Selimut Debu 96: Menggapai Cheghcheran
Lebih dari lima jam untuk memperbaiki truk yang rusak. Lihatlah Jaffar dan sang kenek yang sudah hitam legam. Mereka marah, terus menggerutu menyumpahi truk bobrok yang harus mereka bawa sampai ke Cheghcheran.
Tapi ternyata tak sampai empat puluh menit kami berjalan, mobil yang kutumpangi mogok lagi. Ah, kali ini rusaknya lebih parah. Mesin mobil sampai mengeluarkan asap. Parahnya, tempat mogok kali ini adalah di lembah sempit antara dua gunung. Bayang-bayang gunung menghalangi jatuhnya sinar mentari. Angin pun bertiup kencang menerpa wajah.
Satu jam… dua jam…. Di sini waktu tak ada harganya, berlalu begitu saja bersama angin gunung.
Tak ada kawan bicara, aku hanya mengamati truk lekat-lekat dan mendapatkan pengetahuan yang berharga, misalnya truk ini adalah Toyota buatan Jepang dengan mesin dari Jerman, plat nomornya sudah copot. Ada dua roda depannya dan delapan roda belakangnya. Satu roda buatan Iran, tujuh India, dan dua Thailand. Kendaraan ini diimpor dari pasar barang bekas Dubai dan didatangkan ke Kabul oleh sebuah perusahaan yang stikernya tertera di kaca depan. Hmmm… barang bekas dengan kombinasi komponen dari berbagai negara.
Truk ini sudah mati. Kondensornya rusak. Mesin tak lagi bisa memutar roda-roda besarnya. Tak ada harapan. Langit pun beranjak gelap.
“Tak ada cara lain,” kata Jaffar, “kamu ikut truk Kamaz yang sudah di depan itu. Kami terpaksa menunggu di sini. Kalau kamu ingin sampai ke Cheghcheran hari ini, kamu harus ikut truk satunya.”
Jaffar memerintahkan rekannya untuk segera ke Cheghcheran malam ini dan esok pagi memanggil mekanik dari ibu kota provinsi itu. Ia dan kenek Hazara terpaksa tidur di alam bebas malam ini. Aku duduk di samping sopir truk Kamaz. Tidak seperti Jaffar yang ramah, sopir ini selalu cemberut dan membentak kasar. Waktu aku kesulitan menaiki badan truk yang tinggi, ia hanya berteriak, ”Cepat! Cepat! Cheghcheran masih jauh!”
Truk merayap lambat mendaki bukit. Di atas jalan debu penuh lubang, kecepatan truk hanya dua kilometer per jam. Berkali-kali truk terseok, terguncang karena lubang yang lumayan dalam. Asap hitam itu pun menutupi pandangan. Bahkan sorot lampu depan truk tak mampu menembus kepekatan asap. Nasib sepenuhnya berada di tangan sopir yang tampaknya sudah hafal betul di mana ada lubang dan tikungan di tengah bukit kosong.
“Jangan khawatir, nanti kalau sudah lewat puncak, truk akan bisa berlari kencang,” sopir menenangkan, ”Aku juga ingin cepat sampai Cheghcheran dan pulang ke rumah.”
Dari puncak, seperti kata sopir, truk memang bisa merayap lebih cepat. Tetapi itu hanya naik dari dua kilometer menjadi enam kilometer per jam. Jalan turun sangat curam.
Pukul sembilan malam, kami sampai di Cheghcheran. Sungguh dari puncak bukit, kota ini tampak seperti metropolis yang berkelap-kelip di tengah kegelapan malam. Walaupun aku tahu apa yang kujumpai: pemukiman berdebu dengan barisan rumah dari lempung. Tetapi perjalanan dua hari penuh untuk menempuh jarak hanya 151 kilometer dari Garmao melintasi gunung-gunung gersang dan desa-desa miskin ini benar-benar melelahkan. Gemerlapnya Cheghcheran memberi secercah harapan.
“Ayo! Kamu bayar uangnya sekarang!” sopir berteriak kasar. Sungguh berbeda dengan Jaffar yang lembut, dia hanya menampilkan sisi garang seorang sopir truk. Tanpa basa-basi.
Aku turun di kedai teh di pinggir jalan. Pemilik kedai teh, pria tua berjubah bolong dan berjenggot lebat, menyambutku.
Tak ada roti, tak ada nasi, tak ada makanan apa pun, katanya. Perutku sudah keroncongan dari tadi. Berita buruk dari pemilik warung seperti siraman air dingin. Belum lagi aku duduk di sudut warung, dua orang polisi berseragam dan berselempang bedil datang.
“Siapa kamu? Hendak ke mana? Datang dengan siapa?” mereka menginterogasi. Kuberikan pasporku. Mereka berlagak membaca, walaupun paspor itu terbalik.
“Tempat ini berbahaya,” kata polisi itu, ”malam-malam begini kadang ada Taliban yang menyusup. Karena itu kami harus memastikan siapa saja yang datang ke sini.”
Setelah memastikan aku bukan lawan, polisi segera memanggil pemilik warung. ”Cepat! Kamu carikan makanan! Kasihan dia. Apa pun caranya, demi kemanusiaan!”
Lima menit kemudian di hadapanku tersaji sebilah nan sepanjang setengah meter. Juga sepoci kecil teh hijau dan semangkuk gula pasir. Kakek tua itu pun menyiapkan tempat khusus buatku di sudut warung, agak berjauhan dengan pengunjung lainnya.
Warung ramai oleh para sopir truk dan kenek. Mereka sudah menyantap makan malam, dan bersiap menginap. Lampu remang-remang, kadang nyalanya benderang, kadang nyaris mati. Listriknya dihasilkan dari generator kecil yang berisik sekali di luar sana.
Aku memejamkan mata dalam kelelahan yang amat sangat. Perjalanan menembus kepulan debu pusat Afghanistan sungguh membuat remuk semua sendi dan tulang.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
America sdh sampai di luar angkasa . Afghanistan kok msh naik keledai.