Melihatnya dari Sisi Berbeda
Agustus 2019, Katedral Norwich menjadi kontroversi di seluruh Inggris. Di ruang altar utama Katedral, mereka memasang mainan perosotan yang disewa dari sebuah sirkus. Norwich adalah kota di Inggris dengan jumlah gereja terbanyak, tetapi sekaligus yang paling ateis. Apa yang menyebabkan orang Inggris enggan ke gereja? Dan apakah masa depan dari gereja?
Di bulan Agustus 2019, Katedral Norwich menjadi kontroversi di seluruh Inggris. Pada ruang altar utama gereja Abad Pertengahan terbesar di seluruh kota dan sudah berusia lebih dari 900 tahun ini, mereka memasang mainan perosotan yang disewa dari sebuah sirkus.
Dewan imam gereja beralasan, mainan perosotan itu akan membantu pengunjung untuk menikmati hiasan ukiran pada langit-langit gereja dari jarak dekat. Gereja ini memiliki langit-langit setinggi 21 meter, dan pada permukaan langit-langit itu terdapat ukir-ukiran menggambarkan kisah-kisah Alkitab. Namun langit-langit itu terlalu tinggi, ukir-ukiran itu tidak bisa kelihatan jelas. Wahana perosotan setinggi 55 kaki (16,7 meter) itu memiliki sebuah panggung pada bagian atasnya, tempat pengunjung bisa berdiri mengamati keindahan langit-langit gereja dari sudut berbeda. Hanya dengan membayar karcis £2, pengunjung boleh naik ke puncak perosotan, lalu meluncur turun dari sana.
Ini adalah bagian dari program promosi Katedral yang dinamai “Melihatnya dari Sisi Berbeda” (Seeing It Differently). Melalui program ini, gereja ingin memperkenalkan pesan-pesan Tuhan kepada publik luas melalui cara berbeda. Selain mainan perosotan, gereja juga menyiapkan matras-matras yoga, sehingga pengunjung bisa berbaring di lantai sambil mengamati keindahan langit-langit tinggi itu dengan bantuan teropong binokular yang dipinjamkan secara gratis. Ada juga tur gratis keliling gereja, lengkap dengan pemandu yang siap menjelaskan setiap detail dari bangunan kolosal yang penuh benda seni bersejarah ini.
Apakah gereja ini telah menjadi sebuah tempat wisata? Atau lebih parah lagi, sebuah taman bermain?
Sejujurnya, saya tidak pernah menyaksikan gereja seperti ini sebelumnya. Membayangkannya pun tidak. Ketika membayangkan sebuah gereja Abad Pertengahan, yang muncul dalam benak saya adalah imajinasi tentang kesyahduan spiritual dan nuansa kemegahan sejarah yang kental. Namun yang saya temukan di sini justru adalah kelap-kelip lampu neon mainan perosotan dari pasar malam, hingar-bingar tawa riang bocah-bocah, jeritan histeris bertalu-talu dari orang-orang yang meluncur dari perosotan, suara kasak-kusuk para pengunjung yang berpadu menjadi dengung bising, toko suvenir, loket karcis, patung dinosaurus di sudut ruangan, mainan labirin dan ular tangga raksasa, rumah-rumahan kertas yang diselimuti tulisan ayat-ayat Alkitab, jeprat-jepret kamera para turis, juga pemandangan aneh orang-orang yang tidur-tiduran di atas matras yoga di lantai (bahkan ada yang sampai tidur sungguhan).
Semuanya ada di gereja ini, kecuali syahdu.
Sejak mainan perosotan itu dipasang di dalam ruang altar, gereja yang biasanya lengang seketika menjadi destinasi wisata favorit. Pengunjung bahkan rela mengantre berjam-jam di luar pintu masuk gereja sampai ke halaman depan, demi mendapatkan karcis mainan perosotan yang dijual terbatas (kuotanya hanya 700 karcis per hari).
Orang sampai antusias mengantre hanya demi masuk gereja, ini adalah hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya sepanjang sejarah gereja di Inggris pada era modern ini. Dalam beberapa puluh tahun terakhir ini di Inggris, sebagaimana juga di banyak negara Eropa Barat lainnya, terdapat fenomena umum bahwa gereja semakin ditinggalkan umat. Jumlah umat yang menghadiri misa semakin sedikit, sedangkan yang masih rajin ke gereja pun kebanyakan sudah berusia uzur. Ada kekhawatiran jika tren sekularisasi terus berlanjut, Kekristenan bakal menjadi minoritas di Eropa.
Suara-suara sumbang pun bermunculan. Para pengkritik mengatakan pemasangan wahana taman bermain di dalam gereja itu telah menodai kesakralan rumah Tuhan, dan menjadikan Tuhan sekadar sebagai atraksi wisata. Lagi pula, ramainya pengunjung juga tidak bisa diartikan bahwa gereja berhasil menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada mereka. Ada berapa banyak dari para pengunjung itu yang datang semata-mata demi merasakan sensasi seru meluncur turun dari perosotan raksasa, alih-alih untuk mengamati ukir-ukiran Alkitabiah di langit-langit altar? Ada berapa banyak daripada para pencari kesenangan ini yang kemudian terketuk hatinya untuk menjadi umat gereja yang taat?
Selain Katedral Norwich, pada saat bersamaan di kota lain di Inggris, ada Katedral Rochester yang juga dari Abad Pertengahan, yang menyulap ruang altar mereka menjadi sebuah lapangan golf mini—juga menjadi kontroversi di seluruh negeri. Mungkin, langkah-langkah kontroversial seperti ini memang diperlukan demi memikat hati anak-anak dan generasi muda. Atau mungkin, gereja sudah sangat terdesak kebutuhan mendesak untuk mendulang pemasukan dari para umat (dan turis), demi menanggung biaya perawatan gedung bersejarah yang memang amatlah mahal.
Tetapi, apakah mereka memang sudah sedemikian putus asanya?
Halaman Selanjutnya
Mengasyikkan sekali membaca liputan ini, seperti sedang naik roller coaster, klimaks antiklimaks, naik turun, penuh kejutan. Terima kasih.
Menarik sekali.
Mas Wibowo, air mata saya juga menetes membaca ini. Tulisan yang dibuat sepenuh hati, memang selalu merasuk sanubari. Terima kasih mas, atas tulisannya.