Recommended

Titik Nol 1: Kilometer Nol

Etnis Muslim Uyghur di Kargilik, kota terakhir propinsi Xinjiang Uyghur sebelum memasuki Tibet (AGUSTINUS WIBOWO)

Etnis Muslim Uyghur di Kargilik, kota terakhir propinsi Xinjiang Uyghur sebelum memasuki Tibet (AGUSTINUS WIBOWO)

Dari titik nol inilah petualangan saya dimulai. Dari sinilah langkah awal perjalanan panjang menembus atap dunia, melintas barisan gunung dan padang, memuaskan mimpi untuk menemukan berbagai kisah tersembunyi di ujung dunia.

“Orang Asing Dilarang Melintas Jalan Ini Menuju Ali Tanpa Izin,” demikian tertulis pada sebuah papan besar di Kilometer Nol di ujung kota Kargilik. Papan itu bergambar sepasang polisi laki-laki dan perempuan dalam sikap hormat. Pesan polisi itu ditulis dalam bahasa Inggris, Mandarin, dan Uyghur. Jantung saya berdegup kencang. Saya akan memulai perjalanan ilegal menuju tanah Tibet.

Daerah Otonomi Tibet adalah daerah spesial di Republik Rakyat China. Orang asing yang masuk ke daerah ini harus punya izin khusus. Ada berbagai macam permit yang harus dipegang – Tibet Travel Permit (TTB), izin polisi (PSB – Public Security Bureau – Permit), izin militer (military permit). Segala macam birokrasi itu ujung-ujungnya duit. Tibet juga terlarang bagi jurnalis asing dan diplomat kecuali setelah menempuh proses yang panjang dan berbelit-belit.

Buat ukuran kantong saya yang sangat tipis, permit-permit itu bukan pilihan. Saya juga tak berkehendak menghabiskan ratusan Yuan untuk mengurus kertas-kertas yang tak jelas ke mana juntrungannya. Tekad saya sudah bulat – masuk ke Tibet tanpa izin.

Ada beberapa jalan menuju Tibet dari negeri China. Yang paling terkenal adalah jalah raya Sichuan – Tibet, dengan pos pemeriksaan di Golmud. Jalan lain adalah melalui propinsi Yunnan, masuk Tibet dari sisi timur. Hanya jalan yang melalui Kargilik ini yang cukup mudah ditembus tanpa permit.

Tetapi jangan dibayangkan ini jalan yang paling mudah. Justru jalur Kargilik-Ali, atau dikenal dengan nama keren Xinjiang-Tibet Highway (dalam bahasa Mandarin: Xin-Zang Xian) adalah jalan yang paling berbahaya, berupa seutas jalan berbatu yang meliuk curam di pinggir jurang lekukan Pegunungan Kunlun, menggapai angkasa pada ketinggian hampir 5000 meter, dengan alam yang kering dan ganas. Jalan ini telah memakan banyak korban. Bukan hanya karena kecelakaan di jalan sempit yang berbelok tajam, tetapi juga aneka kematian misterius di daerah tak berpenghuni.

Papan peringatan di Kilometer Nol (AGUSTINUS WIBOWO)

Papan peringatan di Kilometer Nol (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya duduk di terminal bus Kilometer Nol di selatan Kargilik. Identitas penyamaran saya sekarang adalah seorang mahasiswa asal Guangzhou, propinsi Guangdong di selatan China, yang hendak menuju Nepal. Kemampuan bahasa Mandarin saya mestinya bisa lolos untuk penyamaran ini. Wajah dan penampilan pun sudah pas – setelah hampir enam tahun di negara ini, gaya berbusana dana gerak-gerik saya sudah nyaris tak bisa dibedakan lagi dengan penduduk setempat. Apa lagi yang saya khawatirkan? Tetapi toh hati ini bergidik ngeri juga. Ini adalah misi penyamaran pertama saya melanggar hukum imigrasi, apalagi ini di daerah ekstra sensitif di negeri China.

Ni yao shangqu ma? Kamu mau ‘naik’?” tanya seorang sopir truk dengan aksen barat yang kental. Di sini, ketinggian lebih berperan sebagai penunjuk jalan. Kargilik, di pinggiran Gurun Taklamakan, pada ketinggian 1370 meter adalah ‘bawah’. Tibet, negeri atap dunia, terletak pada ketinggian 4000 meter lebih. Pergi ke Tiber berarti ‘pergi ke atas’.

Saya mengangguk, sambil mencari kesempatan untuk menumpang truknya.

“Dua ratus lima puluh Yuan, tak bisa kurang lagi,” kata sopir itu spontan.

“Di tengah jalan nanti ada pos pemeriksaankah?” saya masih meraba-raba keadaan.

“Ada banyak sekali! Asal dokumen kamu lengkap tak masalah. Kamu punya permit kan?” sopir Han itu menginterogasi.

Saya menggeleng. Walaupun saya menyamar menjadi orang China, tetapi tetap saja semua orang yang masuk Tibet harus punya permit.

“Kalau begitu, kamu bayar 300 Yuan. Mungkin nanti kita berangkat. Kamu tunggu saja di sini,” sopir itu menutup pembicaraan, kembali ke rumah makan dan sibuk dengan mangkok mie-nya.

Jawabannya kurang meyakinkan. Saya mencari-cari lagi kemungkinan lain. Ada banyak pula taksi yang menuju Ali. Satu mobil muat empat orang. Harganya 400 Yuan, 50 dolar. Cukup mahal juga. Apalagi sekarang tak ada penumpang selain saya, mengumpulkan tiga penumpang lain juga tidak mudah.

Kereta kuda di Kargilik. Sayang, bukan kendaraan menuju Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kereta kuda di Kargilik. Sayang, bukan kendaraan menuju Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO)

Satu-satunya jasa angkutan umum adalah Tibetan Antelope Bus Company, melayani trek berat ini dengan bus besar mereka. Penumpang bisa tiduran di atas ranjang sempit, tertata memanjang tiga baris, atas dan bawah. Harga karcis untuk perjalanan dua hari dua malam ini adalah 400 Yuan, sama dengan naik taksi. Tidak setiap hari ada bus. Tak mungkin pula bus  berangkat kalau penumpangnya cuma dua.

Haolei, sudahlah, naik bus saja. Cukup bayar 350 Yuan,” kata pemilik perusahaan angkutan itu. Harganya lagi diskon, karena sudah tiga hari bus tidak jadi berangkat gara-gara kekurangan penumpang. Hari ini, mau tak mau, harus berangkat juga.

Saya cukup beruntung, karena pemilik bus itu menarik harga karcis 600 Yuan untuk dua orang backpacker Korea yang baru datang. Lebih mahal karena untuk uang ‘jaminan keamanan’.

Sekarang saya punya teman untuk melenggang tanpa permit menuju Tibet. Pemilik bus manggut-manggut saja ketika saya beritahu bahwa sebenarnya saya juga orang asing. “Tidak apa, kamu nanti ikut mereka saja. Kamu dapat harga murah karena kita adalah teman sebangsa.”

Kami meninggalkan Kilometer Nol menjelang tengah malam. Bukannya dengan bus, tetapi dengan taksi. Ini juga taktik pemilik bus yang sudah berpengalaman dengan prosedur keamanan di sini.

Ternyata ada celah yang bisa ditembus dari ketatnya pemeriksaan di Tibet. Yang memeriksa orang asing adalah polisi, atau gong an, atau Public Security Bureau (PSB). Cirinya berseragam hitam-hitam. Yang memeriksa surat izin warga negara China adalah tentara, seragamnya hijau. Dalam perjalanan menuju Tibet akan ada beberapa pos pemeriksaan. Yang pertama nanti adalah polisi, momok yang harus dihindari oleh pendatang asing ilegal.

Taksi mengangkut kami melintas 30 kilometer pertama, melewati pos polisi. Mulut saya komat-kamit membaca doa ketika taksi kami melintas.

Mobil terus melaju. Polisi sama sekali tak menghentikan taksi yang kami tumpangi. Di tengah kegelapan malam, saya bersama kedua backpacker Korea diturunkan di pinggir jalan. Kami menunggu datangnya bus besar yang merayap lambat, melintasi pemeriksaan pos polisi, dan mengarungi kegelapan malam. Dingin menusuk tulang.

Saya menatap taburan ribuan bintang di angkasa. Impian hidup saya sudah tak jauh lagi.

Orang-orang etnis Han menghabiskan waktu dengan bermain mahjong (AGUSTINUS WIBOWO)

Orang-orang etnis Han menghabiskan waktu dengan bermain mahjong (AGUSTINUS WIBOWO)

(bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 4 Agustus 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

8 Comments on Titik Nol 1: Kilometer Nol

  1. keren ….siiiiip…moga sukses slalu di buku buku yg selanjutnya dan selanjutnya..amiiiiin

  2. Sdh selesai bc, jg pny selimut debu…

  3. asyeek tulisane mecungul neh 😀

  4. Saya punya 3 buku agustinus, mulai dari selimut debu, garis batas dan titik nol. semuanya sangat menakjubkan. perjalanan penuh tantangan di negeri2 yang bukan pilihan utk didatangi. Apakah titik nol ada serialnya ?

  5. Baca buku sampeyan itu rasanya tegang menyeyenangkan. baca artikel satu, lanjut ke lainnya, addict dah 🙂

  6. heem, titik nol bagi saya untuk membaca buku Agustinus dimulai

  7. Sejak pertemuan kita di Belitung, saya terpesona dengan gaya menulis Mas Agus. Maka, 4 buku Mas Agus saya beli sekaligus. Garis Batas adalah buku pertama yang saya baca, Selimut Debu selanjutnya. Kedua buku itu saya eman-eman betul bacanya, lama, bagaikan menikmati makanan lezat yang tak ingin segera saya sikat.

    Sekarang saya sedang memasuki Titik Nol. Di sini saya sedikit terganggu. Di dua buku sebelumnya dan di web ini, Mas Agus menggunakan kata ‘saya’ untuk menyebut diri, sementara dalam Titik Nol Mas meng’aku’.

    Duh, serasa bukan tulisanmu, Mas. Auranya jadi beda. Seakan-akan Mas Agus meminta orang lain menuliskan memoar tersebut.

    “Lalu, aku kudu piye?” tanyamu.

    Yo terserah aja sih. Saya cuma mengungkapkan perasaan. Perjalanannya tetap nikmat diikuti, hanya saja perbedaan sebutan diri itu seperti menciptakan jarak. Saya sudah akrab dengan tutur saya-nya Mas Agus, eh, tiba-tiba harus adaptasi lagi dengan aku-nya.

    Demikian curahan hati yang semoga tidak menyakiti hati.

    Assalaamualaikum 🙏

Leave a comment

Your email address will not be published.


*