Recommended

Groningen, 26 November 2016: Kisah Maluku di Negeri Belanda

161125-nl-groningen-maluku-1

Lelaki Maluku itu berdiri di atas panggung. Dengan suara bergetar, dia mengisahkan sebuah memori mengerikan tentang pamannya—seorang tentara KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dari Maluku yang ikut aksi militer Belanda tidak lama setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.

Pamannya itu, saat itu adalah tentara muda berusia 18 tahun yang menjadi anggota korps elit Baret Hijau di bawah komando Raymond Westerling. Soal kekejaman Westerling dalam pembantaian ribuan orang di Sulawesi pada tahun 1946-1947 itu sudah menjadi pengetahuan umum. Pasukan mereka menyerang desa-desa, membunuhi semua yang ada: laki-laki, perempuan, tua, muda, anak dan bayi, bahkan semua ayam dan sapi, dan setelah itu mereka membumihanguskan desa. Sang paman, sebagai tentara yunior, mendapat ujian dari para senior. Di hadapannya satu orang Indonesia duduk berlutut dengan tangan terikat. “Tebas kepalanya!” perintah komandan, sambil menyerahkan kelewang. Tentara muda itu mengacungkan kelewang, tangannya bergetar hebat, tak sanggup dia mengayunkan kelewang itu. Tetapi, dikelilingi para komandan, dia tak punya pilihan.

Trauma itu dibawa sang paman hingga ke masa tuanya. Di Belanda, ketika traumanya bangkit, dia berhalusinasi bahwa orang-orang Indonesia datang menyerangnya. Dia berteriak-teriak sendiri di kamar atas, menenggak alkohol, menaruh semua parang di depan pintu. Dia berteriak pada istri dan anak-anaknya, “Jangan naik! Ikan makan ikan!”—saudara bisa bunuh saudara.

161125-nl-groningen-maluku-6

Ini adalah satu dari untaian beragam kisah hidup orang-orang Maluku di Belanda, yang dimainkan dalam pertunjukan teater berjudul Hoe Zat Het Ook Alweer (“Bagaimana Terjadinya Itu”) yang digelar di sebuah balai pertemuan di pinggiran kota Groningen, Belanda. Para pemainnya adalah diaspora Maluku di Belanda generasi ke-2 dan ke-3, sejumlah orang Indo (campuran antara Belanda dan pribumi Indonesia), juga orang Belanda totok. Pertunjukan ini adalah gabungan dari kisah-kisah personal dari para pencerita (semuanya kisah nyata), pemutaran video dokumenter, pembacaan konteks sejarah oleh sejarawan Belanda, serta alunan musik dan lagu.

Ada cerita tentang dua kakak-beradik orang Ambon tentara KNIL yang ditawan Jepang, si adik harus menyaksikan sendiri kakaknya disembelih oleh Jepang karena menolak menginjak-injak bendera Belanda. Ada kisah tentang kakak beradik lain, si kakak jadi tentara KNIL yang setia pada Belanda dan si adik jadi TNI yang setia pada Indonesia, saling bertempur dan saling membunuh. Ada cerita tentang adu domba Belanda yang meninggikan orang Indo (pribumi berdarah campuran Eropa) dari orang pribumi (Inlander), orang Kristen Maluku di atas pribumi yang lain, dan orang Ambon yang merasa lebih tinggi daripada orang Maluku Tenggara karena lebih dulu masuk Kristen. Ada begitu banyak memori, romantika, trauma, tragedi, ironi, dan humor yang dipadukan selama 120 menit acara. Satu momen yang membuat saya nyaris menitikkan air mata adalah ketika empat pemusik memainkan dan sepenuh rasa menyanyikan Lagu Perjuangan RMS yang lambat dan sendu:

Pertempuran sungguh hebat, sudah lalu

Meski tumpah darah, tanah air punya mau

Tapi kami ini yang sisa, tahan dengan sabar, Sio

Sampai mendapat kemenangan yang terakhir

161125-nl-groningen-maluku-2

161125-nl-groningen-maluku-4

Diaspora Maluku di Belanda mempunyai cerita hidup yang teramat getir. Memori orang Indonesia tentang pergerakan kemerdekaan Maluku umumnya hanya berhenti pada dieksekusinya dr. Soumokil, Presiden Republik Maluku Selatan (RMS) pada tahun 1966. Tetapi sesungguhnya, cerita ini tidak berhenti di sana.

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949, Belanda berkewajiban membubarkan tentara KNIL untuk dileburkan ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tetapi pada tahun 1951, Republik Maluku Selatan diproklamirkan oleh Soumokil di Ambon, menyatakan berpisah dari Indonesia. TNI langsung menggempur Buru, Ambon, dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Masalahnya, saat itu pada tangsi-tangsi di Jawa terdapat lebih dari 3.000 tentara KNIL asal Maluku yang menolak bergabung dengan TNI dan menuntut dipulangkan ke Ambon untuk membantu perjuangan RMS. Indonesia tentu tidak setuju, karena mereka sedang berperang melawan RMS. Sedangkan para tentara KNIL asal Maluku ini masih bekerja untuk Belanda, sehingga masih menjadi kewajiban Belanda untuk mengurus mereka. Tidak ada solusi lain, Belanda harus mengangkut mereka semua ke negeri Belanda.

Demikianlah, 11 kapal Belanda diberangkatkan dari Jawa mulai Februari 1951, menempuh perjalanan di laut selama sebulan, hingga berlabuh di Rotterdam. Para tentara plus anggota keluarganya total berjumlah sekitar 12.500 orang. Satu tentara hanya boleh membawa istri dan maksimal dua anak, sehingga banyak juga anak-anak yang ditinggal di Indonesia. Mereka dijanjikan bahwa mereka hanya akan tinggal sementara di Belanda.

161125-nl-groningen-maluku-8

Ternyata Belanda bukanlah Tanah Madu dan Susu. Sesampainya di Rotterdam, para tentara itu mendapat surat pemecatan dari Belanda—tumpuan loyalitas mereka selama ini. Mereka juga ditampung di barak-barak penampungan yang jauh dari permukiman penduduk Belanda. Barak-barak untuk orang Maluku ini sebelumnya dipakai untuk menampung orang-orang Yahudi yang akan dikirim ke kamp konsentrasi pembantaian Nazi di Auschwitz pada masa Perang Dunia II. Anak-anak Maluku sering menemukan sisa rambut, gigi, atau tulang manusia saat bermain-main di sekitar “rumah baru” mereka. Selain itu, orang-orang Maluku ini adalah warga negeri tropis, datang hanya dengan sarung sedangkan barak-barak itu terbuat dari kayu dengan kondisi mengenaskan, sehingga banyak anak kecil yang mati saat melewati musim dingin Eropa. Penyakit menular seperti disentri pun mewabah hebat, dan mendatangkan banyak kematian. Mereka tidak diizinkan bekerja, hanya tergantung pada sedikit makanan dan uang saku pemberian Belanda.

Begitu besar kesetiaan mereka kepada Belanda, tetapi balasan yang mereka terima sama sekali tidak sebanding. Mereka terus menunggu dan menunggu janji-janji Belanda, tapi siapa sangka, ini menjadi penantian tak berujung. Frustrasi membuat impian mereka akan RMS terus menguat. Anak-anak para eks-tentara KNIL itu, yaitu Generasi II yang dibesarkan di barak, kini bertumbuh menjadi orang-orang muda yang marah. Mereka punya utopia tentang kampung halaman Maluku yang dikisahkan para orangtua: langit biru, laut biru, pasir putih, gunung gagah, matahari cerah—tetapi negeri kampung halaman mereka itu masih terjajah. Mereka marah kepada Belanda, marah kepada Indonesia, juga marah kepada para orangtua mereka sendiri yang mereka pandang terlalu pasif. Mereka bersimpati dengan gerakan perjuangan militan seperti Pembebasan Palestina dan Black Panther, sehingga turut mengadopsi cara-cara radikal supaya suara mereka didengar. Pada tahun 1970 terjadi penyerangan oleh aktivis Maluku terhadap wisma duta besar RI di Wassenaar, lalu disusul pembajakan kereta dan penyanderaan di kantor konsulat Indonesia di Amsterdam pada tahun 1975, pembajakan kereta dan penyanderaan sekolah dasar tahun 1977, dan penyerangan kantor gubernur di Assen tahun 1978.

161125-nl-groningen-maluku-7

Dalam serangan pembajakan kereta di De Punt pada tahun 1977, enam dari sembilan pembajak Maluku ditembak mati oleh aparat Belanda. Itu menimbulkan luka sangat mendalam di kalangan masyarakat Maluku di Belanda. Tetapi itu sekaligus merupakan titik balik. Orang-orang Maluku di Belanda ini mulai bertanya, apakah Maluku itu sebenarnya, dan sudah tepatkah perjuangan mereka selama ini. Sejak itu, semakin banyak orang Maluku Belanda ini yang “pulang” ke Maluku dan melihat keadaan di sana.

Ternyata realitas Maluku tidaklah seindah bayangan. Kemiskinan dan ketertinggalan di sana membuat mereka menyadari, sudah tidak mungkin lagi bagi mereka yang sudah terbiasa dengan kenyamanan hidup di Belanda ini untuk menetap di Maluku. Selain itu, ketika mereka sibuk dengan aksi-aksi militan politis selama ini, komunitas Maluku di Belanda justru menghadapi masalah sosial yang sangat parah: pengangguran yang luar biasa tinggi dan ketergantungan pada narkoba. Dalam sekejap, orientasi perjuangan orang Maluku di Belanda mengalami perubahan drastis, dari politik ke sosial: untuk membantu kesejahteraan saudara-saudara Maluku di Belanda maupun di Indonesia.

Mietji Hully adalah diaspora Maluku generasi ke-2 yang sempat merasakan kehidupan di Maluku selama tiga bulan pada tahun 1979. Pengalaman itu membuatnya terpanggil untuk membuat organisasi sosial yang memperjuangkan kehidupan saudara-saudara di Maluku, dengan menggandeng sejumlah LSM di Indonesia. Selain itu, Mietji yang masih fasih berbahasa Melayu ini juga mendirikan organisasi Samurau, yang memperjuangkan suara Maluku lewat film, seni dan teater. Pertunjukan hari ini adalah besutan Samurau. Ketika saya bertanya apakah misinya, Mietji dengan bangga menunjukkan poster yang dibawanya. Poster itu bertuliskan: Ontdek Gisteren Begrijp Vandaag (“Temukan Hari Kemarin untuk Memahami Hari Ini”).

161125-nl-groningen-maluku-3

Tanpa memahami sejarah dari berbagai perspektif, tragedi ikan makan ikan akan terus berulang. Tidak ada hitam dan putih dalam sejarah. Apa yang disebut pemberontak atau teroris bagi kelompok yang satu, adalah pejuang dan pahlawan bagi kelompok yang lain. Manusia sering kali tidak bisa memilih untuk berada di sisi sejarah yang sebelah mana.

Seperti slogan hidup ironis seorang diaspora Maluku yang menjadi kalimat pamungkas dalam pertunjukan ini, terkadang manusia memang harus, dan hanya bisa, untuk mamang gigi (mengatupkan gigi), telang ludah (menelan ludah), dan jalan terus!

161125-nl-groningen-maluku-5

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Groningen, 26 November 2016: Kisah Maluku di Negeri Belanda

  1. jadi bisa belajar sejarah dari tulisan ini

  2. itulah peran terpenting dari sejarah untuk menjadi pembelajaran manusia, yang bersumber dari masa lalu. sejarah adalah pelajaran tentang kemanusiaan, bukan alat untuk melegitimasi atau menyokong suatu kekuasaan.

  3. Akan selalu menjadi pengagum karya mas Agus. Semoga suatu hari bisa mengikuti jejaknya juga. Saya sangat ingin ke Paramaribo 🙂

  4. GLM SOPACUA // March 8, 2017 at 12:15 am // Reply

    Agus Thank you very much for this article …Sorry we couldn’t meet …Hope you will return to Holland …
    Hormat dan Salam
    George

  5. Artikel tentang jaman dahulu dapat membawa kita sejenak menuju ke sana.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*