Recommended

perjalanan

[Kompas] Cermin Identitas di Antara Garis Batas

Kompas Minggu 20 Juni 2021 HERLAMBANG JALUARDI Kompas.id Jurnalisme utamanya adalah pekerjaan kaki. Maka itu yang dilakukan Agustinus Wibowo, petualang dan penulis perjalanan. Dengan ransel di punggung, buku catatan, dan kamera, dia melintasi banyak batas negara. Pengalaman di tempat asing itu ibarat cermin yang merefleksikan identitasnya. Agustinus tiba di sebuah warung mi jawa di daerah Palmerah, Jakarta, setengah jam sebelum janji bertemu pada Senin (14/6/2021) siang. Dia duduk sendirian. Es teh manis terseruput hampir setengah gelas. Mi goreng pedas mengalihkan perhatiannya dari buku Jalan Pulang karya Maria Hartiningsih yang tertelungkup di samping piring. ”Aku enggak terbiasa baca e-book,” ujarnya menyeka mulut dengan tisu. Itu sama asingnya dengan angkutan berbasis daring yang perlahan jadi kebiasaan warga perkotaan. Untuk tiba di tempat perjumpaan itu dari tempat tinggalnya di daerah Grogol, Jakarta Barat, Agus naik bus umum dan jalan kaki lagi sekitar 2 kilometer. Dia menyandang ransel harian merek lokal, bukan endorsement. Gawai—ponsel dan komputer—dia pakai untuk urusan pekerjaan, seperti riset, menulis, dan berkomunikasi. Berinteraksi di media sosial pun, katanya, jarang sekali. Aktivitasnya di depan layar dihitung secara rinci. ”Jadi ketahuan produktif sudah berapa jam, non- produktif berapa jam, Kalau kebanyakan main, harus diseimbangkan,” kata dia yang senang bercakap-cakap dalam bahasa Jawa. Kedisiplinan [...]

July 4, 2021 // 1 Comment

[Detik.com] Liburan ke Asia Tengah Aman atau Tidak? Ini Dia Faktanya

Detik Jakarta – Masalah politik dan kriminalitas seakan mengaburkan keindahan wisata di Asia Tengah. Tapi bukan tidak mungkin liburan ke sana. Berikut faktanya. Lima negara Asia Tengah yang terdiri dari eks-Uni Soviet, yakni Kazakshtan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan memang dikenal eksotis. Tapi masalah konflik politk dan kriminalitas yang muncul dalam pemberitaan membuat traveler berpikir ulang sebelum berkunjung. Dari Indonesia, ada penulis sekaligus petualang Agustinus Wibowo yang telah menyibak Asia Tengah dan menuliskan kisahnya dalam buku Garis Batas. Untuk mencari tahu aman tidaknya traveling ke Asia Tengah, detikTravel pun mewawancarai Agustinus Wibowo via telepon pada Rabu malam (26/10/2016). Secara geopolitik, dua dari lima negara Asia Tengah bertetangga dengan Afghanistan yang rawan konflik dan perang. Secara tidak langsung, ada pengaruh radikalisasi hingga terorisme dari negara Timur Tengah ke Asia Tengah. “Efek dari Timur Tengah sekarang ini memang sedkit terasa, jadi banyak pejuang dari Tajikistan, Uzbekistan yang bergabung ke ISIS. Bahkan Kyrgyzstan dan Kazakhstan ada. Jadi arus radikalisasi sudah merembet masuk ke Asia Tengah. Yang itu mereka cukup rawan. Tapi kalau secara general untuk traveling ke situ mungkin efeknya kita nggak akan terlalu berasa seperti itu ya,” jelas Agustinus. Agustinus pun menceritakan tentang konflik yang sempat terjadi di Fergana, Uzbekistan pada tahun 2004 [...]

November 6, 2016 // 3 Comments

[Detik.com]: Ada Apa di Asia Tengah? Ini Kata Penulis & Petualang Agustinus Wibowo

Menyibak Asia Tengah Johanes Randy Prakoso – detikTravel – Kamis, 27/10/2016 08:10 WIB Detik.com Jakarta – Membicarakan negara di Asia Tengah tentu tidak terlepas dari nama Agustinus Wibowo, penulis dan penjelajah asal Indonesia. Yuk mengenal Asia Tengah lebih jauh! Lahir di Lumajang Jawa Timur, tahun 1981, nama Agustinus Wibowo mungkin sudah dikenal publik dan traveler Indonesia secara luas lewat sejumlah tulisan perjalanannya yang mengisahkan cerita kemanusiaan dan perbatasan di negara Asia Tengah. Berbeda dengan dengan traveler kebanyakan, pria berdarah Jawa Tinghoa ini malah memiliki ketertarikan khusus akan negara Asia Tengah yang belum dikenal dan rawan isu politik. Tapi tentu bukan hanya itu, perbedaan bahasa hingga sulitnya akses visa ke negara Asia Tengah juga menjadi alasan. Namun tidak untuk Agustinus Wibowo. Untuk mendapat gambaran dan mengenal Asia Tengah lebih lanjut, detikTravel pun berbincang dengan pria yang akrab disapa Agus ini via telepon, Rabu (26/10/2016). Dari perjalananya di Asia Tengah, ada banyak hal menarik yang bisa disimak. “Konsep Asia Tengah itu sebenarnya berbeda-beda setiap definisi, ada yang menganggap Asia Tengah mulainya dari Mongolia, masuk ke China Barat dari Rusia, negara-negara pecahan Uni Soviet, kadang Afghanistan juga dimasukkan ke Asia Tengah. Jadi memang definisinya itu berbeda-beda, tapi sekarang kebanyakan orang menganggap asia tengah [...]

November 1, 2016 // 0 Comments

Tabubil 17 Oktober 2014: Apakah Saya Masih di Papua Nugini?

Kota ini mengejutkan saya. Bangunan modern berpagar-pagar berbaris rapi sepanjang dua sisi jalan beraspal mulus. Tidak ada sampah berceceran. Tidak ada bercak-bercak merah ludahan pinang di dinding maupun jalanan. Semua orang menyeberang jalan hanya pada jalur penyeberangan. Sungguh saya bertanya: Apakah saya masih di Papua Nugini? Tabubil adalah sebuah kota kecil dan sunyi di kaki Pegunungan Bintang, dikelilingi barisan pegunungan yang diselimuti rimba tropis yang teramat lebat. Sesungguhnya, dengan lokasi yang terpencil ditambah kondisi geografisnya, Tabubil bukanlah material untuk menjadi kota modern. Curah hujan di daerah ini termasuk yang tertinggi di dunia. Lebih dari 300 hari dalam setahun, Tabubil diguyur hujan. Dan hujan di Tabubil itu sungguh bagai air bah yang mencurah dari langit tanpa belas kasihan. Awan gelap bisa menggelayut di langit Tabubil sampai berhari-hari, dan penduduk selalu pergi ke mana-mana dengan membawa payung. Tabubil ada karena tambang. Pada tahun 1976, perusahaan pertambangan Australia, BHP, mulai bernegosiasi dengan pemerintah Papua Nugini untuk memegang kontrol atas tambang emas dan tembaga di daerah ini. Pada tahun 1981, perusahaan tambang Ok Tedi Mining Limited terbentuk dengan BHP sebagai pemegang kepentingan utama. Perusahaan inilah yang membangun Tabubil menjadi kota pertambangan. Tabubil terletak pada sebuah jalan utama yang belum sepenuhnya beraspal, yang berawal dari [...]

October 4, 2016 // 6 Comments

[Dewi] Agustinus Wibowo–Perjalanan Mencari Cerita

      Dari pencarian personal, ia tergugah merambah zona-zona konflik dunia dan mendengar cerita-cerita penghuninya.   DEWI September 2016 DUNIA PRIA (LINDA CHRISTANTY)   IDENTITAS adalah masalah yang menyertai dirinya tumbuh di Lumajang, sebuah kota di Jawa Timur. Ia berbicara Bahasa Jawa dengan orangtuanya di rumah, tetapi mereka bukan keluarga Jawa bagi orang-orang di sekitar. Ajaran dan tradisi Islam dalam masyarakat telah mempengaruhi pikirannya sebagai seorang bocah, sehingga ia meminta kepada orangtuanya agar ia dikhitan seperti teman-temannya yang lain. Tetapi ia dan keluarganya bukan Muslim. Ia tak mengenal kampung halaman yang lain selain kota lahirnya, tetapi ada orang-orang yang menganggapnya orang asing dan meneriakinya, “Cina, Cina….” di jalanan. “Karena itu saya sering merasa tidak aman. Saya memilih naik becak dari rumah menuju tempat yang hanya berjarak sekitar 200 meter sekalipun,” tutur Agustinus Wibowo, penulis buku-buku perjalanan yang mengisahkan zona-zona konflik dunia. Ia pun melewati masa remaja dengan memikirkan hal yang paling mendasarkan dari keberadaan manusia di muka bumi ini, “Siapakah saya?” Pada Mei 1998 kerusuhan anti Cina merebak di Jakarta, mengiringi akhir kekuasaan Presiden Soeharto. Tetapi ia dan keluarganya tidak bisa lari ke luar negeri untuk menyelamatkan diri. “Paspor saja kami tidak punya,” katanya. Perekonomian keluarga mereka pun hanya [...]

September 19, 2016 // 12 Comments

Detik.com: Papua Nugini hingga Singkawang, Ini 5 Titik bagi Buku Baru Agustinus Wibowo

Rabu, 14 Sep 2016 16:16 WIB  ·   Tia Agnes – detikHOT tautan Beijing – Lebih dari satu dekade melakukan perjalanan, Agustinus Wibowo kembali menelaah apa yang terjadi di negaranya. Pria kelahiran Lumajang, Jawa Timur itu berencana untuk bepergian ke lima titik lokasi yang merupakan fragmen-fragmen dari proyek buku baru yang kini sedang digarapnya sejak dua tahun lalu. Fragmen pertama adalah perbatasan Papua dengan Papua Nugini yang sudah ditinggalinya selama tiga bulan di sana. Ada empat titik lokasi atau destinasi lainnya yang akan dikerjakan sebagai proyek baru. “Saya berencana akan ke Toraja untuk memahami bagaimana agama tua bertahan di tengah-tengah agama baru. Ada Aceh untuk mempelajari bagaimana penerapan pasca syariat Islam,” ujarnya ketika berbincang di sela-sela Beijing International Book Fair (BIBF) 2016 di China International Exhibition Center, Beijing, belum lama ini. Baca Juga: Agustinus Wibowo Bicara Soal Proyek Buku Baru Selain itu, Agus akan menjelajahi Pulau Dewata untuk mencari tahu identitas Bali bertahan di tengah perubahan globalisasi. Serta Singkawang tentang etnis Tionghoa sampai pasca Reformasi. “Benang merahnya bisa dibilang tentang identitas, dari sudut pandang orang Indonesia sendiri. Bagaimana suara orang Indonesia, bagaimana orang Indonesia menggali negaranya sendiri, itu yang saya gali,” lanjut Agus. Simak: Agustinus Wibowo Kritisi Orang Asing yang [...]

September 15, 2016 // 0 Comments

Detik.com: Agustinus Wibowo Kritisi Orang Asing yang Tulis Buku Perjalanan Indonesia

Rabu, 14 Sep 2016 15:43 WIB  ·   Tia Agnes – detikHOT tautan Catatan: Saya rasa saya perlu sedikit mengklarifikasi artikel ini. Tampaknya jurnalis yang mewawancara tidak menyampaikan maksud saya secara tepat. Saya BUKAN mengkritisi orang asing yang menulis buku perjalanan Indonesia, melainkan ketiadaan buku perjalanan tentang Indonesia yang ditulis oleh orang Indonesia sendiri yang mampu menembus pasar internasional. Ini karena tidak banyak penulis perjalanan Indonesia yang menulis tentang Indonesia sendiri, atau masih relatif rendahnya kualitas tulisan perjalanan kita. Beijing – Agustinus Wibowo yang dikenal dengan narasi perjalanan ‘Titik Nol’ tengah menggarap proyek nasionalisme baru tentang Nusantara. Dia pun mengkritisi buku travel writing Indonesia yang ditulis oleh penulis asing. “Kebanyakan buku tentang Indonesia malah ditulis oleh orang asing. Begitu banyak minat orang luar tapi stok buku kita yang sangat terbatas. Itu hal yang sangat miris,” katanya ketika berbincang dengan detikHOT di sela-sela Beijing International Book Fair (BIBF) 2016, belum lama ini. “Bukan masalah siapa yang menulis, tapi perspektif kita yang pasti berbeda. Artinya bangsa kita didefinisikan menurut perspektif orang luar,” lanjutnya lagi. Simak: Agustinus Wibowo Bicara Soal Proyek Buku Baru Atas alasan tersebut, Agus mencoba memahami kembali apa makna nusantara, dan mencoba menelaahnya ke lima titik. Lokasi tersebut yang didatanginya [...]

September 15, 2016 // 14 Comments

Detik.com: Agustinus Wibowo Bicara Soal Proyek Buku Baru

Rabu, 14 Sep 2016 13:46 WIB  ·   Tia Agnes – detikHOT tautan Beijing – Perjalanan Agustinus Wibowo melintasi negara-negara di Asia Selatan dan Asia Tengah yang terangkum dalam buku trilogi membuat namanya kian dikenal publik. Dari Beijing, sarjana Ilmu Komputer Universitas Tsinghua itu memulai petualangan perjalanan darat keliling Asia. Kini sebelas tahun kemudian, Agus muncul dengan proyek terbaru, semangat serta antusiasme yang tak kalah seru dari buku-buku sebelumnya. Tak lagi menceritakan tentang negara-negara berakhiran ‘tan’ maupun rencana penaklukan ke belahan benua Afrika, namun kali ini Agus kembali melihat ‘ke dalam’. Negara asalnya yang kaya akan budaya dan beragam cerita di dalamnya. Lewat tema ‘Nusantara’, Agus menjelajahi kawasan-kawasan yang berbeda yang bakal menjadi proyek buku berikutnya. Indonesia dipilihnya sebagai fokus pencarian dengan berbagai alasan. Ditemui di sela-sela kemeriahan stand Nasional Indonesia di ajang Beijing International Book Fair (BIBF) 2016, akhir Agustus lalu, Agus menjelaskan tentang rencana proyek terbarunya tersebut. “Indonesia adalah negara yang secara ajaib masih berdiri dengan utuh, ada ratusan etnik dan bahasa yang beragam. Setelah Reformasi pun Indonesia masih berdiri, itu jadi misteri sekaligus pertanyaan, ada kekuatan apa di balik Indonesia. Saya ingin memahami apa itu Indonesia, apa makna menjadi Indonesia, dan apa yang menyatukan Indonesia sampai sekarang [...]

September 15, 2016 // 1 Comment

[Suara.com] Agustinus Wibowo, Kisah Pengeliling Dunia Berbekal 2000 Dolar AS

Esti Utami : 02 Dec 2015 | 09:01 Suara.com – “Lakukanlah perjalanan. Karena perjalanan tidak hanya mengenalkanmu pada dunia luar, tapi juga membuatmu lebih mengenal diri sendiri. Tanpa perjalanan, kamu bisa kehilangan kesempatan untuk mengenal diri sendiri.” Itulah pesan seorang Agustinus Wibowo, salah satu orang yang menjadi ‘nabi’ bagi para backpacker di tanah air. Ia adalah seorang petualang, musafir, pengembara. Seorang backpaker sejati. Bagi banyak orang, aktivitas jalan-jalan dengan biaya rendah sebagai bakckpaker adalah hobi. Tapi bagi Agus, demikian Agustinus biasa disapa, menjadi backpaker adalah hidupnya, napas yang setiap hari dihelanya. Perjalanan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan laki-laki kelahiran Lumajang, Jawa Timur 34 tahun silam ini. Hidup, baginya, adalah sebuah perjalanan yang pelakunya tidak tahu kapan semua itu akan selesai. Ribuan kilometer jarak telah dijejakinya. Banyak negara telah dikunjunginya, tapi ia belum tahu kapan akan berhenti. Ditemui di sela peluncuran buku di “Titik Nol” versi bahasa Inggris beberapa waktu lalu, Agus, demikian ia sering disapa, mengatakan ia sedang merencanakan untuk sebuah perjalanan ke Myanmar. Meski menurutnya, perjalanan ke Myanmar kali ini adalah untuk ‘berhenti’. “Saya mungkin sebulan di sana. Tiba-tiba saja ingin ke sana, mungkin untuk tidak melakukan apa-apa. Meski untuk itu saya harus rela melepaskan banyak hal,” ujarnya. [...]

December 2, 2015 // 13 Comments

Dari Titik Nol Menuju Frankfurt

Kisah ini dimulai dari seorang ibu yang terbaring di ranjang rumah sakit menanti ajal. Anaknya yang bertahun-tahun tinggal di perantauan akhirnya pulang. Menyadari tidak banyak waktu tersisa, anak itu duduk di samping ibunya, membacakan buku hariannya tentang negeri-negeri jauh yang pernah dialaminya. Bersama cerita-cerita itu, sang ibu yang tidak pernah ke mana-mana itu akhirnya membuka sebuah cerita yang selama ini dipendamnya. Tentang masa kecilnya, cintanya, penantiannya, perjuangannya, Tuhannya, hidup dan matinya. Dua perjalanan dalam dua dimensi waktu dan tempat itu berkelindan, akhirnya menyatu. Itulah kisah yang tertuang dalam memoar-cum-catatan-perjalanan saya, Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2013. Buku itu mendapat sambutan cukup hangat dari pembaca Indonesia. Beberapa bulan setelah buku itu terbit, penerbit menanyakan apakah saya tertarik menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Pada saat itu, Indonesia telah dipastikan akan menjadi Tamu Kehormatan dalam ajang pameran buku terbesar di dunia—Frankfurt Book Fair 2015. Itu artinya, fokus dunia perbukuan akan tertuju pada Indonesia. Namun terlepas Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar keempat dunia dan industri buku yang sangat aktif dengan penerbitan 30.000 judul buku per tahun (faktor penting terpilihnya Indonesia sebagai Tamu Kehormatan), Indonesia masihlah sebuah negara “tembus pandang” di kancah perbukuan [...]

October 11, 2015 // 40 Comments

Pos Sore (2015): Agustinus Wibowo Berbagi Ilmu ‘Travel Writing’

http://possore.com/2015/09/27/agustinus-wibowo-berbagi-ilmu-travelling-writing/ SMESCO Art Fest & Netizen Vaganza 2015 Minggu, 27 Sep 2015 MENUANGKAN perjalanan kita dalam bentuk tulisan? Mengapa tidak. Jangan biarkan travelling berkesan kita berlalu begitu saja hanya dalam penggalan foto demi foto, lalu dishare di media sosial atau di blog. “Menuliskan perjalanan adalah juga suatu perjalanan,” begitu kata Agustinus Wibowo, seorang penulis dan fotografer perjalanan kepada peserta workshop ‘Travelling Writing’ di gedung Smesco UKM/RumahKU (Rumahnya Koperasi dan UKM), Minggu (27/9). Pria asal Jawa Timur itu sengaja diundang Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (LLP-KUKM) Kemenkop dan UKM yang dipimpin Ahmad Zabadi itu untuk mengisi acara SMESCO Art Fest dan Netizen Vaganza 2015 pada 26-27 September 2915. Kegiatan itu berisikan berbagai workshop, antara lain ‘Travelling Writing’. Mengapa workshop bertema ini diangkat? Karena ternyata, sebagaimana diutarakan Ahmad Zabadi, menuliskan travelling dalam sisi yang lain seperti yang dilakoni Agustinus Wibowo, bisa menghasilkan uang. Selain tulisan dapat dinikmati oleh diri sendiri, juga bisa dipublikasikan di media, yang tentunya akan mendapatkan honor penulisan. Dan, kalau beruntung, penerbit akan membukukan jurnal perjalanan tersebut. Karya ini pun akan mendatangkan pundi-pundi uang dan juga kepuasan batin. Di hadapan para peserta workshop yang sebagian besar blogger, sarjana ilmu komputer di [...]

September 27, 2015 // 2 Comments

Jawa Pos (2015): Traveling Gila tanpa Lewat Udara

Agustinus Wibowo, Traveler dan Travel Writer Muda Indonesia http://www.jawapos.com/baca/artikel/18472/agustinus-wibowo-traveler-dan-travel-writer-muda-indonesia Traveling Gila tanpa Lewat Udara 7/06/15, 05:00 WIB Hidup adalah perjalanan. Sebagai traveler sekaligus travel writer, Agustinus Wibowo tentu sudah akrab dengan jalanan. Stempel belasan negara telah melekat di paspor. Puluhan ribu kilo sudah ditempuh. Banyak cerita dan potret yang telah dihimpun dan dibagi. Apa lagi yang dia cari? MELIHAT sosok Agustinus Wibowo, orang tidak akan langsung percaya bahwa empunya nama pernah menjajal profesi pewarta foto di Afghanistan. Penampilan sederhana –kaus, celana selutut, serta sepatu olahraga serbagelap– dengan didukung wajahnya yang ramah senyum, pria asal Lumajang tersebut tampak innocent. Bahkan, mengutip traveler Malaysia Lam Li, Agus tampak seperti ’’anak lelaki lucu’’. ’’Jadi, traveler adalah salah satu impian masa kecil saya. Beginilah saya sekarang. Serba berpindah-pindah,’’ kata sulung dari dua bersaudara itu. Padahal, Agus kecil bukan anak yang pemberani. Untuk menempuh jarak ratusan meter, dia lebih memilih naik becak. Padahal, kota tempat dia tinggal, Lumajang, bukan kota yang besar dan ganas. Setiap hari lelaki pemalu itu memilih berdiam diri di rumah untuk membaca buku. Buku pintar, ensiklopedia, bahkan buku pelajaran menjadi makanan sehari-hari buat Agus. Hobi tersebut membawa berkah buatnya. Selama SD hingga SMA, dia tidak pernah luput dari [...]

June 7, 2015 // 24 Comments

CNN Indonesia: Agustinus Wibowo Menjamah Perbatasan Papua

Vega Probo, CNN Indonesia Rabu, 13/05/2015 22:01 WIB   Jakarta, CNN Indonesia — Dituduh mata-mata OPM dan “diintai” buaya saat melintasi perairan. Begitulah antara lain petualangan seru yang dialami penulis Agustinus Wibowo saat blusukan di daerah perbatasan Papua-Papua Nugini, beberapa waktu lalu. Petualangan yang dilakoninya selama beberapa bulan ini merupakan awal dari sebuah proyek besar: berkeliling Indonesia. Berikutnya, ia akan mengestafet perjalanan ke daerah perbatasan Indonesia lain dan merangkumnya dalam sebuah buku perjalanan. “Kebanyakan buku perjalanan Indonesia ditulis oleh orang asing. Mereka memberikan pandangan atas-bawah,” kata Agustinus kepada CNN Indonesia, saat ditemui di kawasan Slipi, Jakarta Barat, baru-baru ini. Dengan melakukan dan menulis perjalanan sendiri, setidaknya, menurut Agustinus, kita—orang Indonesia—tidak perlu meminjam persepsi bangsa asing untuk mengenal dan memahami negerinya. Pandangan yang diberikan pun sejajar, tak berat sebelah. Bukan perkara mudah bagi penulis buku Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nol ini untuk menjelajahi daerah perbatasan Papua. Akses terbatas, kriminalitas tinggi, dan komunikasi pun terkendala. Namun semua itu tak menyurutkan semangatnya. Ice Breaking Setiap Hari Lalu, bagaimana caranya menyatu dengan warga setempat? Mengingat tidak banyak turis di daerah perbatasan Papua. Terlebih secara fisik, Agustinus, yang bermata sipit dan berkulit kuning, terlihat mencolok dan asing. “Saya harus [...]

May 13, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 188: Bahauddin Zakariya Express

Bahauddin Zakariya Express (AGUSTINUS WIBOWO) Senja mulai merambah tanah Punjab. Stasiun kereta api Bahawalpur penuh dengan calon penumpang yang mulai resah karena kereta api Bahauddin Zakariya Express yang berangkat dari Multan menuju Karachi tak kunjung tiba. Multan hanya beberapa puluh kilometer jauhnya sebelum Bahawalpur, sekitar satu setengah jam perjalanan dengan kereta ‘ekspres’ ini. Tetapi baru menjelang tengah malam, kereta panjang berwarna kuning dan hijau ini merapat di stasiun. Yang tercipta pada detik berikutnya adalah kericuhan. Ratusan penumpang yang sudah tidak sabar lagi setelah penantian berjam-jam, segera menyerbu masuk ke dalam gerbong. Petugas pun tak kuasa menahan luapan manusia. Masing-masing penumpang membawa barang bawaan berkarung-karung. Saling dorong, maki, cakar. Suasana pertempuran dipindahkan ke dalam koridor gerbong sempit dan gelap ini. Saya meraba-raba di tengah dorongan dan teriakan beringas orang-orang yang tidak sabar. Nyaris saya menginjak seorang bayi yang teronggok di bawah kaki. Sementara dorongan orang-orang semakin kuat. Saya terjebak dalam histeria. Semua orang seperti sudah tak punya waktu tersisa untuk segera menaruh barang dan duduk di tempat yang paling nyaman. Setelah bercucur peluh saya akhirnya berhasil duduk. Sudah tidak ada tempat lagi untuk menaruh tas ransel, karena semua tempat sudah ditempati oleh karung dan tas penumpang lainnya. Bahkan tempat untuk menaruh [...]

May 13, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 151: Terjebak Birokrasi Pakistan (2)

Dari Islamabad… (AGUSTINUS WIBOWO) Perpanjangan visa Pakistan membuat saya merasa seperti bola pingpong yang dilempar dari satu kantor ke kantor lain. Kementrian Dalam Negeri letaknya jauh sekali dari Kantor Paspor. Islamabad adalah kota modern yang didesain oleh orang Eropa tetapi dimanajemen oleh orang Pakistan. Akibatnya adalah perencanaan tata kota yang matang yang berbaur dengan morat-maritnya dunia ketiga. Jalan lurus dan panjang, taman-taman yang teratur rapi, di sebuah kota kosong di mana kantor-kantor pemerintah bertebaran di segala penjuru. Saya dan dr. Zahid menunggu di depan bangunan Visa Section di kompleks Kementrian Dalam Negeri. Ada dua pintu. Yang satu khusus untuk warga Afghan, keturunan Afghan, dan jurnalis – kelompok rawan. Pintu lainnya untuk orang asing, turis, dan NGO. Jam kerja kantor ini dari pukul 11 hingga 12 siang – benar-benar jam kerja yang ideal. Pengumuman yang tertempel di depan pintu mengatakan bahwa pukul 10:45 akan dibagikan nomor urut bagi para pengantre. Tetapi tidak ada antrian di sini. Semua orang bergerombol di depan pintu yang masih tertutup. Kami hanya menantikan detik-detik pintu kayu yang agung itu akan terbuka, sebagai jalan emas menuju visa Pakistan. Bukan Pakistan namanya kalau tidak terlambat. Pukul 11:15, pintu itu baru terbuka. Seorang petugas membawa setumpuk kartu kecil. Bukannya [...]

March 23, 2015 // 6 Comments

Titik Nol 132: Losmen Murah di Rawalpindi

Para buruh harian menanti pekerjaan di Rajja Bazaar (AGUSTINUS WIBOWO) Dengan visa Pakistan dari India, sungguh susah mencari losmen murah di Rawalpindi. Dan akhirnya saya malah terjebak di tempat seperti ini. Semua visa Pakistan yang diterbitkan High Commission of Pakistan di New Delhi distempel “Visa Not Valid for Cantt Area”. Cantt adalah singkatan Cantontment, kota garnisun, peninggalan kolonial Inggris di kota-kota British India yang sekarang masih menjadi pusat aktivitas pertahanan Pakistan. Biasanya memang tidak banyak pengaruhnya untuk turis karena saya bukan turis mata-mata yang ingin mengintai persenjataan, perbentengan, teknologi nuklir, pasukan tempur, dan lain-lain untuk dilaporkan kepada India. Tetapi, di Rawalpindi, cap stempel di atas visa sangat mengganggu, karena kebanyakan losmen murah terletak di daerah pasar ramai Saddar Bazaar yang kebetulan bertetangga dengan daerah kota garnisun. Tak bisa menginap di Saddar, saya langsung menuju ke Rajja Bazaar, pasar ramai lainnya di kota ini. Perjalanan panjang 20 jam dari Gilgit memang sangat menyiksa. Yang saya inginkan sekarang adalah sebidang kasur empuk untuk beristirahat barang sejenak. Tetapi mencari penginapan tidak mudah. Hotel Tujuh Bersaudara yang nampak kumuh dan gelap katanya sudah fully booked padahal dari luar tampaknya semua kamarnya kosong. Saya disuruh ke hotel di sebelahnya, Hotel Javed, yang kelihatan lebih bersih [...]

February 24, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 131: Berjalan Lagi

Mata Hassan masih sembab melepas kepergian kedua anaknya (AGUSTINUS WIBOWO) Saya melihat tetes air menggenangi mata Hassan Shah melepas kepergian anak-anaknya. Saya teringat air mata yang sama mengalir di kedua belah pipi ibunda saya. Sudah sepuluh hari Karimabad terkunci dari dunia luar. Jalan Karakoram Highway, satu-satunya jalan yang menghubungkan Islamabad ke negeri Tiongkok melintasi barisan gunung tinggi Himalaya, tak bisa ditembus. Penyebabnya, badai salju menyebabkan beberapa titik sepanjang jalan ini ditimbun longsor. Batu-batu gunung raksasa bisa begitu saja berpindah tempat dari puncak sana ke badan jalan. Di belahan bumi ini, di tengah musim seperti ini, longsor batu sama lazimnya dengan chapati di pagi hari. Lebih dari sebulan sudah saya terperangkap di Hunza. Semula saya datang dengan tubuh lemah, nafsu makan minim, dan mata kuning mengerikan. Tetapi udara pegunungan surgawi yang berdaya magis dalam sekejap menyembuhkan penyakit saya. Setelah beristirahat sekian lama, rasanya segenap semangat hidup saya sudah kembali lagi, walaupun saya belum yakin kekuatan tubuh ini sudah pulih seperti sedia kala. Lepas dari hepatitis, sekarang saya ditekan rasa berdosa. Dulu semangat saya begitu meluap-luap, ingin segera membaktikan diri ke daerah gempa di Kashmir. Tetapi kini, saya tak lebih dari seorang turis lemah yang menghabiskan hari-hari di pondokan, menonton film India [...]

February 23, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 120: Seutas Jalan di Bibir Jurang

Pernahkah Anda mendengar tentang sebuah lembah yang dirundung kegelapan – tanpa mentari  – selama berbulan-bulan? Saya tertarik anjuran Wahid untuk belajar lebih banyak tentang kehidupan orang Tajik di chapursan. Seorang pemilik kios kecil di kota perbatasan Sost menambahkan, “Engkau harus ke Chapursan, mengalami siksaan hidup kedinginan tanpa sinar matahari!” Saya memberanikan diri pergi ke Chapursan, sebuah lembah yang tersembunyi di balik barisan gunung, di tengah musim dingin Hunza yang menggigit. Gilakah saya? Noorkhan tertawa tergelak-gelak. Pria kurus 30 tahun berkumis tipis ini tubuhnya dibalut selimut tebal. Musim dingin membuat orang Hunza jalan ke mana-mana dengan selimut terlingkar di pundak. “Chapursan dingin sekali,” katanya, “dan tidak banyak orang yang senekad kamu pergi ke sana di musim begini.” Jalan sempit di tepi jurang (AGUSTINUS WIBOWO) Tawa Noorkhan membuat saya sedikit ragu. Afiyatabad dan Sost yang berkelimpahan sinar matahari seperti ini saja masih dingin bukan kepalang. Kalau lepas sarung tangan beberapa menit saja, telapak tangan sudah membiru. Apalagi di lembah yang terjepit gunung, 60 kilometer jauhnya dari sini itu, seperti apa dinginnya? “Saya sebenarnya juga pendatang ke Chapursan,” lanjutnya, “saya memang lahir di Chapursan, tetapi tinggal di Karachi.” Bahasa Inggrisnya fasih, gerak-gerik tubuhnya menunjukkan tingkat pendidikannya yang tinggi. Noorkhan adalah orang penting di [...]

February 6, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 78: Dunia Memang Kecil

Benteng Amber. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya sebenarnya kurang begitu tertarik dengan kegiatan mengunjungi museum, benteng, monumen, atau sebangsanya. Bagi saya tempat-tempat itu adalah masa lalu yang sudah mati. Hanya gedung tua yang dikerebuti turis mancanegara yang berpose di depan kamera. Sebenarnya saya masih mencari-cari kembali semangat perjalanan ini yang sempat hilang setelah rentetan pengalaman kurang menyenangkan di New Delhi. Saya hanya ingin bersantai di Rajasthan, tetapi menghabiskan waktu tanpa kegiatan di dalam bilik losmen yang gelap dan kotor bakalan akan lebih membunuh semangat perjalanan yang sudah tinggal secuil. Untuk mengisi hari, Lam Li mengajak saya pergi ke Benteng Amber, sekitar sebelas kilometer jauhnya dari pusat kota Jaipur. Walaupun sebenarnya malas, saya akhirnya mengiyakan ajakannya. “Kalau aku suka sekali melihat benteng.,” kata Lam Li, “Justru benteng-benteng kuno India lah yang membuat aku tertarik datang ke sini.” Benteng-benteng kuno itu adalah masa lalu Hindustan yang penuh histori dan fantasi. Apa yang dikatakan Lam Li memang benar. Baru pertama kali ini saya melihat sebuah bangunan benteng yang penuh fantasi. Benteng Amber dibangun pada abad ke-16. Terletak di puncak sebuah bukit. Pengunjung harus berjalan mendaki setidaknya dua puluh menit untuk mencapainya. Di bawah bukit ada sebuah danau. Airnya memantulkan refleksi kemegahan benteng Amber. Dari bawah, [...]

September 10, 2014 // 1 Comment

Jakarta, 29 Juli 2014: Australia dan Papua Nugini

Saya mengambil backpack, mengisinya dengan barang-barang, dan menyadari bahwa saya sudah tak ingat lagi kapan terakhir kali saya merasakan debar seperti ini. Debar akan Ketidaktahuan dan Keberbedaan. Besok, saya akan memulai perjalanan pertama saya keluar benua Asia. Hari Senin 21 Juli lalu saya mendapat konfirmasi undangan menghadiri Byron Bay Writers Festival (BBWF) di Byron Bay, NSW, 1-3 Agustus. Ini adalah festival penulis yang bekerja sama dengan Ubud Writers and Readers Festival, dan setiap tahun memberi kesempatan bagi penulis Indonesia maupun Asia untuk tampil pada forum penulis internasional ini. Karena waktu yang sangat mendesak, saya pun buru-buru mengurus visa Australia. Biasanya visa Australia membutuhkan waktu 5 hari kerja, dan berkenaan dengan Idul Fitri maka hari keberangkatan saya bertepatan dengan hari kerja ke-4. Agak riskan juga. Untunglah, visa Australia (dengan undangan dan permintaan urgen) keluar hanya dalam dua hari. Mengenai festival penulis ini, saya diundang untuk berbicara dalam dua panel, semuanya berhubungan dengan penulisan perjalanan. Hal yang paling membuat saya excited adalah kesempatan untuk berkomunikasi dengan penulis perjalanan dari negara lain. Ketika menerjemahkan buku ketiga saya, Titik Nol, ke dalam bahasa Inggris, saya sungguh menyadari betapa pola pikir dari setiap bangsa yang berbeda sangat memengaruhi cara masyarakat dari pengguna bahasa itu untuk [...]

July 29, 2014 // 27 Comments

1 2 3 5