Recommended

Titik Nol 176: Tambang Garam

Mahasiswi Universitas Punjab mendengarkan penjelasan pemandu wisata di dalam gua garam Khewra (AGUSTINUS WIBOWO)

Mahasiswi Universitas Punjab mendengarkan penjelasan pemandu wisata di dalam gua garam Khewra (AGUSTINUS WIBOWO)

Di bawah tanah, ada dunia lain Pakistan yang tersembunyi. Sejuk, indah, misterius.

Mungkin tak banyak orang yang tahu, Pakistan punya pertambangan garam terbesar kedua di dunia. Kalau bayangan saya yang tinggal di pesisir sebuah pulau Indonesia, garam dihasilkan dari air laut yang dijemur di bawah terik matahari. Sungguh tak terbayang, bahwa ternyata garam juga muncul di perut bumi. Di bawah tanah Punjab, di bawah lapisan gundukan gunung pasir, ada sebuah dunia lain yang penuh warna.

Tambang garam Khewra terletak sekitar 200 kilometer di selatan Islamabad. Pertambangan garam di sini termasuk salah satu yang tertua di dunia, sudah mulai sejak zaman Iskandar Yang Agung. Dikisahkan, prajurit perang Iskandar yang kelelahan, secara tak sengaja menemukan tambang garam raksasa ini ketika memperhatikan kuda-kuda makan tanah. Sekarang, pertambangan Khewra ukurannya 260 kilometer panjangnya dan 900 meter tingginya. Gua dan terowongan di dalam bukit gunung dibagi menjadi 17 lantai, dengan 11 lantai di bawah permukaan tanah. Cadangan garam di sini tak akan habis dikonsumsi selama 600 tahun sekalipun!

Dulu, tempat ini tertutup untuk umum. Semua yang mau datang ke sini harus mendapat izin dari Kementrian Pertambangan. Tetapi sekarang Pakistan mulai mempromosikan pertambangan garam Khewra sebagai salah satu andalan negara ini untuk menarik wisatawan domestik dan mancanegara.

Memasuki tambang garam, pengunjung harus mendapat pengawalan dari guide yang disediakan pihak pertambangan. Kebetulan saya satu rombongan dengan mahasiswa dan mahasiswi Universitas Punjab yang sedang berdarmawisata. Dosen pembimbingnya ternyata pernah belajar enam tahun di Malaysia, dan sekarang malah sibuk mengingat-ingat lagi kemahirannya berbahasa Melayu.

“Apa nama salt ni dalam bahasa Melayu?” ia bertanya.
“Garam,” jawab saya, yang langsung disambut seruan dari mahasiswa yang serempak terkejut.
Yih garam nehi….bohut sardi hai!”.

Bermain di permukaan gua yang sejuk (AGUSTINUS WIBOWO)

Bermain di permukaan gua yang sejuk (AGUSTINUS WIBOWO)

Kata garam dalam bahasa Urdu berarti panas, dan para mahasiswa protes karena gua garam ini justru sangat dingin, 18 derajad suhunya.

Semua yang ada di sini adalah garam. Atap gua, jurang, stalagtit, stalagmit, semuanya. Bahkan ada rumah sakit di dalam gua.

“Garam bagus untuk penderita asma,” jelas dosen itu dalam bahasa Melayu, menterjemahkan omongan guide yang tidak sempat saya ikuti, “sekarang Polandia sedang membantu pembangunan rumah sakit rehabilitasi penderita asma di dalam gua garam ini.” Polandia adalah negara dengan tambang garam terbesar di muka bumi.

Bukan hanya rumah sakit. Pakistan berambisi membangun sebuah kota garam di perut bumi. Sekarang sudah ada Masjid Badshahi, di bawah tanah, terbuat dari balok-balok garam yang sudah berwujud seperti batu bata. Balok garam ini tembus pandang, menghablurkan cahaya warna-warni ketika diterpa cahaya lampu penerang. Ada oranye, merah, putih, merah muda, kuning, dan bening. Warna yang muncul tergantung dari kandungan mineral yang ada di dalamnya.

Semua ini terbuat dari garam (AGUSTINUS WIBOWO)

Semua ini terbuat dari garam (AGUSTINUS WIBOWO)

Masjid Badshahi bawah tanah ini berfungsi sepenuhnya. Yang mau salat di perut bumi pun boleh, di mana lagi kalau bukan di sini? Yang mau kirim kartu pos juga tak perlu kawatir. Di bawah tanah ada kantor pos, dengan seorang petugas yang terjebak dalam ruangan kecil dari batu garam. Atau ada yang ingin berkirim email dari dalam gua? Di sebelah kantor pos sudah ada warung internet dan telepon, kita bisa berkirim kabar dengan kawan saudara yang bermandi sinar matahari di atas permukaan bumi sana. Atau yang mau makan siang? Ada restoran dalam gua garam. Tapi jangan khawatir, makanannya bukan cuma garam. Sekarang, Minar-e-Pakistan, menara kebanggaan Pakistan, sedang dibangun.

Semua kemegahan bawah tanah ini mengkontraskan suasana gua yang mencekam. Di luar daerah yang dikhususkan untuk turis, sekilas tambang garam yang tampak adalah gelap, bisu, dingin, dan mati. Betapa beratnya bekerja sebagai penambang garam, hidup dalam dinginnya gua, berkawan dengan kebisuan berhari-hari, bertahun-tahun.

Danau gua garam menebarkan aroma misterius. Airnya jernih, tenang, terperangkap dalam keheningan. Suara tetes air bergema, menyuarakan kekosongan dalam rongga perut bumi ini. Garam yang kita lihat berwarna-warni dihasilkan dari dinding gua. Bagian yang sudah habis ditambang meninggalkan relung dan jurang yang dalam, tak terlihat lagi dasarnya ditelan pekatnya hitam. Kalau saja ada yang terpeleset ke dalam gua itu, suara dentumannya mungkin baru terdengar sepuluh detik kemudian. Rembesan air menetes perlahan, menggumpal, membentuk stalagtit di langit-langit. Siapa yang menyangka, barisan ‘duri’ raksasa itu semua terbuat dari kristal garam? Dalam gua dingin, semua proses alam berjalan lambat-lambat, setetes demi stetes, tetapi hasilnya adalah kebesaran yang maha agung dalam ajaibnya perut bumi.

Bahkan kantor pos pun dari garam (AGUSTINUS WIBOWO)

Bahkan kantor pos pun dari garam (AGUSTINUS WIBOWO)

Begitu keluar dari gua, kami kembali lagi ke dunia Pakistan yang sebenarnya. Gadis-gadis mahasiswi tertawa riang dan mendiskusikan pengalaman tak biasa yang baru saja mereka alami. Para pemuda sudah mendesak pak dosen untuk segera makan siang. Kami langsung digiring lagi ke dalam bus. Saya yang bukan mahasiswa Universitas Punjab diangkut juga.

Ada bus khusus untuk mahasiswa, dan satu lagi khusus untuk mahasiswi. Pak dosen menceritakan betapa ia merasa berdosa, bertahun-tahun tinggal di Malaysia ia harus menumpang bus dan duduk di sebelah perempuan yang bukan muhrim.

“Begitu selesai kuliah,” lanjutnya, “saya langsung pergi ke Saudi Arabia untuk umrah, menyucikan diri dari dosa.”

Di sebelah bukit-bukit garam ini, mobil yang kami tumpangi merangkak perlahan-lahan. Batas kecepatan maksimum cuma 50 kilometer per jam. Sebegitu ringkihnyakah bukit-bukit ini, yang rongganya di bawah bumi sana amat dahsyat dan penuh fantasi?

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 8 April 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*