Recommended

Papua Nugini (3) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Perbatasan Segitiga

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China.

Dauan, Australia (AGUSTINUS WIBOWO)

Dauan, Australia (AGUSTINUS WIBOWO)

Tidak banyak orang menyadari bahwa Australia terletak sangat dekat dari Papua Nugini. Saking dekatnya kita bisa lihat Australia dengan mata telanjang. Untaian pulau kecil Australia hanya empat kilometer di selatan pantai Papua Nugini.

Ber adalah satu desa Papua Nugini yang berhadapan dengan pulau Boigu, Australia. Dilihat dari laut di malam hari, Boigu bagai metropolitan dengan ratusan noktah cahaya berkilauan, sedangkan Ber tampak seperti tiga cahaya lemah yang sering padam, seperti lilin diterpa angin. Sumber cahaya di Ber hanyalah api unggun.

Satu-satunya cara untuk mencapai Ber, orang harus naik perahu dari Daru ke arah barat sejauh 100 kilometer melewati lautan Selat Torres yang terkenal ganas ombaknya. Perahu motor yang saya tumpangi nyaris tenggelam ditelan ombak. Ini adalah perjalanan seharian yang basah dan mematikan. Begitu terisolasinya Ber dari daerah Papua Nugini lainnya, desa dengan dua ratusan penduduk ini seperti belum tersentuh peradaban. Mereka tinggal rumah-rumah panggung yang semuanya terbuat dari gedek anyaman daun.

Pantai Ber tertutup lumpur, seperti sawah padi yang baru diairi. Ber berhadapan langsung dengan laut, tetapi warga di sini justru jarang ke laut dan ikan nyaris tidak ada dalam menu mereka. Setiap hari penduduk makan pisang, singkong, dan ubi rambat yang dibakar atau direbus dengan santan. Mereka juga berburu di hutan untuk rusa, wallaby, atau kasuari. Ini bukan tanpa bahaya, karena hutan dipenuhi Ular Papua Hitam yang terkenal sebagai salah satu yang paling beracun di dunia; korban yang digigit dipastikan tewas dalam kurang dari satu jam.

Ironi sebuah senyum (AGUSTINUS WIBOWO)

Ironi sebuah senyum (AGUSTINUS WIBOWO)

Begitu suburnya tanah di sini, begitu hijau rumputnya, begitu rapat hutannya dan begitu kaya lautnya, penduduk Ber justru mengalami kekurangan gizi akut. Saya menemukan banyak bocah yang kurus kering tetapi berperut buncit. Orang-orang mengalami sakit kulit parah karena mereka jarang ganti baju—yang mereka cuma punya beberapa biji. Semua orang di desa ini juga bertelanjang kaki.

Di hari Minggu, para lelaki desa hanya tiduran di balai-balai, lalu duduk di bawah pohon rindang, mengobrol sambil meminum alkohol. Mereka bilang, dalam seminggu kita bekerja untuk diri sendiri; harus ada satu hari, yaitu Minggu, kita berikan untuk menghormati Allah Bapa. Orang sini menjadi Kristen hanya sekitar empat puluh tahun lalu, disebarkan oleh para misionaris Australia.

“Australia bagus,” kata seorang pemuda desa yang menenggak rum saat kami mengobrol sambil memandang seberang lautan, “Australia negara kaya, banyak tolong Papua Nugini.”

Tapi satu-satunya bantuan Australia yang terlihat nyata di sini adalah empat tangki tertutup penadah hujan yang menjadi sumber air minum warga, dibangun sebelas tahun lalu. Tak ada jejak pemerintah Papua Nugini di sini. Tak ada sekolah, rumah sakit, pasar atau kios. Uang pun mereka tak punya. Saya bertanya pada seorang ibu, perubahan besar apa yang dia ingat selama tinggal di sini. Dia tertawa, sambil memindai kutu di rambut keriting anak lelaki di pangkuannya, berkata, “Hidup di sini tidak pernah berubah.”

Sebagai warga perbatasan, mereka bebas menyeberang ke Boigu yang hanya tiga puluh menit perjalanan naik perahu. Di pulau kecil Australia yang dihuni dua ratusan orang itu, warga Ber bisa menjual ikan, beli barang kebutuhan sehari-hari, bekerja sambilan, atau berobat di rumah sakit secara gratis. Ikan kakap barramundi bisa mereka jual seharga A$20 sampai A$30 di Australia. Tetapi mereka baru melaut dan menangkap ikan kalau benar-benar butuh uang.

Hanya ada rumah gubuk bertebaran jarang-jarang di Ber (AGUSTINUS WIBOWO)

Hanya ada rumah gubuk bertebaran jarang-jarang di Ber (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya warga negara asing sehingga tidak diizinkan menyeberang dari sini ke Boigu. Tetapi saya dengar, penduduk asli Boigu juga adalah orang-orang Melanesia seperti mereka. Bedanya, diasuh oleh pemerintah dua negara berbeda, orang Boigu rata-rata lebih tinggi dan sangat gemuk, karena tanpa bekerja pun mereka tetap mendapat uang dari pemerintah Australia. Orang Boigu lebih banyak mengupah warga Papua Nugini untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari di rumah.

“Australia harusnya ambil kami juga sebagai bagian dari mereka,” kata Sisi, teman perempuan yang mengantar saya ke sini, “Kami dulu juga adalah milik Australia.”

Sebelum merdeka tahun 1975, negeri ini terdiri atas dua koloni terpisah milik Australia: Papua di selatan dan Nugini di utara. Nama negara ini juga berkaitan dengan sejarah penjajahan itu: Papua berasal dari bahasa Melayu yang berarti orang-orang berambut keriting berkulit hitam; sedangkan Nugini, yang artinya “Guinea Baru”, karena penjelajah Spanyol melihat bahwa penduduk di sini mirip warga Guinea di Afrika. Setelah merdeka, kepala negara Papua Nugini masih ratu Inggris, dan hubungan dengan Australia tetap erat. Australia selalu menjadi negara donor terbesar bagi Papua Nugini.

Tapi bagi Sisi, masa depan ada di barat, bukan di selatan. Di Indonesia, bukan di Australia. Sisi pernah menyeberang perbatasan, menuju separuh bagian barat dari Pulau Nugini yang dikuasai Indonesia. Perjalanan itu sangat membuka matanya. Dulu dia takut pada tentara Indonesia, karena dia dengar mereka adalah komunis kejam yang membunuh orang hitam dan akan menjajah Papua Nugini seperti mereka menjajah Papua Barat. Tetapi sesampai di sana, dia justru melihat realita yang bertolak belakang. Sisi tinggal sampai dua tahun, hingga bisa berbahasa Indonesia sangat fasih.

“Selama ini kita dibohongi Australia,” kata Sisi, “Mereka bilang Papua Nugini tidak mungkin ditanami padi, akhirnya kami harus selalu mengimpor beras dari Australia. Padahal di seberang perbatasan sana, di pulau yang sama, orang Indonesia menanam padi.”

Kota terdekat Indonesia adalah Merauke, sekitar 250 kilometer atau dua hari perjalanan perahu motor dari sini. Itu adalah kota terbesar kedua dan kota pelabuhan penting di Papua Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini, cukup banyak perahu dari Merauke yang lalu lalang di lautan Papua Nugini. Itu milik para pedagang Indonesia yang hendak membeli hasil alam dari desa-desa Papua Nugini. Semuanya ilegal. Tetapi penduduk Papua Nugini justru menolong mereka dan tidak melaporkan kepada polisi, karena para pedagang Indonesia itu adalah sumber penghasilan baru.

Menahan terjangan angin (AGUSTINUS WIBOWO)

Menahan terjangan angin (AGUSTINUS WIBOWO)

Perjumpaan saya dengan pedagang Indonesia terjadi tanpa sengaja. Saat itu, saya dan Sisi sedang melaut. Di kejauhan kami melihat ada perahu motor yang berhenti di tengah laut. “Itu orang Indonesia,” kata Sisi, “Lihat mereka pakai dua motor di perahu mereka.”

Untuk perjalanan pergi pulang ke Papua Nugini, sebuah perahu dari Merauke harus membawa bahan bakar minimal setengah ton. Saat balik nanti, perahu mereka juga akan penuh muatan. Karena berat, perahu mereka hanya bisa bergerak dengan dua mesin masing-masing 40 tenaga kuda. Ini juga memungkinkan mereka melesat ketika harus kejar-kejaran dengan perahu polisi perbatasan Papua Nugini.

Lima orang di perahu itu semuanya orang Indonesia Timur yang juga ras Melanesia berkulit hitam. Mereka semula sangat ketakutan ketika perahu kami mendekat. Tetapi setelah tahu kami bisa bahasa mereka, mereka lega dan memberitahu kami salah satu mesin mereka rusak. Mereka butuh bantuan. Langit sudah hampir gelap, tapi mereka terlalu takut untuk tinggal di desa karena bisa dirampok atau ditangkap polisi.

Saya tiba-tiba menjadi bagian aksi penyelundupan ilegal. Sisi bersedia membantu mengangkut sebagian beban dari perahu mereka, dan membawa mereka ke satu pulau tanpa penghuni di selatan. Badai mengamuk disertai hujan deras ketika kami menyeberangi lautan. Di sini kami bukan hanya harus mewaspadai patroli polisi perbatasan Papua Nugini, tetapi juga polisi perbatasan Australia.

Para pedagang Indonesia itu bertaruh nyawa untuk perjalanan ini. Bulan lalu seorang pedagang Indonesian dibunuh secara misterius di dekat perbatasan oleh gang kriminal. Polisi Papua Nugini adalah mimpi buruk lainnya, karena mereka langsung main pukul, merampas semua uang dan barang, lalu membakar perahu. Kalau bisa memilih, para penyelundup Indonesia ini lebih ingin ditangkap polisi Australia. Mereka dengar, polisi Australia akan menerbangkan penyelundup ke pusat penahanan yang fasilitasnya bagus, menahan selama tiga bulan, lalu membebaskan dengan memberi uang kompensasi sebesar tiga bulan gaji standar Australia, dan mendeportasi ke Jakarta dengan menggunakan pesawat komersial.

140903-sigabadaru-indonesian-traders-7

Pulau kecil tujuan kami itu ternyata tidak kosong. Banyak perahu tertambat di pantainya, dan sempat membuat kami semua ketakutan. Ternyata itu milik empat puluhan nelayan Kiwai dari desa lain yang sedang menangkap ikan. Tahu kami membawa pedagang Indonesia, mereka justru menyambut kami, mendirikan kemah dan menyalakan api unggun khusus buat kami. Sementara para pedagang Indonesia menghujani mereka dengan produk yang dibawa dari seberang perbatasan sana: pinang (ini wajib!), rokok tembakau, biskuit tentara, mi instan, beras.

Ini mirip pesta pantai tengah malam. Kami memasak bersama, tertawa bersama. Para nelayan Papua Nugini memanggang ikan dan lobster. Para pedagang Indonesia itu terbelalak melihat itu. “Ini king lobster dari Grade A Super!” seru pemimpin rombongan, “Saya tidak pernah lihat lobster dengan kualitas sebagus ini seumur hidup!”

Papua Nugini adalah negeri yang kaya tapi belum terjamah, orang-orang Indonesia itu tak berhenti memuji. Mereka datang ke sini bukan untuk membeli ikan hidup atau lobster, melainkan hasil laut yang bernilai tinggi seperti teripang dan gelembung ikan. Harga gelembung ikan jauh lebih mahal daripada ikannya. Ikan katrol misalnya, jika dijual ke Daru harganya 30 kina, tetapi jika gelembungnya dijual kepada pedagang Indonesia harganya 100 kina. Itu karena gelembung ikan lebih susah didapat. Gelembung ikan adalah kantung udara yang membungkus organ dalam ikan, harus diambil ketika ikan masih hidup atau baru mati, dan diperlukan teknik tertentu yang khusus diajarkan oleh para pedagang Indonesia kepada warga Papua Nugini.

Beberapa tahun lalu, warga Papua Nugini tidak habis pikir ketika pertama kali mengetahui orang Indonesia bersedia membayar mahal demi gelembung ikan. Hingga hari ini pun, mereka belum paham kenapa. Sedangkan orang Indonesia sendiri juga tidak mengonsumsi gelembung ikan, dan tidak tahu pasti gunanya apa. Mereka hanya bagian dari rantai makanan yang lebih besar. Mereka akan mengekspor ke Singapura dan China, di mana konsumen sesungguhnya berada. Gelembung ikan bisa dijadikan perekat yang kuat dan tahan air yang berguna dalam operasi. Sedangkan orang China rela membeli gelembung ikan langka seperti kakap cina dan katrol dengan harga sangat tinggi, karena dianggap obat berkhasiat.

Itulah ajaibnya globalisasi. Produsen tidak tahu apa yang mereka produksi. Perantara juga tidak tahu apa gunanya barang yang mereka beli dan jual. Konsumen akhir, ribuan kilometer jauhnya, tidak pernah tahu dari mana asal benda-benda yang mereka konsumsi. Globalisasi telah menjadikan umat manusia sebagai sebuah wantok, dipersatukan dalam bahasa uang.

 

(bersambung)

Papua Nugini (1): Bahaya di Ibukota

Papua Nugini (2): Satu Bahasa

Papua Nugini (3): Perbatasan Segitiga

Papua Nugini (4): Orang Hitam dan Orang Putih

Papua Nugini (5): Sungai yang Mengering

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

5 Comments on Papua Nugini (3) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Perbatasan Segitiga

  1. Great..indepth journey

  2. Selalu suka dengan tulisan mas agustinus wibowo , nunggu bgt novel berikutnya terbit.

  3. Di PNG rawan malaria gk mas? Bgmn cara menghindari malaria?

  4. Seperti itukah kehidupan di Papua Nugini, Certa petualangan ini membuka tabir yang selama ini belum terjamah. Tentang kebohongan australia pada penduduk PNG itu luar biasa. Tulisan yang bagus

Leave a comment

Your email address will not be published.


*