Garis Batas 1 : Visa oh Visa
Tajikistan, negeri eksotis di pelosok Asia Tengah, menjanjikan petualangan yang menantang.(AGUSTINUS WIBOWO)
Empat bulan sudah saya mengarungi Afghanistan, hidup dalam kegelapgulitaan negeri yang masih babak belur dihajar perang berkepanjangan, melintasi gunung-gunung pasir dan padang berdebu, mencicip teh hangat di pagi hari bersama pria-pria bersurban, dan wajah perempuan hampir sama sekali lenyap dalam benak saya. Empat bulan yang penuh petualangan, impian, penderitaan, dan kebahagiaan.
Sudah tiba saatnya untuk meneruskan perjalanan ke bagian lain dunia ini, ke negeri-negeri tersembunyi di pedalaman Asia Tengah. Ada Tajikistan, negaranya orang Tajik. Kyrgyzstan, negaranya orang Kirghiz. Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan, masing-masing punyanya orang Kazakh, Uzbek, dan Turkmen. Semua ‘stan’ ini satu per satu bermunculan di atas peta dunia tahun 1991, mengiring buyarnya adikuasa Uni Soviet. Semuanya adalah negara yang tersembunyi di tengah benua raksasa Eurasia, terkunci bumi, jauh dari lautan mana pun. Misterius, unik, eksotik.
Sebagai bekas Uni Soviet yang terkenal dengan bengisnya birokrasi, visa untuk masuk ke negara-negara itu tidak mudah. Apalagi untuk paspor Indonesia. Tajikistan adalah pintu masuk paling gampang bagi orang Indonesia, karena negara ini sudah memberlakukan visa on arrival untuk kedatangan dengan pesawat terbang. Tetapi, karena saya menempuh jalan darat dari Kabul hingga Dushanbe, saya harus bikin visa dulu di Kabul.
Kedutaan Tajikistan di Kabul, tersembunyi di barisan rumah-rumah di kompleks Wazir Akbar Khan. Kantornya tidak istimewa, seperti rumah biasa. Kalau bukan karena kibaran bendera mungil, saya juga tidak akan tahu kalau itu kantor kedutaan. Benderanya sudah kusam, seperti sudah bertahun-tahun tidak diganti. Kedutaan lagi kosong, kata tentara penjaga. Semua orang sedang berlibur pulang ke Tajikistan selama dua minggu, dari duta besar sampai staf yang paling kecil. Semua pengajuan visa harus menunggu sampai konsul datang kembali.
Saya baru tahu ada kedutaan seperti ini, yang bisa buka tutup sekehendak hati. Tetapi yang bikin saya cemas, visa Afghanistan saya sudah tidak cukup untuk menunggu dua minggu lagi. Gawat!
Harapan terakhir saya cuma KBRI. Hanya orang-orang dari Kedutaan KBRI-lah yang bisa menolong saya. Bapak Kasim dari bagian konsuler serta merta membuat surat pengantar untuk visa saya, sekaligus mengantar saya dengan mobil kedutaan. Bukan ke Kedutaan Tajik tetapi ke wisma duta besar Tajikistan. Sama dengan di kantor kedutaannya, bendera kecil dan kusam berkibar. Salah satu ikatannya lepas, sehingga bendera itu berkibar terbalik. Apakah memang begitu cara orang Tajikistan menghormati benderanya sendiri, tanya saya dalam hati.
Karena kali ini yang datang adalah sebuah mobil diplomatik, Pak Kasim tanpa kesulitan menembus penjagaan di pintu gerbang. Saya disuruh tunggu di dalam mobil saja.
Penuh cemas saya menanti. Kalau gagal mendapatkan visa ini, berarti saya akan tambah masalah di Afghanistan, karena visa turis saya berakhir tak lebih dari empat hari lagi. Detik-detik berlalu dengan lambat. Sepuluh menit berselang, baru Pak Kasim keluar lagi.
“Jangan kuatir, kamu bisa dapat visa. Kamu mau yang mana, yang murah atau yang mahal? Kalau mau tunggu 3 hari, 150 dolar. Dua hari tunggu, 200 dolar. Hari ini juga dapat visa, 250 dolar.”
Wah, bahkan lebih mahal daripada visa Amerika Serikat. Saya menyerahkan seratus lima puluh dolar dengan berat sekali. Pak Kasim menyodorkan formulir yang sudah diisinya sendiri dengan lengkap. Saya diminta tanda tangan saja.
“Pak, jangan lupa, minta dia membubuhkan GBAO permit.”
“GBAO? Apa itu?” tanya Pak Kasim.
“Itu provinsi di Tajikistan. Saya mau ke sana, dan semua orang harus punya permit khusus.” Pak Kasim kembali masuk ke rumah duta besar.
Lima menit kemudian dia keluar lagi.
“Berita buruk. Orangnya minta tambah lagi 100 dolar. Saya sudah menawar sekuat tenaga, Gus. Ini sudah yang paling murah.”
Begitu sakit rasanya mengeluarkan lagi selembar seratus dolar dari dompet saya. Pak Kasim lari-lari lagi masuk ke rumah duta besar. Tak sampai lima menit, dia sudah keluar lagi bersama paspor saya. Stiker visa Tajikistan sudah tertempel di paspor. Hijau dan cantik. Ada hologram lambang negara Tajikistan yang mirip mahkota di tengah gunung salju. Yang jelek hanya tulisan tangannya. GBAO Permit, yang seratus dolar harganya, ternyata cuma tulisan empat huruf bahasa Rusia di atas visa : ? ? ?.
“Sudah, kamu bersyukur saja,” kata Pak Kasim.
Semua orang penting di kedutaan Tajikistan memang sudah pulang, yang tersisa cuma satu orang diplomat. Pak Kasim bercerita tentang tawar-menawar harga visa yang alot sekali, seperti membeli barang di pasar saja. Diplomat yang tadi ditemui hanya bercelana pendek. Segepok visa sudah tersedia di kantong celananya. Tinggal ambil dan tempel.
“Tidak pernah saya lihat ada kedutaan seperti ini,” kata Pak Kasim, yang juga bertugas di bagian visa Kedutaan Indonesia.
“Kamu masih beruntung. Tadi ada pebisnis Afghan yang juga kena palak. Lima ratus dolar hanya untuk visa satu bulan.”
Dua ratus lima puluh dolar untuk stiker dengan coret-coretan tangan di tengah paspor saya.
Inilah harga karcis masuk saya ke Tajikistan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan ulang sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 6 Maret 2008
amazing……
waw visa seharga 250 dollar dan hanya tulisan tangan
mahal ya mas 🙁
Itu visa termahal dalam pengalaman saya sejauh ini 🙂
Mahal sekali mas Agus.. apa harga barang2 di sana juga mahal? Pengen kesana.. 🙂
Saya ingin membeli buku anda (garis batas Dan sellout debu). Saya sdh cari Di bbrp gramedia tp tdk ada. Dimana saya bisa bs membeli buku anda (buku cetak bukan online book)? Trm ksh
Kak agus kalau mau belajar dari dan pashto dimana ya 🙁 susah banget nyari tempat les dan buku buku bahasa dari dan pashto di jakarta 🙁
harga untuk sebuah pengalaman