Recommended

Titik Nol 173: Tuan Rumah

Rumah mewah bertabur di Islamabad (AGUSTINUS WIBOWO)

Rumah mewah bertabur di Islamabad (AGUSTINUS WIBOWO)

Konsep mehman begitu mengakar dalam sanubari kehidupan orang Pakistan. Sebagai tamu, saya tidak hanya merasa malu saja, kali ini saya bahkan dirundung perasaan berdosa.

Sudah beberapa hari ini saya tinggal di rumah Syed Ijaz Gillani, seorang kawan dekat yang juga sukarelawan selama di Kashmir. Dari namanya, Syed, menunjukkan ia orang yang dihormati karena konon adalah keturunan langsung Nabi Muhammad. Di negara ini, biasanya orang yang mengenal sang Syed langsung menyentuhkan tangan mereka ke sepatunya, lalu menempelkan tangan ke jidat mereka. Kalau bersalaman mereka sampai mencium tangan dan untuk kasus ekstrim sampai mencium kaki. Penghormatan seperti ini adalah cara orang Hindu menghormati kasta pandita. Kultur India ini belum luntur di Republik Islam Pakistan.

Selain karena namanya, Syed Ijaz juga orang terpandang. Rumahnya seperti istana kecil di Islamabad. Rumah-rumah di kota yang jarang-jarang penduduknya ini bisa dikatakan hampir semuanya tergolong mewah, sungguh kontras dengan perumahan kumuh di Rawalpindi, saudara kembar kota ini. Ijaz punya bisnis keluarga yang cukup sukses. Selain itu beberapa kerabat dekatnya adalah pemuka agama penting di seluruh Pakistan.

Ayah Ijaz yang sudah tua dan sangat taat beragama (AGUSTINUS WIBOWO)

Ayah Ijaz yang sudah tua dan sangat taat beragama (AGUSTINUS WIBOWO)

Kekayaan Ijaz dan kawan-kawannya membuat saya terperangah. Pernah saya diundang ke rumah Madam Mona, seorang wanita sukarelawan juga di Kashmir. Umurnya sudah paruh baya, tetapi masih nampak muda. Kosmetik tebal selalu menghias wajahnya. Rambutnya yang pirang tertutup bandana. Kulitnya putih seperti bule. Ia selalu mengenakan celana. Penampilannya, logat bahasanya, gerak-geriknya, semua membuat saya berpikir bahwa Madam Mona adalah kaum ningrat dari negeri Eropa. Tetapi sebenarnya Madam Mona adalah perempuan Pakistan. Ibunya dari Libanon, ayahnya dari Pakistan, hanya saja lama tinggal di negeri Barat. Logat bahasa Urdunya pun tercampur aksen Ratu Victoria.

Yang paling mencengangkan adalah rumah besarnya. Begitu mewah. Juga kawan-kawannya yang datang bertamu, semua dari kelas atas. Sungguh saya tak biasa duduk di sofa yang empuk di rumah bertingkat yang lantainya dari pualam mengkilat, setelah sekian lama tinggal di tenda dan puing-puing reruntuhan.

Di daerah elit Islamabad, di mana rumah mewah bak istana berjajar sepanjang jalan, para perempuan yang sophisticated sibuk membincangkan makanan anjing dan pengalaman berjalan santai di pinggiran kota Karachi. Walaupun demikian, ada pula unsur membuminya, misalkan perbincangan tentang penderitaan korban gempa di Kashmir dan rumah-rumah tenda di Noraseri.

Kalangan elit Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Kalangan elit Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Dari pengamatan saya tinggal di Pakistan, kelas menengah tak banyak jumlahnya.. Negeri ini terdiri dari segelintir orang kelas atas dan seabrek manusia dari kelas bawah. Yang di kelas atas hidup eksklusif, di balik tembok tinggi, di dalam rumah mewah bak istana. Yang di kelas bawah, mayoritas, tinggal di kota yang kumuh, bergulat untuk bertahan hidup. Para pekerja sosial kebanyakan orang kelas atas. Yang sempat membuat saya kagum adalah orang-orang dari kelas atas ini yang tak sungkan, walaupun tak sering juga, untuk terjun langsung ke lapangan melakukan kegiatan sosial.

Madam Mona sesekali mengunjungi proyek-proyek bantuan gempa. Syed Ijaz malah meninggalkan pekerjaannya sebagai direktur taman bermain selama berbulan-bulan, hanya untuk tinggal di kemah, membagikan bahan atap rumah, bergaul dengan korban gempa di desa Noraseri yang sederhana.

Sisi lain dari keluarga elit Ijaz adalah religiusnya. Di rumah besar ini, ruang tamu dipisahkan menjadi dua bagian oleh sehelai kelambu. Kelambu ini, disebut purdah, membuat tamu pria sama sekali tak bisa melihat anggota rumah yang perempuan. Hanya sepotong lengan yang muncul dari balik purdah membawa nampan berisi poci teh dan makanan. Saya hanya mendengar suara kaum perempuan yang melengking tinggi dari balik purdah. Wajah mereka hanya fantasi saja. Bahkan Ijaz pun tak pernah memperkenalkan istrinya atau anak perempuannya.

Selain anggota keluarga, di rumah ini juga ada pembantu. Masih kerabat Ijaz juga, dari desa. Saya tak terlalu banyak mengenalnya, karena ia terlalu sibuk.

Karena merasakan kenyamanan, saya hanya meletakkan tas punggung saya di kolong sofa, tempat saya tidur. Sebagai seorang backpacker miskin yang hanya punya uang beberapa ratus dolar saja, saya menyimpan semua uang dalam bentuk cash dalam amplop, dimasukkan dalam dompet di dasar ransel.

Suatu hari, betapa terkejutnya saya menemukan tas saya sudah diacak-acak. Ada beberapa DVD film India yang hilang. Tetapi yang paling membuat saya lemas adalah, uang seribuan Rupee saya hilang sepuluh lembar. Sekitar satu setengah juta rupiah totalnya.

Saya bingung. Lagi-lagi gara-gara keteledoran, saya kehilangan barang berharga. Saya terlalu merasa aman di rumah mewah ini, dan sungguh tak menyangka akan kecurian uang. Ruang yang saya tinggali sebenarnya adalah ruang tamu, di mana orang bebas keluar masuk.

Entah apa yang harus saya lakukan? Memberi tahu Ijaz? Tak enak rasanya. Sudah berapa hari ini saya makan dan tidur gratis di rumah ini, sekarang malah membawa masalah dengan hilangnya uang. Tak bilang? Uang itu terlalu besar artinya bagi saya.

“Jangan kuatir. Hanya sepuluh ribu Rupee saja. Sama sekali tidak ada artinya,” hibur Ijaz, “pasti ketemu, pasti ketemu.”

Malamnya, uang sepuluh ribu Rupee sudah terselip di dalam tas saya. Pasti Ijaz diam-diam menaruhnya di sana. Saya sudah mengobrak-abrik kedamaian rumah ini dengan laporan uang hilang, dan Ijaz pun merogoh kocek untuk menyelamatkan mehman-nya. Sungguh saya merasa sangat berdosa.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 3 April 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*