Recommended

[Kompas] Cermin Identitas di Antara Garis Batas

Kompas Minggu 20 Juni 2021

HERLAMBANG JALUARDI

Kompas.id

Jurnalisme utamanya adalah pekerjaan kaki. Maka itu yang dilakukan Agustinus Wibowo, petualang dan penulis perjalanan. Dengan ransel di punggung, buku catatan, dan kamera, dia melintasi banyak batas negara. Pengalaman di tempat asing itu ibarat cermin yang merefleksikan identitasnya.

Agustinus tiba di sebuah warung mi jawa di daerah Palmerah, Jakarta, setengah jam sebelum janji bertemu pada Senin (14/6/2021) siang. Dia duduk sendirian. Es teh manis terseruput hampir setengah gelas. Mi goreng pedas mengalihkan perhatiannya dari buku Jalan Pulang karya Maria Hartiningsih yang tertelungkup di samping piring.

”Aku enggak terbiasa baca e-book,” ujarnya menyeka mulut dengan tisu. Itu sama asingnya dengan angkutan berbasis daring yang perlahan jadi kebiasaan warga perkotaan. Untuk tiba di tempat perjumpaan itu dari tempat tinggalnya di daerah Grogol, Jakarta Barat, Agus naik bus umum dan jalan kaki lagi sekitar 2 kilometer. Dia menyandang ransel harian merek lokal, bukan endorsement.

Gawai—ponsel dan komputer—dia pakai untuk urusan pekerjaan, seperti riset, menulis, dan berkomunikasi. Berinteraksi di media sosial pun, katanya, jarang sekali. Aktivitasnya di depan layar dihitung secara rinci. ”Jadi ketahuan produktif sudah berapa jam, non- produktif berapa jam, Kalau kebanyakan main, harus diseimbangkan,” kata dia yang senang bercakap-cakap dalam bahasa Jawa.

Kedisiplinan pembagian waktu itu membantunya merampungkan pekerjaan sebelum garis tenggat. Dia baru saja menuntaskan sekitar 30 tulisan yang menurut rencana dimuat secara bersambung di harian Kompas. Tulisan-tulisan yang terkumpul dalam judul Indonesia dari Seberang Batas (IDSB) itu adalah catatan perjalanannya selama mengunjungi wilayah perbatasan Papua dan Papua Niugini selama tiga bulan pada 2014, Dia juga akan menulis tentang Suriname dan Belanda.

”(IDSB) ini proyek pribadiku untuk mempelajari apa makna Indonesia dan menjadi orang Indonesia, Cuma aku enggak ingin mulai dari sudut pandang pusat. Aku (tinggal) di (Pulau) Jawa, Kebanyakan buku tenang daerah perbatasan itu dari Jawa. Aku maunya dari sudut pandang pinggiran,” katanya. Cara pandang Agustinus dari ”pinggiran” itu tertangkap dari tulisannya di blog dan buku. Agus tak hanya menceritakan lanskap tempat-tempat yang di- kunjunginya. Dia mewarnai tulisannya dengan tuturan penduduk lokal yang dia temui, tumpangi, dan berbagi makanan, Interaksi itu menyuguhkan kisah-kisah yang jarang dicatat.

Saling curiga

Sendirian, dia memutuskan berangkat ke Papua Niugini dengan keresahan dalam benaknya. Negara dengan ibu kota Port Moresby itu berbatasan langsung dengan Indonesia dengan bentangan garis batas negara sekitar 770 kilometer. Sejatinya, Papua Niugini adalah tetangga terdekat, tetapi rasanya begitu asing. ”Ibarat tetangga unit apartemen yang tak pernah bertegur sapa.”

Berita tentang tetangga dekat lainnya, Malaysia, rasanya lebih sering terdengar di Indonesia daripada kabar dari Papua Niugini. ”Itu yang membuat keingintahuanku tentang Papua Niugini sangat besar, dan aku tertarik menelusuri garis batas itu,” ujarnya.

Dia terbang dari Cairns, Australia, menuju Port Moresby, diongkosi panitia festival sastra yang mengundangnya sebagai pembicara. Bekal pengetahuan tentang Papua Niugini berbanding terbalik dengan rasa penasarannya. Yang dia mau adalah menyusuri Sungai Fly dengan muara di Kota Daru. Aliran sungai sepanjang 400 km itu yang membuat garis batas antarnegara tampak ”benjol” di peta. Berangkat dari Daru, dia menyinggahi desa-desa di tepi sungai dekat perbatasan menumpang perahu penduduk menuju utara.

Banyak pengetahuan baru yang ia temukan di desa-desa itu. Salah satunya adalah eksodus warga Papua (sisi Indonesia) ke wilayah Papua Niugini pada 1984 terkait pergolakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Agustinus, pemegang paspor Indonesia, tinggal di wilayah pengungsian itu dengan risiko keamanan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

”Yang waktu itu terjadi, mereka takut padaku karena mengira aku mata-mata (Indonesia). Sementara aku juga takut jangan-jangan mereka OPM dan memang banyak kamp OPM di sana. Jadi sama-sama saling curiga, Untungnya, beberapa dari mereka sering masuk ke wilayah Indonesia, dan bisa bahasa Indonesia. Mereka ini merasa lebih civilized karena sudah masak pakai garam, sudah makan pakai sambal,” ujarnya dengan tawa getir.

Petualangan di perbatasan Papua dan Papua Niugini belum utuh, Agustinus melengkapi kepingan puzzle ketika bertolak ke Belanda pada 2016, Dia mendapat subsidi dari pemerintah RI untuk mengerjakan proyek buku bertema nasionalisme dalam diaspora. Di sana, dia menekuni berbagai literatur, bertemu dengan profesor di Leiden, dan diundang mewawancarai petinggi OPM yang tinggal di Belanda. Dia juga bertemu tokoh-tokoh pergerakan Republik Maluku Selatan (RMS).

” Belanda memang tidak berseberangan secara fisik dengan Indonesia, tapi banyak orang yang berseberangan pandangan politik di sana. Ini (cerita) sejarah yang buat aku menarik banget,” katanya.

Di antara batas

Kepingan-kepingan cerita tentang Indonesia dia temukan di luar garis batas negara ini. Sejak kecil, Agustinus tertarik dengan peta dan garis-garis batas di dalamnya. Ketertarikan itu terkait dengan identitas dirinya yang ada di ”antara” batas-batas itu.

Agustinus adalah generasi ketiga imigran dari China. Kakek dari pihak ayah dan ibunya tiba di Lumajang pada tahun 1940-an dengan bahasa Hokkian, bahasa daerah di China. Ayah dan ibu Agustinus dididik di sekolah berbahasa Mandarin, bahasa nasional China. Sementara Agustinus dan adiknya lebih fasih berbahasa Indonesia dan Jawa. Tiga generasi dalam satu keluarga ini hidup di antara batas bahasa.

Di luar rumah, Agustinus kecil sering dirundung, ”Aku sampai enggak berani keluar rumah tanpa didampingi pembantu (orang Jawa). Jadi aku lebih banyak di rumah, membaca buku, melihat peta, dan mengoleksi perangko dari sahabat pena di luar negeri,” ujarnya.

Dia dirundung oleh kechinaannya, sementara rezim pemerintah ketika itu tidak memberi ruang untuk menghidupi tradisi mereka. Bersembahyang di kelenteng harus sembunyi-sembunyi. Bahkan memakai nama lahir pun tak boleh. Waktu mau membikin paspor tahun 1999, dia merasa tertampar lantaran dibilang ”orang asing” oleh petugas. Gara-garanya, mendiang ayahnya baru dapat kewarganegaraan Indonesia sepuluh hari setelah Agustinus lahir. Dulu, mendapat status warga negara Indonesia, apalagi bagi keturunan Tionghoa, susahnya minta ampun.

”Seumur hidup sudah merasa jadi Indonesia, aku makan dan besar di Indonesia, sekolahnya negeri, masih dibilang orang asing, Rasanya identitas kita hanya ditentukan oleh dokumen, kertas-kertas,” katanya.

Urusan identitas belum selesai meski dia sudah menjejakkan kaki di Beijing untuk kuliah Ilmu Komputer di Universitas Tsinghua. Dia adalah mahasiswa berpaspor Indonesia jadi tidak boleh tinggal di asrama warga lokal, dan banyak aturan khusus bagi warga asing, Dia merasa jadi warga diaspora di tanah leluhurnya sendiri. Konflik identitasnya panjang.

”Ini yang menggiringku ke daerah perbatasan atau daerah minoritas yang dihuni orang-orang diaspora. Dari mereka aku mendapatkan cerminku. Dari diaspora Jawa di Suriname, aku banyak sekali mendapatkan cermin kejawaanku di situ,” ujarnya.

Belajar di lapangan

Perjalanan demi perjalanan dia mulai ketika libur kuliah. Dia menyambangi komunitas muslim Uighur di Kargilik dalam perjalanan ke Nepal. Dia juga masuk ke Pakistan dan Afghanistan pada 2003, serta Laos, Vietnam, dan Kamboja pada 2004, diteruskan ke Kirgistan, Uzbekistan, dan Ka-zakhstan. Tahun 2005 dia menjadi sukarelawan bencana tsunami di Aceh.

Pengalaman di Aceh ini membuatnya nyaris berhenti kuliah karena ingin menjadi wartawan, tapi ditentang orangtuanya yang sudah menyisihkan tabungan untuk membiayai kuliah ilmu komputer itu. Begitu lulus kuliah, dia angkat ransel ke Nepal, India, Pakistan, dan Afghanistan untuk belajar jurnalisme dari lapangan.

Tulisan perjalanannya makin terasah setelah bertemu sesama wartawan pejalan di India asal Malaysia, yang mengajarinya wawancara, merekam detail, dan selalu mengikuti perkembangan isu di suatu tempat. Dia juga terpengaruh buku perjalanan VS Naipaul ke negara-negara Islam di Asia berjudul Among the Believers. Dua hal itu mengubah sudut pandang tulisannya yang lebih menceritakan manusia alih-alih pemandangan indah.

Di antara puing keruntuhan Taliban di Afghanistan, Agustinus jadi wartawan foto untuk kantor berita Pajhwok Afghan News. Dari sana, dia juga menulis isu kesetaraan jender untuk majalah terbitan UNDP. Hampir tiga tahun dia melakoni kerja jurnalistik di Afghanistan.

Pulang

Gaya tulisan seperti itulah yang tertuang di empat buku Agustinus sejauh ini—yang terbaru adalah Jalan Panjang untuk Pulang (2021). Ya, perjalanan memang tidak bisa lepas dari keberangkatan dan kepulangan.

Bagi Agustinus, pulang adalah soal berdamai dengan konflik-konflik dalam diri sendiri. Terpapar dengan konflik yang dialami orang-orang yang ia temui di perjalanan seperti memberinya cermin. Masalah yang mereka hadapi juga terendap di dalam dirinya.

”Aku tidak lagi dibuat gelisah oleh permasalahan apakah aku orang China atau Indonesia, apakah aku harus memilih identitas satu dan menolak yang lain. Itu memang butuh waktu. Buatku perdamaian ini adalah pulang,” katanya yang mulai bermeditasi sebagai remedi atas sepi yang menyergapnya ketika mulai tinggal di Jakarta.

Secara fisik, perjalanan menembus hutan dan menyusuri sungai di perbatasan Papua dan Papua Niugini pernah memaksanya pulang. Saat itu dia didera diare berkepanjangan, dan postur badannya yang memang kecil makin menyusut 10 kilogram.

”Makannya cuma mi instan, itu pun diirit-irit karena di hutan. Aku enggak kuat. Di tengah jalan aku memutuskan pulang (ke Jakarta) dari Merauke pakai pesawat. Padahal niatnya mau pulang naik kapal laut dan mampir di Sorong dan Raja Ampat,” katanya ketika hari makin petang, dan bersiap menyantap mi kuah yang baru diantar ke mejanya.

Setelah hidangan piring kedua pada hari itu tandas, dia pamit ke apartemennya, lagi-lagi naik bus. Angin yang mulai kencang menemani langkahnya pulang.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on [Kompas] Cermin Identitas di Antara Garis Batas

  1. Adi Indrawan // July 5, 2021 at 4:00 pm // Reply

    Dear Agustinus,
    Saya kagum kepada anda yang biasa hidup dikota lalu mengembara di tempat konflik , hutan , pegunungan , apakah anda olahragawan sehingga phisik dan mental anda prima , cerita2 dari anda memang memikat , lebih unik kalau ada cerita2 dari daerah yang dikunjungi seperti Ripley’s believe or not.
    Selalu semangat Agustinus Wibowo

Leave a comment

Your email address will not be published.


*