Recommended

Titik Nol 169: Selamat Tinggal Noraseri

Para sukarelawan mengucapkan selamat tinggal kepada penduduk Noraseri, diiringi cucuran air mata (AGUSTINUS WIBOWO)

Para sukarelawan mengucapkan selamat tinggal kepada penduduk Noraseri, diiringi cucuran air mata (AGUSTINUS WIBOWO)

Mentari pagi menyembulkan sinarnya di balik barisan pegunungan Kashmir. Puncak tinggi Nanga Parbat berdiri gagah penuh aura misteri. Lekukan kurva sambung menyambung ke seluruh penjuru. Permadani hijau membungkus bumi. Kashmir menyambut datangnya musim panas.

Tetapi justru di saat inilah saya harus meninggalkan Noraseri. Tujuh minggu di kamp sukarelawan berlalu begitu cepat. Saya teringat, di bawah rintik hujan ketika saya pertama kali datang, dikenalkan dengan belasan wajah-wajah dan nama-nama baru, berkelap-kelip di bawah sinar lampu minyak.

Para sukarelawan yang masing-masing punya cerita unik. Ada juru masak yang telur gorengnya luar biasa nikmat di pagi yang dingin, yang berkisah tentang hidup di Yunani dan bagaimana beriman sepenuhnya. Ada yang suka mengajukan pertanyaan tanpa henti, sepanjang hari, membawa berbagai topik diskusi berat. Ada permainan kriket di sore yang cerah. Ada yang serius mengerjakan tugas-tugas di kegelapan malam hanya dengan sinar lampu petromaks. Ada lantunan naat di kemah, dengan penduduk desa yang datang berkerumun.

Saya teringat betapa susahnya jalan naik turun gunung untuk melakukan survey di bawah guyuran hujan, melintasi tebing curam dan becek, atau lereng terjal berbalut pasir dan kerikil licin yang bisa longsor setiap saat. Betapa indahnya senyum penduduk desa kala kami membagikan lembaran CGI sheet untuk atap dan tembok. Rumah-rumah permanen bermunculan di lereng gunung, menandakan harapan yang bangkit kembali dari puing-puing kehancuran. Gedung sekolah dan apotik sederhana pun sudah berdiri, mengusung kembali impian yang pernah terjerembab.

Angin musim semi yang dingin menerpa wajah saya. Lapangan ini, tempat saya melewatkan minggu-minggu yang berlalu bak terbang, memainkan kembali semua kenangan manis di Noraseri. Rintik hujan yang dalam acara penguburan Haji Sahab, canda Dokter Sahab yang mengaku sebagai teman Sukarno, pemuda-pemuda desa yang rajin memeluk dan bertukar canda tanpa makna, Basyir Sahab dan istrinya yang sudah menganggap saya anak sendiri, pernikahan dengan isak tangis pengantin yang tersembunyi di balik tandu, hingga desa para petarung ganas.

Semua kini tinggal kenangan. Perkemahan kami sudah kosong. Yang tersisa adalah tanah lapang dengan garis-garis bekas tenda di atas rumput. Tak lama lagi, garis-garis ini pun akan lenyap, berganti dengan hijaunya rumput, dan kelak, susah membayangkan bahwa pernah ada perkemahan kami di sini.

Di kala musim mulai bersahabat saya malah harus meninggalkan desa ini, yang kata Farman sudah menjadi rumah kedua saya. Berat sekali rasanya.

Saya berangkulan dengan Pak Dokter Zaman yang jenggot putih lebatnya tak akan pernah pupus dari ingatan saya. “Jangan lupa, peci hitam ala Sukarno ya,” bisiknya.

Perpisahan memang menyakitkan (AGUSTINUS WIBOWO)

Perpisahan memang menyakitkan (AGUSTINUS WIBOWO)

Perpisahan dengan Pak Basyir lebih mengharukan lagi. Mudassar, putranya, bercerita kalau semalaman ibunya menangis karena tahu saya akan pergi dari Noraseri, mungkin untuk selamanya. Bu Basyir menganggap saya sebagai pengganti bayinya yang bermata sipit yang meninggal dalam gempa. Beliau sedih sekali karena saya tidak sempat menginap di rumah mereka. Waktu saya mengucap salam perpisahan, Bu Basyir menangis.

Air mata ibu itu mengingatkan saya pada ibu kandung saya di Indonesia, ketika melepas saya yang bersekolah di negeri seberang. Tetesan air mata ibu yang membuat saya selalu teringat akan rumah, kampung halaman, akar saya.

Bu Basyir mengusap-usap kepala saya. Saya menunduk dengan takzim, menerima pemberkatan dari seorang perempuan desa Pakistan yang bahkan hampir tak pernah bertukar kata dengan saya. Tetapi ada cinta luar biasa yang menembus kungkungan adat yang kuat itu.

Rumah Pak Haji masih tetap ramai. Sanak saudara yang berdatangan untuk memperingati empat puluh harinya Pak Haji masih belum juga pulang. Saya menjadi dekat dengan keluarga ini sejak meninggalnya Haji Sahab, tepat pada hari pertama kedatangan saya di desa ini. Saya tak pernah bertatap muka dengan Pak Haji, tetapi keramahtamahan dan kemurahhatiannya tetap saya rasakan walaupun beliau sudah almarhum.

“Ayo, kita ke Barhean,” kata Samera penuh semangat, “Ini bukan bercanda. Hari ini di Barhean juga ada acara perkabungan.” Saya menggeleng, “Saya harus ke Muzaffarabad hari ini.” Hafezah dan Bari Amma sudah berangkat bekerja di rumah sakit. Samera jadi repot mengurus bocah-bocah yang langsung berlompatan dan berteriak minta difoto.

Rumah ini memang tak pernah sepi.

Di rumah Vikash alias Vicky, sang ibu juga menitikkan air mata di pipi. Saya hampir sama sekali tak pernah bicara dengan ibu Vicky, karena di lingkungan desa Pakistan yang tradisional ini, kita harus selalu menjaga jarak dengan lawan jenis. Dari cerita yang saya dengar, ibu Vicky juga diam-diam sudah menganggap saya sebagai anaknya sendiri, apalagi karena saya sering bermain dengan anak-anaknya.

Betapa banyak penduduk Noraseri yang begitu berlimpah cinta kasih, sementara mereka sendiri pun masih berjuang bangkit kembali dari kehancuran. Di desa ini saya belajar tentang cinta dan harapan.

Selamat tinggal, Noraseri.
Saya melangkah berat.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 30 Maret 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*