Recommended

Obo 19 September 2014: Melihat ke Barat

140919-png-obo-look-west-1Semakin saya menyusuri Sungai Fly, semakin saya dekat dengan Indonesia. Bukan hanya secara geografis, tetapi juga dari kehidupan orang-orangnya.

Di Suki saya menemukan sejumlah pemuda Papua Nugini yang sekolah komputer di distrik Sota, Merauke, dan terpaksa pulang karena tidak cukup biaya. Salah satu di antara mereka bahkan memiliki KTP asli Indonesia, yang dia beli dengan sangat mudah seharga 300 ribu rupiah. Dari Suki, orang bisa berperahu dan bersepeda selama dua hari untuk mencapai Indonesia.

Saat saya menumpang perahu dari Suki menuju Obo, Nobi si pemuda pemilik perahu mengatakan senang dengan semakin terbukanya kontak dengan Indonesia, karena dia sangat suka rokok lempeng khas Merauke yang biasa dibawa para pedagang dari Indonesia. Dia juga bilang, di Obo nanti, saya bisa menginap di rumah saudara iparnya yang sering ke Merauke.

Perjalanan dari Suki ke Obo memakan waktu sehari penuh. Sungai Fly semakin sempit dan dalam, meliuk-liuk dan berzig-zag bagai benang kusut. Selain itu, banyak jalur pintas yang berupa rawa atau selokan yang menghubungkan kelok-kelokan Sungai Fly itu, sehingga kita tidak perlu selalu mengikuti aliran sungai utama demi memotong jarak. Namun jangan berasumsi kita bisa menghemat waktu. Jalur pintas ini sering tertutup tanaman atau rumput yang sangat rapat, sehingga para penumpang perahu harus menggunakan dayung dan menyibak tanaman. Jauh lebih melelahkan dan berbahaya daripada sungai utama!

Namun, saya tidak akan pernah melupakan pemandangan yang terpampang di lintasan sunyi ini. Matahari dan riak-riak awan yang bergejolak liar di angkasa terpantul di permukaan air rawa yang tenang bagai lukisan tinta. Beragam jenis burung beterbangan dalam kawanannya, berkaok bagai bersorak menyambut datangnya senja. Selain itu, yang ada hanya keheningan alam, sesekali diselingi suara kayuhan dayung dari istri Nobi yang sering mengeluh oleh tebalnya tanaman yang harus ditembus perahu kami.

Keindahan liar yang begitu memukau ini tidak terjamah oleh turis mana pun. Nyaris tidak ada orang asing yang menyusuri Sungai Fly. Karena sulitnya transportasi, hanya mereka yang benar-benar berani dan punya waktu atau uang tak terbatas saja yang bisa sampai ke sini. Selain itu, akibat aktivitas pertambangan Ok Tedi di hulu sana, Sungai Fly beserta rawa-rawa di sekelilingnya ini kini bahkan terlalu beracun untuk disentuh, apalagi diminum.

Menerjang rerumputan pekat dengan perahu

Menerjang rerumputan pekat dengan perahu

Langit sudah gelap ketika kami akhirnya sampai ke Obo. Ipar Nobi adalah lelaki botak berwajah keras, dengan perawakan tinggi dan kekar berotot, namun ternyata sangat bersahabat dan suka tertawa. Demi kami, dia sudah menyiapkan ikan mujair bakar dan rebus. Ikan mujair di sini berukuran sangat besar, sampai 40 sentimeter panjangnya.

“Makanlah sepuasnya,” kata Gids Salle saudara ipar Nobi itu, “Di sini ikan mujair tidak ada harganya. Sehari saya bisa menangkap 30 ekor dari sungai ini.”

Saking banyaknya mujair di sungai kecil di belakang rumahnya, Gids hanya perlu tombak dan kacamata renang untuk menangkap lusinan mujair. Mujair di sisi Papua Nugini ini diyakini berasal dari Indonesia di seberang perbatasan sana. Sepuluh tahun lalu mereka bahkan tidak tahu apakah mujair itu. Tiba-tiba saja, mujair merajalela di Sungai Fly. Penduduk senang, mereka mendapat sumber makanan baru. Sementara itu, ikan lokal saratoga justru menjadi langka, kemungkinan besar telur-telurnya dimakan oleh mujair. Penduduk sini menyebut mujair sebagai “muzair”, meniru ucapan orang Indonesia. Sementara di Daru di selatan sana, orang-orang tidak pernah melihat ikan ini sebelumnya dan bingung mau memberi nama apa. Kebetulan pada tahun itu di Daru lagi populer alat pemutar musik digital berukuran mini bermerek Boom Box. Karena sama ajaibnya, jadilah mujair dinamai di Daru sebagai ikan boombox.

Istri Gids merebus dan membakar mujair tanpa menguliti dulu sisiknya. Rasa dagingnya juga amis dan hambar, karena mereka tidak menggunakan bumbu apa-apa. Cara masak mereka sama seperti kebanyakan orang Papua Nugini—hanya direbus dan dibakar langsung di api.

Mujair adalah makanan pokok baru di sini

Mujair adalah makanan pokok baru di sini

Seorang lelaki dengan bangga menunjukkan bahwa dia sudah lebih "modern" karena bisa makan dengan kecap manis dari Indonesia.

Seorang lelaki dengan bangga menunjukkan bahwa dia sudah lebih “modern” karena bisa makan dengan kecap manis dari Indonesia.

Tetapi Gids dengan bangga menyebut dirinya sudah lebih modern daripada orang-orang Papua Nugini lainnya, berkat Indonesia. Buktinya? Dia sekarang sudah bisa makan cabai. Dia lalu menyajikan sambal buat saya—katanya dia pelajari dari orang-orang Jawa selama berada di seberang perbatasan sana—tetapi wujudnya hanya berupa cabai yang dipotong kecil-kecil dicampur garam. Bisa makan cabai, bagai Gids, adalah kebanggaan yang membuatnya merasa lebih beradab daripada orang Papua Nugini lainnya.

“Saya hanya mau bergaul dengan orang Indonesia yang kulit putih,” katanya, “Bukan dengan orang hitam. Karena dari orang kulit putih itu saya dapat banyak pengetahuan.”

Yang dimaksudnya dengan orang putih adalah para warga pendatang non Papua. Dia menunjukkan foto seorang teman baiknya di Merauke sana: seorang anggota TNI dari Jawa.

“Kita sekarang adalah tetangga baik,” lanjut Gids, “Kami sering pergi berombongan berjalan kaki dari sini ke Sota untuk beli senapan berburu dan bensin,”—bensin di Indonesia disubsidi sehingga harganya sangat murah dan persediaannya cukup melimpah—“Kami beli tiga drum dan menyewa enam sepeda motor, dan dikawal tentara Indonesia sampai ke perbatasan.”

Keesokan paginya, desa Obo merupakan kejutan besar bagi saya. Saat berjalan-jalan di kampung mereka yang cukup padat oleh tebaran gubuk-gubuk anyaman daun, saya disambut dengan sapaan bahasa Indonesia yang begitu akrab. “Malam!” kata beberapa lelaki kepada saya, walaupun hari ini masih pagi benderang. Mereka mengaku belajar bahasa Indonesia sendiri dengan menghafalkan kamus selama tiga tahun. Mereka bahkan tahu Jokowi, dan sangat senang Jokowi terpilih sebagai presiden Indonesia. Sebaliknya, mereka belum mendengar apa-apa tentang kisruh Perdana Menteri mereka sendiri di Port Moresby dalam kasus pertambangan Ok Tedi.

Obo hanya sekitar 30 kilometer dari perbatasan Indonesia. Mereka cuma perlu naik perahu sekitar satu jam menyusuri sungai kecil sampai ke kamp Korop di hutan. Lalu dari sana, mereka berjalan kaki selama enam jam untuk mencapai pos militer Indonesia di Kuel.

Mujair terlalu melimpah, mereka bisa menangkap 30 ekor sehari hanya dengan tombak.

Mujair terlalu melimpah, mereka bisa menangkap 30 ekor sehari hanya dengan tombak.

Lebih dekatnya Obo ke Indonesia daripada ke Papua Nugini membuat Rex Sale percaya, mereka harus menerapkan Kebijakan Lihat ke Barat, bukannya Lihat ke Timur. Look West Policy. Rex adalah seorang pemimpin di desa yang mewakili warga desanya dalam bernegosiasi dengan perusahaan tambang Ok Tedi untuk menuntut ganti rugi. Tetapi dia sudah menyerah. Pemerintah Papua Nugini disebutnya tidak peduli bagi nasib mereka di daerah terpencil ini, dan lebih memihak pada perusahaan penambang asing. Uang yang didapat pemerintah pun tidak digunakan untuk membangun daerah ini, melainkan masuk kantong para pejabat di Port Moresby sana.

“Saya berjuang demi rakyat saya,” kata Rex yang kakinya dipenuhi kudis karena air tercemar itu, “Karena itulah saya pergi ke Indonesia karena pemerintah sini tidak memperhatikan kami. Hanya ada perusahaan tambang asing yang memberi kami sedikit proyek, sekaligus merusak lingkungan kami. Kami mau pembangunan, kami mau pasar. Di Indonesia saya lihat ada pasar. Kita bisa menjual tanduk rusa, kulit buaya, dan gelembung ikan.”

“Karena itulah kau sekarang melihat ke barat?” tanya saya.

“Ya. Timur, yaitu Port Moresby, sudah tidak bisa diharapkan. Pemerintah mengorbankan penduduk Western Province untuk keuntungan mereka sendiri. Sedangkan di Indonesia sana, saya menemukan kehidupan. Mereka menggunakan teknologi yang begitu alami, dan cocok bagi rakyatnya, dan pasti cocok bagi kami. Australia menerapkan teknologi mereka di sini, tetapi terlalu canggih dan tidak terjangkau orang sini, sehingga kami tidak bisa memeliharanya.”

Rex sangat terpukau oleh sumur yang dilihatnya di Indonesia. Dia bermimpi, andaikan orang sini bisa membangun sumur sendiri. Tentu lebih baik daripada tergantung pada tangki tadah hujan yang disumbang Australia. Masalah dengan tangki tadah hujan ini, apabila kerannya rusak, mereka harus pergi ke Kiunga atau Port Moresby hanya untuk membeli penggantinya, dan penduduk pun harus kehausan selama berbulan-bulan.

Sebenarnya nasib Obo jauh lebih baik daripada desa-desa yang saya singgahi sepanjang perjalanan Sungai Fly ini. Pusat desa Obo memiliki klinik, bandara (berupa lapangan rumput dengan bendera), satu guesthouse (milik orang Australia dan seharga 200 kina atau 100 dolar Australia per malam), juga tiga toko milik orang China Daratan. Sedangkan desa pemukiman Obo terpisah oleh sungai tak berjembatan (sehingga orang harus berperahu atau berenang untuk menyeberang) dan cukup padat penduduknya.

Karena tidak ada jembatan, mereka harus menyeberang antara Obo Lama dan Obo Baru dengan perahu.

Karena tidak ada jembatan, mereka harus menyeberang antara Obo Lama dan Obo Baru dengan perahu.

Atau berenang

Atau berenang

Rex sudah belajar bahasa Indonesia enam bulan. “Indonesia begitu dekat, tetapi kami seperti hidup di dunia berbeda. 80 persen orang di sini tidak pernah duduk di dalam mobil, tidak pernah tahu apa itu sepeda atau hotel. Banyak juga yang belum pernah melihat sapi dan kambing seumur hidup mereka.”

Saat di Suki, saya mempertanyakan nasionalisme mereka, manakala di acara peringatan hari kemerdekaan Papua Nugini pidatonya semua berupa keluhan terhadap pemerintah pusat, tidak ada acara tradisional, hanya berisi permainan asing seperti rugbi, voli, sepak bola.

Di Obo pun sama saja. Lapangan ramai karena ada pertandingan sepak bola antar kampung. Saya menghitung hanya tiga pemain yang pakai sepatu, lima pemain pakai kaos kaki hanya pada satu kaki, dan semua pemain sisanya berkaki telanjang. Namun setidaknya, di sini semua pemain sepak bola memakai seragam. Seragam pemain bola itu khusus dipesan dan dibeli dari Merauke, Indonesia, oleh para pemimpin desa. Karena milik desa, seragam atlet ini hanya dipinjamkan kepada para pemain, yang akan dikumpulkan kembali dan dipakai oleh para pemain lainnya dalam pertandingan berikut.

Awaii Nanda adalah seorang pejabat desa Obo. Lelaki bertubuh tambun ini sudah bolak-balik ke Indonesia, dan satu hal yang paling dia kagumi di sana adalah penegakan hukum. “Di sana, di mana-mana kau lihat polisi, tentara, pos pemeriksaan. Di sini kami tidak ada polisi, tentara, pos pemeriksaan. Cuma aparat desa yang menjalankan tugas itu, tak berseragam dan tak digaji.”

Di lapangan saya melihat beberapa warga yang dengan bangga memakai seragam Kopassus dan TNI—yang mereka beli dari Merauke. Mereka adalah hansip di desa ini. Daripada tidak berseragam, tentu lebih gagah memakai seragam tentara dari negara sebelah. Obo dan Suki seharusnya adalah kota perbatasan, tetapi sama sekali tidak memiliki polisi dan tentara perbatasan.

“Di sini kami tidak punya aparat keamanan sama sekali,” kata Awaii, “sedangkan mereka di sana punya tentara yang kuat. Kadang-kadang kami juga takut Indonesia akan datang menjajah kami. Tetapi mungkin juga nasib kami akan lebih baik di bawah Indonesia.”

Nasionalisme di sini, saya sadari sekarang, sebenarnya adalah kebutuhan sekunder, yang baru dibicarakan setelah kebutuhan primer terpenuhi: perut kenyang dan rasa aman.

Seragam pemain bola semuanya berasal dari Indonesia.

Seragam pemain bola semuanya berasal dari Indonesia.

Mereka memakai seragam itu bergantian

Mereka memakai seragam itu bergantian

Hansip lokal dengan seragam TNI Indonesia

Hansip lokal dengan seragam TNI Indonesia

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

12 Comments on Obo 19 September 2014: Melihat ke Barat

  1. indah sekali ceritanya bang, menyibak sisi lain dari papua nugini

  2. warga obo dan suki bisa joget geboy muzair ayu tingting diiringi musik dr boombox :p :p :p

  3. warga obo dan suki bisa joged goyang muzair ayu tingting diiringi musik dr boombox :p :p :p

  4. Wow. Feels like home.

  5. mas agus. apakah kunjungan ke daerah mari, jara, tonda, morehead, wando akan diteruskan atau dibatalkan?

  6. Kak agus, ini tulisannya menyentuh sekali, sekaligus menyindir indonesia sendiri sebenarnya. hehehe… aku tungguin buku Papua Nugininya keluar. 🙂 can’t wait.

  7. Ada juga negara yang kagum dengan Negara kita ya…kasihan warga PN, pemerintahnya tidak peduli.

  8. Menarik banget nih ceritanya, Mas 🙂

    Btw, per malam di guesthouse milik org Oz itu mahal juga ya huehue

  9. Pengalaman yang luar biasa bersama warga Obo
    Pemandanganya juga sepertinya keren banget, foto pertama benar-benar luar biasa

  10. Pantesan kok perasaan saya seragam tentaranya kenapa kelihatan familiar.

  11. Kapan dijadikan buku papua nugininya koh?

  12. perut kenyang, hidup nyaman dan aman, baru bicara Nasionalisme, ha3

Leave a comment

Your email address will not be published.


*