuhan dengan konsentrasi penuh.

Garang (AGUSTINUS WIBOWO)

Garang (AGUSTINUS WIBOWO)

Tetapi yang membuat takjub bukan hanya lekukan kurva tubuh gunung yang sambung-menyambung tak beraturan namun berhamoni. Tengoklah dari kaki gunung hingga ke puncak-puncak terjal yang seakan tak mungkin didaki itu. Ribuan noktah putih bertebaran, merayap dari dasar lembah, ke punggung bukit, hingga titik-titik pundak yang menggapai langit.

Manusia merayap di sekujur tubuh pegunungan, membuat perkampungan yang hanya sebesar noktah dilihat dari angkasa. Bak perahu nelayan yang bertebaran di samudera, bak titik bintang yang berserakan di langit malam, noktah yang menyelimuti barisan gunung raksasa ini menyiratkan kebesaran Tuhan dan kerdilnya manusia.

Sekarang bayangkan ketika Tuhan menggoyang tempat ini, hanya dengan sedikit senggolan, meruntuhkan gunung-gunung raksasa, meluberkan tanah, menelan noktah-noktah kecil yang merayap, melumatkan manusia malang yang berteriak meratap. Semua makhluk mungil yang bagaikan hamba di depan kebesaran gunung-gunung, hilang tertelan begitu saja.

Itulah bencana dahsyat yang menghancurkan Kashmir. Setiap noktah kecil ini punya ceritanya masing-masing. Dan saya kini berada di Kandar, satu dari ribuan noktah itu, yang mengkisahkan tentang kegagahan bangsa petarung.

Gali, nama desa ini, terletak di puncak bukit. Ini masih belum masuk puncak desa Kandar Atas, yang paling terkenal dengan penduduknya yang ganas-ganas. Tetapi melihat keluhan Farman, nampaknya ini menjadi titik terakhir kunjungan kami ke desa-desa Kandar.

Tetua desa Gali adalah seorang kakek dengan jenggot putih lebat dan rambut berwarna oranye. Di Pakistan, sepertinya orang tua dengan rambut berwarna oranye lebih dihormati. Ada yang asli, ada pula yang semiran.

Kepalanya juga ditutup dengan surban yang cara melilitnya seperti orang Kandar lainnya, menyisakan sepotong pendek ujung kain keluar dari lilitan. Namanya Gul Zaman, menurut KTP-nya lahir tahun 1928. Ia menunjukkan sebilah pedang, disebut talwar. “Ini adalah kebanggaan orang Kandar,” katanya bangga, sambil terkekeh-kekeh menyembulkan senyum di balik jenggot putihnya. Kalau di daerah Hunza, talwar cuma aksesori pengantin, di Kandar pedang ini masih berfungsi sebagai senjata atau perlengkapan olah raga. Selain pedang, Gul Zaman juga menunjukkan tongkat kayu, yang pasti juga jadi senjata ampuh untuk memukul musuh.

Orang Kandar tak pernah gentar (AGUSTINUS WIBOWO)

Orang Kandar tak pernah gentar (AGUSTINUS WIBOWO)

Ali Zaman, adik Gul Zaman, adalah imam di desa itu. Rambut dan jenggotnya berwarna persis seperti Gul. Ia hanya memakai peci.

“Berkelahi itu tidak dosa,” kata Ali ketika saya bertanya tentang hubungan berkelahi dengan dosa, “kalau kamu dipukul wajah kananmu, maka balas dengan pukul wajah kiri musuhmu. Itu tidak dosa.” Lalu bagaimana dengan berkelahi di pesta pernikahan hanya demi seiris daging ayam? “Itu juga tidak masalah. Yang dosa itu cuma yang memulai perkelahian.” Sungguh simpel sekali filosofi pertarungan orang Kandar.

Rumah Gul dan Ali Zaman hancur lebur oleh gempa. Tujuh anggota keluarga mereka meninggal. Kini mereka mulai membangun lagi rumah permanen, yang katanya semua jerih payah mereka sendiri tanpa sokongan organisasi mana pun.

Desa petarung ini, sebuah noktah di puncak salah satu dari ratusan gunung di Kashmir, juga punya ceritanya sendiri.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 27 Maret 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*